• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU

B. Faktor-faktor penyebab Pelanggaran Lalu Lintas di kota Medan

Sebagai konsekuensi peningkatan jumlah kendaraan dan tingginya mobilitas masyarakat, angka kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kecelakaan lalu lintas darat tersebut mengakibatkan korban dari kecelakaan lalu lintas tersebut tidak sedikit, baik korban yang menderita luka ringan, luka berat sampai mengakibatkan korban meninggal dunia serta kerugian-kerugian lain yang timbul karena kerusakan kendaraan akibat kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian. Kecelakaan yang ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar sesama kendaraan bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi dapat pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota ataupun jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan

semacam itu, pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu.67

Umumnya masyarakat seringkali memahami hukum sebagai sesuatu perangkat aturan yang dibuat oleh negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa. Tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum tersebut akan tercapai manakala terdapat keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum sehingga menghasilkan suatu keadilan.68

Von Sovigny, seorang ahli hukum asal Jerman dalam buku Anton Tabah yang berjudul Mata Hati Polisi Indonesia menegaskan bahwa hukum akan dapat berjalan efektif apabila ada keserasian antara aturan hukum dengan kultur masyarakatnya. Kultur masyarakat ini juga akan menjadi kultur hukum yang biasanya tercermin pada peraturan hukum yang ada.69

Di Indonesia terdapat pengaturan mengenai lalu lintas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan. Di dalam undang-undang ini memuat pengaturan-pengaturan lalu lintas yang wajib dipatuhi dan juga sanksi bagi yang melanggarnya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti di Satlantas

Apabila dikaitkan dengan kondisi kultur masyarakat saat ini, jelas dalam kondisi kurang menguntungkan. Masyarakat kita masih belum memiliki kesadaran hukum yang baik, sikap mental yang suka menerobos dan mau taat hukum apabila ada rangsangan dari luar. Hal ini tercermin pada tingkah laku masyarakat dalam menaati hukum hanya apabila melihat petugas hukum. Disamping itu faktor prasarana yang tidak mendukung dan minimnya petugas dalam penegakan hukum mengakibatkan tidak seluruhnya masalah pelanggaran lalu lintas dapat ditangani dengan baik.

67 Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, (Jakarta:Mahkamah

Agung RI. 1992), hlm. 2.

68

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005). Hlm. 7

Polresta Medan terdapat dua faktor yangmenjadi penyebab terjadinya pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh masyarakat yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor pemicu pelanggaran lalu lintas yang berasal dari dalam diri pelaku. Berikut ini faktor yang menjadi pendorong seseorang melakukan suatu pelanggaran lalu lintas70

a. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi peraturan lalu lintas. :

Faktor yang dapat mempengaruhi keamanan dan ketertiban lalu lintas adalah kesadaran masyarakat akan peraturan berlalu lintas dan kepentingan manusia yang berlainan. Hal ini menyebabkan manusia cenderung bersikap ceroboh dan lalai. Bahkan kesengajaan menjadi faktor dominan terjadinya pelanggaran lalu lintas. Semakin tinggi kesadaran masyarakat akan hukum maka semakin memungkinkan adanya penegakkan hukum di masyarakat. Karena hukum berasal dari masyarakat dan diperuntukkan mencapai kedamaian di masyarakat pula. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakkan hukum tersebut.

Dalam kaitanya dengan efektifitas penerapan/pelanggaran hukum, masalah kesadaran hukum dalam diri masyarakat sangat memegang peranan penting. Masyarakat yang ingin melihat terciptanya suatu ketertiban dalam masyarakat akan berusaha untuk teratur sehingga tercipta suatu pola hubungan tingkah laku yang teratur. Masyarakat dianggap tau dengan keberadaan hukum itu sendiri untuk dijalankan.

