• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kemiskinan Kemiskinan tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh satu faktor tetap

DAFTAR LAMPIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

4.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kemiskinan Kemiskinan tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh satu faktor tetap

merupakan kontribusi dari beberapa faktor yang komplek. Penyebab kemiskinan dapat berupa faktor makro yang berada di luar rumahtangga seperti kebijakan makro ekonomi yang tidak layak, keterbatasan lapangan kerja, pembangunan sumberdaya manusia yang rendah dan lain sebagainya. Di samping faktor- faktor tersebut, ada juga faktor- faktor dalam rumahtangga yang dapat menyebabkan kemiksinan seperti tingkat pendidikan KRT, besaran rumahtangga, kepemilikan asset, lokasi, sektor pekerjaan dan lain sebagainya. Penyebab kemiskinan ini

55

perlu untuk dipahami agar mampu untuk menyusun suatu kebijakan yang efisien untuk mengurangi kemiskinan.

Banyak peubah yang dipahami sebagai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Peubah-peubah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu karakateristik yang berkaitan dengan individu seperti jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya dan karakteristik yang berkaitan dengan wilayah dimana rumahtangga tersebut tinggal seperti area perkotaan atau perdesaan. Ada kesulitan dalam menentukan arah sebab akibat, apakah karakteristik dapat menyebabkan kemiskinan atau kemiskinan yang menyebabkan karakteristik tersebut. Sebagai contoh apakah jumlah anggota rumahtangga yang besar dapat menyebabkan kemiskinan atau kemiskinanlah yang menyebabkan jumlah anggota rumahtangga menjadi besar. Dalam penelitian ini akan memperkirakan mengenai faktor- faktor yang menyebabkan kemiskinan, atau lebih tepat jika dikatakan sebagai faktor- faktor yang terkait dengan kemiskinan.

Kajian mengenai faktor- faktor yang terkait dengan kemiskinan dilakukan dengan menggunakan model pilihan diskrit (discrete choice models) antara lain model regresi logit dan probit (Deaton, 1987 dan 1990; Ravallion, 1996 diacu dala m Irawan, 2005). Regresi logistik ditujukan untuk memprediksi probabilitas suatu nilai antara 0 dan 1. Dalam memahami mengenai faktor-faktor yang terkait dengan kemiskinan digunakan model regresi logit dengan variable tidak bebas berupa variable biner ya itu miskin (1) dan tidak miskin (0). Sedangkan peubah- peubah bebas yang diteliti adalah jender, pendidikan, ukuran rumahtangga, pekerjaan, kondisi tempat tinggal dan lokasi tempat tinggal. Model regresi logistik menggunakan metode Enter melalui paket program SPSS versi 11,5 disajikan pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Penduga Parameter, Level Signifikansi, dan Nilai Odds Ratio dari Model Regresi Logistik Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Menurut Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004

DKI Jakarta RW Tidak Kumuh RW Kumuh

Peubah Peubah β Signifi kansi Odds Ratio Peubah β Signifi kansi Odds Ratio Peubah β Signifi kansi Odds Ratio Konstanta -6.597 0.000* 0.001 -5.963 0.000* 0.003 -7.411 0.000* 0.001 d_jk 0.870 0.000* 2.386 1.155 0.000* 3.173 0.526 0.122 1.692 art 0.527 0.000* 1.694 0.480 0.000* 1.616 0.646 0.000* 1.909 d_jual -0.594 0.002* 0.552 -0.604 0.020* 0.547 -0.596 0.038* 0.551 d_kasar -0.372 0.030* 0.689 -0.352 0.133 0.703 -0.321 0.224 0.725 d_prof -0.596 0.016* 0.551 -0.645 0.052 0.524 -0.451 0.241 0.637 dlain -0.169 0.729 0.845 0.090 0.885 1.094 -0.274 0.742 0.760 d_pp -0.763 0.002* 0.466 -0.777 0.017* 0.460 -0.798 0.038* 0.450 d_under 0.712 0.002* 2.039 1.022 0.001* 2.779 0.130 0.751 1.139 d_sd -0.339 0.061 0.712 -0.384 0.132 0.681 -0.372 0.162 0.689 d_smp -0.419 0.027* 0.658 -0.311 0.238 0.733 -0.563 0.048* 0.570 d_sma -1.217 0.000* 0.296 -1.208 0.000* 0.299 -1.233 0.000* 0.292 age_mpn -0.126 0.749 0.882 -0.653 0.181 0.520 0.525 0.443 1.691 age_tua -0.263 0.555 0.768 -1.152 0.042* 0.316 0.884 0.239 2.420 um_1564 0.011 0.001* 1.011 0.012 0.009* 1.012 0.011 0.034* 1.011 proker -0.028 0.000* 0.972 -0.029 0.000* 0.972 -0.028 0.000* 0.972 p_bbm 0.086 0.000* 1.090 0.090 0.000* 1.094 0.074 0.008* 1.077 p_mkn 0.050 0.000* 1.051 0.044 0.000* 1.045 0.053 0.000* 1.054 d_lt 1.043 0.000* 2.838 1.117 0.000* 3.056 0.871 0.000* 2.390 j_lti 0.553 0.023* 1.739 1.087 0.000* 2.965 -0.360 0.455 0.698 d_jbn 1.188 0.010* 3.280 1.422 0.083 4.144 1.243 0.036* 3.467 rmh -0.242 0.067 0.785 -0.035 0.843 0.965 -0.546 0.008* 0.579 d_air -0.182 0.776 0.834 -0.841 0.382 0.431 1.539 0.110 4.658

