• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Karakteristik Dan Kadar Debu Ambien Terhadap Kapasitas Vital Paru Pada Penyapu Jalan Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Karakteristik Dan Kadar Debu Ambien Terhadap Kapasitas Vital Paru Pada Penyapu Jalan Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan Tahun 2015"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara

2.1.1. Definisi Pencemaran Udara

Udara merupakan campuran mekanis dari bermacam – macam gas. Komposisi

normal udara terdiri atas gas nitrogen 78,1%, oksigen 20,93%, dan karbondioksida

0,03%, sementara selebihnya berupa gas argon, neon, krypton, xenon, dan helium.

Udara juga mengandung uap air, debu, bakteri, spora, dan sisa tumbuh – tumbuhan

(Chandra, 2007).

Polusi atau pencemaran udara adalah dimasukkannya komponen lain ke

dalam udara, baik oleh kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung maupun

akibat proses alam sehingga kualitas udara turun sampai ketingkatan tertentu yang

menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai

peruntukannya. Setiap substansi yang bukan merupakan bagian dari komposisi udara

normal disebut sebagai polutan (Chandra, 2007).

Definisi pencemaran udara menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun

1999 mengenai Pengendalian Pencemaran Udara adalah masuk atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, nergi, dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya

tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat

(2)

2.1.2. Komponen dan Jenis Pencemaran Udara

Berdasarkan terbentuknya, pencemaran udara dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu:

1. Pencemaran udara primer, yaitu komponen pencemar yang mencakup 90% dari

jumlah komponen pencemar udara seluruhnya. Bentuk dan komposisinya sama

dengan ketika dipancarkan. Antara lain; polutan gas (senyawa karbon, sulfur,

nitrogen, halogen dan partikel).

2. Pencemaran udara sekunder, yaitu pencemaran yang terbentuk karena berbagai

bahan pencemar yang bereaksi satu sama lain sehingga menghasilkan jenis

pencemaran baru yang justru lebih membahayakan kehidupan. Reaksi ini dapat

terjadi secara otomatis ataupun dengan batuan katalisator seperti sinar matahari

(Nugroho, 2005).

Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu:

1. Faktor internal yang terjadi secara alamiah, contohnya:

a. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.

b. Abu/debu yang dikeluarkan akibat letusan gunung berupa termasuk gas-gas

vulkanik,

c. Proses pembusukan sampah organik.

d. Kebakaran hutan.

2. Faktor eksternal karena ulah manusia, contohnya:

a. Hasil pembakaran bahan bakar fosil

(3)

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari

satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang masuk

terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan. Kecepatan penyebaran

ini tentu akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi setempat

(Wardhana, 2004).

2.2. Partikulat

Partikulat adalah pencemar udara yang berbentuk padatan dan droplet cairan

yang terdapat dalam jumlah yang tinggi di udara. Sifat fisik yang penting adalah

ukurannya yang berkisar antara diameter 0,0002 mikron sampai sekitar 500 mikron

(Fardiaz, 1992).

Sejalan dengan hal tersebut Alfiyah (2009) menyatakan bahwa partikulat

adalah substansi yang berada dalam atmosfer pada kondisi normal berukuran lebih

besar daripada molekul, tetapi lebih kecil dari 500 mikron. Partikulat di udara tidak

hanya dihasilkan dari emisi langsung berupa partikulat, tetapi juga dari emisi gas –

gas tertentu yang mengalami kondensasi dan membentuk partikulat, sehingga ada

partikulat primer dan sekunder. Partikulat primer adalah partikel yang langsung

diemisikan berbentuk partikulat, sedangkan partikel sekunder adalah partikel yang

terbentuk di atmosfer.

Menurut Pudjiastuti, dkk (1998) debu terdiri atas partikel – partikel yang

(4)

1. Dust

Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai dengan

yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam

sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat

terhirup ke dalam paru-paru.

2. Fumes

Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari

bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan

lain-lain dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat

seperti logam (Cadmium) dan timbal (Plumbum).

3. Smoke

Smoke atau uap adalah partikel yang merupakan hasil dari proses pembakaran

bahan organik yang tidak sempurna, distilasi atau reaksi kimia yang berukuran

sekitar 0,5 mikron

2.2.1. Partikel Debu

Debu adalah partikel zat padat dengan ukuran 0,1 hingga 100 mikron yang

disebabkan oleh kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran,

pelembutan, pengepakan dan lain-lain dari bahan-bahan organik maupun anorganik,

misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir zat padat dan sebagainya

(Suma’mur, 1988). Menurut WHO (1996) ukuran debu partikel yang membahayakan

adalah ukuran 0,1 sampai ukuran 10 mikron. Sejalan dengan hal tersebut, Depkes

(5)

mikron. Partikel debu dapat mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi

pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan kanker paru-paru (Pudjiastuti, 2002).

Pada saat orang menarik napas, udara yang mengandung partikel akan

terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru

akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang

berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran pernapasan bagian atas,

sedangkan partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran

pernapasan bagian tengah. Partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron,

akan masuk ke dalam kantung udara pari-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang

lebih kecil lagi, kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat napas dihembuskan

(Wardhana, 2001).

