DENGAN KETENTUAN PASAL 175 JO 176 KUHP
Oleh Iman Imanuddin
110520090512
Komisi Pembimbing :
Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, S.H. Somawidjaya, S.H., M.H.
TESIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh Gelar Magister Hukum
Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
menegaskan adanya kewajiban dari negara untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga masyarakat, termasuk perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi warga negara. Namun adanya Keputusan Bersama 2 Menteri dimanfaatkan untuk membatasi hak beribadah dari agama tertentu. Akibat dari adanya instrumen peraturan yang memberikan peluang terjadinya pemasungan kebebasan beragama dan beribadat, maka berkembang pula bentuk diskriminasi terhadap golongan agama tertentu dan tindakan kekerasan (anarkisme) atas nama agama dan atas nama hukum berupa penutupan rumah ibadah, dipersulitnya pengurusan ijin rumah ibadah, bahkan penganiayaan. Oleh karena itu, penulis bermaksud meneliti dampak dari penerapan peraturan bersama menteri agama dalam pendirian rumah ibadah kaitannya dengan tindak pidana yang berlatar belakang diskriminasi menjalankan ibadah yang menyebabkan tindak pidana dan perlindungan kebebasan beragama dihubungkan dengan pasal 175 jo 176 KUHP, serta faktor faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis, guna memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai Peraturan Bersama 2 Menteri. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu metode yang menitikberatkan penelitian terhadap data kepustakaan. Metode ini dipergunakan mengingat permasalahan yang diteliti berkisar pada hubungan peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya dan dilengkapi dengan teori-teori hukum serta praktik pelaksanaan Peraturan Bersama 2 Menteri dalam pendirian rumah ibadat.
confirms the obligation of the state to provide protection to all citizens, including the protection of citizen rights. However, the presence of Joint Regulation of 2 Ministers used to restrict the right of worship of a particular religion. Result of the regulatory instruments that provide opportunities for the deprivation of freedom of religion and worship, then develops a form of discrimination against certain religious groups and acts of violence ( anarchism ) in the name of religion and in the name of the legal form for closing worship house which hardly obtaining permission. Therefore, the authors intend to examine the impact of the application of the rules with the minister of religion in relation to the establishment of a worship house with the religious backgrounds criminal acts of discrimination that causes crime and the protection of religious freedom associated with article 175 jo 176 of the Penal Code, and the factors which influence the discrimination behavior of citizens.
The method used in this research is descriptive analysis, in order to obtain a thorough and systematic the executions of Joint Regulation of 2 Ministers. The approach used in this research is normative juridical, a method that emphasizes the study of the data library. This method is used considering the researched issue revolves around the connection of legislations and are equipped with the legal theories and practices of Joint Regulation of 2 Ministers in the establishment of worship house.
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara hukum mempunyai tugas pokok yang
terletak pada penegakan hukum dan mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid) bagi seluruh rakyat.1 Hal ini sejalan dengan amanah Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat
Tujuan Negara yaitu melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
menciptakan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
membantu melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi.
Hak asasi manusia (human rights) yang secara universal diartikan sebagai those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being, perumusan dan pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang.2
Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia ditindaklanjuti dengan
dua perjanjian internasional The International Covenant on Civil and Political Rights dan The International Covenant on Economical and Social and Cultural Rights yang menjadikan ketentuan Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia mengikat secara hukum, memberikan penjabaran
1
Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 71.
2
Muladi, Bagir Manan (ed), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Sri Soemanti Martosoewignjo, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 113.
lebih rinci mengenai hak-hak asasi yang dilindungi dan memberikan tata
cara pelaksanaan yang harus diikuti negara-negara anggota.3
Indonesia telah meratifikasi The International Covenant on Civil and Political Rights yang berisikan Universal Declaration of Human Rights melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 2 Ayat
(1)International Covenant on Civil and Political Rightsberbunyi :
“Each state party undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the covenant, without discrimination of
any kind.”
Indonesia sebagai pihak dalam kovenan ini berkewajiban untuk
menghormati dan menjamin hak-hak sipil dan politik yang diakui dalam
Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk
pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun.4
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal 1 Angka 1 UU HAM
menyebutkan ;
“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di
3
David Weissbrodt, A. Rahman (ed),Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994
4
hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pasal di atas menunjukkan bahwa hak asasi merupakan hak yang
diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Penyataan ini menunjukkan pengakuan
negara terhadap nilai-nilai agama, sebagaimana dalam Pasal 29 Ayat (1)
UUD 1945 yang menyebutkan :
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kebebasan setiap warga Negara dalam memeluk dan menjalankan ibadah
sesuai dengan keyakinannya dijamin dalam konstitusi dan berbagai
peraturan sebagai pelaksanaan konstitusi.5 Lebih lanjut, Pasal 29 Ayat (2)
UUD 1945 menentukan :
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Kebebasan beragama merupakan bagian dari hak sipil dan hak
politik yang tidak dapat dibatasi sedikitpun. Namun Majelis Ulama
Indonesia (MUI) berpendapat bahwa kebebasan beragama dapat dibatasi
dalam 3 hal yaitu agama, moral, dan ketertiban umum.6
Ketertiban umum terkait dengan hubungan antar agama atau
disebut kerukunan antar agama, kerukunan antar umat beragama dan
5
Ahmad Nur Fuad, Cekli Setya Pratiwi, M. Syaiful Aris, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, LPSHAM Muhammadiyah Jatim dan Madani, Malang, 2010, hlm. 104.
6 Abdusshomad Buchori, “HAM dan Penerapan Syariah dalam Kontek
kerukunan antar pemeluk agama yang sama menuntut perhatian yang
ekstra hati-hati dan kearifan negara, karena potensi konflik antar umat
agama bisa jadi muncul seiring dengan percepatan pertumbuhan dan
hubungan sosial kemasyarakatan yang semakin individualistik.7
Terkait ketertiban umum, pada tahun 2011, terjadi konflik yang
melibatkan masalah keagamaan. Kasus ini berawal dari dibekukannya
IMB pendirian Gereja Kristen Indonesia pada tahun 2008, Pembekuan ijin
tersebut dikeluarkan setelah muncul sikap keberatan dan protes warga
sekitar. Warga setempat mengaku tidak pernah menandatangani
pernyataan tidak keberatan atas pembangunan gereja tersebut, sebagai
salah satu syarat penerbitan IMB.8
Munir Karta, bekas ketua RT VII/ RW III, dinyatakan bersalah
oleh pengadilan dengan melakukan pemalsuan tanda tangan warga dan
merekayasa surat pernyataan tidak keberatan dari warga untuk
pembangunan gereja GKI Yasmin. Fakta tersebut menjadi dasar
pemerintah Kota Bogor membatalkan IMB yang sudah terbit. Keputusan
Walikota Bogor didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006.
