• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN

PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI

GADING TAHUN 2010-2011

Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan Perancis terkait intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011. Dalam bab ini dijelaskan faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi Intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011.

BAB V PENUTUP

Bab ini merangkum hasil penelitian mengenai intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011.

BAB II

KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING

Dalam hukum humaniter internasional, konflik bersenjata dibagi menjadi dua, yaitu konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Pada kasus Pantai Gading, awalnya konflik hanya terjadi di dalam batas negara kemudian meluas sehingga menjadi konflik yang ter-internasionalisasi. Instabilitas ekonomi, xenophobia35, dan kurangnya legitimasi institusi negara merupakan beberapa penyebab konflik.

A. Sejarah Konflik di Pantai Gading

Konflik yang terjadi di Pantai Gading yang terjadi pascapemilihan umum tahun 2010 bukan konflik pertama di negara Afrika Barat tersebut. Ketegangan politik sudah terjadi sejak tahun 1990 yang menjadi awal ketidakstabilan keamanan di Pantai Gading hingga terjadi konflik pascapemilu tahun 2011.

Pantai Gading sebelumnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7 persen pada dekade 1980-an berkat komoditas utamanya kakao. Namun, memasuki dekade 90-an, harga kakao mengalami kemerosotan dan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi Pantai Gading yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi secara tidak langsung mengubah sistem pemilihan umum Pantai Gading36. Boigny yang telah menjadi presiden sejak tahun 1960, untuk pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum multipartai. Padahal, sebelumnya pemilihan umum di Pantai Gading hanya

35

Xenophobia adalah ketakutan atau kebencian kepada orang dan sesuatu yang asing. Diunduh dari (http://www.merriam-webster.com/dictionary/xenophobia)

diikuti oleh Parti Démocratique de Côte d’Ivoire (PDCI) sebagai satu-satunya partai yang berkuasa.

Pada tahun 1990, pemilu diselenggarakan akibat rangkaian protes yang menentang pemerintahan Boigny. Protes tersebut terjadi akibat pemerintah saat itu mencabut subsidi sektor pertanian serta melakukan penyederhanaan anggaran37. Menanggapi kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, mahasiswa dan serikat tani Pantai Gading saat itu melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintahan yang lebih demokratis, demonstrasi berakibat bentrokan dengan polisi38. Melihat demonstrasi yang semakin mengkhawatirkan, Presiden Boigny menyelenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh partai selain PDCI.

Selain diikuti oleh PDCI sebagai partai pemerintah, Pemilu Pantai Gading juga diikuti Front Populaire Ivoirien (FPI) yang mengusung Laurent Gbagbo sebagai calon presiden. Meski kembali dimenangi oleh Boigny, peristiwa ini menandai kemunculan Gbagbo sebagai tokoh oposisi di Pantai Gading. Kemenangan Boigny membuatnya meneruskan masa jabatan yang telah diduduki sejak 1960.

Namun, hanya tiga tahun setelah memenangi pemilu multipartai pertamanya, Felix Houphouët Boigny meninggal dunia. Pascameninggalnya Boigny, jabatan Presiden Pantai Gading dijabat oleh Henri Konan Bedié yang

37Jennifer A. Widner, “The 1990 Elections in Côte d’Ivoire”, Journal of Option, Vol. 20 no. 1 (1991), 31.

38Global Nonviolent Action Database, “Ivorians demand switch to multiparty democracy, 1989

-1990” diunduh pada 8 Maret 2014 dari

(http://nvdatabase.swarthmore.edu/content/ivorians-demand-switch-multipartydemocracy-1989-1990)

sebelumnya menjabat sebagai ketua Dewan Legislatif Pantai Gading39. Selama memerintah, Bedié memperkenalkan konsep Ivoirité yang melarang orang yang bukan asli Pantai Gading untuk menempati posisi tinggi dalam pemerintahan Pantai Gading. Konsep Ivoirité diduga digunakan oleh Bedié untuk menjegal niat dari Alassane Ouattara, mantan perdana menteri Boigny, yang ingin maju menjadi presiden pada pemilu 1995, namun Ouattara merupakan keturunan Burkina Faso40.

Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1995, Bedié yang menjadi pengganti Boigny mengikuti pemilu pertama kali. Dalam pemilihan presiden kali ini Bedié bersama Francis Wodié bersaing untuk menjadi presiden. Hasil pemilu memenangkan Bedié. Pemilu ini tidak diikuti oleh Laurent Gbagbo yang merupakan tokoh oposisi pemerintah. Tindakan ini diambil Gbagbo untuk mendukung Alassane Ouattara yang tidak dapat mengikuti pemilu akibat diskriminasi Ivoirité41.

Dalam pemerintahan Bedié setelah pemilu 1995, Pantai Gading mengalami stagnansi ekonomi dan diskriminasi etnis akibat Ivoirité. Kondisi ini menyebabkan kelompok militer yang dipimpin oleh Jenderal Gueï melakukan kudeta atas pemerintahan Bedié dan menghapuskan Ivoirité, meski demikian Ouattara masih dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum selanjutnya karena dianggap sebagai entitas asing. Tindakan Gueï yang melarang

39Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition

in the 1990 and 1995 Elections”, African Affairs, vol. 96 no. 383 (1997): 220

40 Cyril K. Dadieh, “Elections and Ethnic Violence in Côte d’Ivoire: The Unfinished Business of Succession and Democratic Transition”, African Issues. Vol. 29 no. ½ (2001):17

41Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition

keikutsertaan Ouattara dalam pencalonan presiden memunculkan pandangan bahwa penghapusan Ivoirité hanya upaya untuk mengonsolidasi massa agar terpilih menjadi Presiden Pantai Gading42.

Pemilihan umum Pantai Gading tahun 2000, merupakan pertama kali PDCI tidak berpartisipasi dan pemilu pertama Pantai Gading dalam pemerintahan junta militer. Dalam pemilu ini, Gueï dan Gbagbo merupakan dua calon presiden yang bersaing paling ketat. Meski pada akhirnya Gbagbo memenangkan pemilihan, Gueï yang merasa masih memiliki dukungan dari militer tidak mau menyerahkan kekuasaan junta militernya kepada Laurent Gbagbo yang terpilih secara demokratis dan membubarkan Commission Electorale43.

Tindakan Gueï memicu perlawanan yang dipimpin oleh Gbagbo dan memaksa Gueï untuk meninggalkan Pantai Gading. Setelah Gueï meninggalkan Pantai Gading, pemerintahan dikendalikan oleh Gbagbo44. Dalam pemerintahan ini, politik segregasi di negara Afrika Barat ini kembali berjalan ketika Gbagbo mengekslusifkan pemerintahan kepada kelompok non-imigran yang merupakan penduduk bagian selatan Pantai Gading dan kelompok penduduk bagian utara yang dipandang sebagai entitas imigran tidak diikutsertakan dalam pemerintahan45.

Pemerintahan eksklusif yang dijalankan Gbagbo memicu kekecewaan dari kelompok militer yang mayoritas merupakan penduduk utara. Kekecewaan dari

42 Francis Akindès, “The Roots of MilitaryPolitical Crises in Côte d’Ivoire” (Uppsala: Nordiska Afrikainstitutet, 2004), 21

43 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict” (Norway: Landinfo, 2006),16

44 Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” (Bath : Centre for Development Studies University of Bath, 2010), 10

kalangan militer ini berakibat pada upaya kudeta terhadap pemerintahan Gbagbo pada tahun 200146. Upaya kudeta ini tidak berhasil dan berdampak pada terbaginya Pantai Gading menjadi dua bagian, bagian selatan dikendalikan oleh pemerintahan Gbagbo yang terpusat di Abidjan dan bagian utara yang terpusat di Yamoussoukro yang kuasai oleh Nouvelle Forces dibawah pimpinan Alassane Ouattara. Pemerintahan Abidjan menganggap kelompok Nouvelle Forces sebagai pemberontak sehingga perang saudara di Pantai Gading tidak dapat dihindari.