Pola hubungan antara hukum dengan perilaku masyarakat, terdapat unsur pervasive socially (penyerapan sosial). Artinya bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan

70 Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan,

terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan saling relevan atau memiliki pertalian yang jelas apabila aturan-aturan hukum dan penegakannya telah diatur jelas maka dibutuhkan adanya kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk menciptakan hukum sebagai kontrol sosial.71

Hal yang juga sering terjadi adalah bahwa ketika pengemudi melanggar suatu peraturan lalu lintas, hal pertama yang diajukan pengemudi tersebut adalah negosiasi “jalan damai” dengan aparat kepolisian, tidak sedikit juga orang mencoba berdamai Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku disebabkan belum adanya kesadaran masyarakat untuk memahami peraturan tersebut karena kurang adanya sosialisasi terkait peraturan lalu lintas. Hal ini dapat dilihat dari perilaku masyarakat dalam berlalulintas, tidak semua pengemudi kendaraan paham dan mengetahui peraturan lalu lintas sehingga dapat menimbulkan pelanggaran. Ditambah lagi kebanyakan dari pengendara bermotor khususnya sepeda motor dalam memperoleh SIM, didapat dengan cara yang instan daripada mengikuti prosedur yang benar.

Selain itu kebanyakan masyarakat hanya patuh ketika ada petugas yang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan atau ada Polisi yang sedang berjaga di pos Polisi. Kemudian sering juga kita dengar “peraturan ada untuk dilanggar” yang sangat melekat dibenak masyarakat sehingga sebagian orang menerapkannya. Ini juga merupakan salah satu alasan yang mengurangi tingkat kesadaran seseorang mematuhi peraturan lalu lintas.

Kepatuhan masyarakat terhadap rambu-rambu lalu lintas dan peraturan lalu lintas masih dipengaruhi oleh kehadiran petugas Polisi lalu lintas. Masalah utamanya adalah belum adanya kesadaran berlalu lintas yang baik dalam diri masyarakat.

71 Adam Podgorecki, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum. (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987) Hlm.

sebelum proses pengadilan untuk mendapatkan kembali surat-surat yang ditahan kepolisian.

b. Faktor Kematangan Emosional Manusia

Perilaku seorang pengemudi kendaraan bermotor dipengaruhi oleh berbagai faktor berupa faktor dari luar keadaan sekelilingnya, cuaca, penerangan jalan dimalam hari, selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi emosionalnya sendiri seperti tidak sabar/terburu-buru atau lagi sedang keadaan marah-marah. Salah satu faktor seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas adalah faktor emosional. Faktor ini dapat dipengaruhi berbagai hal antara lain usia dan tingkat pendidikan seseorang tersebut. Emosi adalah respon fisik dan mental yang sangat kuat, emosi dapat menimbulkan dampak perilaku mengemudi yang dapat mengganggu pengguna jalan lain.72

Menurut Alik Ansyori Alamsyah seorang pengamat permasalahan lalu lintas dalam buku Analisis Keselamatan Lalu Lintas Jalan menyatakan bahwa ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik psikologi dasar pengendara. Faktor tersebut ada yang bersifat tetap ataupun sementara. Contoh dari faktor yang mempengaruhi karakteristik psikologi dasar pengendara yang bersifat tetap adalah umur, cacat, atau penyakit yang menyebabkan penurunan kemampuan fisik secara permanen. Sedangkan contoh dari faktor yang mempengaruhi karakteristik pengendara yang bersifat sementara adalah kelelahan yang dapat menyebabkan seseorang pengendara tidak dapat melihat rambu-rambu dengan jelas.73

72 Tri Tjahjono, Analisis Keselamatan Lalu Lintas Jalan, (Bandung: Lubuk Agung, 2001), Hlm. 26.

73 Alik Ansyori Alamsyah, Rekayasa Lalu Lintas, (Malang: UMM Press, 2008), Hlm. 10.

Perilaku yang membudaya dari pengguna jalan merupakan salah satu faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap situasi lalu lintas. Etika, sopan santun, serta toleransi antar pengguna jalan, kematangan dalam pengendalian emosi serta kepedulian pengguna

jalan akan menimbulkan interaksi yang dapat mewarnai situasi lalu lintas berupa hasil yang positif seperti terciptanya keamanan, keselamatan, dan kelancaran lalu lintas. 2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor pemicu yang berasal dari luar diri pelaku pelanggaran yang menjadi pemicu terjadinya suatu pelanggaran lalu lintas. Berikut ini beberapa faktor dari luar diri yang mengakibatkan seseorang melakukan pelanggaran lalu lintas74

a. Faktor Prasarana Lalu Lintas

:

