• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.6. Faktor-faktor Pendukung Kegiatan Pemberdayaan

Keberhasilan suatu program pemberdayaan yang dilakukan oleh sebuah komunitas atau kelompok tentunya tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung program-program pemberdayaan tersebut. Hal ini tentunya tidak terlepas dari faktor sosial maupun eknomi mayarakat yang pada suatu kelompok masyarakat yang diberdayakan. Berikut merupakan faktor sosial maupun faktor ekonomi yang mendukung keberhasilan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh komunitas SPI Desa Marindal II.

4.6.1. Faktor Sosial

Masyarakat Desa Marindal II merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang suku, agama, dan berbagai golongan yang berbeda. Namun hal tersebut bukan menjadi faktor yang dapat menimbulkan suatu masalah disintegrasi di desa tersebut. perbedaan antara penduduk asli dengan penduduk

pendatang juga tidak terlihat. Pembauran terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Sebanyak 83.29% masyarakat yang tinggal di Desa Marindal II merupakan suku jawa, dan sebanyak 89.22% penduduknya menganut agama islam. Selain itu, masyarakat Desa Marindal II juga memiliki rasa persaudaraan dan semangat gotong royong yang kuat. Tentunya persamaan identitas inilah yang menjadi salah satu modal sosial yang mendukung kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh komunitas SPI.

Meskipun para anggota komunitas SPI terdiri dari berbagai latar belakang suku, agama, profesi, dan sebagainya. Namun hal tersebut tidak menjadi suatu penghalang bagi komunitas SPI untuk mempersatukan visi dan misi mereka, demi kemajuan perempuan di sektor publik. Keberhasilan program pemberdayaan yang dilakukan oleh komunitas SPI tidak terlepas dari kesadaran dalam diri para anggotanya sehingga mereka merasa termotivasi untuk dapat berperan dalam melakukan perubahan. Hasil wawancara dengan Ibu Tatik sebagai berikut :

“Kami sadar kalau perempuan itu juga mesti bisa berubah. Jadi jangan cuma laki-laki aja yang boleh maju, kami perempuan ini ya juga boleh lah” (Hasil wawancara tanggal 12 Juli 2012).

Sama halnya dengan yang dikatakan Ibu Raminiyanti sebagai berikut :

“Ada pepatah bilang, dulu begini tidak apa-apa, sekarang begini juga tidak apa-apa, Kalau gitu ya kapan mau majunya. Makanya disini kami perempuan-perempuan ini merubah kehidupan kami dan orang-orang yang ada disekeliling kami yang begini-begini aja” (Hasil wawancara tanggal 12 Juli 2012).

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ibu Wirda sebagai berikut :

“Kami disini tidak mau memberikan karya kata tapi lebih memberikan karya nyata. Buat kami ngomong gak penting tapi yang penting itu tindakan nyata” (Hasil wawancara tanggal 21 Juni 2012).

Selain itu, keberhasilan program pemberdayaan tidak terlepas dari kerjasama dan rasa solidaritas yang terbangun di antara para anggotanya, sehingga rasa kepercayaan (trust) yang terbentuk semakin kuat. Hal ini menjadikan program-program yang dijalankan semakin mudah dan mampu memberdayakan kehidupan sosial ekonomi para anggotanya. Hasil wawancara dengan ibu Hanisah sebagai berikut :

“Apa yang telah kami lakukan selama ini gak lebih karna kekompakan dan kerjasama antar anggota. Selain itu kami masing-masing anggota ini uda saling mengerti kebutuhan satu sama lain” (Hasil wawancara tanggal 9 Juli 2012).

Sama halnya dengan pernyataan ibu Sri Dewi Mariati sebagai berikut :

“Program pemberdayaan SPI pada anggotanya ini ya nggak terlepas dari kerjasama dan solidaritas antar anggotanya. Karna kalau kami nggak kompak ya gak bisa menjalankan program sesuai rencana”(Hasil wawancara 16 Juli 2012).

Selain itu juga dukungan dari pemerintah desa dan keluarga para anggota komunitas SPI juga turut menjadi mendorong keberhasilan para anggotanya dalam melakukan perubahan di dalam kehidupan sosialnya melalui program- program yang dilakukan. Dukungan tersebut biasanya berasal dari keluarga terdekat baik orang tua maupun suami. Dalam hal ini dukungan yang diberikan suami kepada para istri biasanya dalam bentuk memberikan ijin melakukan kegiatan di organisasi, membantu pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dirumah, dan sebagainya. Hasil wawancara dengan Bapak Ngadi sebagai berikut :

“Menurut saya urusan rumah tangga itu sebetulnya uda jadi tanggung jawab suami istri lah. Jadi, antara suami istri kewajibannya itu sama. Kalau saya pribadi ya, pas istri saya sedang ada kegiatan di organisasinya ya saya yang ngerjakan kerjaan rumah. Ya seperti mencuci piring, masak nasi, menyetrika itu, dan itu uda biasa saya lakukan”(Hasil wawancara 14 Juli 2012).

