• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Terkait Dengan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta

DAFTAR LAMPIRAN

V. PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DKI JAKARTA 5.1 Program Penangulangan Kemiskinan Yang Telah Dilakukan

5.2. Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Terkait Dengan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta

Penanggulangan kemiskinan akan membuahkan hasil yang baik apabila kegiatannya terkait dengan faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Pada bab sebelumnya telah terungkap beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemiskinan rumahtangga di DKI Jakarta secara nyata yaitu jumlah anggota rumahtangga, jenis kelamin kepala rumahtangga (KRT), tingkat pendidikan KRT,

jenis pekerjaan KRT, proporsi anggota rumahtangga usia tanggungan (< 15 tahun dan > 64 tahun), proporsi anggota rumahtangga yang bekerja, proporsi pengeluaran terhadap makanan, dan proporsi pengeluaran terhadap bbm. Sedangkan faktor- faktor lain yang menjadi prediktor dari kemiskinan suatu rumahtangga adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, akses terhdapa jamban dan status kepemilikan rumah.

Agar program yang dilakukan tepat sasaran, maka diperlukan kartu ”multi

purpose” yaitu kartu bagi rumahtangga miskin yang dapat digunakan untuk

berbagai keperluan. Dengan kartu ini, maka rumahtangga miskin dapat mengakse berbagai program penanggulangan kemiskinan.

a. Jumlah anggota rumahtangga

Jumlah anggota rumahtangga terkait dengan tingkat kelahiran yang tinggi, seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa jumlah anak yang besar dipandang sebagai investasi karena mereka akan menjadi sumberdaya rumahtangga dalam mendapatkan pekerjaan. Sumberdaya yang ada apabila tidak dilengkapi dengan pendidikan yang memadai akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Jumlah anggota rumahtangga yang besar akan meningkatkan resiko kemiskinan apabila sebagian besar dari mereka tidak bekerja. Program pemerintah yang terkait dengan hal ini adalah peningkatan kesadaran masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi sehingga jumlah kelahiran dapat dibatasi.

Kendala utama bagi rumahtangga miskin untuk menjadi akseptor KB adalah masalah pengetahuan dan biaya. Rendahnya tingkat pendidikan KRT maupun istrinya menyebabkan mereka kurang mengetahui manfaat dari keikutsertaan menjadi akseptor KB. Oleh karena itu penyuluhan tentang manfaat dari penggunaan alat kontrasepsi perlu untuk tetap digalakkan terutama bagi rumahtangga miskin. Untuk masalah pembiayaan, pemberian alat kontrasepsi gratis bagi rumahtangga miskin perlu dilakukan. Akan lebih baik apabila kader posyandu melakukan kegiatan dengan cara “jemput bola” yaitu mendatangi rumahtangga miskin yang mempunyai pasangan usia subur. Apabila rumahtangga tersebut tidak dapat membeli alat kontrasepsi, maka mereka dapat memperolehnya dengan gratis. Penyuluhan tentang KB dan pemberian alat kontrasepsi gratis ini

111

dilakukan baik di RW kumuh maupun tidak kumuh, karena di kedua lokasi tersebut peubah besaran rumahtangga mempengaruhi kemiskinan secara nyata. b. Jenis kelamin KRT.

Secara umum jenis kelamin KRT mempengaruhi resiko kemiskinan rumahtangga, namun di RW kumuh peubah ini menjadi tidak nyata pengaruhnya. Dengan demikian sasaran utama dari program penganggulangan kemiskinan di RW kumuh tidak dibedakan antara rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan maupun oleh laki- laki, namun di RW tidak kumuh diharapkan agar sasaran dari program adalah rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan. Di samping itu bermanfaat pula untuk dikaji lebih lanjut mengapa di RW kumuh tidak ada perbedaan resiko kemiskinan tersebut.