Sumber : diolah dari Susenas Kor 2004 Keterangan : *) sangat nyata pada α = 5 persen

Untuk menilai kelayakan model regresi, maka harus diperhatikan nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow (Tabel 4.11). Hipotesis yang digunakan pada uji ini adalah

- H0 = tidak ada perbedaan yang nyata antara antara klasifikasi yang diprediksi

dengan klasifikasi yang diamati.

- Ha = ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan

57

Model dikatakan layak apabila nilai goodness of fit test yang diukur dengan nilai chi square pada uji Hosmer and Lemeshow:

- jika probabilitas > 0,05 maka H0 diterima

- jika probabilitas < 0,05 maka H0 ditolak

Secara umum nilai dari uji tersebut menunjukkan angka signifikan 0,855 yang artinya model menerima H0. Keputusan menerima H0 menunjukkan bahwa

tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi denga n klasifikasi yang diamati. Model untuk RW tidak kumuh menunjukkan angka signifikasi 0,151 dan untuk RW kumuh adalah 0,699, dengan demikian model logistik dikedua lokasi ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati.

Tabel 4.11. Nilai Chi square pada Uji Hosmer and Lemeshow Menurut Lokasi Tempat Tinggal, DKI Jakarta 2004

Lokasi Tempat Tinggal Chi-square df Sig.

DKI Jakarta 4.023586 8 0.855

RW tidak kumuh 12.01137 8 0.151

RW kumuh 5.540615 8 0.699

Sumber : diolah dari Susenas Kor 2004

Kemampuan prediksi dari model dapat diperkirakan melalui tabel klasifikasi yang didasarkan pada prediksi peluang menjadi miskin. Jika nilai probabilitas yang diperoleh adalah > 0,5 maka diinterpretasikan sebagai prediksi dari suatu rumahtangga miskin, sedangkan jika nilai probabilitas < 0,5 maka dinterpretasikan sebagai prediksi dari rumahtangga tidak miskin. Tabel 4.12 memperlihatkan bahwa kemampuan model DKI Jakarta untuk memprediksi rumahtangga tidak miskin sangat baik yaitu 99,1 persen. Sebaliknya kemampuan model untuk memprediksi rumahtangga miskin cukup buruk yaitu 20,6 persen. Secara keseluruhan kemampuan memprediksi dari model adalah 97,3 persen. Untuk RW kumuh kemampuan model untuk memprediksi rumahtangga miskin lebih baik yaitu 31,5 persen, sedangkan untuk RW tidak kumuh cukup buruk yaitu hanya 18,4 persen.

Penelitian Garza-Rodriguez (2002) dan Sugiyono (2003) menunjukkan bahwa kemampuan memprediksi rumahtangga miskin dari model dengan

menggunakan peubah-peubah bebas karakteristik rumahtangga cukup rendah. Penelitian Garza-Rodriguez tentang penyebab kemiskinan di Mexico menghasilkan tingkat sensitivitas model (kemampuan memprediksi rumahtangga miskin) sebesar 26,53 persen. Sementara itu hasil penelitian Sugiyono di Jawa Barat menghasilkan tingkat sensitivitas 17,43 persen. Model logistik untuk memprediksi peluang miskin dari rumahtangga dengan menggunakan peubah bebas karakteristik rumahtangga secara keseluruhan cukup bagus namun untuk memprediksi rumahtangga miskin kurang baik. Ada faktor-faktor lain di luar karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi peluang rumahtangga menjadi miskin.

