• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor – faktor yang berhubungan dengan Hipertensi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Hipertensi pada remaja

2.2.5 Faktor – faktor yang berhubungan dengan Hipertensi

Menurut Kemenkes tahun 2013 dalam penelitian Yusrizal (2016) laki-laki memiliki risiko sekitar 2,3 kali lebih banyak mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan perempuan.

Perkiraan prevalensi hipertensi nasional di AS pada periode 2011-2012 angka tertinggi pada remaja laki-laki yaitu (4%) tingkat 1 dan (7%) tingkat 2 dan terendah ada pada kalangan remaja perempuan yaitu (2%) tingkat 1 dan (0,86%) tingkat 2 (Agyekum, 2016).

2) Riwayat Keluarga

Pada penelitian yang dilakukan Sulastri dan Sidhi (2011) hipertensi pada siswa yang ada riwayat hipertensi sebanyak 20,7%, lebih tinggi dibanding pada siswa yang tidak ada riwayat hipertensi sebanyak 9,4%.

Pada penelitian yang lain juga didapatkan bahwa hipertensi lebih banyak ditemukan pada anak dengan riwayat hipertensi positif (8,7%) dibandingkan dengan anak dengan riwayat hipertensi negatif (2,5%) sehingga dianjurkan bagi orang tua anak untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah pada anak secara rutin minimal satu tahun sekali untuk mendeteksi adanya kenaikan tekanan darah yang abnormal (Kalangi et al., 2015).

Kecenderungan genetis yang membuat keluarga tertentu lebih rentan terhadap hipertensi mungkin berhubungan dengan peningkatan natrium intraseluler (Black & Hawks, 2014).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwawardana (2017) semakin remaja memiliki indeks massa tubuh yang tinggi maka akan semakin tinggi tekanan darahnya dan remaja yang memiliki tekanan darah yang tinggi maka akan semakin tinggi risiko untuk terkena hipertensi (Purwawardana, 2017).

IMT yang tinggi merupakan hasil sementara dari sebuah rangkaian terarah untuk pre-hipertensi pada perempuan dan laki-laki, dan remaja yang lebih tua lebih beresiko dengan IMT tinggi dan diikuti pre-hipertensi remaja yang lebih muda. Masa remaja merupakan masa rawan terjadinya hipertensi obesitik, karena remaja cenderung memilik makanan tinggi energi, tinggi lemak, dan tinggi natrium yang merupakan manifestasi awal terjadinya hipertensi obesitik. Keadaan obesitas sentral, lemak berakumulasi sebagai lemak viseral/intraabdominal atau lemak subkutan abdomen. Obesitas sentral berisiko mengalami sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular, khususnya jika terdapat lemak viseral yang berlebihan. Kadar adiponektin yang rendah, adanya resistensi leptin, serta berbagai sitokin yang terlepas dari sel adipose dan sel inflamasi yang menginfiltrasi jaringan lemak, menurunkan ambilan asam lemak bebas oleh mitokondria pada beberapa jaringan, menurunkan oksidasi asam lemak bebas, dan menyebabkan akumulasi asam lemak bebas intersel. Kelebihan asam lemak bebas intraselular dan metabolik, seperti fatty acyl CoA, diacyglycerol, dan ceramide, dapat memicu resistensi insulin, bahkan hiperinsulinemia dan hiperglikemia. Resistensi insulin yang disertai dengan gangguan fungsi endotel pembuluh darah, dapat menyebabkan vasokonstraksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang mengakibatkan hipertensi melalui penurunan nitrit oxide yang

menimbulkan vasodilatasi, peningkatan sensitivitas garam, dan peningkatan volume plasma (K. & Sulchan, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan Sulastri dan Sidhi (2011) kejadian hipertensi pada siswa yang obese sebanyak 66,7%, jauh lebih tinggi dari pada siswa yang tidak obese yaitu sebanyak 12,1%. Pada penurunan berat badan obesitas akan memberikan efek penurunan volume darah, penurunan cardiac output, penurunan resistensi vaskuler perifer, penurunan resistensi insulin, penurunan aktivitas simpatis/ sistem renin angiotensin yang berakibat pada penurunan tekanan darah. Tekanan darah dan IMT pada anak secara konsisten tampaknya merupakan dua prediktor yang paling kuat untuk nilai tekanan darah pada usia dewasa.