c. Tingkat pendidikan KRT

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan KRT maka semakin rendah risiko rumahtangga menjadi miskin. Pendidikan yang diperoleh KRT sudah tetap sehingga sulit untuk meningkatkan pendidikan mereka secara formal. Namun peubah ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi peluang kemiskinan, oleh karena itu pemberian pendidikan yang layak bagi anak-anak dari rumahtangga miskin sangat diperlukan agar me reka dapat keluar dari jerat kemiskinan. Sedangkan untuk KRT dapat diberikan tambahan pengetahuan informal melalui penyuluhan maupun kursus- kursus yang diadakan secara gratis.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta baik berupa in kind transfer seperti pembebasan biaya sekolah bagi siswa tidak mampu maupun cash transfer seperti pemberian bantuan khusus murid berupa beasiswa. Sekolah gratis bagi anak kurang mampu tidak hanya diberikan sampai tingkat SD karena di RW tidak kumuh tidak ada perbedaan nyata antara peluang tidak tamat SD dengan lulusan SMP untuk menjadi miskin. Sebaiknya pemberian sekolah gratis bagi anak tidak mampu diberikan hingga tingkat SMP, hal ini dapat dilakukan apabila dana pendidikan dapat ditingkatkan hingga mencari 20 persen dari APBD.

Di samping itu penyelenggaraan sekolah-sekolah persamaan untuk tingkat SMA perlu ditingkatkan. Hal ini untuk menampung anak-anak dari rumahtangga miskin yang tidak dapat melanjutkan ke SMA formal.

Pendidikan tidak hanya bersifat formal tetapi juga non formal. Pendidikan non formal seperti keterampilan bahasa maupun keterampilan teknis dapat meningkatkan daya saing penduduk yang tidak dilengkapi pendidikan yang tinggi. d. Jenis pekerjaan

Di RW kumuh jenis pekerjaan tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga, hal ini dikarenakan pendapatan yang diterima dari berbagai jenis pekerjaan ini rendah sehingga mereka harus tinggal di lingkungan kumuh. Sedangkan di RW tidak kumuh rumahtangga yang dikepalai oleh seseorang yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa mempunyai peluang menjadi miskin paling tinggi. Usaha jasa yang dilakukan biasa sebagai buruh cuci, pembantu rumahtangga dan lain sebagainya. Mereka tidak mempunyai keahlian sehingga hanya dapat menawarkan jasa tenaga mereka sendiri untuk memperoleh pekerjaan.

Pemberian pembimbingan keterampilan bagi penduduk miskin sangat dibutuhkan sehingga untuk memperoleh pekerjaan mereka dapat memberikan alternatif lain selain dari tenaga mereka sendiri. Keterampilan seperti menjahit, membuat kerajinan tangan, memasak dan lain sebagainya sangat dibutuhkan oleh penduduk miskin. Pemberian bimbingan ini menjadi tidak terlalu berarti apabila tidak disertai dengan pemberian modal dan bantuan pemasaran.

Pemberian bantuan modal usaha ya ng telah dilaksanakan melalui PPMK memerlukan beberapa perbaikan. Apabila selama ini sering terjadi keluhan dalam penentuan penerima bantuan oleh aparat kelurahan atau dewan kelurahan, maka penyaluran dana dapat melalui kelembagaan lokal lainnya yang ada di masyarakat dan mendapat kepercayaan masyarakat. Tugas lembaga yang menyalurkan dana bantuan ini selain menentukan penerima bantuan juga mengawasi secara terus menerus penggunaan dana bantuan oleh rumahtangga. Bantuan tersebut harus digunakan untuk kegiatan usaha rumahtangga bukan untuk kegiatan konsumtif, sehingga diharapkan macetnya pengembalian dana dapat dikurangi. Pemerintah

113

Thailand telah menerapkan cara ini dalam penyaluran bantuan modal bagi rumahtangga miskin.

