D. Divisi Celup Benang
4.3. Faktor- Faktor Penyebab Produk Cacat pada Divisi Spinning
Fase pada six sigma dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab produk cacat pada Divisi Spinning. Penyebab cacat dapat diketahui dengan menggunakan fase define, measure dan analyze.
4.3.1. Define
Pada umumnya hampir keseluruhan proses produksi pada PT Unitex Tbk khususnya pada Divisi Spinning dilakukan dengan menggunakan mesin. Mulai dari proses pemintalan, pemeriksaan produk gagal hingga penggulungan benang semuanya dilakukan dengan mesin. Namun, pada tahap awal yaitu pada tahap pemeriksaan dan pembersihan bahan baku dilakukan secara manual. Bahan baku kapas diperiksa dan dibersihkan dari kotoran yang menempel serta madu kapas karena akan mempengaruhi hasil produksi. Kotoran yang menempel pada kapas dapat merusak benang yang dihasilkan karena benang menjadi kotor, menggumpal atau putus. Madu kapas atau yang biasa disebut dengan honey dew membuat kapas menggumpal dan harus dibuang.
IPO Graph dibuat untuk mendefinisikan proses bisnis yang diteliti dengan mengenali hubungan variabel input dan responnya. Dengan demikian dapat diidentifikasi dengan jelas apa input yang dibutuhkan untuk menghasilkan output yang diharapkan. IPO Graph dapat dilihat pada Gambar 11
Gambar 11. IPO Graph
INPUT PROCESS OUTPUT
Mutu bahan baku yang baik
Pekerja yang terampil danteliti
INPUT
Kondisi mesin dan peralatan yang baik
Setting mesin yang
tepat
Metode kerja yang baik
Standar mutu yang jelas
Keseluruhan proses produksi dalam Divisi Spinning
Produk yang bebas cacat dan sesuai dengan standar mutu
Fase ini menggambarkan masalah yang dialami oleh perusahaan khususnya pada Divisi Spinning. Masalah yang dihadapi oleh Divisi Spinning adalah adanya sejumlah produk cacat yang tertangkap oleh mesin pada tahap finishing. Kriteria produk cacat yang tertangkap oleh mesin meliputi slub, thin dan thick. Dari kriteria tersebut terdapat beberapa kriteria yang lebih spesifik yang mempengaruhi mutu yang biasa disebut titik kritis mutu atau Critical To Quality (CTQ). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. CTQ Tree
Deskripsi secara jelas tentang masing-masing CTQ dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Deskripsi CTQ
Kriteria CTQ Deskripsi
Small faults
Terjadi Kegagalan kecil pada benang (tidak dipotong oleh mesin)
Medium faults Kegagalan tingkat sedang (dipotong oleh mesin)
Slub
Big faults Benang kotor atau menggumpal (dipotong oleh mesin)
+ 30 % Ketebalan benang melebihi standar sebesar 30 persen
Thick
+ 45 % Ketebalan benang melebihi standar sebesar 45 persen - 30 % Ketebalan benang kurang dari standar sebesar 30 persen
Thin
- 45 % Ketebalan benang kurang dari standar sebesar 45 persen
Thick Slub - 30 % + 45 % Big faults Medium faults Small faults Produk bebas cacat TARGET PENENTU CTQ + 30 % - 45 % Thin
Slub dengan small fault adalah benang cacat dengan sedikit gumpalan. Benang dengan cacat ini tidak terpotong oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi. Slub dengan medium dan big fault adalah benang yang kotor dan menggumpal yang secara otomatis akan terpotong oleh mesin. Thick 30 persen artinya adalah benang yang ketebalannya melebihi standar ketebalan benang sebesar 30 persen. Thick 45 persen artinya tidak jauh beda dengan thick 30 persen hanya saja ketebalan benang tersebut melebihi standar ketebalan sebesar 45 persen. Thin 30 persen maksudnya adalah benang tersebut ketebalannya kurang dari standar ketebalan yang telah ditentukan sebesar 30 persen. Thin 45 persen maksudnya adalah benang tersebut ketebalannya kurang dari standar ketebalan yang telah ditentukan sebesar 45 persen.