2.2.2. Sifat – Sifat Debu

Adapun sifat – sifat debu menurut Fardiaz (1992) adalah :

1. Mengendap

Debu cenderung mengendap karena gaya tarik bumi, namun karena ukurannya

yang relatif kecil berada di udara debu yang mengendap dapat mengandung

proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.

2. Permukaan cenderung selalu bersih

Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya

yang selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi sangat

(6)

3. Menggumpal

Debu bersifat menggumpal karena disebabkan permukaan debu yang selalu

basah sehingga debu menempel antara satu dengan lainnya dan membentuk

gumpalan.

4. Listrik statis (elektrostatis)

Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lainnya yang berlawanan.

Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya proses

penggumpalan.

5. Opsis

Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancakan

sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap. Menurut sifatnya, partikel dapat

menimbulkan rangsangan saluran pernapasan, kematian karena bersifat racun,

alergi, fibrosis, dan penyakit demam (Agusnar, 2008).

2.2.3. Mekanisme Pengendapan Partikel Debu di Paru – Paru

Mekanisme pengendapan partikel debu ke dalam sitem pernapasan manusia di

dalam paru – paru berlangsung dengan berbagai cara antara lain (Pope, 2003) :

1. Inertial / Kelambanan

Dengan adanya inertia / kelambanan debu yang bergerak, maka partikel debu

yang memiliki massa akan tetap bergerak lurus dan tidak mengikuti aliran udara

yang membelok ketika memasuki saluran pernapasan manusia yang tidak lurus.

Akibatnya partikel debu yang lebih besar tidak akan membelok mengikuti aliran

(7)

pernapasan sedangkan partikel debu yang kecil masuk ke dalam saluran

pernapasan yang lebih dalam.

2. Sedimentasi

Mekanisme sedimentasi terhadap debu terjadi khususnya dalam bronchi dan

bronchioli. Karena kecepatan arus udara sangat kurang (kurang dari satu

cm/detik) pada bronchi dan bronchioli, maka partikel mengendap karena

mengalami gaya berat pada saluran pernapasan.

3. Gerakan Brown

Mekanisme gerakan brown terjadi pada partikel yang berukuran kurang dari 0,1

mikron. Partikel resebut akan mengendap pada permukaan alveoli melalui

gerakan udara.

4. Electrostatic

Hal ini terjadi karena saluran pernapasan dilapisi mucus, yang merupakan

konduktor yang baik secara elektrostatis.

5. Interseption

Terjadi pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran

partikel untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan. Partikel >5 mikron akan

tertahan dihidung dan jalan napas bagian atas, 3-5 mikron tertahan di bagian

(8)

2.2.4. Faktor yang Memengaruhi terjadinya Pengendapan Partikel Debu di Paru – paru

Tidak semua partikel debu yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di

paru. Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan

karakterisrik itu sendiri. Karakteristik dimaksud meliputi jenis partikel debu, ukuran

partikel debu, konsentrasi partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.

a. Jenis Debu

Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan

sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula.

Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula.

Suma’mur (2013) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik

dan anorganik.

b. Ukuran Partikel Debu

Tidak semua partikel debu dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.

Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel

dengan diameter 0,5 - 6 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli.

Partikel berdiameter 0,5 - 6 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan

terjadinya pnemokoniosis (Suma’mur, 2013).

Menurut Pope (2003), partikel debu yang berdiameter < 10 μ yang disebut

coarse particle atau PM10 merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan

saluran pernafasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran

(9)

c. Konsentrasi Pertikel Debu dan Lama Paparan

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama

paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak.

Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit

menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter

kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru.

Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering

dihubungkan dengan terjadinya pneumoconiosis (Mangkunegoro, 2003).

Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak lama

dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun. Dengan

demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan

fungsi paru (Yunus, 2006).

d. Pertahanan Tubuh terhadap Paparan Partikel Debu yang Terinhalasi

Beberapa orang yang mengalami paparan debu yang sama baik jenis maupun

ukuran partikel. Konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu

menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat,

namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama

sekali.

Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem

pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi. Menurut Miller (1989)

(10)

1) Secara mekanik yaitu: pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel

yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan

berlangsung dihidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus

dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang

terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang

terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila

rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa

bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu

dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.

2) Secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat

memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia yang

mucociliary escalator” ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan

bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terusmenerus

dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya

makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.

3) Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga

sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel

yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme

(11)

2.3. Anatomi dan Fisiologi Pernapasan 2.3.1. Anatomi Pernapasan

Anatomi saluran pernafasan (Mukono, 2006) terdiri dari:

a. Hidung

Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membran

mukosa bersilia. Udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan

dilembabkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat

dalam lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan

mukosa. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga dalam

keadaan normal, jika udara tersebut mencapai pharing, dapat dikatakan hampir

“bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh.

b. Pharing

Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi

dalam tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing

merupakan saluran penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan.