Pasal 4 Peraturan Bersama Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun
2006 mengatur :
7
Joko Riskiyono, “Jaminan Konstitusional Kebebasan Beragama Terancam”, http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/11/30002/jaminan_konstitusional_kebeb asan_beragama_terancam/#.T3hyn3qG2a4 [27/03/2012]
8
“Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota
menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.”
Akibat dari adanya instrumen peraturan yang memberikan peluang
terjadinya pemasungan kebebasan beragama dan beribadat, maka
berkembang pula bentuk diskriminasi terhadap golongan agama tertentu
berupa tindakan kekerasan (anarkisme), penutupan rumah ibadah,
dipersulitnya pengurusan ijin rumah ibadah, bahkan penganiayaan.
Adanya ketentuan yang mensyaratkan ijin warga menjadi peluang
berkembangnya sikap diskriminasi dalam masyarakat.
Kasus lain terjadi di Tangerang Selatan yaitu penyegelan gereja St.
Bernadette di Bintaro, Tangerang Selatan. Penyegelan juga terjadi di
Sumedang. Gereja Pantekosta, yang sudah dilarang beroperasi sejak awal
Desember 2013. Di Jepara Jawa Tengah, Pemkab Jepara menghentikan
sementara pembangunan Gereja Dermolo. Adapun delik yang
berhubungan dengan agama secara tidak langsung bermaksud mencegah
terjadinya keresahan dan bentrokan di kalangan umat beragama
bermaksud melindungi kerukunan hidup beragama.9
Dalam KUHP saat ini, delik yang berhubungan dengan agama atau
terhadap kehidupan beragama, terdapat di dalam Pasal 175-181 dan 503
ke-2 KUHP yang meliputi antara lain perbuatan-perbuatan merintangi
pertemuan/upacara agama (Psl. 175 KUHP) dan mengganggu
9
pertemuan/upacara keagamaan (Psl. 176 KUHP). Oleh karena itu,
berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan menuangkannya dalam bentuk Penelitian dengan Judul
“TINJAUAN YURIDIS PERLAKUAN DISKRIMINASI KEBEBASAN
BERAGAMA YANG BERAKIBAT TINDAK PIDANA
DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN PASAL 175 JO 176
KUHP.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas,
maka diidentifikasi masalah hukum sebagai berikut :
1. Bagaimana dampak dari penerapan peraturan bersama menteri agama
dalam pendirian rumah ibadah kaitannya dengan tindak pidana yang
berlatar belakang diskriminasi menjalankan ibadah yang menyebabkan
tindak pidana?
2. Bagaimana perlindungan hukum kebebasan beragama dihubungkan
dengan Pasal 175 jo 176 KUHP?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga dalam
menjalankan ibadah terhadap pemeluk agama yang berbeda?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dengan diadakannya penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengkaji dampak dari penerapan peraturan bersama menteri
yang berlatar belakang diskriminasi menjalankan ibadah yang
menyebabkan tindak pidana.
2. Untuk mengkaji dan memahami perlindungan kebebasan beragama
dihubungkan dengan pasal 175 jo 176 KUHP.
3. Untuk mengkaji dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
sikap diskriminasi warga dalam menjalankan ibadah keagamaan
terhadap penganut ajaran agama yang berbeda
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai
berikut:
1. Kegunaan Teoretis,
Penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan
ilmu hukum pidana pada umumnya dan khususnya dalam
penanganan tindak pidana berlatar belakang agama di Indonesia.
Beragam keyakinan yang hidup bersinggungan langsung
merupakan potensi konflik yang sangat besar. Menemukan
faktor-faktor yang mempengaruhi perbuatan diskriminatif warga
masyarakat dalam hal kehidupan kerukunan antar umat beragama.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi
kalangan aparat penegak hukum, penyelenggara negara,
mahasiswa, dan masyarakat. Pemahaman yang lebih luas tentang
belakang agama, diharapkan agar penyelenggaraan negara dapat
menjamin hak-hak warga negaranya. Dengan diketahuinya
faktor-faktor penyebab munculnya sikap diskriminatif warga masyarakat
maka bagi aparat penegak hukum maupun pemerintah dapat lebih
awal mengantisipasi potensi konflik yang ada dalam masyarakat
terkait kehidupan kerukunan antar umat beragama. Aparat penegak
hukum diharapkan dapat meminimalisasi potensi konflik dengan
menekan faktor-faktor penyebab diskriminasi dengan
melaksanakan program-program pemerintah berbasis kerukunan
hidup antar umat beragama.
E. Kerangka Pemikiran
Pancasila sebagai landasan filsafat Negara Indonesia, menegaskan
bahwa tatanan politik yang dikehendaki untuk mewujudkan negara ini
adalah Negara Pancasila.10 Negara Pancasila merupakan negara hukum
seperti yang termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
Menurut Hans Kelsen, terdapat dua macam hukum, pertama hukum
dalam arti bentuknya/hukum formil disebut juga sebagai dan Sollen, yang kedua hukum dalam arti isi (hukum materil) disebut juga sebagaidas Sein11. Hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan hukum
10
B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 46.
11
materil menyangkut pengertian keadilan di dalamnya.12 Hukum formil
merupakan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya
suatu kepastian hukum, karena undang-undang berdasarkan suatu sistem
yang logis, yaitu menurut logika dan pasti, serta undang-undang itu dibuat
berdasarkan realitas hukum, dan dalam undang-undang tersebut tidak
terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.13
Agar hukum dapat berjalan dengan baik, perlu kekuasaan untuk
melaksanakannya, namun kekuasaan itulah yang memporakporandakan
hukum jika kekuasaan tidak dibatasi ketat oleh hukum.14
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.15 Ini
berarti bahwa hukum tidak akan berjalan semestinya, bila tidak ada
kekuasaan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu
sistem kekuasaan yang mendukung atau kondusif bagi supremasi hukum.16
A.V. Dicey menguraikannya dengan istilah “The Rule of Law”,
yaitu Supremacy of Law, Equality before the law, dan Due Process of Law. Pada setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law). Dengan demikian, setiap
12
E. Utrecht,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hlm. 49
13
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm. 62 14
Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 167.
15
Mochtar Kusumaatdja,Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 199.
