• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Widodo (2007) dalam Hasty (2011), Nilai KVP merupakan suatu gambaran dari fungsi sistem pernafasan. Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sehingga frekuensi lama seseorang bekerja pada lingkungan tempat kerja yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat pada

diri pekerja (karakteristik pekerja) merupakan hal utama yang berhubungan dengan KVP . Adapun faktor-faktor tersebut adalah:

1) Lingkungan Tempat Kerja

Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Kesehatan Nomor 1 Tahun 1970 dikatakan bahwa tempat kerja merupakan tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki pekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya.

Debu yang memapar pekerja dapat dilihat dari ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama paparan serta bentuk dari debu itu sendiri. Pada dasarnya tingkat kelarutan debu pada air dapat mengindikasikan tingkat bahan dalam debu larut dan dengan mudah dapat masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila debu tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka partikel-partikel tersebut dapat masuk ke dinding alveoli. Semakin tinggi konsentrasi debu, maka semakin besar pula kemungkinan menimbulkan keracunan maupun gangguan terhadap paru (Faridawati, 1995).

2) Karakteristik Pekerja

Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah sebagai hasil dari kerjanya. Karakteristik pekerja merupakan hal-hal yang ada pada diri pekerja yang akan berdampak pada hasil kerja dan dalam hal ini kesehatan individu itu sendiri. Adapun yang termasuk hal-hal yang termasuk kedalam karakteristik pekerja yang berhubungan dengan KVP adalah:

a. Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi paru karena usia mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah usia 40 tahun. Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai maksimum pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut nilai faal paru akan terus menurun sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007).

Adapun menurut Meita (2012) menyatakan bahwa secara fisiologis dengan bertambahnya umur maka kemampuan organ-organ tubuh akan mengalami penurunan secara alamiah, termasuk dalam hal ini adalah gangguan fungsi paru. Terjadi penurunan fungsi paru setelah usia 30 tahun, dimana setiap tahun luas permukaan paru akan berkurang 4%. Umur merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur, terutama disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta kemungkinan terkena suatu penyakit, maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru dapat terjadi lebih besar.

Tabel 2.1. Nilai Standar KVP

Usia Laki-Laki Perempuan

4 700 600 5 850 800 6 1070 980 7 1300 1150 8 1500 1350 9 1700 1550 10 1950 1740 11 2200 1950 12 2540 2150 13 2900 2350 14 3250 2480 15 3600 2700 16 3900 2700 17 4100 2750 18 4200 2800 19 4300 2800 20 4320 2800 21 4320 2800 22 4300 2800 23 4280 2790 24 4250 2780 25 4220 2770 26 4200 2760 27 4180 2740 28 4150 2720 29 4120 2710 30 4100 2700 31-35 3900 2640 36-40 3800 2520 41-45 3600 2390 46-50 3410 2250 51-55 3240 2160 56-60 3100 2060 61-65 2970 1960 Sumber: Koesyanto, 2005

b. Masa Kerja

Semakin lama seseorang bekerja di tempat kerja yang berdebu, maka kemungkinan partikel debu yang menumpuk dan menimbun di dalam paru – paru akan semakin besar sebagai akibat dari menghirup debu tersebut sehari – hari ketika sedang bekerja. Debu yang menumpuk dan menimbun di dalam paru – paru tersebut dapat memicu gangguan kesehatan pada paru – paru tersebut. Masa bekerja selama bertahun – tahun dapat memperparah kondisi kesehatan saluran pernapasan pekerja tersebut karena frekuensi yang sering terpapar oleh partikel debu setiap harinya (Suma’mur, 2013). Menurut Morgan dan Parkes dalam Faridawati (1995) waktu yang dibutuhkan seseorang yang terpapar oleh debu untuk terjadinya gangguan KVP kurang lebih 10 tahun.

c. Lama Kerja

Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja yang terpapar debu dapat digunakan sebagai perkiraan kumulatif paparan yang diterima oleh seorang pekerja. Rendahnya KVP pada pekerja tergantung pada lamanya paparan serta konsentrasi debu lingkungan kerja. Paparan dengan konsentrasi rendah dalam waktu lama mungkin tidak akan segera menunjukkan adanya penurunan nilai KVP dibandingkan dengan paparan tinggi dalam waktu yang singkat (Budiono, 2007).

d. Kebiasaan Merokok

Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung bahan toksik dan dapat memengaruhi kondisi kesehatan karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya sebanyak 1200 sebagai bahan beracun bagi kesehatan manusia. Dampak merokok

terhadap kesehatan paru – paru dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru – paru. Pada jaringan paru – paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru – paru dengan segala macam gejala klinisnya (Khumaidah, 2009).