Normalnya bila makanan masuk melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara

otomatis sehingga aspirasi tidak terjadi. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap

benda-benda asing (organisme) yang masuk ke hidung dan pharing.

c. Laring

Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot

dan disini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara

(12)

melewati glotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu mengeluarkan

benda atau sekret dari saluran pernafasan bagian bawah.

d. Trachea

Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah krikoid

kartilago laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trachea bercabang

menjadi bronchus kanan dan kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri

dari 6 – 10 cincin kartilago.

e. Bronkhus

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen

lobus, kemudian menjadi segmen brokus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang

terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah

sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos.

f. Bronchiolus

Anderson (1999) mengatakan bahwa diluar bronkiolus terminalis terdapat

asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas, asinus

tersebut terdiri bronkiolus respirasi yang mempunyai alveoli. Duktus alveolaris yang

seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan alveolus terminal, merupakan struktur akhir

paru-paru.

g. Paru-paru

Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total

seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut

(13)

pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada waktu

respirasi.

2.3.2. Fisiologi Pernapasan

Rahajoe (1994)) menyatakan bahwa salah satu fungsi utama paru adalah

sebagai alat pernafasan yaitu melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan

menghirup masuknya udara dari alveolus ke luar tubuh (ekspirasi). Pernafasan dapat

berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke

atmosfer. Proses ini menurut Guyton (2007) dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu:

a. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari

alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena

masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan

walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume

residu. Volume ini penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk

menghasilkan darah.

b. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.

c. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari

sel-sel.

d. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Menurut Rahajoe (1994), dari aspek fisiologi, ada dua macam pernapasan

yaitu:

a. Pernapasan luar (eksternal respiration) yang berlangsung di paru, aktivitas

(14)

b. Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah

pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.

Sebagai organ pernafasan, dalam melakukan tugasnya, paru dibantu oleh

sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai

darah bagi paru (perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2 dan CO2,

sistem saraf pusat berperan sebagai pengendaliirama dan pola pernapasan.

2.4. Sistem dan Mekanisme Pernapasan 2.4.1. Sistem Pernapasan

Saluran penghantar udara hingga mencapai paru – paru adalah hidung, faring,

laring trakea, bronkus, bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus

dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung,

udara akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan

fungsi utama mukosa inspirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan

bersel goblet (Price dan Wilson, 1994).

Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam rongga

toraks atau dada. Kedua paru saling terpisah oleh mediastum sentral yang di

dalamnya terdapat jantung dan pembuluh darah besar. Setiap paru terdapat apeks dan

basis. Jika arteri pulmonalis dan darah arteria bronkialis, bronkus, saraf, dan

pembuluh limfe masuk ke setiap paru menunjukkan telah terjadi gangguan paru, yaitu

(15)

3 lobus oleh fistrus interlobaris, sedangkan paru - paru kiri terbagi menjadi 2 lobus

(Price dan Wilson, 1994).

Respirasi mempunyai dua sistem invervasi (pernapasan), yakni:

a. Sistem saraf motorik, yang ditujukan pada diafragma dan otot-otot respirasi.

b. Sistem saraf otonom, terutama sistem saraf simpatik dan parasimpatik, dimana

bertindak terutama sebagai aferen dari reseptor yang menuju ke pusat respirasi

simpatik, dan parasimpatik juga memegang peranan penting dalam pembuluh

darah arteriola yang terdapat di paru.

2.4.2. Mekanisme Pernapasan

Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam

keadaan tertidur sekalipun, karena sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf

otonom. Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat dibedakan

menjadi 2 jenis, yaitu pernapasan luar dan pernapasan dalam. Pernapasan luar adalah

pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus dengan darah dalam

kapiler. Pernapasan dalam adalah pernapasan yang terjadi antara darah dalam kapiler

dengan sel – sel tubuh. Masuk keluarnya udara dalam paru – paru dipengaruhi oleh

perbedaan tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika

tekanan udara di rongga dada lebih kecil, maka udara akan masuk. Sebaliknya,

apabila tekanan udara dalam rongga dada lebih besar, maka udara akan keluar.

Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukan udara (inspirasi)

dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan menjadi

(16)

1. Pernapasan Dada

Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang rusuk.

Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Fase inspirasi

Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga dada

mengembang. Pengembangan rongga dada menyebabkan volume paru –

paru juga mengembang akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih

kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk.

b. Fase ekspirasi

Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antartulang rusuk ke

posisi semula yang diikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada

menjadi kecil. Rongga dada yang mengecil menyebabkan volume paru –

paru juga mengecil sehingga tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih

besar daripada tekanan luar. Hal tersebut menyebabkan tekanan dalam

rongga dada yang kaya karbon dioksida keluar.

2. Pernapasan Perut

Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan

aktifitas otot – otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada.

Mekanisme pernapasan perut dapat dibedakan menjadi dua fase, yakni :

a. Fase inspirasi

Fase inspirasi merupakan kontraksi otot diafragma sehingga mengembang,

(17)

dada membesar dan tekanan udara di dalam paru – paru lebih kecil daripada

tekanan udara di luar sehingga udara luar dapat masuk ke dalam paru - paru.

b. Fase ekspirasi

Fase ekspirasi merupakan fase relaksasi otot diafragma (kembali ke posisi

semula) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan udara di dalam paru –

paru lebih besar daripada tekanan udara luar, akibatnya udara keluar dari

paru – paru.