Sarana atau fasilitas mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana atau fasilitas, maka tidak mungkin penegak hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana dan prasarana mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kelancaran pelaksanaan penegakkan hukum sangat mudah dipahami, dan banyak sekali contoh-contoh masyarakat.75

Misalnya pada UU No. 22 Tahun 2009 Paragraf 9 tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum Pasal 126 setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum angkutan orang dilarang berhenti selain di tempat yang telah ditentukan. Tetapi kenyataan di jalan, jumlah halte yang disediakan sangat terbatas. Sehingga menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.76

Dalam menciptakan dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban serta kelancaran lalu lintas, faktor sarana dan prasarana lalu lintas memiliki peranan penting dalam berlalu lintas. Untuk menciptakan lalu lintas yang selamat, aman, cepat, lancar,

74 Wawancara dengan AKP Lastiar Siburian, SSi (Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas) Polresta Medan,

4 Juli 2016 pukul.09.30 Wib

75 M. Karjadi, Kejahatan Pelanggaran dan Kecelakaan, (Bogor : Politeia. 1981). hlm. 63.

tertib dan teratur dibutuhkan faktor sarana dan prasarana lalu lintas yang memadai yang meliputi jaringan transportasi jalan.

Jaringan transportasi jalan merupakan rangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh lalu lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, dalam hal ini yang dimaksudkan dengan Jalan adalahjalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang merupakan ruang lalu lintas tempat kendaraan dan orang bergerak untuk berpindah tempat.

Penataan jaringan jalan merupakan bagian penting agar tersusun sistem jaringan yang baik maka harus diperhatikan tata jenjang jaringan jalan. Penetapan jaringan jalan merupakan salah satu unsur pokok pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan untuk mencapai tujuan terciptanya sistem lalu lintas andal, aman, nyaman, cepat, tertib, teratur, dan efisien. Selain itu jaringan angkutan jalan harus mampu memadukan moda angkutan agar mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah untuk menunjang pemerataan dan terhindar dari penumpukan kendaraan.77

Untuk keselamatan, keamanan , ketertiban, dan kelancaran lalu linras serta kemudahan bagi pengguna jalan, Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:78

a) rambu Lalu Lintas; b) marka Jalan;

c) alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d) alat penerangan Jalan;

e) alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; f) alat pengawasan dan pengamanan Jalan;

77

Suwardjoko P. Warpani, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, (Bandung: Penerbit ITB, 2002), Hlm. 8

g) fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan

h) fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

Sarana dan prasarana yang belum maksimal dan perawatannya yang masih kurang khususnya jalan. Kondisi jalan masih banyak yang rusak, ruas badan jalan yang sempit menjadi faktor timbulnya pelanggaran lalu lintas.

Menurut Warpani dalam bukunya yang berjudul Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kondisi jalan buruk dapat menjadi salah satu sebab terjadinya pelanggaran yang dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Meskipun demikian, semuanya kembali kepada manusia sebagai pengguna jalan itu sendiri. Dengan rekayasa, para ahli merancang sistem jaringan dan rancang bangun jalan sedemikian rupa untuk “mempengaruhi” tingkah laku para pengguna jalan, dan mengurangi atau mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan lalu lintas.79

b. Faktor Penegak Hukum

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum. Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yaitu Kepolisian.

Setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan perananan (role). Apabila dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka

terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance).80

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu, lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.

Demikian pula dengan polisi lalu lintas. Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lau litas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas.

Unsur lain yang dapat menjadi pemicu terjadinya pelanggaran lalu lintas adalah unsur penegak hukumnya, unsur penegak hukum dalam hal ini adalah polisi lalu lintas yang memegang kendali dalam penegakan hukum, prinsip yang berkembang dalam masyarakat adalah keamanan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas adalah mutlak tanggung jawab polisi. Prinsip ini keliru, bahwa keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas merupakan tanggung jawab bersama dan tidak dibebankan sepenuhnya kepada aparat kepolisian saja.

81

Penegak hukum seringkali melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan terhadap masyarakat, seperti halnya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Hal yang dimaksudkan penulis ialah oknum polisi melakukan

80

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), Hlm. 21.

penilangan tanpa adanya surat tugas dari atasan sehingga jika pelanggar tidak ingin ditilang maka diberikan pilihan apakah penyelesaiannya di tempat kejadian atau mengikuti sidang. Menurut Undang-undang Kepolisian Pasal 17, setiap pelanggaran terhadap kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi moral berupa :

1) Perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela .

2) Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka.

3) Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi .

4) Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi kepolisian. Rinto Raharjo dalam bukunya Tertib Berlalu Lintas menyatakan bahwa tingkat pelanggaran lalu lintas dipengaruhi oleh profesionalisme penegak hukum. Mentalitas penegak hukum merupakan titik sentral daripada proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan, oleh karena pada masyarakat Indonesia masih terdapat kecendrungan yang kuat, untuk senantiasa mengidentifikasikan hukum dengan penegaknya. Apabila penegaknya bermental baik, maka dengan sendirinya hukum diterapkannya juga baik. Maka dengan begitu tingkat pelanggaran lalu lintas dapat dikendalikan dengan baik.82

BAB IV

PERANAN POLRESTA MEDAN DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS YANG TERJADI

DI KOTA MEDAN

C. Upaya penanggulangan POLRESTA Medan terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Medan

Mempelajari tindak pidana sebagai gejala sosial tentu tidak lengkap apabila tidak mempelajari cara penanggulangan terjadinya tindak pidana tersebut, meskipun kita memahami bahwa masalah kejahatan dan penanggulangannya timbul dan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.83

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal, menurut Prof. Soedarto, “politik hukum” adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi tertentu. Kebijakan dari Negara melalui Badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan.

Upaya penanggulangan kejahatan maupun pelanggaran termasuk dalam kerangka kebijakan kriminal atau criminal policy. Usahan dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana, upaya ini sering disebut dengan politik hukum atau politik hukum pidana. Kebijakan ini pada hakekatnya untuk melindungi masyarakat (social defence planning atau protection of society).

84

83 M. Hamdan. Politik Hukum Pidana. (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 1997). Hlm. 47.

84Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung:Alumni. 1981). hlm. 159

Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the

socialreaction to crime”. Berbagai defenisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels ialah:85

a. Criminal policy is the science of responses.

b. Criminal policy is the science of crime prevention.

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime. d. Criminal policy is arational total of the responses to crime.

Istilah Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “kebijakan kriminal”. Istilah ini agaknya kurang pas karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal). Istilah ini lebih tepat digunakan sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan.86

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (socialpolicy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.87

Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan (criminalpolicy) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya

85

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep

KUHP Baru). (Jakarta:Kencana Prenada Media Group. 2008), hlm. 1. 86

Mahmud Mulyadi. Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam

Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan:Pustaka Bangsa Press. 2008) hlm 51.

mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views ofsociety on crime and punishment (mass media).88

Dari uraian pembagian kebijakan oleh Hoefnangels tersebut dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti:

Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan nonpenal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

89

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik hukum kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan (integralitas) antar upaya penanggulangan kejahatan dengan

“penal” dan “non penal”.

Keterpaduan maksudnya bahwa dalam melakukan kebijakan penanggulangan tidak dapat hanya menggunakan kebijakan hukum pidana (penal) saja tetapi juga harus menggunakan berbagai macam pendekatan seperti kebijakan sosial dan kebijakan pembangunan nasional.90

1. Upaya Penanggulangan Pelanggaran Lalu Lintas Secara Penal

Karena penerapan hukum pidana sendiri memiliki banyak kekurangan dalam mencapai tujuannya.

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).91

88 Mahmud Mulyadi, Op. Cit, Hlm. 17

89 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 3-4.

90

Ibid.

91 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indonesia,

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum inipun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative.

Hal ini berarti bahwa dalam menanggulangi suatu kejahatan tidak ada suatu keharusan yang mewajibkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut dengan sarana hukum pidana (penal), mengingat penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kebijakan hukum pidana berupa pemberian pidana memberikan dampak buruk seperti yang dikemukakan oleh Herman Bianchi bahwa lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-lamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikitpun (bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini.92

Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur prefentif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan ada efek pencegahan/penangkal (“deterrent effect”) nya. Di samping itu, kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hokum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (“social dislike”) atau pencelaan/kebencian sosial (“social disapproval social abhorrence”) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial”

92 Herman Bianchi dalam Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya

Dokumen terkait