Pada Januari 2002, untuk menormalkan keadaan keamanan di negaranya, Gbagbo mengundang Ouattara, Bedié, dan Gueï untuk melakukan rekonsiliasi. Pertemuan tersebut menghasilkan pengakuan kewarganegaraan Ouattara47. Meski telah mencapai rekonsiliasi, pada 13 September 2002, Gbagbo mengganti militer yang diangkat selama masa Gueï berkuasa dan mengganti dengan loyalisnya. Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran atas komitmen rekonsiliasi yang telah dicapai dan menimbulkan kekecewaan dari kelompok militer48.

Pada 19 September 2002, perang sipil dimulai ketika kelompok militer yang dinon-aktifkan Gbagbo menyerang kota Abidjan serta Bouaké dan Korhogo di utara Pantai Gading. Tindakan militer ini dipandang oleh Gbagbo sebagai percobaan kudeta yang dilakukan Gueï. Dalam serangan tersebut kota Abidjan

46Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” (2014) diunduh dari

(http://www.securitycouncilreport.org/chronology/cote-divoire.php?pag)

47“Post-Election Crisis” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/elections.shtml)

berhasil dipertahankan Gbagbo tapi Bouaké dan Korhogo berhasil dikuasai oleh pihak militer, meski Gueï dan istrinya tewas dalam kontak senjata yang terjadi49.

Menanggapi krisis yang terjadi di Pantai Gading Masyarakat Ekonomi Afrika Barat atau Economic West Africa Society (ECOWAS) memprakasai Accra Meeting I pada 29 September 2002, yang dihadiri oleh Laurent Gbagbo dan pemimpin negara-negara Afrika Barat. Pertemuan ini dinilai memberikan harapan kepada proses perdamaian di Pantai Gading, meski mengalami kegagalan dikarenakan isi dari pertemuan yang tidak direalisasikan dan Presiden Gbagbo yang tidak mengakui eksistensi kelompok pemberontak50.

Menindaklanjuti Accra Meeting I, PBB melalui Utusan Khusus untuk Afrika Barat, Ahmedou Ould-Abdallah bertemu Laurent Gbagbo di Abidjan dan Pimpinan MPCI (Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire), kelompok militer yang memberontak karena diberhentikan Gbagbo, di Bouaké untuk membahas gencatan senjata yang dikenal sebagai Abidjan Cease-Fire Agreement. Keberhasilan Abidjan Cease-Fire Agreement ditindaklanjuti oleh upaya peningkatan perdamaian di Pantai Gading dengan diadakan pertemuan di Lomé pada 1 November 2002. Pertemuan di Lomé menghasilkan Lomé Agreement yang menyetujui pemberian amnesti dan pembebasan kepada tahanan tentara yang melakukan upaya kudeta serta ditugaskan kembali dalam militer Pantai Gading. Namun, upaya perdamaian ini mengalami deadlock ketika MPCI meminta Gbagbo untuk mundur sebagai presiden serta penghapusan artikel 35 dalam

49Dwayne Woods “The Tragedy of Cocoa Pods: Rent Seeking, Land, and Ethnic Conflict in Côte d’Ivoire”, The Journal of Modern African Studies vol. 41 no.4 (2003), 641

50 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, (Accra: KAIPTC 2005) , 49

Konstitusi Pantai Gading yang melegalkan konsep Ivoirité51. Tuntutan MPCI ditolak oleh Gbagbo dan meminta MPCI untuk melakukan penyerahan senjata kepada pemerintah. Permintaan Gbagbo juga ditolak oleh pihak MPCI. Perundingan antara dua pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan untuk perdamaian dan penyatuan kembali Pantai Gading sehingga Lomé Agreement menghasilkan penempatan ECOWAS Force dan Licorne Forces di Buffer Area yang memisahkan kawasan utara dan selatan Pantai Gading.