Pada saat ini, yang paling sering dilakukan untuk menyatakan indeks tersebut adalah dengan indeks Z-skor. Klasifikasi IMT/Uusia 5-18 tahun menurut Kementrian kesehatan RI tahun 2010 disajikan pada tabel 2.3 (Kemenkes RI, 2010).

Tabel 2.3 Klasifikasi IMT Menurut Kemenkes RI 2010 untuk Usia 5-18 Tahun

Klasifikasi Z-Skor

Sangat kurus <-3 SD

Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD

Normal -2 SD sampai dengan 1 SD

Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD

Obesitas >2 SD

Sumber: Kemenkes RI. (2010)

Secara teoritis, Z-skor dapat dihitung dengan cara berikut: IMT = BB (kg/m2)

Z-skor = Nilai IMT yang diukur – Median Nilai IMT Standar Deviasi dari standar

4) Konsumsi Natrium Tinggi

Konsumsi natrium bisa menjadi faktor penting dalam perkembangan hipertensi esensial. Paling tidak 40% dari klien yang akhirnya terkena hipertensi akan sensitif terhadap garam dan kelebihan garam mungkin menjadi penyebab pencetus hipertensi pada individu ini. Diet tinggi garam mungkin menyebabkan pelepasan hormon natriuretik yang berlebihan, yang mungkin secara tidak langsung meningkatkan tekanan darah. Muatan natrium juga menstimulasi mekanisme vasopresor di dalam sistem saraf pusat (SSP). Penelitian juga menunjukkan bahwa asupan diet rendah kalsium, kalium, dan magnesium dapat berkontribusi dalam pengembangan hipertensi (Black & Hawks, 2014).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2013 disebutkan bahwa konsumsi natrium lebih dari 2000 mg (1 sendok teh) per orang per hari hari akan meningkatkan risiko hipertensi (Menkes RI, 2014). Daftar makanan tinggi natrium adalah sebagai berikut.

Tabel 2.4 Bahan Penyedap

Nama Makanan Ukuran Rumah Tangga (URT)

Kandungan Natrium

Garam Meja 1 Sendok Teh 2000 mg

Acar Bawang Merah 1 Sendok Teh 1620 mg

Acar Bawang Putih 1 Sendok Teh 1850 mg

MSG (Vetsin) 1 Sendok Teh 492 mg

Kecap 1 Sendok Teh 343 mg

Meat Tenderizer (Pelunak Daging)

1 Sendok Teh 1750 mg

Tabel 2.5 Makanan Siap Saji

Nama Makanan Berat dalam Gram Kandungan Natrium Chicken Breast Sandwich 210 1340 mg Double Beef Whopper and

Cheese

374 1535 mg

Ham and Cheese 230 1534 mg

Hot Dog 100 830 mg

Roasted Beef 247 1288 mg

Super Hot Dog with Cheese

196 1605 mg

Sumber: Menkes RI (2014)

Garam merupakan senyawa yang terdiri dari natrium dan klorida. Meningkatnya tekanan darah ketika mengkonsumsi makanan yang asin sebenarnya dipengaruhi oleh natrium yang terkandung dalam makanan tersebut. Natrium ini tidak hanya terkandung dalam garam saja, namun juga pada penyedap makanan (MSG), dan pengawet makanan (natrium benzoate) (Dinkes, 2015).

5) Merokok

Pada penelitian yang dilakukan oleh Moskos dan Henson (2014) usia, jenis kelamin, lingkar pinggang dan saliva cotinine berkontribusi 35% dari varians dalam tekanan darah sistolik dan 18% pada tekanan darah diastolik. Seperempat (25%) dari remaja laki-laki dan 11% dari remaja perempuan memiliki peningkatan tekanan darah sistolik. Sekitar seperlima dari sampel (22%) memiliki peningkatan kadar cotinine ludah indikasi dari penggunaan tembakau dan paparan asap rokok (Moskos et al., 2014).

Pada penelitian yang dilakukan Sulastri dan Sidhi (2011) hipertensi pada siswa merokok (33,3%), lebih tinggi dibanding siswa yang tidak merokok (8,7%). Biasanya remaja mulai merokok karena pengaruh dari teman untuk tampak lebih

gagah. Dorongan tambahan dapat berasal dari orang tua dan media massa. Kebanyakan dari mereka menyadari bahaya dari merokok.

