• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERAKIBAT TINDAK PIDANA

C. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Diskriminatif

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga antara lain :

1. Adanya kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial mengakibatkan munculnya sikap-sikap cemburu yang dapat menjadi pemicu konflik.

52

Dian, “Tindak Pidana Terkait Agama Dalam RUU KUHP”, dikutip dari situs http://www.indonesia.go.id/in/penjelasan-umum/12784-tindak-pidana-terkait-agama- dalam-ruu-kuhp [1/5/2014]

2. Fanatisme agama. Fanatisme terhadap agama yang sempit dan berlebihan dapat mengakibatkan sikap mau benar sendiri dan tidak mengindahkan norma-norma toleransi. 3. Pemahaman yang salah atas ajaran agama. Pemahaman

ajaran agama yang sempit menjadi salah satu faktor yang ikut mewabahnya faham radikalisme yang destruktif melahirkan para pelaku teror yang kebanyakan adalah generasi muda.

4. Provokasi pihak-pihak yang berkepentingan atas adanya konflik. Konflik yang terjadi di Indonesia bukan merupakan konflik agama namun agama dijadikan pemicu untuk terjadinya perpecahan oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan baik dari politik maupun kelompok tertentu. 5. Proyek anggaran pemerintah. Adanya konflik menyebabkan

adanya anggaran Negara yang dialokasikan untuk penyelesaian konflik sehingga berpotensi adanya pemeliharaan konflik yang ada.

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya,bahwa kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan yang diakui secara legal oleh negara telah dijamin oleh negara dengan berbagai ketentuan perundang-undangan serta peraturan peraturan pemerintah lainnya. Perilaku-perilaku diskriminasi yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari adanya kesenjangan antar pemeluk agama yang satu dengan penganut agama yang lain disertai dengan fanatisme sempit sebagian pemeluk agama yang berbeda, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dengan adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 maka pemerintah telah menjamin hak setiap pemeluk agama terlindung dari perlakuan diskriminatif pemeluk agama lain, namun syaratnya bahwa pemeluk agama yang akan melakukan kegiatan agama atau pendirian rumah ibadah juga harus mentaati peraturan yang sesuai dengan undang-undang. Terbitnya peraturan bersama tersebut bukan merupakan bentuk diskriminasi atau menyuburkan prilaku diskriminatif dalam masyarakat namun keberadaan peraturan bersama adalah untuk menjaga keseimbangan serta terjaminnya hak

dan kewajiban pemeluk agama. Dalam menjalankan haknya setiap warga negara wajib mentaati ketentuan perundang- undangan lainnya yang mengatur tentang kerukunan hidup beragama maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

2. Pasal 175 dan 176 KUHP merupakan bentuk perlindungan negara kepada setiap warga negara yang akan melakukan kegiatan keagamaan atau sedang melakukan kegiatan keagamaan, supaya tidak ada gangguan dalam melaksanakan kegiatan keagamaan tersebut dengan syarat bahwa kegiatan keagamaan yang diselenggarakan harus sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Negara sudah mengakui adanya agama yang berbeda-beda dalam masyarakat, dengan demikian maka negara juga harus menciptakan suasana yang aman dan saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda. Bentuk upaya negara memberikan jaminan dan penciptaan kondisi saling menghormati dapat dilihat dari berbagai peraturan baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah atau pemerintah Daerah. Apabila terdapat warga negara menghalangi kegiatan pemeluk agama lain untuk melakukan peribadatan agamanya maka dapat dikenakan sanksi pidana.

3. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi adalah kesenjangan sosial, fanatisme agama yang sempit, pemahaman yang salah atas suatu ajaran agama, provokasi dari pihak yang berkepentingan atas adanya konflik dan proyek anggaran pemerintah. Sikap diskriminasi yang timbul dalam kehidupan kerukunan umat beragama tidak serta merta muncul dalam masyarakat walaupun sikap diskriminasi itu sendiri merupakan situasi alamiah ketika dihadapkan pada keadaan mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas pada umumnya akan merasa superior terhadap kelompok minoritas sehingga kelompok yang merasa mayoritas menganggap kepentinganyalah yang harus didahulukan begitupun kelompok minoritas selalu merasa terpinggirkan kepentingannya walaupun sudah diakomodir. Keadaan yang timbul diantara dua kelompok inilah yang kemudian menjadi sumber konflik yang terjadi dengan adanya provokasi dari pihak yang menghendaki konflik terjadi termasuk didalamnya dalam rangka penyerapan anggaran pemerintah, dengan faktor-faktor tersebut diatas sebagai katalisator atas perilaku diskrimansi dalam masyarakat. Ketika kelima faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi dibiarkan tumbuh dalam masyarakat maka sikap-sikap diskriminasi dalam masayarakat yang intoleran dapat tumbuh subur.

