• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Stres

3. Faktor-faktor Penyebab

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres pada individu disebut sebagai stressor. Rice menggolongkan macam stressor sebagai berikut:

a) Stressor individu merupakan sumber stres yang berasal dari faktor internal seperti: kepribadian, sikap terhadap stres, dan faktor kognitif (penilaian terhadap stres).

b) Stressor interpersonal adalah sumber stres yang berhubungan dengan proses interaksi dengan orang lain. Proses ini akan menimbulkan masalah yang menyebabkan terjadi ketegangan secara fisik, sehingga memicu sekresi hormon stres dalam tubuh seperti: adrenalin, noradrenalin, dan cortisol.

c) Stressor sosial merupakan sumber stres yang berasal dari kehidupan sosial, seperti: perubahan sosial yang cepat, kepadatan penduduk,

kepadatan pemukiman, keramaian, kemacetan, pertikaian antara kelompok masyarakat, kerusuhan, kenaikan biaya hidup, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan sebagai kaum minoritas.

d) Stressor lingkungan fisik merupakan sumber stres yang disebabkan oleh kondisi lingkungan fisik disekitar individu. Stressor ini sering dialami oleh individu, sehingga mereka mampu beradaptasi dan melakukan koping stres. Stressor ini seperti: bencana alam, banjir, cuaca, temperatur, kecepatan angin, kebisingan, polusi, dan bencana yang berasal dari teknologi.

e) Stressor organisasi merupakan sumber stres terjadi pada setting khusus yaitu organisasi atau perusahaan. Jenis stressor yang timbul bisa bersifat struktural maupun kultural seperti stres pada pekerjaan, jadwal kerja padat, struktur tugas berat, kebijakan perusahan yang negatif, dan budaya organisasi yang destruktif.

Selain dalam kehidupan secara luas, stres juga dialami di dalam lingkungan kerja. Menurut Smet (1994) ada dua hal yang menyebabkan suatu pekerjaan menjadi stressful. Pertama, tuntutan kerja yang terlalu banyak yang mengharuskan orang untuk bekerja terlalu keras. Kedua, jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan yang memberikan penilaian atas penampilan kerja bawahannya (supervisi), guru atau dosen.

Menurut sarafino (dalam Smet, 1994) stres kerja dapat disebabkan oleh: a) lingkungan fisik yang terlalu menekan, misalnya kebisingan, udara yang

15

b) kurangnya kontrol yang dirasakan c) kurangnya hubungan interpersonal

d) kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja.

Sumber stres menurut Cary Cooper (dalam Rini, 2002) adalah stres karena kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur organisasi.

a) Kondisi Pekerjaan 1) Lingkungan Kerja.

Keadaan lingkungan kerja yang buruk berpotensi menimbulkan karyawan mudah sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja. Selain itu kenyamanan kerja karyawan akan terganggu jika ruang kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih, dan berisik.

2) Overload

Overload ini dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Overload

secara kuantitatif adalah jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut,sehingga karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif adalah bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.

3) Deprivational Stress

Istilah deprivational stress adalah untuk menjelaskan kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya

keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial). 4) Pekerjaan Berisiko Tinggi

Banyak pekerjaan yang memiliki resiko yang tinggi, seperti pekerjaan di pertambangan, tentara, pemadam kebakaran dan lain-lain. Pekerjaan-pekerjaan ini sangat berpotensi menimbulkan stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan yang mengancam keselamatan mereka.

b) Konflik Peran

Banyak pekerja yang stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen. Hal seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi, bahkan timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Wanita bekerja menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Dalam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga masih banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stress.

17

Sehingga wanita yang bekerja mengalami stress lebih tinggi dibandingkan dengan pria.

c) Pengembangan Karir

Ketika mulai bekerja setiap orang pasti memiliki harapan-harapan. Kesuksesan karir menjadi fokus perhatian tujuan seseorang. Namun seringkali prestasi yang mereka capai tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini bisa disebabkan karena ketidakjelasan sistem pengembangan karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen perusahaan, atau karena sudah tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan

d) Struktur Organisasi

Kebanyakan perusahaan di Indonesia masih sangat konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Selain itu, aturan main yang terlalu kaku atau malah tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan jadi stres.