2.5. Volume dan Kapasitas Vital Paru 2.5.1. Volume Paru

Volume paru berubah saat pernapasan berlangsung. Saat inspirasi

mengembang dan saat ekspirasi akan mengempis. Keadaan normal, pernapasan

terjadi secara pasif dan tanpa disadari (WHO,1993). Volume paru terdiri empat jenis

volume yang bila semuanya dijumlahkan sama dengan volume maksimal paru yang

mengembang. Adapun arti dari masing – masing volume tersebut menurut Guyton

(2007) adalah :

1. Volume Tidal

Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali

(18)

2. Volume Cadangan Inspirasi

Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi

setelah dan di atas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat; biasanya

mencapai 3000 mililiter.

3. Volume Cadangan Ekspirasi

Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat

diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidal normal; jumlah

normalnya adalah sekitar 1100 mililiter.

4. Volume Residu

Volume residu adalah volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah

ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira – kira 1200 mililiter.

2.5.2. Kapasitas Paru

Dalam penguraian peristiwa – peristiwa dalam sirkulasi paru, kadang –

kadang diperlukan untuk menyatukan dua volume atau lebih. Kombinasi seperti itu

disebut sebagai kapasitas paru. Menurut Guyton (2007), kapasitas paru dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Kapasitas Inspirasi

Kapasitas inspirasi adalah jumlah udara (kira – kira 3500 mililiter) yang dapat

dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat inspirasi normal dan pengembangan

paru sampai jumlah maksimum. Nilai kapasitas ini merupakan hasil dari

(19)

2. Kapasitas Residu Fungsional

Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada

akhir ekspirasi normal (kira - kira 2300 mililiter). Nilai kapasitas ini merupakan

hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah (ERV).

3. Kapasitas Vital

Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan

seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan

kemudian mengeluarkan sebanyak – banyaknya (kira – kira 4600 mililiter).

4. Kapasitas Paru Total

Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru

sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin (kira – kira 5800 mililiter);

jumlah ini sama dengan kapasitas vital ditambah volume residu.

2.6. Pengukuran Faal Paru

Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan

spirometer dengan alasan bahwa spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah,

ringan, praktis, bias dibawa kemana – mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup

sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup member sejumlah informasi

handal. Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua volume paru kecuali

volume residu, semua kapasitas paru kecuali paru yang mengandung komponen

volume residu. Dengan demikian dapat diketahui gangguan fungsional ventilasi paru

(20)

a. Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara yang ditandai

dengan penurunan pada FEV dan VC.

b. Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada pengembangan paru yang

ditandai dengan penurunan pada VC, RV dan TLC (Suma’mur, 2013).

2.7. Pemeriksaan Kapasitas Paru

Dari berbagi pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah:

a. Vital Capacity (VC)

Kapasitas vital adalah volume udara maksimal yang dapat dihembuskan setelah

inspirasi yang maksimal. Ada 2 macam vital capacity berdasarkan cara

pengukurannya, yaitu:

1) Vital Capacity (VC), disini subyek tidak perlu melakukan aktivitas

pernapasan dengan kekuatan penuh

2) Forced Vital Capacity (FVC). Pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan

maksimal.

Mukono (2006) mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan

antara FVC dan VC, sedangkan pada keadaan kelainan obstruksi terdapat

berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity (VC) merupakan refleksi dari

kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding

toraks. Vital Capacity (VC) yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru

(21)

dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan

obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.

b. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV)

Forced Expiratory adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu

detik pertama. Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada

detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80%

dari nilai VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase

selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada

detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada

perbandingan dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC kurang dari 75% berarti tidak

normal.

Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan

FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal)

sehingga rasio FEV/FVC kurang 75%.

c. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)

PEFR adalah flow/ aliran udara maksimal yang dihasilkan oleh sejumlah volume

tertentu. Maka PEFR dapat menggambarkan keadaan saluran pernapasan, apabila

PEFR menurun berarti ada hambatan aliran udara pada saluran pernapasan.

Pengukuran dapat dilakukan dengan Mini peak Flow Meter atau

(22)

2.8. Gangguan Kapasitas Paru

Selain menilai kondisi organ paru, diagnosis penyakit paru perlu dalam

menentukan kondisi kapasitas dan fungsionalnya. Dengan mengetahui kapasitas paru,

maka beberapa tindakan medis yang akan dilakukan pada penderita tersebut dapat

diramalkan keberhasilannya. Oleh karena itu pemeriksaan faal paru sekarang ini

dikategorikan sebagai pemeriksaan rutin.