Upaya mewujudkan perdamaian di Pantai Gading terus berlanjut. Pada 15 Januari 2003, Pemerintah Perancis, ECOWAS, Uni-Afrika, dan PBB mempertemukan seluruh entitas politik Pantai Gading di Linas dan Marcoussis, Perancis. Pertemuan ini bertujuan membentuk Goverment of National Reconciliation yang mempertemukan semua faksi yang ada di Pantai Gading dengan tujuan menyatukan kembali Pantai Gading yang terpecah akibat krisis politik. Setelah penandatanganan perjanjian Linas-Marcoussis, rekonsiliasi di negara Afrika Barat ini tidak terealisasikan dengan efektif dikarenakan pihak pemerintah dan pihak pemberontak memiliki interpretasi yang berbeda terkait perjanjian yang mereka sepakati52.

Pada 4 November 2004, Laurent Gbagbo memerintahkan serangan udara ke Bouaké yang menjadi basis pemberontak. Namun, serangan dengan pesawat Sukhoi Su-25 pada 6 November itu menewaskan tentara Perancis yang tergabung dalam Operasi Licorne untuk mendukung UNOCI(United Nations Operation in

51 Prosper Addo, Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, 51

Côte d’Ivoire)53. Menanggapi serangan atas operasi perdamaiannya, Perancis atas perintah Presiden Jacques Chirac melancarkan aksi balasan dengan menyerang kekuatan udara Pantai Gading di Abidjan dan menguasai pangkalan udara di Yamoussoukro serta menambah kekuatan di Gabon untuk menanggulangi situasi yang akan terjadi54. Akibat dari serangan Perancis, muncul kemarahan massa pendukung pemerintahan Gbagbo yang menyerang entitas Perancis di Abidjan. Penyerangan oleh massa bersenjata itu menimbulkan kontak senjata dengan tentara Perancis yang memaksa Perancis mengungsikan warga negaranya dari Pantai Gading55. Situasi di Pantai Gading semakin tidak terkendali.

Setelah beberapa upaya perdamaian yang gagal dan kondisi Pantai Gading yang semakin terpuruk secara politik dan ekonomi akibat embargo yang diberlakukan oleh PBB, Gbagbo mengajukan proposal perdamaian kepada Uni-Afrika dan ECOWAS56. Proposal perdamaian tersebut kemudian dilanjutkan dengan pertemuan antara Pemerintahan Gbagbo yang mengendalikan wilayah selatan dan Nouvelles Forces yang menguasai wilayah utara di Ouagadougou, Burkina Faso pada Maret 2007. Perjanjian Ouagadougou merupakan upaya perdamaian yang paling berhasil mengakhiri konflik sipil di Pantai Gading yang bermula dari tahun 2002. Pascapenandatangan perjanjian ini pasukan perdamaian

53Giulia Piccolino, “David Against Goliath in Côte d’Ivoire ? Laurent Gbagbo’s War Against Global Governace”, African Affairs (2011), 8

54 Jolien Schure, dkk , Natural Resources in Côte d’Ivoire : fostering Crisis of Peace (Bonn:BICC, 2010), 12

55“French foreign minister's visit is first since 2003” diunduh pada 4 Maret 2014 dari

(http://www.france24.com/en/20080614-french-foreign-ministers-visit-first-2003-ivory-coast-france)

PBB yang berjaga di buffer area ditarik dan proses pelucutan senjata yang dimiliki kelompok paramiliter dimulai57.

Pada 16 April 2007, Presiden Laurent Gbagbo menyatakan perang sipil di Pantai Gading berakhir. Proses perdamaian pascaperjanjian Ouagadougou yang ditandai dengan penyerahan senjata kelompok paramiliter juga diikuti dengan reformasi regulasi terkait kewarganegaraan Pantai Gading untuk persiapan pemilihan umum selanjutnya. Pada Oktober 2010, Pantai Gading menyelenggarakan Pemilu pertama kalinya pascakonflik sipil 2002-2007, meski sebelumnya dijadwalkan pada Juni 2008 yang tertunda akibat belum selesainya penyerahan senjata dan daftar pemilih yang berhak memilih. Pemilu yang diikuti oleh 5 juta penduduk Pantai Gading mempertemukan Laurent Gbagbo dan Alassane Ouattara pada putaran akhir.