Berdasarkan penelitian (Arismunandar dan Ardhana, 1998) terungkap bahwa sumber stres kerja guru yang paling dominan adalah potongan gaji, kenaikan pangkat yang tertunda, siswa perorangan yang berkelakuan buruk, konflik dengan personil lain, lingkungan sekolah yang terlalu bising, dan kurangnya motivasi, perhatian, dan respon siswa terhadap pelajaran.

4. Indikator Stres

Akibat yang ditimbulkan oleh stres terhadap diri seseorang dapat bermacam-macam, hal ini tergantung pada kekuatan konsep dirinya yang

kemudian menentukan besar kecilnya toleransi orang tersebut terhadap stress (Anoraga, 2006).

Gejala stres menurut Robbins (2003) adalah sebagai berikut ini:

a) Gejala Fisiologis: sakit kepala, tekanan darah naik, detak jantung meningkat.

b) Gejala Psikologis: gelisah, depresi, penurunan kepuasan.

c) Gejala Perilaku: perubahan produktifitas, perpindahan, ketidakhadiran. Sarafino (1997) memecahan gejala psikologi menjadi lebih spesifik lagi menjadi gejala emosional. Ia membagi 4 tanda individu mengalami stres antara lain sebagai berikut:

a) Gejala fisiologis: detak jantung dan pernafasan rata-rata meningkat dengan segera, gemetar terutama pada kaki dan tangan. migrain, sakit kepala, pegal di leher, darah tinggi, gangguan makan dan kebiasaan tidur.

b) Gejala emosional: marah-marah, sedih, cemas, phobia, depresi, tidak bahagia, mood yang buruk, putus asa, tampak lesu dan pasif, konsep diri rendah serta suka menyalahkan diri.

c) Gejala kognitif: ganguan dalam pola berpikir.

d) Gejala interpersonal: tidak ramah, permusuhan, perilaku negatif, agresif, tidak sensitif.

Menurut Braham (dalam Handoyo, 2001) stress dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut:

19

a) Gajala fisik: sulit tidur/tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, pungung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi/serangan jantung, kehilangan energi.

b) Gajala emosional: marah-marah, mudah tersinggung, terlalu sensitif, gelisah cemas, mood, sedih, mudah menangis, depresi, gugup, agresif, mudah bermusuhan, gampang menyerang, kelesuan mental.

c) Gejala intelektual: mudah lupa, kacau pikiranya, daya ingat menurun, sulit berkosentrasi, suka melamun, pikiran hanya terfokus pada satu hal saja.

d) Gejala interpersonal: Acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah mengingkari janji, senang mencari kesalahan orang lain, menyerang dengan kata-kata, menutup diri dan mudah menyalahkan diri sendiri.

Menurut Anoraga (2006), gejala stres meliputi :

a) Gejala badan : sakit kepala, sakit maag, berdebar-debar, keluar keringat dingin, gangguan pola tidur, mual, muntah, lesu, letih, kaku leher belakang sampai punggung, nafsu makan menurun.

b) Gejala emosional : pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil keputusan, cemas, mudah marah, was-was, murung, mudah marah, mudah menangis, gelisah.

c) Gejala sosial : makin banyak merokok/minum/makan, menarik diri dari pergaulan sosial, mudah bertengkar.

Menurut Beehr dan Newman (dalam Rini, 2002) gejala stres kerja dapat di bagi dalam 3 (tiga) aspek, yaitu gejala psikologis, gejala fisik dan perilaku.

a) Gejala psikologis berupa kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, depresi, merasa terasing dan mengasingkan diri, kebosanan, ketidakpuasan kerja, lelah mental, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan daya konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreatifitas, kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.

b) Gejala fisik berupa meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin, gangguan gastrointestinal misalnya gangguan lambung, mudah terluka, mudah lelah secara fisik, gangguan kardiovaskuler, kematian, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, gangguan pada kulit, kepala pusing, migraine, kanker, ketegangan otot, gangguan tidur.

c) Gejala perilaku berupa menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas, penurunan prestasi dan produktivitas, meningkatnya pengguanaan miniman keras dan mabuk, perilaku sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan), kehilangan nafsu makan dan

21

penurunan drastis berat badan, meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti ngebut dan berjudi, meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, kecenderungan bunuh diri.