16
perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau
‘rules and procedures’ (regels).17
Pengertian Toleransi dalam bahasa Arab dapat diartikan“tasamuh”
yang artinya bermurah hati, yaitu bermurah hati dalam pergaulan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleransi berarti bersikap atau bersifat
menenggang pendirian yang berbeda atau yang bertentangan dengan
pendiriannya. WJS. Poerwadarminta mengartikan kata “toleransi” dengan
kelapangan dada, dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan
orang lain berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu
kebebasan berpikir dan keyakinan orang lain. Dari beberapa pengertian
tentang toleransi, maka dapat dipahami bahwa toleransi memberikan
pembelajaran kepada kita bahwa hendaknya kita mempunyai sifat-sifat
yang lapang dada, berjiwa besar, memiliki pemahaman yang luas,
mempunyai sifat yang pandai menahan diri, tidak memaksakan kehendak
sendiri kepada orang lain, memberikan ruang yang berbeda kepada orang
lain walaupun perbedaan itu bertentangan dengan keyakinan kita.
Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya
konsepsi hukum yang selalu mampu mendorong dan mengarahkan
pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern.18
Hukum pidana (Penal Policy) menurut Marc Ancel, didefinisikan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
17Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum
Indonesia”,<htpp://konsep_hukumdocudesk.com>[10/06/2011] 18
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik.19 Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau merumuskan suatu peraturan
perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu
dan untuk masa yang akan datang.20
Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 merupakan jaminan perlindungan
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama adalah hak
asasi manusia yang melekat kewajiban dasar bagi manusia lainnya. Hanya
ada 6 agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Islam, Kristen
(Protestan), Hindu, Budha, Katolik, dan Konghucu. Menurut Menteri
Dalam Negeri Indonesia Gamawan Fauzi, agama atau kepercayaan di luar
6 agama resmi yang diakui pemerintah itu kini masih dalam kajian
Kementerian Agama.21
Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.22
19
Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.23.
20
Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 7. 21 M. Iqbal, “Hanya
6 Agama Yang Boleh Ditulis Di E-ktp”, http://news.detik.com/read/2013/11/26/200449/2424439/10/hanya-6-agama-yang-boleh-ditulis-di-e-ktp [20/6/2014]
22 Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum”
Ditinjau dari subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan
hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.23
Penegakan hukum ditinjau dari objeknya mencakup makna yang
luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup
nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam aturan formal maupun nilai-nilai-nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam arti sempit, penegakan
hukum hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis
saja.24 Penegakan hukum dalam arti luas menuntut peran serta seluruh
lapisan masyarakat untuk menjadikan hukum sebagai dasar dalam setiap
tindakan. Penegakan hukum dalam arti sempit lebih terkonsentrasi pada
aparat penegak hukum dan praktisi hukum, melihat norma hukum sesuai
dengan yang tercantum dalam hukum positif dan prosedur hukum pada
tataran ceremonial saja.
Adapun penegakan hukum atas Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun
2006 memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk membatasi
kebebasan beribadat penduduknya apabila kebebasan beribadat itu
menyebabkan sebagian masyarakat yang lain terganggu dan tergerak untuk
melakukan kejahatan atau tindak pidana yang berlatar belakang agama.
Penegakan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri
nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 ini yang seyogyanya dalam rangka
23
Ibid.
24
memberikan perlindungan kepada umat beragama dapat menjalankan
ibadah dan menjalankan keyakinannya dalam pelaksanaannya dapat
bergesar menjadi bentuk lain dari model diskrimnasi terhadap kelompok
agama minoritas yang terlegalisasi. Berkaitan dengan ketertiban umum,
kejahatan terhadap kehidupan beragama diatur dalam delik-delik
Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Maka pada dasarnya agama atau
kehidupan beragama dalam KUHP merupakan pelarangan atas perbuatan
tersebut karena sangat berpotensi mengganggu ketertiban umum.
Perbuatan yang menghalangi kegiatan orang dalam menjalankan ajaran
sesuai dengan agama dan keyakinannya berpotensi menimbulkan
gangguan ketertiban umum. Oleh karena itulah maka negara melalui
perundang-undangannya menjamin perlindungan hak keagamaan warga
negaranya melalui hukum positif.
F. Metode Penelitian
Di dalam penyusunan penelitian Tesis ini, langkah-langkah
penelitiannya telah di susun sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau disebut bahan sekunder, berupa peraturan
perundang-undangan, berbagai macam literatur, dan internet dengan didukung
oleh penelitian lapangan yang merupakan data primer. Perpaduan
bahan pustaka sebagai data sekunder menghasilkan analisis yang
tajam dan faktual. Norma-norma kaidah hukum yang normatif
menjadi pendekatan dalam menganalisis data penelitian lapangan.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif Yuridis Analistis dalam rangka
mengkaji bahan-bahan yang bersumber dari kepustakaan, peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori
hukum untuk menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta secara
sistematis, faktual, logis dan memiliki landasan pemikiran yang
jelas dasar dan sumbernya sehingga diperoleh alternatif pemecahan
sesuai dengan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
3. Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh penulis meliputi tahap kepustakaan,
yaitu meliputi :
a. Bahan-bahan hukum primer berupa peraturan
perundang-undangan
b. Bahan-bahan hukum lainnya yang merupakan bahan hukun
sekunder dan bahan hukum tertier.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan teknik
studi dokumen, wawancara dan pengamatan partisipatif. Studi
dokumen dalam rangka memperoleh landasan teoritis dan
untuk mendapatkan informasi mengenai tindak pidana berlatar
belakang agama dan faktor-faktor penyebab diskriminasi yang
timbul dalam kehidupan beragama yang heterogen. Pengamatan
partisipatif dilakukan dengan cara mengamati secara langsung
tentang kondisi di lapangan secara sistematis terhadap fenomena
yang diselidiki.25
5. Metode Analisis Data
Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul
dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif. Normatif
karena dalam penarikan kesimpulan selalu berdasar pada hukum
positif yang berlaku. Kualitatif karena merupakan analisis data
yang berasal dari informasi-informasi hasil wawancara dan
dokumen yang ditemukan penulis selama melakukan penelitian.
25
PENGATURANNYA
A. Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia
Prinsip kebebasan beragama di Indonesia mengacu kepada
instrumen internasional mengenai HAM, konstitusi dan sejumlah
Undang-undang. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
Undang Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan
dalam Rumah Tangga).
Jaminan terhadap kebebasan beragama pada dasarnya telah diakui
dan diberikan, yang secara eksplisit dituliskan dalam UUD 1945. Dalam
Pasal 28 E ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 45 telah tegas menyatakan
bahwa negara menjamin kebebasan beragama. Pasal 28 I ayat (1) UUD 45
menyatakan bahwa hak beragama adalah bagian dari hak yang tidak dapat
dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non derogable rights). Kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh konstitusi bukanlah berarti kebebasan tanpa batas yang tidak menghormati dan
menghargai kebebasan pemeluk agama yang lainnya.
Secara kolektif tidak ada istilah mayoritas dan minoritas dalam
menjalankan haknya sebagai pemeluk ajaran agama, tidak dikenal prioritas
dalam hal keyakinan namun semua memiliki hak yang sama.
