• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

J. Pemberantasan Penyakit Diare (P2D)

2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita

e. Pemberian nasihat

Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasihat tentang:

 Cara memberikan cairan dan obat di rumah.

 Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan, seperti diare lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit, timbul demam, tinja berdarah, dan tidak membaik dalam 3 hari.

Tujuan tercapainya tata laksana penderita diare yang tepat dan efektif adalah mencegah terjadinya dehidrasi, mengobati dehidrasi, memberi makanan/minuman, mengobati masalah lain.

2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita adalah sebagai berikut:

a) Sarana Air Bersih

Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari akan menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik, kimia, biologi, dan radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping (Kep.Men.Kes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990).

Sarana air bersih adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya yang menyediakan dan mendistribusikan air tersebut kepada masyarakat. Sarana air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, agar tidak mengalami pencemaran sehingga

24

dapat diperoleh kualitas air yang baik sesuai dengan standar kesehatan. Ada berbagai jenis sarana air bersih yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti sumur gali (SGL), sumur pompa tangan (SPT), perpipaan, dan penampungan air hujan (PAH). (Depkes RI, 1977 dalam Marjuki, 2008)

 Sumur Gali (SGL)

Pengertian dari sumur gali adalah salah satu jenis sarana penyediaan air bersih yang dibuat dengan cara menggali tanah sampai pada kedalaman tertentu sampai keluar mata airnya. Pernyataan teknis sumur gali dari segi kesehatan (Depkes RI Dirjen PPM & PLP, 1995) adalah:

1) Apabila letak sumber pencemaran lebih tinggi dari sumur gali, maka jarak minimal sumur gali terhadap sumber pencemaran adalah 11 meter, jika letak sumber pencemaran sama atau lebih rendah dari sumur gali maka jarak minimal sumur gali tersebut adalah 9 meter, yang termasuk sumber pencemaran adalah: jamban, air kotor atau comberan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak, dan sumur saluran resapan.

2) Lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, tidak retak atau bocor mudah dibersihkan, dan tidak tergenang air (kemiringan 1-5%).

3) Saluran pembuangan air limbah harus kedap air, tidak menimbulkan genangan, dan kemiringan minimal 2%.

4) Tinggi bibir sumur minimal 80 cm dari lantai terbuat dari bahan yang kuat dan rapat air.

5) Dinding sumur minimal sedalam 3 meter dari permukaan tanah, dibuat dari bahan kedap air dan kuat.

25

6) Jika pengambilan air dengan timba harus ada timba khusus. Untuk mencegah pencemaran, timba harus selalu digantung dan tidak boleh diletakkan di lantai.

 Sumur Pompa Tangan (SPT)

Sumur pompa tangan terdiri dari sumur pompa tangan dangkal, sedang, dan dalam. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut:

1. Jarak SPT minimal 11 meter dari sumber pencemar, seperti jamban, air kotor/comberan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak, dan lain-lain. 2. Lantai harus kedap air, minimal 1 meter dari sumur, tidak retak/bocor, mudah

dibersihkan, dan tidak tergenang air dengan kemiringan antara 1% sampai 5%.

3. Saluran pembuangan air limbah (SPAL) harus kedap air, tidak menimbulkan genangan. Panjang SPAL dengan sumur resapan minimal 11 meter dengan kemiringan minimal 2%.

4. Pipa penghisap dilindungi dengan casing atau coran rapat air sekurang-kurangnya 3 meter dari permukaan tanah.

5. Ujung pipa bawah saringan dipasang dop, bagian luar saringan diberi kerikil sebesar biji jagung yang berukuran kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian pompa, klep, dan karet penghisap harus bekerja dengan baik agar tidak memerlukan air pancingan, serta dudukan pompa harus kuat, rapat air, dan tidak retak.

 Perpipaan

26

1) Sumber air baku harus diolah terlebih dahulu sebelum didistribusikan.

2) Pipa yang baik harus tidak melarut dalam air atau tidak mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan angka kebocoran pipa tidak lebih dari 5%. Pemasangan pipa tidak boleh terendam dalam air kotor atau air sungai. Bak penampungan harus rapat air dan tidak dapat dicemari oleh sumber pencemar serta pengambilan air melalui sarana perpipaan harus melalui kran.

Sedangkan untuk kran umum, lantai mudah dibersihkan dan harus kedap air, luas lantai minimal 1m2, tidak tergenang air, dan kemiringan lantai 1-5%. Tinggi kran minimal 50-70 cm dari lantai. Kran umum dilengkapi dengan saluran pembuangan air limbah (SPAL) rapat air, kemiringan minimal 2%, air buangan disalurkan ke sumur/saluran resapan atau saluran sumur lainnya.