Tabel 4.12 Klasifikasi dari Kebenaran Prediksi

Prediksi dari model Kondisi nyata

Tdk miskin Miskin total Persentase Benar

DKI Jakarta Tdk miskin 5,654 50 5,704 99.1 Miskin 108 28 136 20.6 Total 5,762 78 5,840 97.3 RW Kumuh Tdk miskin 1,950 28 1,978 98.6 Miskin 45 21 66 31.5 Total 1,995 49 2,044 96.4 RW Tidak Kumuh Tdk miskin 3,707 19 3,726 99.5 Miskin 57 13 70 18.4 Total 3,764 32 3,796 98.0

Sumber : Diolah dari Susenas Kor 2004

Regresi logistik merupakan model yang tidak linear sehingga sulit untuk menginterpretasikan penduga β sebagai pengaruh dari peubah bebas terhadap kemiskinan. Namun dimungkinkan untuk menghitung efek marjinal pada beberapa nilai dari peubah bebas, seperti nilai rata-rata dari peubah bebas yang kontinu dan beberapa nilai yang tetap dari peubah-peubah biner (Garza- Rodriguez, 2002). Cara lain untuk melihat pengaruh dari peubah bebas terhadap peluang menjadi miskin adalah dengan melihat nilai odds ratio. Odds ratio

59

didefinisikan sebagai rasio dari peluang menjadi miskin dibanding dengan peluang tidak menjadi miskin untuk peubah tertentu.

4.5.1. Kemiskinan dan Jender

Rumahtangga dengan KRT perempuan sering berpeluang lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga dengan KRT laki- laki (Williamson et all, 1975). Ketidaksetaraan jender masih menjadi isu utama, dimana perempuan masih ditempatkan sebagai sub ordinat dari laki- laki. Sehingga dalam berbagai hal, perempuan masih diposisikan di bawah laki- laki, seperti halnya di bidang ketenagakarejaan. Penelitian ILO (2002) di beberapa negara menyatakan bahwa terdapat keterbatasan lapangan pekerjaan untuk perempuan disamping itu perempuan mempunyai tingkat produktivitas yang rendah. Yang menjadi maslah pokok adalah perbedaan penerapan sistem upah antara laki- laki dan perempuan, dimana perempuaan sering mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan yang diterima oleh laki- laki.

Hasil estimasi regresi logistik di atas menunjukkan bahwa di DKI Jakarta KRT perempuan mempunyai pengaruh positif terhadap peluang menjadi miskin pada taraf nyata 99 persen. Odds ratio dari peubah jender menunjukkan angka 2,386 yang artinya adalah KRT perempuan mempunyai peluang miskin 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan KRT laki- laki. Di RW tidak kumuh pengaruh KRT perempuan tetap nyata terhadap resiko menjadi miskin pada taraf nyata 99 persen. Odds ratio dari peubah jenis kelamin KRT di RW tidak kumuh adalah 3,173. Rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan di RW tidak kumuh mempunyai resiko 3,173 lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan yang laki- laki. Kondisi ini berbeda dengan keadaan di RW kumuh dimana peubah jenis kelamin KRT tidak berpengaruh nyata terhadap peluang rumahtangga menjadi miskin.

Gambar 4.3-1, 4.3-2 dan 4.3-3 menunjukkan peluang menjadi miksin berdasarkan jenis kelamin KRT di DKI Jakarta, RW tidak kumuh dan RW kumuh. Asumsi dari gambar adalah KRT berjenis kelamin perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT setengah penganggur, bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai

akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.