Banyak terminologi yang mendefinisikan agama sesuai dengan
pandangan pengetahuan yang ada. Adapun agama menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan,
atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran
kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
tersebut.26
Menurut H.M. Amin Abdullah, pelaksanaan Hak Kebebasan
Beragama dan Beribadah di tanah air, setidaknya ada 3 pemasalahan.
Pertama, Permasalahan perundang‐undangan. Kedua, peran aparat negara
dalam penegakan hukum. Ketiga, pemahaman tentang negara‐bangsa
(nation‐states) oleh masyarakat atau warga negara penganut agama‐agama, pemangku adat dan anggota ras atau etnis. Ketiganya saling
berkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan lainnya.27
Perundang-undangan yang mengatur tentang kehidupan beragama masih
banyak memberikan peluang adanya pelanggaran hak asasi menjalankan
ibadah agama, kesimpangsiuran peraturan yang mengatur membuat
banyak celah hukum terjadinya pelanggaran hukum. Ada dua sumber
hukum yang ada di tanah air untuk menangani dan menyelesaikan
26
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional edisi ketiga, Jakarta, 2002, hlm. 74.
27
perselisihan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan beribadah.
Pertama, adalah Undang‐undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Disebutkan
dalam Laporan Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia salah satu penyebab “kematian”
517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 adalah UU
No. 1/PNPS/1965. Padahal menurut Pasal 27 Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik, kelompok minoritas tidak boleh diingkari
haknya untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.
B. Pengertian Umum Tindak Pidana
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia ialah hukum pidana yang
telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dari aturan-aturannya telah
disusun dalam satu kitab undang-undang yang dinamakan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Asas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya dikenal dalam
bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).28 Asas legalitas
adalah sebagai pijakan dalam penegakan hukum karena tidak satupun
perbuatan manusia yang dapat dipidana apabila belum ada ketentuan yang
mengatur tentang perbuatan yang dilarang tersebut beserta ancaman
pidananya atas pelanggaran terhadap perbuatan yang diatur tersebut.
28
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman
pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.29
Perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan dapat dihukum.30 Dasar patut
dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau
landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana atau bukan.31 Patut tidak suatu perbuatan dianggap sebagai
perbuatan pidana dan dapat dipidana tergantung dari ketentuan yang
mengatur tentang perbuatan dan pidana itu sendiri.
Berdasarkan kajian etimologis tindak pidana berasal dari kata
strafbaar feit.Menurut Simons,tindak pidana adalah kelakuan (handeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab.32
29
Ibid., hlm. 54 30
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 4.
31
Barda Nawawi Arief,Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia,Badan Penerbit Undip, Semarang, 2009, hlm. 49.
32
Moeljatno mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut.33
Komariah E. Sapardjaja menggunakan istilah Tindak Pidana dalam
menerjemahkan strafbaar feit. Menurutnya bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan
hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.34
Perbedaan pendapat mengenai strafbaar feit terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Menurut Moeljatno,
pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk
adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Sedangkan
pandangan dualistis membedakan dengan tegas dapat dipidananya
perbuatan dan dapat dipidananya orangnya. Moeljatno memisahkan antar
pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, oleh karena
dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi
pertanggungjawaban pidana.35
Selanjutnya menurut Moeljatno, syarat formil itu harus ada, karena
adanya asas legalitas yang tersimpul pada Pasal 1 KUHP. Syarat materiil
harus juga ada.36
33
Moeljatno,op.cit.hlm. 54 34
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 27.
35
Ibid.,hlm. 36. 36
C. Tindak Pidana Berlatar Belakang Agama Berdasarkan KUHP
Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan suatu sistem yang
terdiri atas empat komponen:37
a. emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap
religius;
b. sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta
bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta
segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan;
c. sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk
mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus
yang mendiami alam gaib;
d. umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan
tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara
tersebut butir c.
Keempat komponen di atas terjalin erat satu sama lain sehingga
menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara utuh. Kepentingan agama
menyangkut kepentingan mengenai emosi keagamaan, sistem keyakinan,
sistem ritus dan umat yang merupakan satu kesatuan. Hal inilah yang
menyebabkan diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap agama
atau kepentingan agama.38
37
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 144-145.
38
Adapun pengertian tindak pidana agama dapat dibedakan menjadi
3 (tiga) kriteria, yaitu:39
a. tindak pidana menurut agama;
b. tindak pidana terhadap agama;
c. tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan
beragama.
Selama ini, di dalam KUHP (WvS) tidak ada pengaturan khusus
mengenai delik agama, walaupun ada beberapa delik yang sebenarnya
dapat dikategorikan juga sebagai delik agama dalam ketiga pengertian
diatas. Delik-delik tindak pidana menurut agama di dalam KUHP itu
belum tentu sama dan tidak mencakup semua perbuatan
dosa/terlarang/tercela menurut ajaran atau norma-norma hukum agama.40
Delik agama dalam pengertian tindak pidana terhadap agama
terlihat terutama dalam Pasal 156a KUHP maupun Pasal 156-157 KUHP.
Adapun delik agama dalam pengertian tindak pidana yang berhubungan
dengan agama atau kehidupan beragama, tersebar antara lain di dalam
Pasal 175-181 dan 503 ke-2 KUHP
Pada praktiknya pelaksanaan dari unsur delik yang berhubungan
dengan penodaan agama sangat sulit untuk ditegakan karena belum adanya
kesadaran masyarakat dalam memahami penghormatan antar umat
beragama.
39
Barda Nawawi Arief,Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) Di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara,BP UNDIP, Semarang, 2010, hlm. 1.
40Barda Nawawie, “Tindak Pidana Terhadap Agama”,
A. Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik dari sisi budaya,
etnis, bahasa, suku bangsa dan agama. Di negara ini hidup berbagai
agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Keyakinan yang hidup dan berkembang di masyarakat jumlahnya sangat
banyak dan hampir tidak dapat teridentifikasi.. Suku bangsa dan bahasa
daerah yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia merupakan kekayaan
Negara Indonesia yang perlu mendapatkan penanganan secara
komprehensif dan berkelanjutan. Sejalan dengan potensi heterogenitas
yang cukup besar juga menyimpan potensi konflik yang besar pula sebagai
akibat adanya perbedaan, potensi konflik ini apabila tidak dikelola dengan
baik maka akan mengakibatkan konflik yang nyata.