B. Saran

1. Untuk memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat pemeluk agama dan kepercayaan yang akan menjalankan ajaran agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya maka Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 hendaknya diterapkan oleh pemerintah daerah dengan tujuan menjaga ketertiban masyarakat dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Ketegasan pemerintah dalam menjalankan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 sangat diperlukan. Tidak memberikan kebijakan-kebijakan yang melonggarkan peraturan dan ketentuan perundangan yang mengaturnya. Sikap permisif kepada pihak pemeluk agama manapun untuk memberikan kebijaksanaan hanya akan memunculkan dan menumbuhkan perasaan diskriminasi. Penegakan hukum juga seharusnya disertai dengan pemberian pemahaman kepada para pemeluk agama yang berbeda. Pemenuhan hak harus sejalan dengan pemenuhan kewajiban guna memperoleh keseimbangan dalam hal penegakan hak dan kewajiban masyarakat menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.

2. Agar pemerintah daerah memasukan pembangunan rumah ibadah kedalam suatu rancangan tata kota. Resistensi yang timbul pada umunya berawal dari adanya perbedaan keyakinan. Pada saat gereja dibangun ditengah pemukiman umat Muslim yang padat maka potensi penolakannya akan sangat besar begitupun sebaliknya ketika mesjid dibangun ditengah pemukiman umat Nasrani yang padat maka akan terjadi resistensi yang cukup besar, walaupun itu bukan merupakan sebuah kepastian namun untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah Daerah hendaknya memasukan pembangunan rumah ibadat ke dalam suatu rancangan tata kota, sehingga setiap pembangunan rumah ibadat sesuai dengan daerah dan lokasi peruntukannya untuk mencegah terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar. Penataan kota yang baik sesuai dengan peruntukannya menjadi salah satu solusi menekan konflik sara yang akan terjadi akibat sikap diskriminasi dalam masyarakat. Pemerintah daerah juga dapat menggunakan sistem zona atau cluster untuk daerah-daerah tertentu guna menampung pemeluk agama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya pada zona tersebut dibuatkan rumah ibadah sesuai dengan kebeutuhan pemeluk agamanya. Pemerintah daerah memerlukan garis kebijakan yang jelas dalam hal melakukan penataan kota terkait pembangunan rumah ibadah yang

disesuaikan dengan kebutuhan umat beragama dengan memperhatikan rasio pemeluk umat beragama dengan jumlah rumah ibadah, karena ketidakseimbangan rasio antara pemeluk umat beragama dengan jumlah rumah ibadah akan menimbulkan ancaman gangguan kamtibmas juga. Ketidakseimbangan rasio juga bisa mengganggu efektivitas fungsi rumah ibadah, oleh karena itu pemerintah daerah harus benar-benar mempunyai kebijakan yang jelas mengenai pembangunan kehidupan beragama masyarakatnya.

3. Pemerintah supaya memaksimalkan peran penyebar ajaran agama untuk mengikis sikap intoleran dan fanatisme sempit serta menyebarkan semangat toleransi. Pemerintah hendaknya memberikan pendidikan toleransi kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh faktor-faktor luar yang dapat memecah persatuan antar umat beragama di Indonesia. Melakukan pembinaan-pembinaan kepada ormas-ormas keagamaan maupun majelis-majelis keagamaan atau pertemuan- pertemuan peribadatan perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menyampaikan pesan-pesan ketertiban masyarakat. Memberdayakan para penyebar ajaran agama seperti ustadz, kyai, ulama, pendeta dan tokoh-tokoh agama lainnya juga perlu dimaksimalkan oleh pemerintah karena para tokoh agama inilah yang akan sangat berpengaruh dalam mentransfer ilmu

pengetahuan keagamaan sebagai proses pembangunan karakter kedamaian. Para tokoh agama tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses penyampaian pesan perdamaian dan ketertiban masyarakat.

4. Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) hendaknya didayagunakan secara maksimal sebagai wadah pembinaan kerukunan antar umat beragama bukan hanya sebatas seremonial belaka. Forum Komunikasi Umat Beragama apabila berjalan dengan baik dapat menjadi wadah dalam mencari penyelesaian masalah yang muncul akibat adanya singgungan kepentingan yang melibatkan umat beragama. Komunikasi- komunikasi intensif dan koordinasi antar tokoh-tokoh agama yang difasilitasi oleh pemerintah daerah bukan hanya pada saat ada masalah saja namun pada keadaan biasapun kegiatan yang menciptakan kerukunan antar umat beragama harus tetap dijalankan dalam kapasitas melakukan pencegahan. Program penyuluhan-penyuluhan mengenai keberagaman, kebersamaan dan toleransi perlu dilakukan secara bersama oleh tokoh-tokoh agama dan pemerintah. Keberadaan FKUB ditengah-tengah heterogenitas keyakinan dan ajaran agama sangat penting guna mencari solusi atas perbedaan-perbedaan maupun gesekan- gesekan yang terjadi di masyarakat bukan hanya sebagai pemadam kebakaran ketika konflik sudah terjadi namun juga

difungsikan sebagai media pencegah dan peredam potensi konflik antar umat beragama.