1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun

Beberapa penyakit paru yang jelas secara anatomi, memberikan tanda

kesulitan pernapasan yang mirip, yaitu terbatasnya jalan udara yang kronis, terutama

bertambahnya resistensi terhadap jalan udara saat respirasi. Yang terpenting dalam

gangguan ini adalah bronchitis kronis dan terutama bronkeolitis dengan terlihatnya

cabang-cabang kecil berdiameter kurang dari 2 mm dan emfisema, ditandai dengan

pembesaran rongga-rongga udara di bagian distal dari bronkiolis terminalis dan

kerusakan pada septa alveoli.

Penyakit asma biasanya ditandai dengan obstruksi spasmodik jalan udara,

tetapi kadang – kadang menyebabkan penyempitan jalan udara yang terus – menerus

pada keadaan seperti asmatis bronchitis kronik. Keadaan klinik penyakit dari kedua

saluran udara yang besar maupun yang kecil berperan dalam terjadinya PPOM. Perlu

ditekankan kembali bahwa bronkitis sendiri untuk beberapa saat dapat tanpa

menyebabkan disfungsi ventilasi, tetapi dapat menyebabkan batuk prominem dan

dahak yang produktif, bila terjadi sesak nafas hipoksemia dan hiperkapnia.

(23)

2. Emfisema

Emfisema didefinisikan sebagai salah satu pelebaran normal dari ruang-ruang

udara paru disertai dengan destruksi dari dindingnya, beberapa ahli memperluas

definisi ini memasukkan pelebaran ruang-ruang udara dengan atau tidak disertai

destruksi dari dindingnya. Beberapa jenis emfisema adalah sebagai berikut:

a. Emfisema Sentrilobular

Emfisema sentrilobular termasuk kelainan pada asinus proksimal (bronchiolitis

respiratoric), namun bila progresif dilatasi dan destrukasi dari dinding distal

alveoli juga akan terjadi. Secara khas perubahan akan lebih sering atau lebih

berat di bagian atas dari pada di bagian zone lobus, bentuk emfisema ini adalah

penyakit yang paling dominan pada perokok.

b. Emfisema Panasinar

Emfisema panasinar terjadi pelebaran alveoli yang progresif dan duktus alveoli,

serta hilangnya dinding batas antara duktus alveoli dan alveoli. Dengan

progresvitas dan destruksi dari dinding alveoli ini, ada simplifitas dari struktur

paru. Bila proses menjadi difus, biasanya lebih jelas tandanya pada lobus

bawah, bentuk emfesema ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, walaupun

perokok dapat menyebabkan bentuk dari emfisema ini. Namun hubungan

tersebut tidak sesering pada emfisema sentrilobuler.

c. Emfisema Parasepta atau Sub Pleura

Emfisema parasepta biasanya terbatas pada zona sub pleura dan sepanjang septa

(24)

Bentuk ini biasanya terbatas eksistensinya, karena ini hanya menyebabkan

dampak yang kecil pada fungsi pernapasan.

3. Penyakit Paru Restriktif

Penyakit paru interstisial merupakan istilah generik untuk semua penyakit

terutama yang ditandai dengan jelas pada dinding alveolar, proses dimulai dengan

peradangan interstisial terutama yang mengenai septa - septa, sel imunokompeten

yang aktif kemudian terkumpul di dinding alveolar yang menjadi penyebab

kerusakan.

Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini ialah penebalan fibrosis

dinding alveolar, yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi pernapasan dan

mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu pembuluh darah halus

menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding alveolar dan

kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga udara dan paru menjadi

berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran gas mengalami gangguan. Dengan

demikian penyakit paru restriktif merupakan penyebab utama paru menjadi kaku dan

mengurangi kapasitas vital dan kapasitas paru.

2.9. Faktor – faktor Resiko Pekerja terhadap Gangguan Kapasitas Paru

Menurut Widodo (2007) dalam Hasty (2011), Nilai KVP merupakan suatu

gambaran dari fungsi sistem pernafasan. Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara

bertahap dan bersifat kronis sehingga frekuensi lama seseorang bekerja pada

(25)

diri pekerja (karakteristik pekerja) merupakan hal utama yang berhubungan dengan

KVP . Adapun faktor-faktor tersebut adalah:

1) Lingkungan Tempat Kerja

Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Kesehatan Nomor 1 Tahun 1970

dikatakan bahwa tempat kerja merupakan tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau

terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki

pekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya.

Debu yang memapar pekerja dapat dilihat dari ukuran partikelnya, daya larut,

konsentrasi, sifat kimiawi, lama paparan serta bentuk dari debu itu sendiri. Pada

dasarnya tingkat kelarutan debu pada air dapat mengindikasikan tingkat bahan dalam

debu larut dan dengan mudah dapat masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila debu

tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka partikel-partikel tersebut dapat masuk

ke dinding alveoli. Semakin tinggi konsentrasi debu, maka semakin besar pula

kemungkinan menimbulkan keracunan maupun gangguan terhadap paru (Faridawati,

1995).