Pada sensus tahun 2000, religious demography di Indonesia menunjukkan 213 juta jiwa penganut agama yang berbeda dengan
komposisi 88.2% pemeluk Islam, 5.9% Kristen, 3.1% Katolik, 1.8%
Hindu, 0.8% Buddha, dan 0.2% agama serta kepercayaan lainnya. Pada
Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005 juga masih menunjukkan angka yang hamper sama, yaitu pemeluk Islam (88.58%), Kristen (5.79%),
Katolik (3.08%), Hindu (1.73%), Buddha (0.60%), Khonghucu (0.10%),
dan lainnya (0.12%).41
Masyarakat Indonesia, dalam menjalankan kehidupan sosialnya
terkadang tidak bisa menghindari gesekan-gesekan yang dapat terjadi antar
kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan ras maupun agama.
Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat
maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling menghargai.
Masyarakat dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban diantara
yang satu dengan yang lainnya. Ketegangan antar individu dalam rangka
memperjuangkan kepentingannya dapat di reduksi dengan sikap saling
menghormati dan menghargai kepentingan pihak lain. Penanaman
nilai-nilai moral yang baik harus senantiasa ditanamkan dalam setiap hubungan
dalam masyarakat. Dengan adanya kesadaran dari setiap individu dalam
masyarakat untuk menghormati orang lain beserta hak dan kepentingannya
maka potensi konflik yang ada dalam masyarakat akan dapat diredam.
Toleransi hak dan kewajiban dalam umat beragama telah tertanam dalam
nilai-nilai yang ada pada pancasila. Semangat persatuan dan kesatuan
bangsa seyogyanya menjadi tatanan mendasar yang harus dipegang teguh
oleh setiap warga negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sikap saling hormat menghormati seharusnya
tidak memandang mayoritas dan minoritas karena sebenarnya
menghormati sesama manusia tidak didasarkan pada jumlah namun pada
kesetaraan sesama manusia itu sendiri. Apabila mengacu pada pasal 29
UUD 1945, maka sudah secara nyata disebutkan bahwa negara menjamin
setiap warga negaranya untuk memilih, meyakini, memeluk dan
menjalankan agama beserta ajarannya secara bebas dan merdeka.
Kebebasan beragama merupakan dasar bagi terciptanya
kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap
manusia, sedangkan toleransi antar umat beragama adalah cara agar
kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Semua umat beragama
mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjalankan ajaran agamanya.
Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan
terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang
sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut.
Masing-masing umat beragama harus memegang prinsip-prinsip mendasar dari
ajaran masing-masing agama yang diyakininya, namun dalam pelaksanaan
pemegangan prinsip-prinsip keagamaan tersebut harus tumbuh bersamaan
dengan kelapangan jiwa dan hati untuk menghormati prinsip-prinsip
keagamaan orang lain juga. Toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat
perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain
tanpa mengorbankan prinsip sendiri.42 Setiap agama mengajarkan
kedamaian dan kerukunan hidup sesama manusia, hal ini merupakan
pembelajaran nilai-nilai toleransi.
42
Toleransi dalam pergaulan hidup antara umat beragama yang
didasarkan pada tiap-tiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama
itu sendiri, mempunyai bentuk ibadah (ritual) dengan sistem dan cara
tersendiri yang dibebankan serta menjadi tanggung jawab orang yang
memeluknya atas dasar itu.43 Sikap toleran dari setiap pemeluk agama
adalah tanggungjawab bathin dari pemeluk agama itu sendiri, karena pada
dasarnya tidak ada satupun agama yang mengajarkan sikap permusuhan
dan intoleran.
Masalah yang menyebabkan timbulnya benturan dan konflik
agama ialah Double Standart atau standar ganda. Standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan
teologis di bawah agamanya. Lewat standar ganda, muncul
prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar
umat beragama. Orang-orang Kristen maupun Islam selalu menerapkan
standar-standar yang berbeda untuk dirinya, sedangkan terhadap agama
lain, mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realitas historis,
adalah suatu kondisi berlakunya standar ganda.44 Ada beberapa hal yang
bisa menjadi penyebab rusaknya hubungan antar umat beragama dan yang
bisa menjadi penyebab terjadinya radikalisasi pengamalan ajaran agama
yang mengarah kepada disintegrasi bangsa, yang harus diwaspadai.
Pendirian tempat ibadah yang tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi
43
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Penerbit Ciputat Press, Jakarta, hlm. 14
44
lingkungan umat beragama setempat. Banyak konflik umat beragama
berawal dari pendirian rumah ibadah. Konflik akibat perilaku intoleransi
antar umat beragama telah menyita perhatian pemerintah, masyarakat
maupun pihak asing. Hal ini berpengaruh terhadap kredibilitas bangsa dan
negara kita yang sedang gencar mengkampanyekan HAM.
Penyiaran agama yang dilakukan tanpa menghormati nilai-nilai
agama lain, tidak mengindahkan etika dan estetika penyampaian nilai
agama serta tidak taat pada undang-undang yang berlaku dapat
menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Fanatisme yang sempit yang
menanamkan nilai-nilai yang menjunjung tinggi ajaran agamanya dengan
merendahkan ajaran agama lain dapat menjadi pemicu permusuhan.
Penistaan terhadap ajaran-ajaran, penistaan terhadap pembawa ajaran yaitu
nabi dan rosul, penghinaan terhadap firman-firman Tuhan dari
masing-masing agama yang berbeda adalah salah satu pemicu atas konflik.
Perilaku tidak arif dari para penyampai ajaran agama merupakan faktor
yang cukup efektif dan provokatif guna menumbuhkan benih-benih
permusuhan antar umat beragama.
Budaya masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi guru
telah mengakar dalam jiwa dan keseharian, sehingga apa yang
disampaikan oleh guru, ustad, ulama, kyai, pendeta, pastor merupakan
doktrin dan pengetahuan yang tidak terbantahkan oleh umatnya bahkan
kadang tidak memperhatikan kebenarannya menurut norma yang berlaku
yang disampaikan oleh penyebar ajaran agama tidak boleh diganggu gugat
sehingga pada akhirnya kondisi ini menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan sikap diskriminatif dari para pemeluk agama.
Kearifan para pemeluk dan pemuka agama dalam menjalankan
ajaran agama dan merayakan hari besar keagamaan sangat diperlukan.
Sikap saling menghormati dari pemeluk agama yang menjalankan
perayaan dengan masyarakat sekitar yang menjadi lingkungan dimana
perayaan tersebut dilaksanakan sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga
kamtibmas dan tata kerukunan antar umat beragama.
B. Tindak Pidana yang Terjadi Terkait Pendirian Rumah Ibadah
Hak untuk beribadah dan menjalankan kepercayaan memang
telah mendapat jaminan hukum melalui konstitusi dan dasar negara.