Sama halnya dengan pernyataan Bapak Suariono sebagai berikut :

“Kalo untuk masak kita kan bisa kita masak sendiri, apalagi kalo istri da keburu dia mau berangkat waktunya terbentur, kalo memang dia mau berangkat ya berangkat aja saya ijinkan. Iyalah kadang-kadang kita bantu nyapu, ngepel, ngerebus aer, nyuci piring ya apapun yang bisa dibantu ya dibantu. Intinya kerjaan sehari-hari dirumah kita bantu” (Hasil wawancara tanggal 9 Juli 2012).

Sama halnya juga dengan pernyataan Bapak M.Efendi senagai berikut :

“Saya ijinkan, asal jangan neko-neko, saya bantu perkerjaan rumah Nabi aja mau membantu pekerjaan istrinya masa kita sebagai umatnya gak mau. Jadi bukan mentang-mentang saya kepala keluarga saya jadi suka- suka. Yang penting jangan nginap karna anak kami masih kecil” (Hasil wawancara tanggal 27 Juni 2012)

Disisi lain, keberhasilan program pemberdayaan ini pada hakikatnya tidak terlepas dari pemanfaatan budaya lokal yang dijadikan oleh komunitas SPI sebagai masuk ke dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Sehingga proses pemberdayaan yang berlangsung dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu pola jaringan yang telah dibangun selama ini dengan lembaga formal maupun non formal juga memberikan suatu kontribusi yang nyata. Sehingga kesadaran dan rasa solidaritas yang telah terbentuk pada para perempuan dalam komunitas tersebut dapat bersinergi dengan pola jaringan yang terbentuk. Menurut Mosse (2007 :265) bahwa ketika perempuan membentuk jaringan kerja, dan kelompok- kelompok kecil saling berhubungan dan bekerja sama, upaya individu-individu menjadi suatu gerakan. Dengan adanya bekal pengalaman dan keyakinan diri dalam gerakan ini, kaum perempuan siap untuk fase pendakian lainnya, fase mempengaruhi kebijakan umum, khususnya dalam wilayah yang mempengaruhi kebutuhan gender perempuan. Selain itu, pola dukungan yang diberikan oleh para suami juga memiliki sebuah kontribusi positif dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh komunitas SPI.

4.6.2. Faktor Ekonomi

Masyarakat Desa Marindal II merupakan masyarakat yang memiliki tingkat kesejahteraan yang masih minim. Mayoritas penduduk Desa Marindal II berprofesi petani sebanyak 39,01% dan pekerja bangunan sebanyak 24,41%. Hal ini dikarenakan minimnya pendidikan formal yang mereka miliki juga menyebabkan mereka memiliki mata pencaharian sesuai dengan batas kemampuan yang mereka miliki saja. Namun seiring dengan berkurangnya lahan pertanian di wilayah pedesaan mengakibatkan penduduk yang berprofesi sebagai petani harus mencari alternatif pekerjaan lain, bahkan mengakibatkan munculnya pengangguran. Dalam perkembangannya, komunitas SPI yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga ini memiliki kesamaan kebutuhan ekonomi dan mata pencaharian. Hal ini dikarenakan penghasilan yang diberikan oleh para suami tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Selain itu, sebagian dari para anggota komunitas SPI berstatus sebagai janda yang memiliki banyak tanggungan. Sehingga dalam hal ini mereka sangat membutuhkan peningkatan kehidupan ekonomi keluarga. Hal ini yang memberikan suatu dorongan bagi para perempuan untuk memiliki sumber penghasilan sehingga tidak bergantung hanya pada suami mereka. Hasil wawancara dengan Ibu Rusmiati sebagai berikut :

“Kalau saya pribadi, kalau satu orang aja yang kerja, itu nggak bakal cukup. Karna kebutuhan kita banyak dek. Jadi kami ibuk-ibuk SPI ini butuh penghasilan buat menutupi kekurangannya. Makanya kami ikut program-program SPI ini supaya bisa mandiri” (Hasil wawancara 22 Juni 2012).

Hal ini didukung oleh pernyataan Ibu Satini sebagai berikut :

“Saya ini cuma tamatan SD, kerja pun cuma bisa jadi tukang cuci. suami saya penghasilannya pas-pasan. Kebetulan saya liat SPI ini banyak

bisa punya penghasilan dari ilmu yang didapat otomatis kami mau lah” (Hasil wawancara 22 Juni 2012).

Kesadaran akan kebutuhan ekonomi yang kompleks ini menimbulkan suatu keinginan bagi para perempuan untuk melakukan perubahan dalam hidupnya. Sehingga dengan pola kesadaran yang terbentuk tadi para perempuan memiliki suatu dorongan untuk meningkatkan kualitas kehidupan ekonominya dan keluarganya melalui kegiatan serta program yang dibentuk oleh komunitas SPI. Kesamaan tuntutan kebutuhan ekonomi para anggotanya juga menjadi suatu faktor pendorong bagi para perempuan untuk aktif dan terus melaksanakan berbagai kegiatan serta program-program pemberdayaan sosial ekonomi yang telah dibentuk oleh komunitas tersebut.