4.3.2. Measures
Fase pengukuran dilakukan untuk mengetahui kinerja Divisi Spinning PT Unitex. Pengukuran ini dilakukan dengan menghitung jumlah produk yang cacat dan disubstitusikan ke dalam rumus six sigma yaitu :
DPO = (jumlah produk cacat x peluang cacat atau CTQ) Jumlah sample
DPMO = DPO x 1.000.000
Jumlah produk cacat yang dihasilkan dapat diketahui dengan mengalikan berapa kali mesin memotong benang yang cacat dengan panjang potongan benang. Panjang potongan benang yang digunakan adalah 8 cm. Pengambilan sampel dilakukan pada produk benang jenis EC 45S, AC 40S serta CVC 45/55 45S masing-masing sebanyak tiga kali.
Kegagalan yang terjadi pada benang jenis EC 45S dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kegagalan yang terjadi pada benang EC 45S Kriteria Jenis Sampel I Sampel II Sampel III µ
Slub Small fault 866 689 794 783,0
Medium fault 9 3 8 6,7 Big fault 1 2 0 1,0 Thick + 30 % 247 129 78 151,3 + 45 % 2 4 1 2,3 Thin - 30 % 9 5 3 5,7 - 45 % 1 0 0 0,3
Tabel 7 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong benang EC 45S yang cacat sebanyak 6,7 kali pada slub dengan tingkat medium fault, 1 kali pada tingkat big fault, 151,3 kali pada kegagalan thick yang melibihi 30 persen, 2,3 kali pada kegagalan thick yang melebihi 45 persen, 5,7 kali pada thin yang kurang dari 30 persen dan 0,3 kali pada kegagalan thin kurang dari 45 persen. Pada kegagalan slub dengan tingkat small fault, benang tidak diputus oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi. Sehingga keseluruhan mesin memotong benang EC 445S yang cacat adalah sebanyak 167,3 kali.
Kegagalan yang terjadi pada benang jenis AC 40S dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kegagalan yang terjadi pada benang AC 40S
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong benang AC 40S yang cacat sebanyak 3,6 kali pada slub dengan tingkat medium fault, 8,6 kali pada kegagalan thick yang melibihi 30 persen, 0,3 kali pada kegagalan thick yang melebihi 45 persen dan 0,3 kali pada thin yang kurang dari 30 persen. Pada kegagalan slub dengan tingkat small
Kriteria Jenis Sampel I Sampel II Sampel III µ
Slub Small fault 428 750 486 554,66
Medium fault 2 4 4 3,6 Big fault 0 0 0 0 Thick + 30 % 3 21 2 8,6 + 45 % 0 1 0 0,3 Thin - 30 % 0 1 0 0,3 - 45 % 0 0 0 0
fault, benang tidak diputus oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi.
Kegagalan yang terjadi pada benang jenis CVC 45/55 45S dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kegagalan yang terjadi pada benang CVC 45/55 45S
T
Tabel 9 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong benang CVC 45/55 45S yang cacat sebanyak 4,3 kali pada slub dengan tingkat medium fault, 3,3 kali pada tingkat big fault, 69,6 kali pada kegagalan thick yang melebihi 30 persen, 5,6 kali pada kegagalan thick yang melebihi 45 persen, 5,6 kali pada thin yang kurang dari 30 persen dan 0,6 kali pada kegagalan thin kurang dari 45 persen. Pada kegagalan slub dengan tingkat small fault, benang tidak diputus oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi.
Kegagalan rataan pada Divisi Spinning terlihat pada Tabel 10 Tabel 10. Kegagalan Rataan pada Divisi Spinning
T
Tabel 10 menunjukkan bahwa pada rataan mesin memotong benang yang cacat pada Divisi Spinning sebanyak 4,86 kali pada slub dengan tingkat medium fault, 1,43 kali pada tingkat big fault, 76,5 kali
Kriteria Jenis Sampel I Sampel II Sampel III µ
Slub Small fault 1129 1176 975 1093,3
Medium fault 4 7 2 4,3 Big fault 8 1 1 3,3 Thick + 30 % 82 37 90 69,6 + 45 % 14 1 2 5,6 Thin - 30 % 10 1 6 5,6 - 45 % 2 0 0 0,6 Kriteria Jenis EC 45 S AC 40S CVC45/55 445S µ Slub Small fault 783,0 554.66 1093,3 810,32
Medium fault 6,7 3,6 4,3 4,86 Big fault 1,0 0 3,3 1,43 Thick + 30 % 151,3 8,6 69,6 76,5 + 45 % 2,3 0,3 5,6 2,73 Thin - 30 % 5,7 0,3 5,6 3,86 - 45 % 0,3 0 0,6 0,3
pada kegagalan thick yang melebihi 30 persen, 2,73 kali pada kegagalan thick yang melebihi 45 persen, 3,86 kali pada thin yang kurang dari 30 persen dan 0,3 kali pada kegagalan thin kurang dari 45 persen. Pada kegagalan slub dengan tingkat small fault, benang tidak diputus oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi.