e. Proporsi anggota rumahtangga yang bekerja

Penyediaan lapangan pekerjaan menjadi masalah utama bagi Pemprov DKI Jakarta. Masalah ini terkait dengan laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Pemprov DKI Jakarta dapat mengadopsi strategi Pemerintah Malaysia dalam pengurangan kemiskinan yang terkait dengan lapangan pekerjaan yaitu meningkatkan pendapatan dan produktivitas pada pekerjaan yang berproduktivitas rendah melalui perluasan modal produktif dan penggunaan modal secara efisien. Hal ini dicapai dengan cara mengadopsi teknik modern, memperbaiki pemasaran dan kredit, keuangan dan bantuan teknis. Pemberian modal harus seletif dan modal disalurkan oleh kelembagaan lokal yang dipercaya oleh masyarakat. Rumahtangga miskin yang memiliki kartu “multi purpose” diutamakan untuk mendapat bantuan modal.

f Proporsi anggota rumahtangga usia tanggungan (< 15 tahun dan > 64 tahun). Proporsi anggota rumahtangga di bawah usia 15 tahun yang cukup tinggi menandakan tingginya angka kelahiran. Untuk mengurangi proporsi anak-anak pada rumahtangga miskin maka keterlibatan pasangan usia subur dalam program KB sangat dibutuhkan.

g Proposi pengeluaran terhadap makanan

Seperti yang telah disebutkan dibagian terdahulu bahwa proporsi pengeluaran makanan untuk rumahtangga miskin lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang non makanan. Bagi rumahtangga miskin, dengan pendapatan yang terbatas, pemenuhan kebutuhan dasar lebih diutamakan.

Penyaluran beras murah merupakan salah satu cara untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk makanan. Penyaluran sebaiknya dilakukan oleh suatu kelembagaan lokal yang dipercaya masyarakat setempat. Di samping beras, penyaluran sembako murah sangat dibutuhkan pula oleh rumahtangga miskin. Rumahtangga miskin akan dapat menerima sembako murah apabila rumahtangga tersebut memiliki kartu sebagai tanda rumahtangga miskin.

h Kondisi tempat tinggal

Kondisi tempat tinggal seperti luas luas lantai per kapita, jenis lantai, akses terhadap jamban dan status kepemilikan rumah dapat dijadikan prediktor kemiskinan rumahtangga. Tinggal di bangunan yang tidak layak huni dapat menyebabkan menurunnya derajat kesehatan bagi penghuninya.

Upaya perbaikan tempat tinggal telah dilaksanakan oleh pemerintah, salah satunya adalah dengan pemasangan keramik untuk lantai rumah. Di samping itu dibangun pula jamban-jamban umum bagi masyarakat yang tidak mampu.

Kepemilikan tempat tinggal menjadi kendala pula bagi rumahtangga miskin khususnya di RW kumuh. Kepemilikan rumah susun bagi rumahtangga miskin harus diutamakan. Pemberian kredit ya ng ringan sangat membantu mereka untuk memiliki rumah yang layak huni, sehingga mereka dapat hidup lebih sehat.

5.3. Ikhtisar

Pemprov DKI Jakarta telah melaksanakan berbagai program penganggulangan kemiskinan. Kegiatan tersebut dikoordinasikan oleh Komite Penanggulangan kemiskinan yang dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur. Pada tahun 2004, dana yang disalurkan untuk penanggulangan kemiskinan sebesar 884 milyar rupiah dengan alokasi dana tersebut ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat. Bidang lain yang mendapat perhatian adalah bidang pendidikan dan kesehatan yang masing- masing mendapat alokasi dana sebesar 268 milyar dan 208 milyar rupiah.