Gambar 4.3-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Kelamin dari KRT di DKI Jakarta 2004

Gambar 4.3-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Kelamin Dari KRT Di RW Tidak Kumuh 2004 Banyak art 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Probabilitas menjadi miskin

1.0 .8 .6 .4 .2 0.0 Jns Kelamin KRT laki-laki perempuan Banyak art 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Probabilitas menjadi miskin

1.0 .8 .6 .4 .2 0.0 Jns Kelamin KRT laki-laki perempuan

61

Gambar 4.3-3 Probabilitas Menjadi Miskin dan Jenis Kelamin dari KRT di RW Kumuh 2004

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa KRT perempuan mempunyai peluang lebih tinggi menjadi miskin pada jumlah anggota rumahtangga yang sama. Dapat dikatakan bahwa jenis kelamin KRT secara nyata dapat menjelaskan mengenai kemiskinan di DKI Jakarta dan di RW tidak kumuh, namun menjadi tidak nyata di RW kumuh atau dengan kata lain tidak ada bias jender di RW kumuh.

Hal ini merupakan cerminan adanya bias jender. Rumahtangga dengan KRT perempuan lebih banyak berada di bawah garis kemiskinan. Bias jender dalam insiden kemiskinan telah ditemukan di Bangladesh, Guatemala, Indonesia, Nepal dan 12 negara lainnyanya yang diteliti pada tahuan 1994 (Anynomous, 1996).

4.5.2. Kemiskinan dan Besaran Rumahtangga.

Beberapa penelitian di negara-negara sedang berkembang menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumahtangga dengan konsumsi (pendapatan) per orang. Sering disimpulkan bahwa penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin (Lanjouw dan Ravallion, 1994).

Di negara-negara dunia ketiga sering kali anak dijadikan sebagai investasi karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumahtangga miskin

Banyak art 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Probabilitas menjadi miskin

1.0 .8 .6 .4 .2 0.0 Jenis Kelamin KRT laki-laki perempuan

keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa lalu sering kali masih diterapkan yaitu “banyak anak banyak rejeki”. Schultz, 1981 diacu dalam Rodriguez Garcia (2002) menyebutkan bahwa angka kematian bayi di kalangan rumahtangga miskin membuat mereka cenderung untuk lebih banyak melahirkan untuk menggantikan bayi-bayi yang telah meninggal tersebut, hal ini akan meningkatkan jumlah besaran rumahtangga.

Pengaruh besaran rumahtangga terhadap peluang menjadi miskin didekati dengan menghitung efek marjinal dari peubah. Dengan asumsi bahwa peubah kontinu pada nilai rata-rata, jenis kelamin KRT adalah perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, dan bukan rumah sendiri maka nilai efek marjinal dari besaran rumahtangga adalah 9,24 persen. Artinya adalah untuk DKI Jakarta peningkatan satu orang anggota rumahtangga akan meningkatkan peluang menjadi miskin sebesar 9,24 persen. Dengan menggunakan asumsi yang sama, efek marjinal besaran rumahtangga di RW tidak kumuh dan RW kumuh masing- masing sebesar 11,19 persen dan 5,02 persen. Di RW tidak kumuh setiap penambahan satu orang anggota rumahtangga maka resiko rumahtangga menjadi miskin meningkat sebesar 11,19 persen, sedangkan di RW kumuh peningkatannya lebih rendah yaitu 5,02 persen. Perbedaan yang cukup nyata di RW tidak kumuh dan RW kumuh terjadi karena pengaruh KRT perempuan sangat kuat dalam meningkatkan resiko kemiskinan di RW tidak kumuh.

Semakin besar anggota rumahtangga maka akan memperkecil rata-rata konsumsi perkapita sehingga peluang miskin menjadi semakin besar. Namun pengaruh besaran rumahtangga terhadap kemiskinan dapat pula bersifat negatif dimana semakin kecil ukuran rumahtangga maka akan semakin miskin. Hasil penelitian Kamuzora dan Mkanta (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa rumahtangga dengan dua orang anak hampir 4 kali lebih miskin dari pada yang mempunyai tujuh orang anak. Hal ini karena rumahtangga dengan lebih banyak

63

tenaga kerja akan kurang miskin dibandingkan dengan yang sedikit tenaga keja, tenaga kerja adalah input yang sangat penting bagi produksi dan kesejahteraan.