Namun begitu, dalam pelaksanaannya kebebasan umat beragama untuk
mendirikan rumah ibadah sebagai wujud nyata jaminan konstitusi masih
sering dihalang-halangi. Keinginan untuk menjalankan ajaran agama dan
beribadah sesuai dengan agamanya dari para pemeluk minoritas suatu
agama seringkali mendapat pelarangan dari masyarakat yang jumlah
pemeluknya lebih banyak disuatu daerah.
Kesetaraan kesempatan beribadah dari setiap pemeluk agama
yang seharunya memiliki kesempatan yang sama menjadi tidak seimbang
karena ada pembatasan dari warga masyarakat lain yang memiliki
keyakinan atau agama yang berbeda. Walaupun negara sudah menjamin
memerlukan upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat oleh
pemerintah dari pemerintah pusat hingga daerah. Kesenjangan sosial juga
dapat menjadi pemicu larangan-larangan yang terjadi. Misalnya pada suatu
daerah dimana masyarakatnya hidup dalam kesederhanaan tiba-tiba di
daerah tersebut akan dibangun sarana ibadah yang megah dengan hiruk
pikuk kemegahan jemaahnya, maka sudah dapat dipastikan akan
memunculkan kecemburuan sosial dalam lingkungan tersebut.
Dampak dari konflik membuat banyak tindak pidana yang terjadi.
Munculnya dugaan-dugaan tindak pidana merupakan ekses konflik antar
pemeluk agama yang berawal dari adanya sikap diskriminasi warga
masyarakat kepada pemeluk agama lainnya. Para tokoh agama kedua
pihak yang tidak saling meredakan kemarahan jemaah dan warganya
bahkan cenderung provokatif juga menjadi penyulut kemarahan yang terus
berkepanjangan. Campur tangan pihak-pihak diluar kelompok yang
bersengketa karena didorong oleh kesamaan keyakinan juga semakin
memperkeruh suasana kebatinan para pihak yang sedang berkonflik.
Banyak kasus pidana terjadi berawal dari adanya konflik antar
pemeluk agama yang berbeda seperti halnya konflik antara masyarakat
desa Curugmekar Kota Bogor dengan jemaah Gereja GKI Yasmin. Kasus
lain terjadi di Sumedang, yaitu kasus Gereja GPdI Mekargalih dan
Penahanan Pendeta Bernard Maukar di Lapas Sumedang. Ditempat lain
berbeda bahkan mereka yang bersengketa memanfaatkan Pidana sebagai
upaya melakukan penekanan kepada pihak yang mereka anggap lawannya.
Hal ini menjadi preseden buruk bagi proses penegakan hukum
sehingga membutuhkan kejelasan yang dilindungi dan didasari oleh
undang-undang yang ada untuk melindungi semua hak warga Negara. Hak
untuk beribadah terlindungi oleh negara namun dalam menjalankan
haknya juga tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan pidana. Negara
menjamin umat bergama untuk mendapatkan kesempatan yang sama
dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Upaya jemaat dalam
mengajukan perijinan harus direspon oleh aparat negara dengan segera
memberi kepastian apabila semua prosedur pengajuan ijin sudah terpenuhi.
Jemaat juga harus taat hukum, apabila selama proses pengajuan ijin belum
mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang maka tidak boleh
melakukan kegiatan peribadatan.
Pemerintah daerah mempunyai kewajiban memberikan
penyuluhan kerukunan umat beragama dan penyuluhan kepada masyarakat
tentang toleransi antar umat beragama. Keberpihakan pemerintah daerah
kepada salah satu umat beragama merupakan preseden buruk dalam
pelayanan kesetaraan terhadap warga masyarakat yang secara jelas dijamin
oleh undang-undang dalam menjalankan ibadah menurut agama dan
BERAKIBAT TINDAK PIDANA
A. Dampak Penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama Dalam Pendirian Rumah Ibadah Kaitannya Dengan Tindak Pidana Yang Berlatar Belakang Diskriminasi Menjalankan Ibadah Yang Menyebabkan Tindak Pidana
Tujuan pembuatan undang-undang adalah ketertiban dan legitimasi
yang juga mempertimbangkan kompetensi.45Pada kajian ilmu hukum paling
tidak ada 3 faktor yang menjadi parameter sebuah undang-undang dapat
berlaku secara baik, yakni: mempunyai dasar keberlakuan Yuridis,
Sosiologis, dan Filosofis.46
Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan diperinci dalam
syarat-syarat:47
1. Undang-undang dibuat oleh badan atau pejabat yang
berwenang membuat undang-undang.
2. Ada kesesuaian dari setiap undang-undang yang berlaku.
3. Mengikuti tata cara tertentu..
45
Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 37.
46
Sirajuddin Dkk, Legislatif Drafting, Cetakan Ketiga, Penerbit Malang
Corruption Watch(MCW) dan YAPPIKA, Jakarta, 2008, hlm. 11. 47
Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001,hal. 229
4. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya.
Mengenai keberlakuan yuridis, Hans Kelsen, sebagaimana yang
dikutip Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat bahwa setiap kaidah
hukum harus berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.48Adapun
menurut W. Zevenbergen, setiap kaidah hukum harus memenuhi
syarat-syarat pembentukannya. Sementara itu menurut Logemann, suatu kaidah
hukum itu berlaku secara yuridis apabila di dalam kaidah hukum tersebut
terdapat hubungan sebab akibat atau kondisi dan konsekuensi.49
Berdasarkan penjelasan di atas, hukum yang sah adalah apabila
ditentukan oleh suatu instansi yang berwenang dan ditentukan menurut
kriteria yang berlaku.Berkenaan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama
Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 Dan Nomor 9 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (Peraturan
Bersama 2 Menteri), dapat dilihat dari pembentukannya.
Pembentukan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006 dilakukan sudah melalui poses
dan prosedur yang ditetapkan sebagai mekanisme pembentukan peraturan
bersama. Dibentuk oleh lembaga atau instansi yang berwenang membuat
dengan mengacu pada uandang-undang yang ada diatasnya maka peraturan
48
Soerjono Soekanto Dkk, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 88-89
49
bersama memiliki kekuatan hukum yang jelas. Pembentukan Peraturan
Bersama 2 Menteri berdasarkan kewenangannya tidak dilarang dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan
Perundang-Undangan diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
nomor 8 dan 9 tahun 2006 merupakan pedoman bagi seluruh umat
beragama yang ada di Indonesia demi kerukunan umat beragama. Menurut
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan
9 tahun 2006, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administratif yang berlaku di daerah di mana rumah ibadat tersebut akan
dibangun. Persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk membangun
rumah ibadat adalah perizinan. Urusan penerbitan perizinan merupakan
salah satu urusan otonomi daerah.
