• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan Prinsip Enam Benar Dalam Pemberian Obat

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN TEORITIS (Halaman 27-34)

1. Pengetahuan

Menurut Armiyat (2007) bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perawat pelaksana tidak menerapakan prinsip enam benar dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu tingkat pengetahuan seorang perawat pelaksana tentang prinsip enam benar, motivasi perawat, persepsi perawat, peran kepala ruangan, ketersediaan SOP di ruangan dan tingkat pendidikan seorang perawat.

Penelitian yang dilakukan oleh Tri (2009) yang berjudul hubungan pengetahuan perawat tentang prinsip enam benar dengan pelaksanaannya dalam pemberian obat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara dengan menggunakan 38 responden perawat pelaksana. Dari pengawai yang mempunyai tingkat pengetahuan dengan kategori baik, baru 68,4% yang tingkat pelaksanaan pemberian obatnya berkategori baik sedangkan sisanya sebesar 31,6 % berkategori cukup. Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara pengetahuan perawat tentang prinsip enam benar dengan pelaksanaannya dalam pemberian obat dengan p value = 0,000.

2. Motivasi

Motivasi sangat berpengaruh pada kinerja perawat dalam menerapkan prinsip enam benar dalam pemberian obat oleh perawat. Akibat dari rendahnya motivasi perawat yang menyebabkan perawat tidak menerapkan prinsip enam benar dalam pemberian obat yang menyebabkan kegagalan dalam merawat klien bahkan bisa berakibat fatal. Menurut Armiyat (2007) semakin tinggi motivasi seseorang dalam bekerja maka semakin baik pula kerja perawat, namun semakin rendah motivasi perawat dalam menerapkan prinsip enam benar dalam pemberian obat maka semakin tidak baik pula kinerja perawat tersebut.

Penelitian Fidora (2010) yang berjudul faktor-faktor kinerja yang berhubungan dengan pelaksanaan standar operasional prosedur (SOP) sindrom defisit perawatan diri pasien oleh perawat pelaksana di RSJ. Prof. DR. HB. Sa’anin padang bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang positif (51,3%) dan motivasi yang rendah (64,1%) dalam pelaksanaan standar operasional prosedur (SOP) sindrom defisit perawat diri. Berdasarkan hasil penelitian di atas bahwa dari faktor psikologis yang memiliki hubungan bermakna dengan pelaksanaan SOP sindrom defisit perawat diri motivasi sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah sikap.

Menurut Tarigan (2010) menunjukkan bahwa dari analisis koefisien determinasi variabel tingkat pendidikan, motivasi, usia dan pengalaman kerja memberikan pengaruh sebesar 68,30% terhadap variabel kinerja perawat sedangkan sisanya sebesar 31,70% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian Tarigan, menunjukkan bahwa ada pengaruh motivasi terhadap kinerja perawat dengan p value = 0,018.

Menurut Evawati (2010) yang berjudul pengaruh disiplin dan motivasi kerja terhadap kinerja perawat bagian anak RSU Tanggerang dengan uji regresi bersifat positif berarti apabila disiplin dan motivasi ditingkatkan maka dapat menambah kinerja perawat bagian anak RSU Tanggerang.

Menurut Mulyono (2013) yang berjudul faktor yang berpengaruh terhadap kinerja perawat di rumah sakit tingkat III 16.06.01 Ambon menunjukkan bahwa responden yang motivasi kerjanya baik, sebagian besar (55,56%) kinerjanya tidak baik, begitu juga responden yang motivasi kinerjanya tidak baik sebagian besar (64,29%) kinerjanya tidak baik. Dari hasil pengujian hipotesis dengan uji korelasi gamma dimana p-value : 0,615 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan motivasi dengan kinerja perawat.

3. Persepsi

Persepsi perawat yang salah akan mengakibatkan kelalain dalam memberikan obat kepada klien dengan tidak menerapkan prisip enam benar dalam pemberian obat oleh perawat. Kelalaian persepsi ini berupa menganggap bahwa walaupun obat diberikan tidak tepat waktu, itu tidak akan mempengaruhi dalam pemberian obat. Akibat dari kesalahan dalam pemberian obat maka akan berakibat fatal pada klien. Menurut Basuki (2012) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pelaksanaan SOP pemberian obat parenteral antara perawat yang persepsi baik dan tidak baik (p value = 0,566). Persepsi perawat pelaksana tentang supervisi pimpinan ruang baik sebagian besar melaksanakan SOP pemberian obat parenteral intravena secara baik (64,3%).