Jadi, dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa indikator stres yaitu :

a) Fisiologis berupa sakit kepala, migrain, detak jantung meningkat, tekanan darah naik, pucat, pernafasan rata-rata meningkat, gemetar pada kaki dan tangan, berkeringat, pegal pada leher dan punggung, insomnia, lelah, dan gangguan pencernaan.

b) Emosional berupa gelisah, cemas, kecewa, panik, bosan, lesu, marah, sedih, depresi, mood yang buruk, putus asa, mudah tersinggung, agresif, mudah bermusuhan, mudah menyerang, konsep diri rendah, suka menyalahkan diri.

c) Kognitif berupa gangguan berpikir, ketidak mampuan mengambil keputusan, kurang konsentrasi, mudah lupa, suka melamun, pikirannya hanya terfokus pada satu hal saja.

d) Perilaku berupa perubahan produktifitas, ketidak hadiran, peningkatan konsumsi alkohol dan rokok, tidak nafsu makan/makan berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan, menurunnya semangat untuk berolahraga, menarik diri.

e) Interpersonal berupa sikap permusuhan, menarik diri, tidak ramah, mudah tersinggung, perilaku negatif, agresif, tidak peka terhadap

lingkungan sekitar, acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan menurun, mudah mengingkari janji, senang mencari kesalahan orang lain, menyerang dengan kata-kata, menutup diri dan mudah menyalahkan diri sendiri.

B. Guru

1. Pengertian Guru

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Kata guru dalam bahasa Inggris disebut teacher, kata ini diartikan sebagai seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain (Syah, 2002).

Menurut Roestiyah (1982) guru memiliki bermacam-macam arti. Secara tradisional, guru diartikan sebagai seorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Guru juga diartikan sebagai seorang yang menyebabkan orang lain mengetahui atau mampu melaksanakan sesuatu atau memberikan pengetahuan atau ketrampilan kepada orang lain.

Menurut Syah (2002) pengertian guru tersebut dapat diinterpretasikan secara bermacam-macam. Pertama, kata seseorang mengacu pada siapa saja asal pekerjaan sehari-harinya mengajar, jadi bukan hanya yang mengajar di sekolah saja tetapi juga yang mengajar di tempat lain misalnya kyai di pesantren, pendeta di gereja, dan instruktur di balai pendidikan dan pelatihan. Kedua, kata mengajar dapat ditafsirkan bermacam-macam, misalnya: menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif);

23

melatih ketrampilan jasmani kepada orang lain (bersifat psikomotorik); dan menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (bersifat afektif).

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru bukan hanya sekedar memberikan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya, tetapi merupakan tenaga profesional yang mampu menjadikan muridnya mampu merencanakan, menganalisa, dan menyimpulkan suatu masalah yang dihadapi. 2. Tugas Guru

Guru memiliki banyak tugas, baik yang terkait dengan dinas maupun yang di luar dinas. Piaget (dalam Gunarsa, 1989) mengemukakan bahwa tugas guru bukan memberikan pengetahuan yang diberikan kepada anak, tetapi mencarikan, menunjukkan atau memberikan alat-alat yang menimbulkan minat dan merangsang anak untuk memecahkan persoalan sendiri.

Menurut Usman (1997) guru memiliki tiga jenis tugas, yaitu tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.

a) Tugas guru dalam sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. sedangkan melatih berarti mengembangkan ketrampilan-ketrampilan pada siswa.

b) Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orangtua kedua. Ia harus mampu menarik simpati siswanya.

Setiap pelajaran yang diberikan hendaknya dapat menjadikan motivasi bagi siswa untuk belajar.

c) Tugas guru dalam bidang kemasyarakatan adalah guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan Pancasila.