Menurut Mann, H.T (1993), bahan pipa yang biasa digunakan untuk pendistribusian air adalah:

a. Pipa Baja

Sekarang ini banyak terdapat pipa baja, baik pipa baja hitam maupun yang disepuh dengan diameternya berkisar antara 10 sampai 150 mm (1/2 sampai 6 inchi). Pipa yang disepuh kualitasnya lebih baik, karena tahan terhadap karat.

b. Pipa Besi

Terdapat pipa besi berukuran antara 75 sampai dengan 150 mm (3 sampai 6 inchi), tetapi pipa besi ini lebih tahan karat dibandingkan dengan baja.

27

Pipa ini mempunyai ukuran yang hampir sama dengan pipa besi, tetapi pipa asbes lebih tahan karat dibandingkan dengan pipa besi.

d. Pipa PVC

Biasanya berdiameter antara 50 sampai 150 mm (2 sampai 6 inchi) atau lebih. Pipa ini ringan dan tahan karat.

e. Pipa Polythene

Biasanya berdiameter antara 10 sampai 75 mm (1/2 sampai 3 inchi), merupakan pipa yang paling baik digunakan untuk pipa bor. Mempunyai beberapa keunggulan, yaitu murah, ringan, dan jarang terjadi kebocoran. Kelemahannya adalah tidak tahan terhadap gigitan tikus.

 Penampungan Air Hujan (PAH)

Persyaratan sarana air bersih berupa penampungan air hujan adalah sebagai berikut:

a. Talang air yang masuk ke bak PAH harus dapat diatur posisinya agar air hujan pada 5 menit pertama tidak masuk ke dalam bak.

b. Tinggi bak saringan minimal 40 cm, terbuat dari bahan yang kuat dan rapat nyamuk, susunan saringan terdiri dari pasir dan ijuk.

c. Pipa peluap (over flow) harus dipasang kawat kassa rapat nyamuk.

d. Tinggi kran dari lantai 50-60 cm, lantai bak pengambilan berfungsi sebagai resapan dengan susunan batu, pasir setebal minimal 0,6 dari lantai (volume 0,6 x 0,6 x 0,6 m3).

e. Kemiringan lantai bak PAH mengarah ke pipa penguras dan mudah dibersihkan (tidak terdapat sudut mati).

28

f. Untuk meningkatkan mineral, air hujan dialirkan pada saringan pasir, dan untuk meningkatkan pH ditambahkan kapur.

Hasil penelitian Septian Bumulo (2012) menunjukkan bahwa responden yang sarana penyediaan air bersih tidak memenuhi syarat dan tidak diare yaitu sebanyak 79 responden (52,7%), hal ini dikarenakan walaupun air yang dikonsumsi tidak memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan minum, responden terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih dan sebagian besar responden selalu menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah tertutup sehinga sedikit kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab kejadian diare.

Di samping itu diperoleh sebanyak 32 responden (29,4%) yang sarana penyediaan air bersih memenuhi syarat namun menyebabkan diare. Hal ini dikarenakan sebagian responden masih ada yang menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah terbuka dan masih banyak pula yang jarak jamban keluarga dengan sumber air bersihnya kurang dari 10 meter sehingga besar kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab kejadian diare.

b) Perilaku Ibu

Perilaku merupakan cerminan dari sikap, hasil distribusi frekuensi sikap yang baik atau positif, sikap yang positif maka perilaku yang dilaksanakan kearah positif atau baik.

Menurut teori Green et al (1999) dalam Notoatmodjo (2003), kesehatan individu dan masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor perilaku dan

29

faktor-faktor di luar perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor; yaitu faktor predisposisi adalah faktor yang mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai, dan persepsi seseorang atau kelompok untuk bertindak; lalu faktor pemungkin (enabling factor) yaitu berbagai keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan perilaku kesehatan; dan faktor perilaku yang terakhir adalah faktor penguat (reinforcing factor) adalah faktor yang menentukan tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak.

Menurut Becker (1979) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.

Menurut Depkes RI (2005), perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah sebagai berikut: 1. Memasak Air

Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Kep.Men.Kes RI No. 907/Menkes/SK/VII/2002). Air untuk minum harus diolah terlebih dahulu dan wadah air harus bersih dan tertutup. Air yang tidak dikelola dengan standar pengelolaan air minum rumah tangga (PAM-RT) dapat menimbulkan penyakit (Dirjend P2PL, 2008).

Salah satu bentuk pengolahan air minum rumah tangga yang sederhana dan sering digunakan adalah dengan cara memasak. Memasak merupakan proses

30

mematikan mikroorganisme (virus, bakteri, spora bakteri, jamur protozoa) penyebab penyakit dengan cara pemanasan (Depkes RI, 2008).