2) Karakteristik Pekerja

Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja pada

pengusaha dengan menerima upah sebagai hasil dari kerjanya. Karakteristik pekerja

merupakan hal-hal yang ada pada diri pekerja yang akan berdampak pada hasil kerja

dan dalam hal ini kesehatan individu itu sendiri. Adapun yang termasuk hal-hal yang

(26)

a. Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi

paru karena usia mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam

tubuh. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi

penurunan fungsi paru terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk

serta faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP dapat terjadi

setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah usia 40 tahun. Faal

paru sejak masa kanak-kanak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai

maksimum pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut nilai faal paru akan

terus menurun sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007).

Adapun menurut Meita (2012) menyatakan bahwa secara fisiologis dengan

bertambahnya umur maka kemampuan organ-organ tubuh akan mengalami

penurunan secara alamiah, termasuk dalam hal ini adalah gangguan fungsi paru.

Terjadi penurunan fungsi paru setelah usia 30 tahun, dimana setiap tahun luas

permukaan paru akan berkurang 4%. Umur merupakan variabel yang penting dalam

hal terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur, terutama disertai

dengan kondisi lingkungan yang buruk serta kemungkinan terkena suatu penyakit,

(27)

Tabel 2.1. Nilai Standar KVP

Usia Laki-Laki Perempuan

(28)

b. Masa Kerja

Semakin lama seseorang bekerja di tempat kerja yang berdebu, maka

kemungkinan partikel debu yang menumpuk dan menimbun di dalam paru – paru

akan semakin besar sebagai akibat dari menghirup debu tersebut sehari – hari ketika

sedang bekerja. Debu yang menumpuk dan menimbun di dalam paru – paru tersebut

dapat memicu gangguan kesehatan pada paru – paru tersebut. Masa bekerja selama

bertahun – tahun dapat memperparah kondisi kesehatan saluran pernapasan pekerja

tersebut karena frekuensi yang sering terpapar oleh partikel debu setiap harinya

(Suma’mur, 2013). Menurut Morgan dan Parkes dalam Faridawati (1995) waktu yang

dibutuhkan seseorang yang terpapar oleh debu untuk terjadinya gangguan KVP

kurang lebih 10 tahun.

c. Lama Kerja

Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja yang terpapar debu

dapat digunakan sebagai perkiraan kumulatif paparan yang diterima oleh seorang

pekerja. Rendahnya KVP pada pekerja tergantung pada lamanya paparan serta

konsentrasi debu lingkungan kerja. Paparan dengan konsentrasi rendah dalam waktu

lama mungkin tidak akan segera menunjukkan adanya penurunan nilai KVP

dibandingkan dengan paparan tinggi dalam waktu yang singkat (Budiono, 2007).

d. Kebiasaan Merokok

Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung bahan toksik dan dapat

memengaruhi kondisi kesehatan karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya

(29)

terhadap kesehatan paru – paru dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi

saluran nafas dan jaringan paru – paru. Pada jaringan paru – paru terjadi peningkatan

jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas

pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru – paru dengan segala macam

gejala klinisnya (Khumaidah, 2009).

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran

pernapasan dan jaringan paru. Apabila kondisi lingkungan kerja seorang perokok

memiliki tingkat konsentrasi debu yang tinggi maka maka dapat menyebabkan

gangguan fungsi paru yang ditandai dengan penurunan fungsi paru (VC, FVC dan

FEV1). Debu yang tertimbun dalam paru akan menyebabkan fibrosis (pengerasan

jaringan paru), sehingga dapat menurunkan KVP. Kebiasaan merokok akan

mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun

adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4mL untuk bekas perokok dan 41,7 mL untuk

perokok aktif (Anshar, 2005).

e. Status Gizi

Kesehatan dan daya kerja erat hubungannya dengan status gizi seseorang.

Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan dan

respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Status gizi buruk akan

menyebabkan daya tahan tubuh seseorang akan menurun, sehingga dengan

menurunnya daya tahan tubuh, seseorang akan mudah terinfeksi oleh mikroba.

Berkaitan dengan infeksi saluran nafas apabila terjadi secara berulang-ulang dan

(30)

satu akibat kekurangan gizi dapat menurunkan imunitas dan anti bodi sehingga

seseorang mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek, diare dan berkurangnya

kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu

yang masuk ke dalam tubuh.

Tanpa makan dan minum yang cukup kebutuhan energi untuk bekerja akan

diambil dari cadangan sel tubuh. Kekurangan makanan yang terus menerus akan

menyebabkan susunan fisiologis terganggu. Menurut Sridhar (1999) secara fisiologis

seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan

KVP yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.

Adapun status gizi diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu

IMT = BB (kg) TB2 (m)

BB = Berat badan dalam satuan kg

TB = Tinggi badan dalam satuan meter

IMT= Indeks massa tubuh dalam satuan kg/m2

Tabel 2.2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kategori IMT IMT

Kurus Kekurangan BB tingkat berat

Kekurangan BB tingkat rendah

< 17 17.0-18.5

Normal >18.5-25.00

Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan

Kelebihan BB tingkat berat

(31)

f. Penggunaan Masker

Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu

memerlukan alat pelindung diri (APD) berupa masker untuk mereduksi jumlah

partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker berguna untuk melindungi

masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan.

Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan

debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru sehingga terjadi pengendapan partikel dan

akhirnya mengurangi nilai KVP dapat diminimalisir (Carlisle, 2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sembiring (1999) dalam Khumidah,

(2009) bahwa penggunaan masker dengan ukuran 3-5 µ dapat menurunkan kadar

debu yang masuk ke paru-paru pekerja hingga 87,6%. Alat pelindung pernafasan

(masker) menurut fungsinya dibedakan menjadi dua yaitu, Air Purfying Respirator

dan Air Supplied Respirator. Air Purfying Respirator berfungsi untuk melindungi

pemakaian dari pemaparan melalui inhalasi saluran pernafasan, dipakai terutama bila

paparan kadar bahan toksik di dalam ruang kerja rendah. Air Supplied Respirator

berfungsi untuk melindungi pemakainya dari pemaparan bahan-bahan yang sangat

toksik atau dari bahaya kekurangan oksigen.

Yeung, dkk, (1999) dalam Khumaidah, (2009), APD yang tepat bagi tenaga

kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi

(32)

a. Masker

Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar

yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran

pori-pori tertentu.

b. Respirator

Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap,

logam, asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi:

1) Respirator pemurni udara

Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyarap kontaminan

dengan toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan. Alat

pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara (gambar 1)

atau tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut (gambar 2.2).

2) Respirator penyalur udara

Membersihkan aliran udara yang tidak terkontaminasi secara terus menerus.

Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang

tahan tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi

udara bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self

Contained Breathing Apparatus) atau alat pernapasan mandiri. Digunakan

untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen. Alat

(33)

Gambar 2.1. Alat Pelindung Pernafasan

Sumber: Budiono (2002), Bunga Rampai HIPERKES & KK

Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung

debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran

pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari

kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar

debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan

masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari kemungkinan terjadinya

gangguan pernapasan.

Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan

masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring

dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan

cara aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi

(34)

Cara-cara pemilihan APD harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi

beberapa kriteria yang diperlukan antara lain:

a. APD harus memberikan perlindungan yang baik terhadap bahaya yang

dihadapi tenaga kerja

b. APD harus memenuhi standar yang telah ditetapkan

c. APD tidak menimbulkan bahaya tambahan yang lain bagi pemakainannya

yang dikarenakan bentuk atau bahannya yang tidak tepat atau salah

penggunaan

d. APD harus tahan untuk jangka pemakaian yang cukup lama dan bersifat

fleksibel.

g. Riwayat Penyakit

Kondisi kesehatan saluran pernapasan dapat mempengaruhi Kapasitas Vital

Paru seseorang. Kekuatan otot – otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit. Nilai

kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru – paru, penyakit jantung

(yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price,

1995). Selain itu juga,adanya riwayat pekerjaan yang berinteraksi dengan debu akan

mengakibatkan penyakit seperti pneumonokiosis (Suma’mur, 2009).

Keluhan kesehatan saluran pernafasan dapat berupa batuk, batuk berdarah,

(35)

1. Batuk

Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang

ada. Batuk adalah refleks normal yang melindungi tubuh kita. Tentu saja bila batuk

itu berlebihan, ia akan terasa amat menganggu. Penelitian menunjukkan bahwa pada

penderita batuk kronik didapat 628 sampai 761 kali batuk/hari. Penderita TB paru

jumlah batuknya sekitar 327 kali/hari dan penderita influenza bahkan sampai 154,4

kali/hari. Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang

reseptor batuk. Selain itu, batuk juga dapat terjadi pada keadaan – keadaan

psikogenik tertentu (Aditama, 1993).

2. Batuk darah

Batuk berdarah adalah batuk yang disertai darah. Jika darahnya sedikit dan

tipis kemungkinan adalah luka lecet dari saluran napas, karena batuk yang terlalu

kuat. Batuk berdarah dengan darah yang tipis dan sedikit bisa terjadi pada penderita

maag kronis dimana maag penderita mengalami luka akibat asam lambung yang

berlebih. Batuk berdarah dengan jumlah darah yang banyak biasanya terjadi pada

penderita TB paru (tuberkulosis paru) yang sudah lama dan tidak diobati. Batuk

berdarah pada penderita TBC merupakan suatu hal gawat darurat (emergency) karena

dapat menyebabkan kematian dan harus mendapatkan pertolongan yang cepat.

Pengobatan batuk berdahak adalah memberikan antibiotik, dicari penyebabnya jika

karena TBC maka harus diberikan obat TBC, diberikan obat penekan batuk

(36)

3. Sesak napas

Sesak napas merupakan gejala klinis dari gangguan pada saluran pernapasan.

Sesak napas bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan manifestasi dari penyakit

yang menyerang saluran pernapasan. Penyakit yang bisa menyebabkan sesak napas

sangat banyak sekali mulai dari infeksi, alergi, inflamasi bahkan keganasan. Hal – hal

yang bisa menyebabkan sesak napas antara lain :

1. Faktor psikis

2. Peningkatan kerja pernapasan

a. Peningkatan ventilasi (latihan jasmani, hiperkapnia, asidosis

metabolik).

b. Sifat fisik yang berubah (tahanan elastis paru meningkat, tahanan

elastis dinding paru meningkat, peningkatan tahanan bronchial).