Menurut Rohayani (2006) yang berjudul hubungan persepsi perawat pelaksana tentang gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana menunjukkan bahwa perawat yang mempersepsikan gaya kepemimpinan kepala ruangan otoriter/autokratis berhasil didapatkan 34 perawat pelaksana (64,2%), 17 perawat (32,1%) 2 orang perawat pelaksana (3,8%) mempersepsikan gaya kepemimpinan laissez

faire/liberal. Pada tingkat kemaknaan 95% tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana dalam melakukan tindakan keperawatan, namun pada tingkat kemaknaan 90% terdapat hubungan yang signifikan dengan p= 0,087.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2010) yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penerapan prinsip kewaspadaan perawat di instalasi gawat darurat RSUP DR. M. Djamil Padang menunjukkan bahwa 54,3% responden memiliki persepsi positif kemungkinan terkena infeksi HIV dan keparahan penyakit HIV/AIDS, 54,3% responden memiliki persepsi yang positif tentang kemungkinan terkena infeksi HIV dengan keparahan penyakit HIV/AIDS. Menurut Putri bahwa ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan tindakan penerapan prinsip kewaspadaan universal oleh perawat.

4. Tingkat Pendidikan

Perawat dengan pendidikan DIII-Keperawatan mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih baik dalam pelaksanan pekerjaan. Tingkat pendidikan. DIII-Keperawatan lebih dititikberatkan pada mempersiapkan seseorang untuk menjadi pelaksana suatu pekerjaan, sehingga pegawai dengan pendidikan DIII-Keperawatan mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dari Sarjana yang dipersiapkan untuk dapat menganalisis suatu permasalahan. Tetapi bila pertanyaan pengetahuan yang diberi peneliti lebih mendalam lagi secara teoritis maka kemungkinan pengetahuan jenjang pendidikan sarjana akan lebih baik dari DIII-Keperawatan. Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang diperoleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.

Menurut Tri (2009) bahwa Bila dilihat dari faktor pendidikan, jenjang pendidikan Diploma III mempunyai skor pengetahuan 37,1 dan Sarjana 37,0. Hasil ini menunjukan bahwa perawat dengan pendidikan D III mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih baik dalam pelaksanan pekerjaan. Tingkat pendidikan Diploma III lebih dititikberatkan pada mempersiapkan seseorang untuk menjadi pelaksana suatu pekerjaan, sehingga pegawai dengan pendidikan Diploma III mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih

tinggi dari Sarjana yang dipersiapkan untuk dapat menganalisis suatu permasalahan. Tetapi bila pertanyaan pengetahuan yang diberi peneliti lebih mendalam lagi secara teoritis maka kemungkinan pengetahuan jenjang pendidikan sarjana akan lebih baik dari D III.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maynafi (2012) yang berjudul hubungan antara faktor internal perawat dengan pelaksanaan prinsip 12 benar dalam pemberian obat di ruang rawat inap RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan bahwa hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan pelaksanaan prinsip 12 benar dalam pemberian obat diperoleh bahwa dari 46 responden yang berpendidikan SPK/D3/S.Kep ada 31 67,4% responden yang melaksanakan prinsip 12 benar obat. Dari 6 responden yang berpendidikan S.Kep,Ns ada 4 (66,7%) responden yang melaksanakan prinsip 12 benar dalam pemberian obat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,972 (p>0,05), artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan responden dengan pelaksanaan prinsip 12 benar dalam pemberian obat.

Menurut Virawan (2012) yang berjudul faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan staf perawat dan staf farmasi menggunakan enam benar dalam menurunkan kasus kejadian yang tidak diharapakan dan kejadian nyaris cedera di Rumah Sakit Umum Surya Husada bahwa dari hasil uji-chisquare digunakan taraf signifikan 5% maka dapat di ambil kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan responden dengan pelaksnaan 6 benar terutama dengan benar dosis.

5. Peran Kepala Ruangan

Kepala ruangan sangat berperan penting dalam penerapan prinsip enam benar pemberian obat. Kepala ruangan yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik akan mengakibatkan penurunan kinerja perawat. Penurunan kinerja perawat ini diakibatkan oleh tidak efisiensinya kinerja kepala ruangan dalam melaksanakan tugasnya seperti tidak melaksanakan evaluasi secara langsung namun melakukan evaluasi secara tidak langsung dengan memperhatikan dokumentasi. Akibat dari kelalaian kepala ruangan dan ditambah dengan motivasi serta persepsi perawat yang salah mengakibatkan perawat tidak memberikan obat dengan prinsip enam benar. Menurut Rumampuk (2013) bahwa semakin baik kinerja kepala ruangan maka semakin baik pula penerapan

prinsip enam benar dalam pemberian obat oleh perawat, sebaliknya semakin rendah evaluasi dari kepala ruangan maka semakin buruk pula kinerja perawat dalam menerapkan prinsip enam benar dalam pemberian obat dengan p value = 0,04.