Pemilu Pantai Gading tahun 2010, merupakan pemilu yang kontroversial karena kedua calon presiden mengklaim sebagai pemenang pemilu dan menjadi Presiden Pantai Gading. Pengambilan sumpah Laurent Gbagbo sebagai Presiden Pantai Gading untuk periode selanjutnya menimbulkan kemarahan oleh massa pendukung Ouattara dan menimbulkan konflik baru seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya.

57 Arnim Langer, Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace (Bath : Centre for Development Studies University of Bath, 2010), 18

B. Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading

Konflik di Pantai Gading melibatkan banyak pihak, baik dari dalam negeri dan luar negeri. Perbedaan latar belakang politik dan identitas menjadi penyebab beragamnya kelompok atau unit-unit politik yang terlibat dalam konflik ini.

Pihak pertama, FPI (Front Populaire Ivoirien) adalah partai yang berkuasa dalam pemerintahan Laurent Gbago. Partai ini dibentuk oleh para akademisi kritis pada Pemerintahan Boigny. Sebelum pemilu 1990, partai ini masih merupakan organisasi ilegal di Pantai Gading. Setelah diubahnya sistem pemilu maka partai ini menjadi partai pertama yang masuk dalam parlemen selain PDCI. Pada konflik pada 2002, partai ini memiliki kelompok simpatisan paramiliter yaitu Jeunes Patriots. Ketika terjadi konflik terbuka, keterlibatan FPI diwakilkan oleh Jeunes Patriots, kelompok ini mendukung dan dipersenjatai oleh Laurent Gbagbo sehingga dapat menguasai daerah selatan Pantai Gading58.

Pada pihak kedua atau pihak yang berlawanan dengan FPI, dipandang oleh Gbagbo sebagai pihak pemberontak Pemerintah resmi Pantai Gading. Pihak tersebut adalah MPCI, MPJ, dan MPIGO. Kelompok-kelompok ini yang terlibat konflik langsung dengan Jeunes Patriots saat konflik terjadi di Pantai Gading.

Tindakan Laurent Gbagbo menonaktifkan tentara yang direkrut selama pemerintahan junta militer Gueï dan menyebabkan upaya kudeta yang dilancarkan oleh Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI). MPCI adalah gerakan yang dibentuk oleh militer yang dinonaktifkan Gbagbo. Gerakan ini adalah aktor utama dari upaya kudeta Gbagbo pada September 2002, dan memiliki kekuatan

58“Main Actors of Ivory Coast’s Conflict” diunduh pada 30 Maret dari

sekitar 800 personel bekas pasukan Jenderal Gueï. Meski pada tahun 2002 gagal menguasai Abidjan, gerakan ini berhasil menguasai Bouaké, kota terbesar kedua di Pantai Gading, dan sebagian besar lahan pertanian coklat. Pemerintah Gbagbo menuding kelompok ini sebagai pendukung Ouattara dan dibantu oleh negara lain dikarenakan kebanyakan anggota gerakan ini berasal dari bagian utara Pantai Gading 59

Tewasnya jenderal Gueï pada kudeta tahun 2002, menimbulkan kemarahan dari penduduk bagian barat Pantai Gading yang memiliki kedekatan kultural dengan suku Yacouba, suku asal Gueï. Kemarahan tersebut diwujudkan dengan dikuasainya wilayah Man dan Danane oleh kelompok yang dikenal sebagai Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO). Anggota gerakan ini dianggap bukan warga Pantai Gading dikarenakan berbicara dalam bahasa Inggris dan dikaitkan dengan suku Gio yang berasal dari Liberia yang punya hubungan kultural dengan suku Jenderal Gueï60.