Dari tabel dapat dilihat bahwa kegagalan sering terjadi pada benang tipe CVC 45/55 45S. Semakin besar campuran polyester, semakin besar frekuensi cacat yang terjadi. Pengukuran yang dilakukan pada benang EC 45S, AC 40S dan CVC 45/55 45S dengan menghitung hanya pada jumlah benang terpotong adalah sebanyak 89,68 kali sehingga benang yang terpotong adalah 717,44 cm atau 7,1744 m. Namun, apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang cacat, maka mesin memotong benang sebanyak 900 kali. Ini berarti bahwa panjang benang yang terbuang adalah sebanyak 7.200 cm atau 72 m.
Panjang potongan ini kemudian disubstitusikan pada rumus six sigma dengan peluang kegagalan yang terjadi sebanyak 7 peluang yang diperoleh dari Critical to Quality (CTQ). Maka hasil yang diperoleh untuk benang yang terpotong oleh mesin pada Divisi Spinning adalah
DPO = ( 7,1744 m X 7)/100.000 m DPO = 0,000502208
Sehingga nilai DPMO yang dihasilkan adalah sebesar : DPMO = 0.000502208 x 1.000.000
DPMO = 502,208
Dari nilai DPMO yang dihasilkan dikonversikan ke dalam nilai sigma. Nilai sigma digunakan untuk mengukur kinerja dari Divisi Spinning PT Unitex. Nilai sigma yang dihasilkan berada diantara nilai sigma 400 dan 600 DPMO yaitu sebesar :
600 - 400 = 502,208 – 600 4,75 - 4,875 x – 4.75
200 = - 97.792 - 0,125 x- 4,75
200x – 950 = 12,224 200x = 962.224
x = 4,81
Dari hasil ini menunjukkan bahwa kinerja PT Unitex cukup bagus. Nilai sigma 4.81 berarti bahwa kinerja PT Unitex dapat disejajarkan dengan rataan industri di Amerika Serikat.
Apabila pengukuran dilakukan pada keseluruhan benang yang cacat maka hasil yang diperoleh adalah :
DPO = (72 m x 7)/100.000 m DPO = 0,00504
Sehingga nilai DPMO yang dihasilkan adalah sebesar : DPMO = 0,00504 x 1.000.000
DPMO = 5.040
Nilai sigma yang dihasilkan berada diantara nilai sigma dengan 4.350 dan 6.200 DPMO. Nilai sigma yang dihasilkan adalah :
6.200 - 4.350 = 5.040 – 6.200 4 – 4,125 x - 4 1850 = -1160 - 0,125 x – 4 1850x – 7.400 = 145 1.850x = 7.525 x = 4,07
Apabila pengukuran dilakukan dengan menghitung keseluruhan benang yang terpotong maka posisi Divisi Spinning PT Unitex berada pada nilai sigma 4,07. Nilai sigma ini menunjukkan bahwa kinerja Divisi Spinning telah berada sejajar dengan rataan industri di Amerika Serikat dan lebih baik dari kinerja rataan industri di Indonesia.
Namun demikian, Divisi Spinning PT Unitex Tbk harus menekan jumlah produk cacat yang dihasilkannya untuk mencapai nilai enam sigma. Hal ini berarti perusahaan harus menekan DPMO hingga mencapai nilai 3,4. Penghitungan dilakukan dengan mensubstitusikan
nilai DPMO sebesar 3,4 pada rumus DPMO. DPMO = DPO x 1.000.000 3,4 = DPO x 1.000.000 DPO = 0,0000034
Nilai DPO sebesar 0,0000034 ini dapat digunakan untuk mencari jumlah produk cacat yang dihasilkan untuk mencapai posisi enam sigma. Nilai DPO ini kemudian disubstitusikan ke dalam rumus DPO hingga diperoleh jumlah produk cacat.