Pendirian-pendirian gereja sebagai tempat ibadah yang tidak
mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar dapat menyebabkan aksi protes
masyarakat itu sendiri yang kemudian memunculkan kekerasan. Adanya
organisasi masyarakat yang ikut dalam aksi protes, adanya penggunaan
kekerasan, penyegelen sepihak menyebabkan kepala daerah sebagai
pelaksana pemeliharaan kerukunan umat beragama, yang berpedoman pada
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9
tahun 2006 harus mengambil sikap dan keputusan. Adapun tindakan
masyarakat yang mengarah pada perbuatan pidana dapat dikategorikan
beragama menurut KUHP, yaitu merintangi pertemuan/upacara agama (Pasal
175 KUHP), mengganggu pertemuan/upacara keagamaan (Pasal 176 KUHP),
dan membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah
dilakukan (Pasal 503 ke-2 KUHP). Dalam menyikapi permasalahan pendirian
rumah ibadah yang kemudian memunculkan konflik horizontal antar pemeluk
agama menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dalam
praktiknya, pendirian rumah ibadah yang tidak mendapat dukungan mayoritas
masyarakat sekitar, memicu konflik dengan tindak kekerasan, intimidasi
sehingga berakibat pada terjadi tindak pidana yang mengatasnamakan agama
dalam hal pendirian rumah ibadah pada akhirnya jemaat juga mensiasati
dengan memenuhi persyaratan melalui sebuah perbuatan pidana juga. Namun
hal ini tidak dapat mengurangi keberlakuan yuridis dari Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Agama, dengan bentuk dan proses pembuatan yang telah
ditetapkan serta tidak memuat materi yang bertentangan dengan peraturan
diatasnya. Para tokoh agama ataupun tokoh masyarakat yang kurang bijak
bahkan cenderung provokatif menjadi pendorong tersendiri konflik yang
terjadi di masyarakat. Faktor ketidak tegasan pemerintah daerah dalam
melakukan penegakan aturan dan penyelesaian konflik diakibatkan juga oleh
kepentingan pemerintah yang tidak mau dikatakan tidak demokratis sehingga
mau mengambil resiko. Akibat dari sikap itulah sehingga pada akhirnya
konflik yang terjadi terus berkepanjangan dan tidak kunjung berakhir.
Konflik yang melibatkan masyarakat akan dapat segera terselesaikan
jika ada ketegasan dari pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal ini
ketegasan pimpinan/kepala dari pemerintahan sesuai dengan levelnya.
Ketegasan itu akan muncul apabila pejabat publiknya dapat melepaskan
kepentingan politik dan kepentingan pencitraan, belenggu lumbung suara
dalam mengambil keputusan untuk kepentingan penegakan aturan. Termasuk
didalamnya penegakan aturan SKB 2 Menteri. Berkaitan dengan banyaknya
kasus pendirian rumah ibadah yang ditentang masyarakat sekitar, penegak
hukum tidak boleh berpihak. Hak untuk beribadat sesuai agama dan
kepercayaan merupakan non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun), maka siapapun tidak dapat
menuntut secara hukum orang lain karena beribadat sesuai agama dan
kepercayaannya tersebut. Tapi, jika ada perselisihan terkait pendirian rumah
ibadat, maka perselisihan tersebut diselesaikan secara musyawarah oleh
masyarakat setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006.
B. Perlindungan Hukum Kebebasan Beragama Dihubungkan Dengan Pasal 175 jo 176 KUHP
Salah satu ciri dari Negara hukum atau the rule of lawadalah adanya jaminan perlindungan HAM oleh Negara kepada warga negara. Makna
mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), menjamin (to guarantee), memenuhi (to fulfil), memastikan (to ensure)HAM.50
Adapun salah satu tujuan nasional Indonesia yang ada pada
Pembukaan UUD 1945 ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Negara memiliki kewajiban untuk
melindungi hak-hak setiap warga negara Indonesia dari segala bentuk
tindakan melanggar hak warga Negara tersebut. Berkaitan dengan kebebasan
beragama, sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan, pemerintah sempat
mengeluarkan beberapa kebijakan baru mendukung kebebasan beragama
melalui TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang
mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia. Seiring dengan
perubahan UUD 1945 maka kebebasan beragama dan beribadah sesuai
dengan kepercayaan yang dianut semakin dikukuhkan. Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945. Berdasarkan Pasal 70 UU HAM, dalam menjalankan ibadah dan
kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis, pemerintah dapat
mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan
melalui peraturan perundang-undangan.
50
Revisi KUHP diharapkan dapat mengakomodasi masyarakat
Indonesia yang semakin demokratis dan sekaligus mengalami problem moral
dan kriminal yang sangat merusak, seperti tindak kekerasan fisik yang
dilakukan terhadap pendirian tempat ibadah agama lain. Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang religius dan posisi agama tercermin dalam
ideologi dan konstitusi negara, yakni sila pertama Pancasila dan Pasal 29
UUD 1945, meskipun Negara Indonesia bukan negara agama.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terdapat tindak pidana
yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama menurut KUHP,
yaitu merintangi pertemuan/upacara agama (Psl. 175 KUHP), mengganggu
pertemuan/upacara keagamaan (Psl.176 KUHP). Bagi orang yang
menghalang-halangi kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, dapat
dijerat dengan Pasal 175 KUHP.
Mengenai Pasal 175 dan 176 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya
yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan:51
(1) “pertemuan umum agama” adalah semua pertemuan yang
bermaksud untuk melakukan kebaktian agama;
(2) “upacara agama” adalah kebaktian agama yang diadakan
baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang
lazim dipergunakan untuk itu;
51
(3) “upacara penguburan mayat” adalah baik yang dilakukan
waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada
diperjalanan ke kubur, maupun di makam tempat
mengubur.
Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah bahwa
“pertemuan umum agama” tersebut tidak dilarang oleh Negara.
Delik agama dalam RUU KUHP merupakan implementasi dari sila
pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 sebagai bentuk perlindungan
Negara terhadap agama, kehidupan beragama, simbol-simbol agama, dan
rumah ibadah; diatur sebagai delik formil (tidak mensyaratkan pembuktian
adanya akibat dari delik/perbuatan pidana tersebut); serta untuk mencegah
aksi main hakim sendiri dari masyarakat. Orientasi Utama Pasal 341-348
RUU KUHP adalah untuk melindungi eksistensi Agama dan kebebasan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaan itu melalui sarana hukum pidana.52
C. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Diskriminatif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga antara lain :
1. Adanya kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial
mengakibatkan munculnya sikap-sikap cemburu yang dapat
menjadi pemicu konflik.
52
2. Fanatisme agama. Fanatisme terhadap agama yang sempit
dan berlebihan dapat mengakibatkan sikap mau benar
sendiri dan tidak mengindahkan norma-norma toleransi.