Menurut Mahmud (1990) peran guru adalah sebagai berikut: a) Guru sebagai pembuat keputusan

Seorang guru harus membuat keputusan-keputusan bahan pelajaran dan metode mengajar.

b) Guru sebagai motivator

Guru harus memberikan motivasi kepada murid-muridnya agar mereka dapat berhasil dalam belajarnya.

c) Guru sebagai menejer

Waktu yang dipergunakan oleh guru setiap harinya selain untuk berinteraksi secara verbal dengan murid-muridnya adalah untuk kegiatan pengelolaan. Pengelolaan yang dimaksud di sini antara lain memeriksa dan menilai pekerjaan murid, menyiapkan ujian, mengorganisasi pelajaran, mengadakan pertemuan dengan orang tua murid, dan mengelola kelas. d) Guru sebagai pemimpin

Guru yang efektif adalah pemimpin yang efektif, yaitu memanfaatkan potensi kelompok untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan individual. Dalam peranannya sebagai pemimpin, guru diharapkan

25

menjadi wasit, teman, pencegah timbulnya permusuhan, sumber kasih sayang dan pemberi semangat.

e) Guru sebagai konselor

Sebagai konselor, guru harus menjadi pengamat yang peka terhadap tingkah laku dan gerak-gerik muridnya. Guru harus memberikan tanggapan yang konstruktif apabila muridnya mengalami kelesuan belajar. f) Guru sebagai insinyur atau perekayasa lingkungan

Peran guru di sini adalah dalam hal pengaturan ruang kelas, karena penataan ruang kelas yang bagus akan membantu proses belajar.

g) Guru sebagai model

Guru berperan sebagai model atau contoh bagi murid-muridnya. 3. Guru Sekolah Dasar

Guru sebagai pelaku pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan tinggi rendahnya kualitas pendidikan. Di Sekolah Dasar, tenaga kependidikan khususnya guru merupakan unsur manusiawi yang sangat dekat hubungannya dengan peserta didik. Hal ini membuat guru menjadi lebih leluasa dalam mengarahkan peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar, yang kemudian akan menentukan keberhasilan peserta didik.

Dalam melaksanakan proses belajar mengajar, Sekolah Dasar menggunakan sistem guru kelas. Menurut Sastrapraja (dalam Stevanus, 2004), guru kelas adalah guru yang dikuasakan mempertanggung jawabkan murid sekelas dan memberikan hampir semua mata pelajaran untuk jangka satu

tahun pelajaran. Seorang guru SD adalah seorang guru kelas, oleh karena itu guru perlu menguasai berbagai hal untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.

Setiap guru wajib memberikan pendidikan sesuai dengan tataran pendidikan peserta didiknya. Menurut Usman (1997), pendidikan dasar pada tataran Sekolah Dasar, menekankan pada kemampuan dan keterampilan dasar yaitu baca, tulis, dan hitung, sebagaimana tercermin dalam kemampuan dan keterampilan baca, tulis dan bicara serta berhitung (menambah, mengurang, membagi, mengali, mengukur sederhana, dan memahami bentuk geometri) yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan dasar yang diberikan oleh guru SD bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar “baca-hitung”, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya serta persiapan untuk mengikuti pendidikan di SMP.

Seorang guru SD harus mampu menyampaikan suatu pengajaran yang disesuaikan dengan karakteristik anak usia Sekolah Dasar. Karakteristik siswa Sekolah Dasar menurut Rachman (2001) adalah senang melakukan kegiatan manipulatif, ingin serba konkrit, dan terpadu. Hal tersebut tentunya sesuai dengan taraf perkembangan anak pada usia 7 sampai 12 tahun. Menurut Piaget (dalam Irwanto, 1997) tahap perkembangan kognitif anak pada usia 7 – 12 tahun masuk pada tahap perkembangan operasional konkrit, dimana seorang anak mampu menalar suatu objek yang diubah bagaimanapun bentuknya. Selain itu pada usia ini anak mampu mengklasifikasikan objek berdasarkan cirinya. Meskipun demikian, pemikiran logis anak masih

27

terpancang pada objek konkrit yang disajikan. Melihat hal tersebut tentunya seorang guru akan memiliki beban yang relatif berat karena dia adalah orang dewasa yang secara kognitif masuk pada taraf yang lebih tinggi, namun di sini harus mampu berperan dan menyampaikan pelajaran yang dapat dipahami oleh anak pada taraf operasional konkret.