Berbagai kegiatan penanggulangan kemiskinan sudah mencoba untuk menyentuh faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Di samping program- program yang sudah ada perlu pula dilaksanakan program-program tambahan. Dalam bidang pendidikan telah dilakukan program pemberian beasiswa bagi murid tidak mampu juga dilakukan sekolah gratis bagi murid tidak mampu pada tingkat SD. Pendidikan sangat penting untuk menghidarkan diri dari kemiskinan karenanya pemberian sekolah gratis bagi murid tidak mampu bukan hanya pada tingkat SD tetapi juga sampai tingkat SMA. Apabila pemerintah sulit untuk melakukan pemberian sekolah formal secara gratis hingga tingkat SMA maka sebaiknya diadakan sekolah-sekolah terbuka setingkat SMA agar masyarakat yang

115

tidak dapat melanjutkan ke SMA formal tetap dapat memperoleh pendidikan. Pemberian pendidikan non formal merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas masyarakat miskin sehingga mereka mampu bersaing dalam memperoleh pekerjaan.

Pemberian dana bergulir bagi rumahtangga miskin sudah dilaksanakan melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK), namun pelaksanaannya perlu mengalami perbaikan. Mengadopsi cara pelaksanaan di Thailand merupakan salah satu cara terbaik. Penyaluran dana bantuan tidak dilakukan oleh aparat setempat melainkan oleh suatu kelembagaan lokal yang dipercaya oleh masyarakat. Kelembagaan tersebut tidak hanya menyalurkan dana tetapi juga memantau penggunaan dana sehingga tidak ada penyalahgunaan dana oleh rumahtangga.

Untuk penyediaan lapangan pekerjaan, Pemprov DKI Jakarta dapat mengadopsi cara Pemerintah Malaysia yaitu dengan meningkatkan pendapatan dan produktivitas pada pekerjaan yang berproduktivitas rendah melalui perluasan modal produktif dan penggunaan modal secara efisien. Hal ini dicapai dengan cara mengadopsi teknik modern, memperbaiki pemasaran dan kredit, keuangan dan bantuan teknis.

Dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan perlu pula dikaitkan dengan lokasi. RW kumuh dan RW tidak kumuh mendapatkan perlakukan yang berbeda penanganannya. Salah satu contoh adalah tidak adanya perbedaan jender di RW kumuh namun di RW tidak kumuh perlu lebih diarahkan pada rumahtangga miskin yang dikepalai oleh perempuan.

(1). Insiden kemiskinan di DKI Jakarta selama tahun 2000-2004 mengalami fluktuasi. Dua tahun setelah krisis ekonomi angka kemiskinan di DKI Jakarta masih tinggi yaitu 4,9 persen. Adanya berbagai program pengentasan kemiskinan seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) dapat menurunkan angka kemiskinan menjadi 2,9 persen pada tahun 2003. Namun tahun berikutnya angka kemiskinan meningkat kembali menjadi 3,42 persen, angka ini masih tidak berubah pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 sedikit mengalami penurunan menjadi 3,18 persen. Angka kemiskinan ini diukur dengan unit analisis penduduk miskin.

(2). Berdasarkan lokasi tempat tinggal dapat dilihat bahwa angka kemiskinan di RW kumuh lebih tinggi dibandingkan dengan di RW tidak kumuh yaitu 4,52 persen berbanding 2,48 persen. Hal ini karena lebih dari 35 persen kepala rumahtangga yang bekerja di RW kumuh bekerja sebagai tenaga produksi, operator atau pekerja kasar. Dilihat dari distribusi penduduk miskin, maka sekitar 54 persen penduduk miskin tinggal di RW tidak kumuh dan sisanya tinggal di RW kumuh. Hal ini terkait dengan distribusi penduduk antara RW kumuh dan tidak kumuh.

(3). Berdasarkan karakteristiknya maka angka kemiskinan tertinggi terjadi pada rumahtangga dengan kepala rumahtangga wanita, besaran anggota rumahtangga lebih besar dari 6 orang, kepala rumahtangga berpedidikan paling tinggi SD, kepala rumahtangga bekerja di sektor jasa dan sektor informal. Rumahtangga miskin sebagian besar tinggal di rumah berluas lantai kurang dari 8 m2, berlantai tanah dan tidak punya akses terhadap jamban.