3. Pemahaman yang salah atas ajaran agama. Pemahaman
ajaran agama yang sempit menjadi salah satu faktor yang
ikut mewabahnya faham radikalisme yang destruktif
melahirkan para pelaku teror yang kebanyakan adalah
generasi muda.
4. Provokasi pihak-pihak yang berkepentingan atas adanya
konflik. Konflik yang terjadi di Indonesia bukan merupakan
konflik agama namun agama dijadikan pemicu untuk
terjadinya perpecahan oleh berbagai pihak yang memiliki
kepentingan baik dari politik maupun kelompok tertentu.
5. Proyek anggaran pemerintah. Adanya konflik menyebabkan
adanya anggaran Negara yang dialokasikan untuk
penyelesaian konflik sehingga berpotensi adanya
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya,bahwa kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama
dan kepercayaan yang diakui secara legal oleh negara telah dijamin oleh negara
dengan berbagai ketentuan perundang-undangan serta peraturan peraturan
pemerintah lainnya. Perilaku-perilaku diskriminasi yang terjadi di masyarakat
sebagai akibat dari adanya kesenjangan antar pemeluk agama yang satu dengan
penganut agama yang lain disertai dengan fanatisme sempit sebagian pemeluk
agama yang berbeda, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Dengan adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006
maka pemerintah telah menjamin hak setiap pemeluk agama
terlindung dari perlakuan diskriminatif pemeluk agama lain,
namun syaratnya bahwa pemeluk agama yang akan
melakukan kegiatan agama atau pendirian rumah ibadah juga
harus mentaati peraturan yang sesuai dengan undang-undang.
Terbitnya peraturan bersama tersebut bukan merupakan
bentuk diskriminasi atau menyuburkan prilaku diskriminatif
dalam masyarakat namun keberadaan peraturan bersama
adalah untuk menjaga keseimbangan serta terjaminnya hak
dan kewajiban pemeluk agama. Dalam menjalankan haknya
setiap warga negara wajib mentaati ketentuan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang kerukunan hidup
beragama maupun perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia
2. Pasal 175 dan 176 KUHP merupakan bentuk perlindungan
negara kepada setiap warga negara yang akan melakukan
kegiatan keagamaan atau sedang melakukan kegiatan
keagamaan, supaya tidak ada gangguan dalam melaksanakan
kegiatan keagamaan tersebut dengan syarat bahwa kegiatan
keagamaan yang diselenggarakan harus sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang berlaku. Negara sudah
mengakui adanya agama yang berbeda-beda dalam
masyarakat, dengan demikian maka negara juga harus
menciptakan suasana yang aman dan saling menghormati
antar pemeluk agama yang berbeda. Bentuk upaya negara
memberikan jaminan dan penciptaan kondisi saling
menghormati dapat dilihat dari berbagai peraturan baik dalam
bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah atau
pemerintah Daerah. Apabila terdapat warga negara
menghalangi kegiatan pemeluk agama lain untuk melakukan
3. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi
adalah kesenjangan sosial, fanatisme agama yang sempit,
pemahaman yang salah atas suatu ajaran agama, provokasi
dari pihak yang berkepentingan atas adanya konflik dan
proyek anggaran pemerintah. Sikap diskriminasi yang timbul
dalam kehidupan kerukunan umat beragama tidak serta merta
muncul dalam masyarakat walaupun sikap diskriminasi itu
sendiri merupakan situasi alamiah ketika dihadapkan pada
keadaan mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas pada
umumnya akan merasa superior terhadap kelompok minoritas
sehingga kelompok yang merasa mayoritas menganggap
kepentinganyalah yang harus didahulukan begitupun
kelompok minoritas selalu merasa terpinggirkan
kepentingannya walaupun sudah diakomodir. Keadaan yang
timbul diantara dua kelompok inilah yang kemudian menjadi
sumber konflik yang terjadi dengan adanya provokasi dari
pihak yang menghendaki konflik terjadi termasuk didalamnya
dalam rangka penyerapan anggaran pemerintah, dengan
faktor-faktor tersebut diatas sebagai katalisator atas perilaku
diskrimansi dalam masyarakat. Ketika kelima faktor yang
mempengaruhi sikap diskriminasi dibiarkan tumbuh dalam
masyarakat maka sikap-sikap diskriminasi dalam masayarakat
B. Saran
1. Untuk memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat
pemeluk agama dan kepercayaan yang akan menjalankan ajaran
agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya maka
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
nomor 8 dan 9 tahun 2006 hendaknya diterapkan oleh
pemerintah daerah dengan tujuan menjaga ketertiban
masyarakat dan menjaga kerukunan antar umat beragama.
Ketegasan pemerintah dalam menjalankan peraturan bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun
2006 sangat diperlukan. Tidak memberikan kebijakan-kebijakan
yang melonggarkan peraturan dan ketentuan perundangan yang
mengaturnya. Sikap permisif kepada pihak pemeluk agama
manapun untuk memberikan kebijaksanaan hanya akan
memunculkan dan menumbuhkan perasaan diskriminasi.
Penegakan hukum juga seharusnya disertai dengan pemberian
pemahaman kepada para pemeluk agama yang berbeda.
Pemenuhan hak harus sejalan dengan pemenuhan kewajiban
guna memperoleh keseimbangan dalam hal penegakan hak dan
kewajiban masyarakat menjalankan ibadah sesuai dengan agama
2. Agar pemerintah daerah memasukan pembangunan rumah
ibadah kedalam suatu rancangan tata kota. Resistensi yang
timbul pada umunya berawal dari adanya perbedaan keyakinan.
Pada saat gereja dibangun ditengah pemukiman umat Muslim
yang padat maka potensi penolakannya akan sangat besar
begitupun sebaliknya ketika mesjid dibangun ditengah
pemukiman umat Nasrani yang padat maka akan terjadi
resistensi yang cukup besar, walaupun itu bukan merupakan
sebuah kepastian namun untuk mengantisipasi hal tersebut
Pemerintah Daerah hendaknya memasukan pembangunan
rumah ibadat ke dalam suatu rancangan tata kota, sehingga
setiap pembangunan rumah ibadat sesuai dengan daerah dan
lokasi peruntukannya untuk mencegah terjadinya konflik
dengan masyarakat sekitar. Penataan kota yang baik sesuai
dengan peruntukannya menjadi salah satu solusi menekan
konflik sara yang akan terjadi akibat sikap diskriminasi dalam
masyarakat. Pemerintah daerah juga dapat menggunakan sistem
zona atau cluster untuk daerah-daerah tertentu guna menampung
pemeluk agama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan
agamanya pada zona tersebut dibuatkan rumah ibadah sesuai
dengan kebeutuhan pemeluk agamanya. Pemerintah daerah
memerlukan garis kebijakan yang jelas dalam hal melakukan