Guru Sekolah Dasar memiliki tantangan yang tidak mudah dalam menghadapi peserta didiknya. Menurut Hurlock (1991) pada usia Sekolah Dasar, seorang anak dianggap masuk pada periode kritis dalam dorongan berprestasi. Periode ini merupakan masa di mana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses. Pada masa kritis ini pendidik harus lebih memperhatikan dan memberi pengertian, serta bimbingan Biasanya pada awal sekolah anak sangat bergairah ke sekolah, tetapi pada akhir kelas dua, banyak yang merasa bosan, mengembangkan sikap menentang dan kritis terhadap tugas-tugas akademis, meskipun anak masih menyukai kegiatan nonakademis. Menurut Hurlock (1991), sikap anak ini dipengaruhi oleh menarik atau tidaknya cara guru menyajikan bahan yang harus dipelajari dan bagaimana ia memandang bahan-bahan ini berkaitan dengan pekerjaan di masa depan.

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan guru Sekolah Dasar dalam penelitian ini adalah seorang yang mengajarkan pendidikan dasar di tingkat Sekolah Dasar yang berperan sebagai guru kelas.

4. Guru Sekolah Menengah Pertama

Di dalam sekolah menengah, tugas seorang guru berbeda dengan tugas seorang guru sekolah dasar. Di sekolah menengah pertama seorang guru tidak lagi berperan sebagai guru kelas, akan tetapi berperan sebagai guru mata pelajaran.

Yang dimaksud dengan guru mata pelajaran adalah guru yang dikuasakan untuk memberikan suatu mata pelajaran kepada murid. Jadi di sini guru Sekolah Menengah Pertama bertanggung jawab terhadap suatu mata pelajaran yang diberikannya kepada murid di beberapa kelas.

Menilik dari tugas guru SMP tersebut, maka seorang guru tidak dituntut untuk menguasai berbagai kemampuan yang harus diberikan kepada muridnya. Meskipun demikian seorang guru SMP harus menguasai materi untuk tiga tingkatan kelas sekaligus.

Guru SMP memiliki peserta didik yang memiliki rentang usia sekitar 13 sampai 15 tahun. Usia ini secara kognitif masuk pada tahap perkembangan operasional formal. Dalam tahap ini seorang anak mampu berpikir secara abstrak dan simbolis. Pola berpikir anak juga menjadi lebih fleksibel dan mampu melihat persoalan dari berbagai sudut yang berbeda (Piaget, dalam Irwanto, 1997). Hal ini tentu saja akan lebih mempermudahkan guru dalam menyampaikan mata pelajaran.

Dalam usia ini seorang anak masuk pada masa puber dan masa remaja yang tentunya akan menimbulkan berbagai macam permasalahan dan tantangan bagi guru. Masa puber merupakan masa transisi antara masa kanak-

29

kanak dan masa remaja. Pada masa ini seorang anak akan mengalami pertumbuhan yang pesat dan perubahan yang mencolok dalam proporsi tubuh. Menurut Hurlock (1991), perubahan pada masa puber ini akan mempengaruhi keadaan fisik, sikap, dan perilaku. Masa puber kadang disebut “fase negatif” karena akibat yang ditimbulkannya, terutama semasa awal puber, relatif buruk.

Melihat karakteristik dari anak usia SMP ini maka tugas guru juga relatif berat. Akan tetapi guru tidak setiap saat harus menghadapi siswa yang sama dengan perilaku yang sama, sehingga hal tersebut tentunya lebih meringankan beban guru SMP.

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan guru SMP dalam penelitian ini adalah seorang yang mengajarkan pendidikan dasar di tingkat Sekolah Menengah Pertama, yang berperan sebagai guru mata pelajaran, di mana guru hanya mengajarkan mata pelajaran tertentu saja.

Dokumen terkait