(4). Indeks kedalaman kemiskinan di RW tidak kumuh lebih rendah dibandingkan dengan yang di RW kumuh 0,41 berbanding 0,53. Jarak rata- rata kesenjangan pengeluaran rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan di RW kumuh tercatat sebesar 0,53 persen. Sedangkan indeks

117

keparahan kemiskikan di RW kumuh maupun RW tidak kumuh relatif sama yaitu sekitar 0,10 persen. Artinya rumahtangga miskin di RW kumuh dan RW tidak kumuh mempunyai sensitivitas yang sama dalam merespon perubahan pengeluaran rumahtangga miskin.

(5). Di RW kumuh distribusi pendapatan lebih merata dibandingkan dengan di RW tidak kumuh baik diukur dari kemiskinan relatif, Gini rasio maupun distribusi pendapatan menurut ukuran Bank Dunia. Distribusi pendapatan yang relatif merata ini di RW kumuh menunjukkan bahwa di RW kumuh terjadi “pemerataan dalam kemiskinan”.

(6). Hasil regresi logistik mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan mempergunakan peubah-peubah yang sama menunjukkan bahwa adanya perbedaan pengaruh dari beberapa peubah pada masing- masing lokasi (DKI Jakarta secara umum, RW tidak kumuh dan RW kumuh). Peubah-peubah yang berpengaruh nyata secara positif terhadap kemiskinan baik di DKI Jakara secara keseluruhan, RW tidak kumuh maupun RW kumuh adalah besaran anggota rumahtangga (ART), proporsi ART usia <15 dan 64 tahun ke atas, proporsi pengeluaran untuk BBM, proporsi pengeluaran untuk makanan, dan luas lantai perkapita < 8m2. (7) Peubah-peubah yang berpengaruh nyata secara negatif terhadap kemiskinan

di seluruh lokasi adalah jenis pekerjaan KRT sebagai tenaga penjualan, sebagai penerima pendapatan, pendidikan KRT SMTA ke atas, dan proporsi ART yang bekerja.

(8) Peubah-peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan di seluruh lokasi adalah pendidikan KRT SD, umur KRT pada usia mapan, jenis pekerjaan KRT adalah lainnya, dan akses terhadap air.

(10). Salah satu program yang dilakanakan dalam penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta adalah Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan yang menyerap dana cukup besar. Penanggulangan kemiskinan untuk pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas utama sehingga alokasi dana pada dua bianga tersebut cukup besar.

(11). Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta sudah cukup baik, namun masih terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan data Susenas 2004 terjadi penyimpangan pelaksanaan penyaluran beras miskin maupun penyaluran kredit karena penerima beras raskin dan kredit usaha tersebut sebagian besar adalah rumahtangga tidak miskin. Ada indikasi bahwa penyimpangan tersebut terjadi pada tingkat kelurahan hingga tingkat RT dimana sebagaian penerima program tersebut masih mempunyai kaitan keluarga dengan aparat setempat.

6.2. Saran

(1) Dalam menyusun kebijakan pengentasan kemiskinan Pemprov DKI Jakarta sebaiknya tidak terfokus pada RW kumuh saja walaupun kemiskinan banyak terjadi di lingkungan tersebut karena secara absolut penduduk miskin lebih banyak tinggal di RW tidak kumuh

(2) Pengalokasian dana pengentasan kemiskinan pada masing- masing lokasi sebaiknya didasarkan pada rasio kedalaman kemiskinan terhadap angka kemiskinan, sehingga alokasi dana dapat sesuai dengan kondisi di masing- masing lokasi.