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. Apabila kondisi lingkungan kerja seorang perokok memiliki tingkat konsentrasi debu yang tinggi maka maka dapat menyebabkan gangguan fungsi paru yang ditandai dengan penurunan fungsi paru (VC, FVC dan FEV1). Debu yang tertimbun dalam paru akan menyebabkan fibrosis (pengerasan jaringan paru), sehingga dapat menurunkan KVP. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4mL untuk bekas perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif (Anshar, 2005).

e. Status Gizi

Kesehatan dan daya kerja erat hubungannya dengan status gizi seseorang. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan dan respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Status gizi buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh seseorang akan menurun, sehingga dengan menurunnya daya tahan tubuh, seseorang akan mudah terinfeksi oleh mikroba. Berkaitan dengan infeksi saluran nafas apabila terjadi secara berulang-ulang dan disertai batuk berdahak, akan dapat menyebabkan terjadinya bronchitis kronis. Salah

satu akibat kekurangan gizi dapat menurunkan imunitas dan anti bodi sehingga seseorang mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek, diare dan berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu yang masuk ke dalam tubuh.

Tanpa makan dan minum yang cukup kebutuhan energi untuk bekerja akan diambil dari cadangan sel tubuh. Kekurangan makanan yang terus menerus akan menyebabkan susunan fisiologis terganggu. Menurut Sridhar (1999) secara fisiologis seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan KVP yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.

Adapun status gizi diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu IMT = BB (kg)

TB2 (m)

BB = Berat badan dalam satuan kg

TB = Tinggi badan dalam satuan meter

IMT= Indeks massa tubuh dalam satuan kg/m2

Tabel 2.2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kategori IMT IMT

Kurus Kekurangan BB tingkat berat

Kekurangan BB tingkat rendah

< 17 17.0-18.5

Normal >18.5-25.00

Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan

Kelebihan BB tingkat berat

25.00-27.00 >27.0 Sumber : Supariasa, 2001

f. Penggunaan Masker

Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri (APD) berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru sehingga terjadi pengendapan partikel dan akhirnya mengurangi nilai KVP dapat diminimalisir (Carlisle, 2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sembiring (1999) dalam Khumidah, (2009) bahwa penggunaan masker dengan ukuran 3-5 µ dapat menurunkan kadar debu yang masuk ke paru-paru pekerja hingga 87,6%. Alat pelindung pernafasan

(masker) menurut fungsinya dibedakan menjadi dua yaitu, Air Purfying Respirator

dan Air Supplied Respirator. Air Purfying Respirator berfungsi untuk melindungi pemakaian dari pemaparan melalui inhalasi saluran pernafasan, dipakai terutama bila

paparan kadar bahan toksik di dalam ruang kerja rendah. Air Supplied Respirator

berfungsi untuk melindungi pemakainya dari pemaparan bahan-bahan yang sangat toksik atau dari bahaya kekurangan oksigen.

Yeung, dkk, (1999) dalam Khumaidah, (2009), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah :

a. Masker

Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu.

b. Respirator

Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam, asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi:

1) Respirator pemurni udara

Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyarap kontaminan dengan toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan. Alat pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara (gambar 1) atau tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut (gambar 2.2).

2) Respirator penyalur udara

Membersihkan aliran udara yang tidak terkontaminasi secara terus menerus. Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi

udara bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self

Contained Breathing Apparatus) atau alat pernapasan mandiri. Digunakan

untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen. Alat ini dapat dilihat pada gambar 2.2

Gambar 2.1. Alat Pelindung Pernafasan

Sumber: Budiono (2002), Bunga Rampai HIPERKES & KK

Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan.

Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan cara aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan.