Berdasarkan hasil penelitian Setiorini (2008) menunjukkan bahwa hasil Uji F menghasilkan F hitung > Ftabel dan nilai signifikansi lebih kecil dari α=0,05. Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor-faktor KM yang meliputi variabel personal knowledge (X1), job procedure (X2), learning organization (X3), dan technology (X4) bersama-sama secara signifikan memengaruhi kinerja pegawai. Hasil uji t menunjukkan bahwa variabel learning organization dan technology berpengaruh secara parsial terhadap kinerja pegawai, terbukti dari t hitung > t tabel dan nilai signifikansinya kurang dari α=0,05. Sedangkan variabel personal knowledge dan job procedure tidak berpengaruh secara parsial terhadap kinerja pegawai, terbukti dari t hitung < t tabel dan nilai signifikansinya lebih dari α=0,05. Uji koefisien standardized beta menunjukkan Learning Organization (X3) adalah variabel dominan yang berpengaruh terhadap kinerja pegawai, terbukti nilai β=0,570 paling tinggi dibandingkan dengan variabel Personal Knowledge (X1) β=-0,026, Job Procedure (X2) β=0,086, dan Technology (X4) β=0,155).

Menurut penelitian Warsito E. (2006) menunjukkan bahwa Perawat pelaksana yang mempunyai persepsi tentang fungsi pengarahan kepala ruang tidak baik, cenderung pelaksanaan manajemen asuhan keperawatannya juga tidak baik (p<0,05 dan nilai Exp B=4,888).

6. Ketersediaan SOP

Ketidaktersediaan Standart Operating Prosedure (SOP) di rumah sakit mengakibatkan sebagian perawat tidak melaksanakan prinsip enam benar dengan baik.Sebagian perawat di rumah sakit tidak mengetahui SOP pemberian obat kepada klien. Akibat dari ketidaktersediaan SOP, terjadi kesalahan dalam pemberian obat karena tidak memperhatikan prinsip-prinsip enam benar dalam pemberian obat.

Sebagian rumah sakit tidak memiliki fasilitas yang baik dalam memberikan obat kepada klien. Akibat dari ketidaksediaan fasilitas pemberian obat, banyak perawat mengabaikan

prinsip dari pemberian obat. Dengan tidak diperhatikannya prinsip-prinsip dalam pemberian obat mengakibat kelalaian yang berakibat fatal pada kesehatan klien.

Rendahnya variabel job procedure dalam memengaruhi kinerja individu dapat dilihat dari rendahnya skor pada indikator pemahaman terhadap SOP dan lemahnya pemahaman terhadap indikator SOP yang dapat menjamin terciptanya layanan yang baku. Kenyataan lain menunjukkan bahwa SOP yang ada belum tersosialiasi dengan baik hingga ke tingkat end-user, walau pun di beberapa unit kerja sudah terstandar ISO 9001:2000 atau ISO 9001:2008. Jika mengacu pada hasil penelitian Kosasih dan Budiani (2007) serta Novealdy (2012), dimana variabel personal knowledge berpengaruh terhadap variabel job procedure, artinya semakin baik personal knowledge maka pemahaman terhadap job procedure juga semaikin baik, begitu pula sebaliknya semakin rendah personal knowledge maka pemahaman terhadap job procedure juga semaikin rendah. Jika merujuk pada hasil penelitian keduanya terbukti bahwa rendahnya atau tidak signifikannya variabel personal knowledge berdampak pada variabel job procedure dalam memengaruhi kinerja individu.

Menurut Prasastin (2012) yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas surveilans epidemiologi penyakit malaria tingkat puskesmas di Kabupaten Kebumen Tahun 2012 menunjukkan bahwa 27 puskesmas dengan kinerja puskesmas baik dan cukup baik pada puskesmas yang memiliki disiplin kerja SOP baik memiliki selisih 26% dan jika dibandingkan dengan kinerja puskesmas baik dan kurang baik memiliki selisih sebesar 18,5%. Sedangkan kinerja puskesmas cukup baik dan kurang baik pada puskesmas yang memiliki disiplin kerja SOP cukup baik memiliki selisih 7,4%. Hasil analisis yang diperoleh dari uji alternatif Chi square yaitu uji Kolmogorov smirnov menunjukkan bahwa nilai p value 0,100 (> α = 0,05), sehingga Ha ditolak, yang artinya tidak ada hubungan antara disiplin kerja Standar Operasional Prosedur (SOP) petugas surveilans epidemiologi penyakit malaria dengan kinerja petugas surveilans epidemiologi penyakit malaria tingkat puskesmas di Kabupaten Kebumen tahun 2012.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN TEORITIS (Halaman 27-34)

Dokumen terkait