5. Agar pemerintah melakukan penindakan hukum yang tegas terhadap ormas atau kelompok masa yang mengatasnamakan agama namun berperilaku destruktif, tidak memberikan ruang yang bebas kepada organisasi masa yang mengatasnamakan agama dalam pergerakannya namun pada pelaksanaan kegiatannya selalu membawa kekacauan dan kerusuhan. Penindakan dan penegakan hukum secara tegas harus dilakukan kepada siapa saja yang sudah mengganggu ketertiban umum di masyarakat tanpa pandang bulu. Apapun alasannya, bagaimanapun kemasannya ketika perbuatan yang dilakukan sudah melanggar hukum maka pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum tidak boleh bersikaf permisif. Sikap tegas dari aparat penegak hukum seharusnya juga mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, awak media maupun para pengamat sosial. Pemerintah tidak boleh ragu-ragu dalam bertindak selama berdasar dan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas walaupun dihadapkan pada isu arogansi maupun demokratisasi

6. Agar pemerintah memaksimalkan peran lembaga agama untuk menekan faktor-faktor penyebab diskriminasi dengan pengelolaan zakat, infaq, shodaqoh dan sumbangan keagamaan

lainnya secara benar maka akan memperkecil kesenjangan yang terjadi, melakukan pendekatan dan memberikan pelatihan kepada tokoh agama untuk menanamkan semangat toleransi dan meluruskan ajaran-ajaran agama yang disalah artikan sebagai program penguatan umat beragama agar tidak mudah terprovokasi.

Dengan adanya ketegasan dari pemerintah dalam hal penegakan hukum, penganggaran pembinaan ketertiban masyarakat, kesepahaman dari semua elemen masyarakat dalam melakukan pembinaan kerukunan antar umat beragama, penanaman ajaran agama yang membawa kedamaian serta pemberian pelajaran sikap toleransi antar umat beragama yang dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda maka wujud perlindungan hak asasi manusia dalam memeluk dan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masyarakat akan dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Program-program pemerintah untuk mengikis kesenjangan sosial antar pemeluk agama dengan memaksimalkan peran lembaga kesejahteraan umat, upaya pemerintah melalui kegiatan forum komunikasi antar umat beragama dengan kampanye kerukunan umat beragama serta mengoptimalkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda diharapkan dapat mengikis sikap fanatisme sempit dan menangkal provokasi yang bertujuan memecah belah umat beragama. Upaya-upaya dimaksud diimbangi dengan ketegasan dalam penegakan hukum sehingga tercipta masyarakat yang tertib dan berkeadilan hidup dalam suasana kerukunan antar umat beragama.

A. Rahman (ed),Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.

Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Pustaka Pelajar, Bandung, 2004.

Ahmad Nur Fuad, Cekli Setya Pratiwi, M. Syaiful Aris, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, LPSHAM Muhammadiyah Jatim dan Madani, Malang, 2010

B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Bagir Manan (ed), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Sri Soemanti Martosoewignjo, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.

Bagir Manan,Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), UII Press, Yogyakarta, 2005.

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia,

Badan Penerbit Undip, Semarang, 2009.

Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) Di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, BP UNDIP, Semarang, 2010.

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008.

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962.

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.

Otje Salman Soemadiningrat, Eddy Damian (ed), Hukum dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

H.M. Daud Ali, dkk.,Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.

Koentjaraningrat,Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1985.

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta, 1991

Mochtar Kusumaatdja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982.

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Kualitatif dan Kuantitaif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian edisi III revisi, Rake Sarasin, Bandung, 2006.

Otje Salman,Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1980.

Raija Hanski and Markku Suksi, An Introduction To The International Protection Of Human Rights, 2nd Revised Edition, Institute For Human Rights, Abo Akademi University, 2004.

Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.

Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Penerbit Ciputat Press, Jakarta

Sirajuddin Dkk, Legislatif Drafting, Cetakan Ketiga, Penerbit Malang

Corruption Watch(MCW) dan YAPPIKA, Jakarta, 2008.

Soerjono Soekanto dkk, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981.

Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008.

Dokumen terkait