Cara-cara pemilihan APD harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi beberapa kriteria yang diperlukan antara lain:

a. APD harus memberikan perlindungan yang baik terhadap bahaya yang dihadapi tenaga kerja

b. APD harus memenuhi standar yang telah ditetapkan

c. APD tidak menimbulkan bahaya tambahan yang lain bagi pemakainannya yang dikarenakan bentuk atau bahannya yang tidak tepat atau salah penggunaan

d. APD harus tahan untuk jangka pemakaian yang cukup lama dan bersifat fleksibel.

g. Riwayat Penyakit

Kondisi kesehatan saluran pernapasan dapat mempengaruhi Kapasitas Vital Paru seseorang. Kekuatan otot – otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit. Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru – paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price, 1995). Selain itu juga,adanya riwayat pekerjaan yang berinteraksi dengan debu akan mengakibatkan penyakit seperti pneumonokiosis (Suma’mur, 2009).

Keluhan kesehatan saluran pernafasan dapat berupa batuk, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada dan sakit tenggorokan.

1. Batuk

Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang ada. Batuk adalah refleks normal yang melindungi tubuh kita. Tentu saja bila batuk itu berlebihan, ia akan terasa amat menganggu. Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita batuk kronik didapat 628 sampai 761 kali batuk/hari. Penderita TB paru jumlah batuknya sekitar 327 kali/hari dan penderita influenza bahkan sampai 154,4 kali/hari. Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang reseptor batuk. Selain itu, batuk juga dapat terjadi pada keadaan – keadaan psikogenik tertentu (Aditama, 1993).

2. Batuk darah

Batuk berdarah adalah batuk yang disertai darah. Jika darahnya sedikit dan tipis kemungkinan adalah luka lecet dari saluran napas, karena batuk yang terlalu kuat. Batuk berdarah dengan darah yang tipis dan sedikit bisa terjadi pada penderita maag kronis dimana maag penderita mengalami luka akibat asam lambung yang berlebih. Batuk berdarah dengan jumlah darah yang banyak biasanya terjadi pada penderita TB paru (tuberkulosis paru) yang sudah lama dan tidak diobati. Batuk

berdarah pada penderita TBC merupakan suatu hal gawat darurat (emergency) karena

dapat menyebabkan kematian dan harus mendapatkan pertolongan yang cepat. Pengobatan batuk berdahak adalah memberikan antibiotik, dicari penyebabnya jika karena TBC maka harus diberikan obat TBC, diberikan obat penekan batuk (Rahmadani, 2007).

3. Sesak napas

Sesak napas merupakan gejala klinis dari gangguan pada saluran pernapasan.

Sesak napas bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan manifestasi dari penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Penyakit yang bisa menyebabkan sesak napas sangat banyak sekali mulai dari infeksi, alergi, inflamasi bahkan keganasan. Hal – hal yang bisa menyebabkan sesak napas antara lain :

1. Faktor psikis

2. Peningkatan kerja pernapasan

a. Peningkatan ventilasi (latihan jasmani, hiperkapnia, asidosis

metabolik).

b. Sifat fisik yang berubah (tahanan elastis paru meningkat, tahanan

elastis dinding paru meningkat, peningkatan tahanan bronchial).

3. Otot pernapasan yang abnormal

a. Penyakit otot (kelemahan otot, kelumpuhan otot, distrofi).

b. Fungsi mekanis otot berkurang.

Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebabkan gangguan pada pertukaran

gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat

sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis di saluran pernapasan maka ruang mati akan meningkat.

4. Nyeri dada

Salah satu bentuk nyeri dada yang paling sering ditemukan adalah angina

pectoris yang merupakan gejala penyakit jantung koroner dan dapat bersifat progresif serta menyebabkan kematian, sehingga jenis nyeri dada ini memerlukan pemeriksaan yang lebih lanjut dan penanganan yang serius.

5. Sakit tenggorokan

Radang tenggorokan adalah infeksi pada tenggorokan (tekak) dan kadangkala amandel. Penyebab lainnya diantaranya adalah adanya polusi udara, alergi musiman dan merokok. Perubahan cuaca dan alergi musiman adalah penyebab yang paling sering terjadi. Terutama banyak terjadi pada anak – anak dan infeksi ini disebarkan

melalui orang ke orang (person to person contact).

Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonukloear. Pada stadium awal, terdapat hyperemia, kemudian edema, dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula – mula serosa tetapi menjadi menebal atau berbentuk mukus, dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.

Dokumen terkait