(3) Rumahtangga yang menjadi target dari pengentasan kemiskinan dapat ditetapkan berdasarkan karakteristik yang spesifik dari rumahtangga miskin, salah satu contohnya adalah rumahtangga yang tinggal di rumah sempit dengan jumlah anggota rumahtangga yang banyak

(4) Penyusunan program pengentasan kemiskinan harus menyentuh pada faktor- faktor yang mempengaruhi dan terkait dengan kemiskinan. Sebaiknya untuk beberapa faktor dapat diperlakukan khusus untuk masing- masing lokasi karena faktor- faktor tersebut memberikan pengaruh yang berbeda pada lokasi kumuh dan tidak kumuh. Salah satu contohnya adalah dengan lebih mengutamakan rumahtangga yang dikepalai oleh perempuan, namun di RW kumuh hal tersebut tidak perlu dilakukan.

119

(5) Adanya revisi terhadap kriteria kemiskinan di DKI Jakarta yaitu dengan mengeluarkan akses terhadap air bersih dari kriteria kemiskinan karena air bersih tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga.

(6) Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan perlu diperbaiki sehingga kendala-kendala yang dihadapi dapat dikurangi. Sebaiknya dalam pelaksanaannya melibatkan kelembagaan lokal. Di beberapa negara yang berhasil dalam program pengentasan kemiskinan, keterlibatan kelembagaan lokal telah dapat membantu pelaksanaan program sehingga mengurangi penyimpangan.

Kaitan saran-saran tersebut dengan permasalahan, tujuan, pembahasan, dan kesimpulan dari penelitian ini secara ringkas dapat dilihat pada Tabel lampiran 1.

Abhayaratne A. 2004. Poverty Reduction Strategies in Malaysia 1970-2000: Some Lessons. http://www.cassey.com/FEA2004-14.pdf [30 Agt 2005] Ajakaiye DO, Adeyeye VA. 2002. Concepts, Measurement, and Causes of

Poverty. www.cenbank.org/OUT/PUBLICATIONS/ EFR/RD/2002/

EFRVOL39-4-5.PDF [14 Mar 2005]

Amis Philip. Urban Poverty in East Africa; a comparative analysis of the

trajectories of Nairobi and Kampala. www.chronicpoverty.org/

pdfs/PhiAmis.pdf [7 Mar 2005]

Anynomous. 1996. Chapter 5: Gender, Informality and Poverty. http://www.wiego.org/papers/seth5.doc [20 Juli 2005]

Appleton S. 2001. Education, Incomes and Poverty in Uganda in The 1990s. Credit Research Paper No. 01/22. www.nottingham.ac.uk/economics/ credit/research/papers/CP.01.22.pdf [18 Juli 2005]

Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi DKI Jakarta. Peraturan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi DKI Jakarta Nomor 439/2005 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) di Provinsi DKI Jakarta. 2005.

Badan Pusat Statistik . 2002. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002 Buku 2: Kabupaten. Jakarta. BPS. 2002.

_________________ . 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003 Buku 2: Kabupaten. . Jakarta. BPS. 2003.

_________________ . 2004. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004 Buku 2: Kabupaten. . Jakarta. BPS. 2003.

_________________ . , Susanto, A, editor. 1999. Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999: Metode BPS.. Jakarta. BPS. 1999.

Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. 2004. Keadaan Angkatan Kerja DKI Jakarta. Jakarta. BPS DKI Jakarta. 2004.

Bane R, Rawal A. 2002. Slums – A Case Study of Anan City. Indian Cartographer: 314-317.

Couduel A, Jesko SH, Quentin TW. 2001. Poverty Measurement And Analysis. http://poverty.worldbank.org/files/5467_chap1.pdf [2 Mar 2005]

Cuna, L. 2004. Assessing Household Vulnerability to Employment Shocks: A

Stimulation Methodology Applied to Bosnia and Herzegovina.

www.dse.unibo.it/wp/528.pdf . [14 Mar 2005]

Desiar R. 2004. Dampak Migrasi Terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2004.