4.5.3. Kemiskinan dan Pekerjaan

Salah satu sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh rumahtangga adalah jenis pekerjaan yang ditekuni oleh KRT. Jenis pekerjaan sangat terkait dengan upah yang diterima. Pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut akan menyokong dalam penemuhan kebutuhan rumahtangga. Pemenuhan untuk hidup secara memadai menurut kondisi masyarakat setempat tergantung dari pendapatan yang diperolehnya. Hal tersebut menjadikan adanya keterkaitan yang sangat erat antara pekerjaan dengan kemiskinan. Pendapatan yang tinggi dari pekerjaan yang dijalaninya akan melepaskan rumahtangga tersebut dari perangkap kemiskinan, namun pendapatan yang rendah dapat mendorong rumahtangga masuk ke dalam jurang kemiskinan. Milar dan Gardiner (2004) menyatakan bahwa upah yang rendah merupakan penyebab kemiskinan. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa 14 persen pekerja yang mendapat upah rendah di Inggris hidup dalam kemiskinan. Penelitian Dillon dan Hermanto dalam Faturochman dan Molo (1994) diacu dalam Sugiyono (2003) menyatakan bahwa rumahtangga miskin di perkotaan lebih banyak mengandalkan penghasilan dari sektor jasa dan informal.

Hubungan peubah boneka jenis pekerjaan KRT (tenaga usaha jasa sebagai referensi) dengan kemiskinan adalah negatif. KRT yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa mempunyai peluang menjadi miskin lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga dengan KRT yang bekerja dengan jenis pekerjaan lainnya, hal ini dapat dilihat dari nilai odds ratio jenis-jenis pekerjaan lainnya yang bernilai di bawah satu. Jenis pekerjaan sebagai tenaga usaha jasa diduga cukup besar menyumbang terhadap kemiskinan adalah tenaga usaha jasa ya ng bergerak di sektor informal seperti buruh cuci, pemangkas rambut keliling, tukang sol sepatu dan lain sebagainya.

Peluang menjadi miskin menurut jenis pekerjaan KRT di DKI Jakarta dilihat dari nilai odds ratio, dapat dirinci sebagai berikut :

(a) Rumahtangga dengan KRT- nya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,552 kali dibandingkan dengan

KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,552= 1,8 kali lebih besar dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan.

(b) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,689 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,689 = 1,5 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga produksi, operator dan pekerja kasar.

(c) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,551 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,551= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana.

(d) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,466 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,466 = 2,1 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima pendapatan.

Pengaruh jenis pekerjaan menjadi tidak nyata kecuali untuk jenis pekerjaan sebagai tenaga penjualan dan penerima pendapatan baik di RW kumuh mapun tidak kumuh. Di RW tidak kumuh jenis pekerjaan sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana menjadi nyata pada tingkat kepercayaan 94 persen. Peluang menjadi miskin menurut jenis pekerjaan KRT di RW tidak kumuh adalah sebagai berikut :

(a) Rumahtangga dengan KRTnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,547 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,547= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan.

(b) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana dibandingkan dengan KRT

65

sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,524 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,524 = 1,9 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga profesional, kepemimpinan dan pejabat pelaksana.

(c) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,460 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,460 = 2,2 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima pendapatan.

Sedangkan di RW kumuh, pengaruh dari jenis pekerjaan terhadap peluang menjadi miskin adalah sebagai berikut :

(a) Rumahtangga dengan KRTnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan mempunyai resiko menjadi miskin sebesar 0,551 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,547= 1,8 kali dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha penjualan.

(b) Resiko menjadi miskin dari rumahtangga dengan KRT sebagai penerima pendapatan dibandingkan dengan KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 0,450 kali. Sebaliknya peluang menjadi miskin KRT sebagai tenaga usaha jasa adalah 1/0,460 = 2,2 kali dibandingkan dengan KRT sebagai penerima pendapatan.

Dapat dilihat bahwa secara spasial peluang rumahtangga yang dikepalai oleh KRT yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa untuk menjadi miskin jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya relatif sama.

Probabilitas rumahtangga menjadi miskin yang disebabkan karena jenis pekerjaan KRT dapat di lihat pada Gambar 4.4-1, 4.4-2, dan 4.4-3 dengan asumsi bahwa KRT perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT setengah penganggur, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, bukan rumah sendiri, berlantai bukan tanah, dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.