2. Penggunaan Jamban

Penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penularan risiko terhadap penyakit diare. Jamban adalah tempat pembuangan kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2003), suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

 Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut  Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya

 Tidak mengotori air tanah di sekitarnya

 Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan binatang-binatang lainnya

 Tidak menimbulkan bau

 Mudah digunakan dan dipelihara  Sederhana desainnya

 Murah

 Dapat diterima oleh pemakainya

Tempat pembuangan tinja adalah sarana yang digunakan untuk buang air besar dan tempat pembuangan akhir tinja yang digunakan keluarga sehari-hari

31

(MDGs, 2010). Menurut Entjang (2000), macam-macam kakus atau tempat pembuangan tinja, yaitu:

Pit-privy (Cubluk/Jamban Cemplung)

Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya diperkuat dengan batu atau bata, dan dapat ditembok ataupun tidak agar tidak mudah ambruk. Lama pemakaiannya antara 5-15 tahun. Bila permukaan penampungan tinja sudah mencapai kurang lebih 50 cm dari permukaan tanah, dianggap cubluk sudah penuh. Cubluk yang penuh ditimbun dengan tanah. Ditunggu 9-12 bulan. Isinya digali kembali untuk pupuk, sedangkan lubangnya dapat dipergunakan kembali.

 Jamban air (Water latrine)

Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai tempat pembuangan tinja. Proses pembusukkannya sama seperti pembusukan tinja dalam air kali. Untuk kakus ini, agar berfungsi dengan baik, perlu pemasukan air setiap hari, baik sedang dipergunakan atau tidak.

 Jamban leher angsa (Angsa latrine)

Jamban jenis ini merupakan jamban yang paling memenuhi persyaratan. Oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat, sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus.

32

Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara. Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah permukaan (meluap).

 Jamban keranjang (Bucket latrine)

Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di tempat lain, misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat tidur. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar, tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang perjalanan ke tempat pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya menimbulkan bau.  Jamban parit (Trench latrine)

Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat defaecatie.

Tanah galiannya dipakai untuk menimbunnya. Penggunaan jamban parit sering mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang berhubungan dengan pencegahan pencemaran tanah, pemberantasan lalat, dan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan.

 Jamban empang / gantung (Overhung latrine)

Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan sebagainya. Kerugiannya mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang terdapat di dalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air yang dapat menimbulkan wabah

33

Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi kaustik soda sehingga dihancurkan sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan umum, misalnya pesawat udara atau kereta api. Dapat pula digunakan dalam rumah sebagai pembersih tidak dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet paper).

Berdasarkan hasil penelitian Wibowo (2004), jenis tempat pembuangan tinja yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa (68,3%), sedangkan 7,9% menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak memiliki jamban. Lalu Wibowo (dalam Wulandari 2009:19) menjelaskan bahwa tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi.

Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Zubir (2006) tentang faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (Batita) di Kabupaten Bantul, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempat pembuangan tinja mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p < 0,05, (OR) = 1,24.

3. Kebiasaan Cuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum

34

menyuapi makan anak, dan sesudah makan mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes, 2005).

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Riki N.P (2013) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum menyuapi anak makan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p.value = 0,015.

Hasil penelitian Anup K.C. (2012) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan (menyiapkan makanan, pada saat makan, menyuapi anak, selesai bekerja, dan selesai memandikan anak) dimana hanya 2% anak-anak ditemukan terinfeksi diare yang orang tuanya mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan sedangkan 26 (20,5%) anak-anak ditemukan terinfeksi diare karena orang tuanya tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum/sesudah melakukan kegiatan.

4. Pemberian ASI Eksklusif

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012, ASI (Air Susu Ibu) eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.

Menurut Depkes (2005), ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. ASI Eksklusif harus diberikan secara penuh selama 4 sampai 6 bulan. Pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih besar dari pada bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih

35

besar. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu formula.

Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian Karki T, dkk (2010) bahwa balita yang mengkonsumsi susu formula selama 6 bulan di awal kelahiran memiliki 26,32% terkena diare dengan resiko terkena diare 1,95 kali dibandingkan dengan balita yang mengkonsumsi ASI eksklusif.

5. Pemberian Imunisasi Campak

Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak imunisasi campak setelah berumur 9 bulan. Imunisasi campak adalah suatu keadaan tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin campak dalam tubuh bayi usia antara 9 sampai 11 bulan dan pada usia 6 sampai 7 tahun.

Diare sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang sedang menderita campak, hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita (Depkes, 2005).

Hal penelitian Olyfta A. (2010) menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara imunisasi campak dengan kejadian diare pada balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak akan beresiko 5,4 kali terkena diare daripada balita yang mendapatkan imunisasi campak.

36 6. Penggunaan Botol Susu

Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh kuman, karena botol susu susah dibersihkan. Penggunaan botol untuk susu formula, biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk. (Depkes, 2005)

Hasil penelitian Wibowo, dkk (2004) menyebutan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara proses pencucian botol susu dengan kejadian diare pada balita yang mengkonsumsi susu formula. Hal ini dikarenakan dari hasil pengamatan selama satu bulan, proses pencucian botol susu yang dilakukan oleh para ibu hanya sebesar 43% yang memenuhi syarat, sedangkan sisanya masih kurang benar.

37 2.3 Kerangka Teori

Berdasarkan teori dan penelitian di atas, maka diperoleh kerangka teori sebagai berikut:

Dokumen terkait