121

Economic And Social Commission For Asia And The Pacific. 2005. Key Developments And Activ ities At The Regional Level : Poverty Reduction. http://www.unescap.org/61/English/E1334e.pdf [30 Agt 2005]

Friedmann J. 1993. Empowerment the politics of Alternative Development. Blacwell. Cambrige.

Ghazouani S, Goaied M. 2001. The Determinants of Urban and Rural Poverty in Tunisia. www.erf.org.eg/html/Goaied_Ghazouani.pdf[14 Mar 2005]

Garza-rodiguez, J. 2002. The Determinants Poverty of Mexico

www.gdnet.org/pdf/2002AwardsMedalsWinners/

GrowthInequalityPoverty/Jorge_garza_rodriguez_paper.pdf [14 Mar 2005] Hu A,Hu L, Chang Z. 2003. China’s economic growth and poverty reduction

(1978-2002). www.imf.org/external/np/apd/seminars/2003/ newdelhi /angang.pdf - [2 Sept 2005]

Hussmanns R, Mehran F, Verma V. 1990. Survey of economically active population, employment, unemployment and underemployment: An ILO manual on concepts and methods. Geneva. International Labor Organization. 1990.

Irawan P, Suhaimi U. 1999. Cricis, Poverty and Human Development in

Indonesia 1998. Syafiudin L, Sutanto A dan Imawan W, editor. BPS.

Jakarta.1999. hlm 41-42.

Irawan P B. 2003. Kemiskinan Perkotaan: Dimensi, Permasalahan dan Alternatif Kebijakan. Warta Demografi Tahun 33 No. 4 2003.

Irawan PB. 2005. Analisis Faktor- faktor Penyebab Kemiskinan Suatu Pendekatan Kuantitatif. Modul dalam Pelatihan Dasar-dasar Analisis dan Diagnosis Kemiskinan di Indonesia. Jakarta, 9-13 Mei 2005.

Isard W. 1975. Introduction to Regional Sceice. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs NJ. 1975

Kamuzora CL, Mkanta W. 1999. Poverty And Family Size In Tanzania. Policy Brief No. 00.4. http://www.repoa.or.tz/publications/reports/RR%2000_4.htm [20 Juli 2005]

Kasliwal P. 1995. Development Economics. Cincinati. South-Western Publishing. 1995.

Komite Penanggulangan Kemiskikan Propinsi DKI Jakarta. 2004. Laporan Program dan Kegiatan Komite Penanggulangan Kemiskinan Propinsi DKI Jakarta tahun 2004 dan Rencana Program tahun 2005. Jakarta. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. 2004.

Lanjouw P , RavallionM. 1994. Poverty and Household Size. The World Bank Policy Research Working Paper. 11332.

Litchfield JA. 1999. Inequality: Methods and Tools. http://www1.worldbank.org/ prem/poverty/inequal/methods/litchfie.pdf [1 Mar 2005]

Long AS. 1999. Country Paper on Poverty Measurement The Case of Singapore. http://www.unescap.org/stat/meet/povstat/pov7_sig.pdf. [19 Apr 2005]

Milar J, Gardiner K. 2004. Low Pay, Household Resources and Poverty. http://www.jrf.org.uk/knowledge/findings/socialpolicy/pdf/n64.pdf. [20 Juli 2005]

Morris S, Sutton S, Gravelle H, 2003. Inequity and inequality in the use of health care in England: an empirical investigation. CHE Technical Paper Series 27 University of York.

Nachrowi DJ, Usman H. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrik. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002.

Osinubi TS. 2003. Urban Poverty In Nigeria : A Case Study Of Agege Area of Lagos State, Nigeria. www.gdnet.org/fulltext/osinubi.pdf [7 Mar 2005]

Oktaviani R, Hakim DB, Siregar H, Sahara. 2004. The Impact of Fiscal Policy on Indonesian Macroeconomic Performance, Agricultural Sector and Poverty