Gambar 4.4-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT Di DKI Jakarta 2004

Gambar 4.4-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT Di RW Tidak Kumuh 2004 Banyak art 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Probabilitas menjadi miskin

1.0 .8 .6 .4 .2 0.0 Pekerjaan KRT penerima pendapatan profesional tenaga penjualan tenaga jasa tenaga kasar/produks i lainnya Banyak art 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Probabilitas menjadi miskin

1.2 1.0 .8 .6 .4 .2 0.0 Pekerjaan KRT penerima pendapatan profesional tenaga penjualan tenaga jasa tenaga kasar/produks i lainnya

67

Gambar 4.4-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Jenis Pekerjaan KRT di RW Kumuh 2004

Pada Gambar 4.4-1 – 4.4-3 dapat dilihat bahwa rumahtangga dengan KRT penerima pendapatan mempunyai peluang menjadi miskin yang lebih rendah dibandingkan dengan rumahtangga yang bekerja. Diduga kepala keluarga yang tidak bekerja ini dibantu oleh anggota rumahtangga lainnya yang bekerja ataupun mereka mempunyai penghasilan dari dana hari tua (tunjangan pensiun) ataupun penerima deviden (keuntungan perusahaan).

KRT yang bekeja tidak semua bekerja sesuai dengan jam kerja normal. Ukuran jam kerja normal akan berbeda di setiap negara, dan di Indonesia mengacu pada 35 jam per minggu. Pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (< 35 jam per minggu) dan sedang mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan tambahan dinamakan sebagai setengah pengangguran atau sering dikenal dengan nama pengangguran terselubung (Hussmanns, Mehran, dan Verman, 1990). Salah satu indikasi fenomena setengah penganggur ini adalah rendahnya tingkat pendapatan yang diterima oleh mereka, sehingga mereka harus mencari pekerjaan tambahan untuk menunjang kehidupan mereka.

Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa peubah setengah penganggur (d_under) di DKI Jakarta cukup kuat dalam memprediksi peluang rumahtangga menjadi miskin. Yang menjadi pembanding dalam peubah ini adalah KRT bukan setengah penganggur. Nilai odds ratio dari peubah ini adalah 2,039 yang artinya

Banyak art 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Probabilitas menjadi miskin

1.0 .8 .6 .4 .2 0.0 Jenis Pekerjaan KRT penerima pendapatan profesional tenaga penjualan tenaga jasa pekerja kasar/produk si lainnya

adalah rumahtangga yang mempunyai KRT setengah penganggur mempunyai peluang menjadi miskin 2 kali lebih besar dari yang bukan setengah penganggur. Pengaruh peubah d_under di RW kumuh sangat nyata dengan nilai odds ration sebesar 2,779 artinya KRT setengah penganggur mempunyai resiko menjadi miskin 2,8 lebih besar dibandingkan dengan yang bukan penganggur. Sedangkan di RW kumuh, peubah d_under tidak berpengauh nyata terhadap resiko kemiskinan. Artinya baik yang setengah penganggur maupun yang bukan setetngah penganggur mempunyai peluang yang hampir sama menjadi miskin, kondisi ini terlihat dengan jelas pada Gambar 4.5-3.

Hasil analisis tentang faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Lampung oleh Irawan (2004) menunjukkan bahwa KRT setengah penganggur dapat memprediksi status kemiskinan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan KRT penganggur. Peluang rumahtangga menjadi miskin yang dikaitkan dengan status kerja KRT disajikan pada Gambar 4.5-1, 4.5-2, dan 4.5-3 dengan asumsi bahwa KRT perempuan, KRT berpendidikan tidak tamat SD, KRT bekerja sebagai tenaga usaha jasa, KRT berusia muda, luas lantai perkapita lebih dari 8 m2, mempunyai akses terhadap jamban, mempunyai akses terhadap air bersih, berlantai bukan tanah, bukan rumah sendiri, dan untuk peubah kontinu digunakan nilai rata-rata.

Gambar 4.5-1 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT Di DKI Jakarta 2004 Banyak art 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

Probabilitas menjadi miskin

1.0 .8 .6 .4 .2 0.0 Status Pekerjaan KRT penerima pendapatan setengah penganggura n

bukan setengah penga ngguran

69

Gambar 4.5-2 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT di RW Tidak Kumuh 2004

Gambar 4.5-3 Probabilitas Menjadi Miskin Dan Status Kerja KRT di RW Kumuh 2004

Dalam publiksi Bank Dunia, PRSP Sourcebook yang diacu dalam Irawan (2003) menyebutkan bahwa faktor penyebab kemiskinan perkotaan berdimensi tingkat pendapatan rendah yang berkaitan dengan kebijakan publik adalah (1) krisis ekonomi makro cenderung menurunkan pendapatan riil, (2) kegagalan fasilitas dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan transportasi