Merokok sigaret merupakan faktor risiko hipertensi. Pada dosis tertentu nikotin dalam rokok sigaret dapat menyebabkan naiknya tekanan darah secara langsung; namun bagaimanapun juga, kebiasaan memakai zat ini telah turut meningkatkan kejadian hipertensi dari waktu ke waktu (Black & Hawks, 2014).

Penggolongan berdasarkan jumlah rokok yang dihisap terbagi menjadi tiga yaitu: perokok ringan (< 10 batang/ hari), perokok sedang (10-19 batang/ hari), dan perokok berat (≥20 batang/ hari). Pada beberapa jurnal jelas disebutkan seseorang yang merokok lebih dari 15 batang perhari memiliki kejadian hipertensi yang tinggi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok dapat menyebabkan terjadinya hipertensi (Susilo & Wulandari, 2011).

6) Stres Psikogenik

Stres meningkatkan resistensi vaskular perifer dan curah jantung serta menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis. Dari waktu ke waktu hipertensi dapat berkembang. Stresor bisa banyak hal, mulai dari suara, infeksi, peradangan, nyeri, berkurangnya suplai oksigen, panas, dingin, trauma, pengerahan tenaga berkepanjangan, respons pada peristiwa kehidupan, obesitas, usia tua, obat-obatan, penyakit, pembedahan dan pengobatan medis dapat memicu respons stres. Rangsangan berbahaya ini dianggap oleh seseorang sebagai ancaman atau dapat menyebabkan bahaya; kemudian, sebuah respons psikopatologis “melawan-atau-lari” (fight or flight) diprakarsai di dalam tubuh. Jika respons stres menjadi berlebihan atau berkepanjangan, disfungsi organ sasaran atau penyakit akan dihasilkan. Sebuah

laporan dari Lembaga Stres Amerika (American Institute of Stress) memperkirakan 60% sampai 90% dari seluruh kunjungan perawatan primer meliputi keluhan yang berhubungan dengan stres. Oleh karena stres adalah permasalahan persepsi, interpretasi orang terhadap kejadian yang menciptakan banyak stresor dan respons stres (Black & Hawks, 2014).

7) Tingkat Ekonomi

Penelitian yang dilakukan Pradono, Suparmi, dan Sihombing (2013) menurut pengeluaran perkapita, responden yang tergolong miskin berpeluang lebih besar menderita hipertensi dibandingkan dengan yang kaya. Karena responden minskin memiliki kendala untuk berobat karena transportasi yang dirasa mahal, sekalipun berobat ke fasilitas mendapat “gratis”, sehingga responden tidak berobat, kecuali dirasakan penyakit menjadi berat. Tingkat ekonomi turut berkontibusi dalam meningkatkan tekanan darah.Ketidakmampuan masih merupakan penghalang untuk responden melakukan kontrol kesehatan maupun pengobatan (Pradono et al., 2013).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) remaja dengan tingkat pengeluaran yang rendah lebih banyak mengalami hipertensi daripada remaja dengan tingkat pengeluaran lebih tinggi.

8) Aktivitas Fisik

Pada penelitian yang dilakukan oleh Martha (2017) ditemukan bahwa pre- hipertensi pada remaja putri dipengaruhi oleh aktivitas sedang (Martha, 2017).

Seseorang yang kurang melakukan aktivitas olahraga menyebabkan tubuh kurang menggunakan energi yang tersimpan dalam tubuh. Oleh karena itu, apabila asupan lemak berlebihan tanpa diimbangi dengan aktivitas olahraga yang sesuai dapat

menyebabkan obesitas, dimana obesitas dapat menyebabkan hipertensi, yang dikenal dengan sindrom metabolik hipertensi obesitas (K. & Sulchan, 2012).

Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan serta menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktivitas fisik dalam seminggu terakhir untuk penduduk umur ≥10 tahun. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yang secara terus menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500 MET minute. MET minute aktivitas berat adalah lamanya waktu (menit) melakukan aktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktivitas fisik sedang apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktivitas fisik ringan (WHO GPAQ, 2012; WHO STEPS, 2012). Kriteria aktivitas fisik “aktif” adalah individu yang melakukan aktivitas fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria “kurang aktif” adalah individu yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang ataupun berat (Riskesdas, 2013).

Dokumen terkait