3. Otot pernapasan yang abnormal

a. Penyakit otot (kelemahan otot, kelumpuhan otot, distrofi).

b. Fungsi mekanis otot berkurang.

Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika

ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebabkan gangguan pada pertukaran

gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat

sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah

sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis di

(37)

4. Nyeri dada

Salah satu bentuk nyeri dada yang paling sering ditemukan adalah angina

pectoris yang merupakan gejala penyakit jantung koroner dan dapat bersifat progresif

serta menyebabkan kematian, sehingga jenis nyeri dada ini memerlukan pemeriksaan

yang lebih lanjut dan penanganan yang serius.

5. Sakit tenggorokan

Radang tenggorokan adalah infeksi pada tenggorokan (tekak) dan kadangkala

amandel. Penyebab lainnya diantaranya adalah adanya polusi udara, alergi musiman

dan merokok. Perubahan cuaca dan alergi musiman adalah penyebab yang paling

sering terjadi. Terutama banyak terjadi pada anak – anak dan infeksi ini disebarkan

melalui orang ke orang (person to person contact).

Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,

kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonukloear. Pada stadium

awal, terdapat hyperemia, kemudian edema, dan sekresi yang meningkat. Eksudat

mula – mula serosa tetapi menjadi menebal atau berbentuk mukus, dan kemudian

cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.

3.10. Kerangka Teori

Mengacu dari tinjauan teori mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi

terjadinya gangguan fungsi kapasitas paru, dalam membuat kerangka konsep, peneliti

(38)

dengan teori simpul kejadian penyakit. Dalam teori simpul kejadian penyakit

tersebut, proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni sebagai

berikut :

Simpul 1 disebut sebagai sumber penyakit, yaitu risk agent berupa adanya

bahan pencemar di lingkungan tempat kerja yang berasal dari partikel debu akibat

tingginya aktivitas lalu lintas di Kecamatan Medan Amplas.

Simpul 2 disebut sebagai komponen lingkungan yang merupakan media

transmisi penyakit, yaitu udara lingkungan tempat bekerja di jalan raya Kecamatan

Medan Amplas.

Simpul 3 disebut sebagai perilaku pemajanan (Behavioral Exposure), yaitu

jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung

potensi bahaya penyakit (agen penyakit). Dalam penelitian ini adalah perilaku

penyapu jalan pada saat bekerja di Kecamatan Medan Amplas.

Simpul 4 disebut sebagai kejadian suatu penyakit, yaitu akibat atau dampak

hubungan interaktif antara para pekerja penyapu jalan dengan lingkungan tempat

bekerja di jalan raya Kecamatan Medan Amplas.

Proses kejadian penyakit yang diuraikan ke dalam 4 simpul tersebut di atas

yakni simpul 1 sebagai sumber penyakit, simpul 2 sebagai media transmisi penyakit,

simpul 3 sebagai perilaku pemajanan dan simpul 4 sebagai kejadian penyakit dapat

(39)

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 2.2. Kerangka Teori Sumber

Penyakit

-Kadar Debu

Media Transmisi Penyakit

-Udara

Perilaku Pemajanan

- Perilaku

individu

Dampak

-Gangguan Kapasitas Vital Paru

(40)

3.11. Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori di atas, maka dapat

digambarkan kerangka konsep sebagai berikut :

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Kadar Debu Ambien

Karakteristik Individu :

1. Usia

2. Masa Kerja

3. Lama Kerja

4. Kebiasaan Merokok

5. Status Gizi

6. Penggunaan Masker

7. Riwayat Penyakit

Kapasitas Vital Paru

Gambar

Tabel 2.1. Nilai Standar KVP
Tabel 2.2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Gambar 2.1. Alat Pelindung Pernafasan
Gambar 2.2. Kerangka Teori
+2

Referensi

Dokumen terkait

Struktur jaringan kedua menjadikan hujan bulan September sampai dengan Agustus tahun berikutnya sebagai variabel input (12 simpul dari R) dan pada periode yang sama variabel

Website sebagai bagian dari teknologi internet berperan penting dalam penyebaran informasi, berbagai kegiatan yang bersifat online, serta berbagai aktivitas lain yang

Penulisan ilmiah ini menjelaskan tentang pembuatan aplikasi modul interaktif yang diterapkan pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, bagi siswa Sekolah Dasar yang bertujuan

[r]

Kedua, hasil scoring risiko yang telah dan mungkin terjadi menunjukan 19% risiko yang ada pada koperasi simpan pinjam berada pada level high, 59% risiko yang terdapat

[r]

Dari pernyatan yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa, dengan memanfaatkan media buku refrensi seni tari Bedhaya Ketawang yang berbasis digital watercolour illustration akan

Simplisia halus tambahkan dengan CHCl3 (untuk melarutkan alkaloid) + NH4OH (untuk membasakan garam alkaloid) lalu disaring hingga diperoleh ekstrak, lalu ekstrak diuapkan,