DPO = ( jumlah produk cacat x peluang kegagalan ) / jumlah sampel 0,0000034 = ( jumlah produk cacat x 7 ) / 100.000 m
Jumlah produk cacat = (0,0000034 x 100.000 m) / 7 Jumlah produk cacat = 0,0486 m
Berdasarkan perhitungan jumlah produk cacat yang dihasilkannya harus ditekan sampai mencapai 4,86 cm pada tiap 100 km produk benang yang dihasilkannya. Apabila Divisi Spinning mampu menekan jumlah produk cacat yang dihasilkan sesuai dengan nilai tersebut maka Divisi Spinning PT Unitex Tbk akan berada pada posisi enam sigma. Hal ini berarti PT Unitex akan mampu menjadi industri kelas dunia. 4.3.3. Analyze
Pada Divisi Spinning terdapat beberapa kriteria kegagalan yang terjadi, yaitu slub, thick (ketebalan) dan thin (ketipisan).Dari kriteria tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa tingkat kegagalan. Pada kriteria slub terdapat tiga tingkat kegagalan yaitu small fault (kesalahan kecil), medium fault (kesalahan sedang) dan big fault (kesalahan besar). Pada kriteria thick (ketebalan) terdapat dua tingkat kegagalan umum yaitu produk yang dihasilkan memiliki ketebalan lebih dari standar yang ditetapkan sebesar 30 persen dan 45 persen. Pada kriteria thin (ketipisan) terdapat dua tingkat kegagalan umum yaitu produk yang dihasilkan memiliki ketebalan kurang dari standar yang ditetapkan sebesar 30 persen dan 45 persen.
Berdasarkan Tabel 7 yang menggambarkan kegagalan pada benang EC 45S dapat digambarkan diagram pareto pada Gambar 13.
Ju m la h ca ca t ( ka li) Pe rc e n t ke ca ca ta n C o un t 8 2 .4 9 8 .3 1 0 0 .0 7 8 3 .0 1 5 1 .3 1 6 .0 P e r ce n t 8 2 .4 1 5 .9 1 .7 C um % O the r T hick +3 0 % S m a ll fa ult 1 0 0 0 8 0 0 6 0 0 4 0 0 2 0 0 0 1 0 0 8 0 6 0 4 0 2 0 0
Gambar 13. Diagram Pareto Rataan Kegagalan pada Benang EC 45S Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa kegagalan yang umumnya terjadi pada benang EC 45S adalah slub pada tingkat rendah (small fault) dan benang ini tidak dipotong oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi. Kegagalan jenis small fault mendominasi sebesar 82,4 persen. Kegagalan kedua yang sering terjadi adalah thick 30 persen yaitu benang yang ketebalannya melebihi standar sebesar 30 persen. Kegagalan jenis ini terjadi sebanyak 15,9 persen dari total kegagalan. Persentase kumulatif dari kedua jenis kegagalan tersebut adalah sebesar 98,3 persen. Kegagalan jenis lain hanya terjadi sebanyak 1,7 persen.
Berdasarkan Tabel 8 yang menggambarkan kegagalan pada benang AC 40S dapat digambarkan diagram pareto yang dapat dilihat pada Gambar 14.
Ju m lah c a ca t ( kal i) Pe rc e n t kecacata n C ount 554.7 12.8 Pe rcent 97.7 2.3 C um % 97.7 100.0 Other S m a ll fa ult 600 500 400 300 200 100 0 100 80 60 40 20 0
Gambar 14. Diagram Pareto Rataan Kegagalan pada Benang AC 40 S Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa kegagalan yang pada umumnya terjadi pada benang AC 40S adalah slub pada tingkat rendah (small fault). Kegagalan jenis small fault terjadi sebanyak 97,7 persen dari keseluruhan kegagalan yang terjadi. Ini berarti bahwa jenis kegagalan yang lain hanya terjadi sebanya 2,3 persen dari keseluruhan kegagalan
Berdasarkan Tabel 9 yang menggambarkan kegagalan pada benang CVC45/55 45S dapat digambarkan diagram pareto pada Gambar 15
Ju m lah c a ca t ( kal i) Pe rc e n t ke ca ca ta n C o un t 9 2 .5 9 8 .4 1 0 0 .0 1 0 9 3 7 0 1 9 P e r ce n t 9 2 .5 5 .9 1 .6 C u m % O the r T hick +3 0 % S m a ll fa u lt 1 2 0 0 1 0 0 0 8 0 0 6 0 0 4 0 0 2 0 0 0 1 0 0 8 0 6 0 4 0 2 0 0
Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa kegagalan yang pada umumnya terjadi pada benang CVC 45/55 45S adalah slub pada tingkat rendah (small fault) dan benang ini tidak dipotong oleh mesin karena masih berada dalam batas toleransi. Kegagalan jenis small fault terjadi sebanyak 92,5 persen dari keseluruhan kegagalan yang terjadi. Kegagalan kedua yang sering terjadi adalah thick 30 persen yaitu benang yang ketebalannya melebihi standar sebesar 30 persen.
Berdasarkan Tabel 10 yang menggambarkan kegagalan rataan pada benang yang dihasilkan oleh Divisi Spinning dapat dilihat pada diagram pareto pada Gambar 16.
Ju m la h ca ca t (k a li) Pe rc e n t ke ca ca ta n C ount 90.0 98 .5 100.0 810.3 76 .5 13.2 Pe rce nt 90.0 8 .5 1.5 C um % O the r T hick +30% S m a ll fa ult 9 00 8 00 7 00 6 00 5 00 4 00 3 00 2 00 1 00 0 10 0 80 60 40 20 0
Gambar 16. Diagram Pareto Rataan Kegagalan pada Divisi Spinning Diagram tersebut menggambarkan bahwa rataan kegagalan yang dialami oleh Divisi Spinning adalah berupa slub pada tingkat rendah (small fault) sebesar 90 persen dari keseluruhan kegagalan. Thick 30 persen atau ketebalan benang melebihi standar yang ditetapkan sebesar 30 persen yang terjadi sbesar 8,5 persen dari keseluruhan kegagalan. Persentase kumulatif dari kedua kegagalan ini adalah sebesar 98,5 persen dan berarti kegagalan jenis lain hanya terjadi sebanyak 1,5 persen.
Kegagalan yang paling sering terjadi adalah berupa slub pada tingkat rendah. Benang dengan kegagalan ini akan tetap diolah
menjadi kain. Proses lanjutan yang dilakukan terhadap benang tersebut diharapkan dapat menutupi cacat yang ada. Kegagalan jenis lain terjadi dengan persentase yang sangat kecil, tetapi berpengaruh terhadap biaya produksi pada umumnya. Benang dengan kegagalan jenis lain harus dipotong dan tidak dapat diolah lagi sehingga akan meningkatkan biaya mutu yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
Produk gagal yang dihasilkan oleh Divisi Spinning PT Unitex disebabkan oleh beberapa hal. Sebab-sebab kegagalan tersebut dapat dijelaskan dalam diagram sebab akibat yang ada pada Gambar 17.
Berdasar diagram tulang ikan pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa penyebab produk cacat pada Divisi Spinning antara lain adalah :
1. Faktor manusia
Pada faktor manusia, penyebab produk cacat adalah : a. Adanya karyawan yang tidak mengikuti standar kerja b. Kurang terampilnya karyawan dalam bekerja
c. Adanya kekurangtelitian karyawan saat bekerja d. Keceroboh karyawan dalam bekerja
e. Kurangnya pengalaman yang dimiliki oleh karyawan Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah kecerobohan dan kekurang telitian karyawan dalam bekerja 2. Faktor metode
Pada faktor metode, penyebab produk cacat antara lain adalah : a. Ketidaksempurnaan proses plan drawing
b. Ketidaksempurnaan proses plan roving
c. Metode yang digunakan dalam proses produksi salah d. Standar kerja diabaikan oleh karyawan dalam berproduksi Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah standar kerja yang diabaikan karyawan dalam berproduksi. 3. Faktor mesin
Pada faktor mesin, penyebab produk cacat antara lain adalah : a. Setting kurang tepat sehingga proses produksi tidak
berjalan sesuai standard b. Wire tumpul
c. Carding top plate speed d. Top roll aus atau bengkok e. Roll bengkok
Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah setting mesin yang kurang tepat.
4. Faktor bahan baku
Pada faktor bahan baku, penyebab produk cacat adalah :
mengalami penggumpalan
b. Madu kapas yang juga menyebabkan benang mengalami penggumpalan
Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah kapas yang masih kotor
5. Faktor lingkungan
Pada faktor lingkungan, penyebab produk cacat adalah :
a. Kebersihan mesin kurang sehingga kotoran pada mesin akan menempel pada kapas dan menybabkan benang hasil produksi mengalami kecacatan
b. Kelembaban ruangan yang tidak sesuai standar yang akan berpengaruh pada kekuatan benang
c. Lingkungan kerja kurang bersih yang dapat mengakibatkan cacat benang hasil produksi dan dapat mengganggu kesehatan karyawan
d. Suhu lingkungan yang berpengaruh pada kekuatan benang
e. Pencahayaan ruang tes benang.
Faktor dominan yang menjadi penyebab produk cacat adalah lingkungan kera yang kurang bersih.
4.4. Solusi Untuk Mengurangi Jumlah Produk Cacat Pada Divisi Spinning