Selain MPIGO, wilayah barat Pantai Gading juga dikuasai oleh gerakan lain yaitu Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP). Muncul dengan alasan yang sama dengan MPIGO, MJP merupakan gerakan dengan kekuatan yang relatif lebih kecil. Pada Desember 2002, menanggapi tindakan Perancis yang menempatkan pasukan Licorne di Pantai Gading, MPCI, MPIGO, dan MJP membentuk koasilisi yang di namakan Nouvelles Forces61.

59“Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpci.htm)

60“ Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpigo.htm)

61“Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP)”diunduh pada 30 Maret 2014 dari

Pada konflik pascapemilu 2010, pertikaian terjadi antara Nouvelles Forces yang mendukung Alassane Ouattara sebagai pemenang pemilu, sedangkan Laurent Gbagbo didukung oleh kelompok paramiliter FPI, Jeunes Patriots. Ketika Perancis mengintervensi Pantai Gading tahun 2011, pasukan Perancis mempersenjatai milisi Nouvelles Forces, meski sebelumnya gerakan ini pernah mencoba mengusir pasukan Perancis dari Pantai Gading di tahun 2002 62.

C. Internasionalisasi Konflik di Pantai Gading

Konflik Pantai Gading seperti kebanyakan konflik bersenjata di Afrika yang awalnya konflik internal dengan cepat berubah menjadi konflik yang melibatkan pihak lain di luar wilayah konflik. Konflik yang terjadi tahun 2002, akibat kudeta atas pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar dan gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga. Semakin besar korban jiwa dan jumlah pengungsi dari konflik yang terjadi, semakin memaksa komunitas regional dan internasional untuk terlibat dalam penyelesaian pertikaian.

Mayoritas penduduk kawasan utara Pantai Gading adalah pendatang dari Mali dan Burkina Faso, maka konflik ini melibatkan kedua negara ini secara tidak langsung. Bagi Burkina Faso, situasi keamanan di Pantai Gading berpengaruh besar, sebab kondisi geografis Burkina Faso merupakan negara landlock dan sangat bergantung pada pelabuhan di Pantai Gading untuk arus barang masuk. UNDP menyebutkan pada Januari 2011, antara 20.000 sampai 30.000 pupuk, beras dan gandum yang akan diimpor ke Burkina Faso tertahan di Pelabuhan

62“Gbagbo comes under attack from ground assault” diunduh pada 20 Agustus 2014 dari

Abidjan63. Sebagi negara landlock, Mali yang berbatasan langsung dengan Pantai Gading mengalami dampak akibat konflik ini. Data tahun 2011, menunjukkan 2.000.000 imigran asal Mali tinggal di Pantai Gading. Konflik Pantai Gading pada tahun 2011, menyebabkan harga barang-barang di Mali naik hingga 50 persen 64.

Dampak dari konflik tidak hanya berdampak pada Burkina Faso dan Mali, namun juga berdampak pada negara lain di regional Afrika Barat. Menanggapi situasi yang semakin tidak menguntungkan baik karena arus pengungsi ke negara-negara tetangga dan tertahannya arus barang, ECOWAS sebagai organisasi regional terbesar di Afrika Barat berinisiatif untuk berperan dalam penyelesaian konflik. Saat konflik tahun 2002, ECOWAS mengirim pasukan untuk mengamankan buffer zone yang memisahkan wilayah utara dan selatan serta memfasilitasi beberapa upaya perdamaian65. Ketika konflik pascapemilu tahun 2010, ECOWAS kembali melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai, meski gagal, dan kembali mengirim pasukan untuk membantu pasukan perdamaian PBB.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional dengan pengaruh paling besar terkait dinamika dalam hubungan internasional, menerapkan konsep responsibility to protect terkait situasi yang mengancam kemanusiaan. Konflik di Pantai Gading yang menimbulkan banyak korban sipil membuat PBB ikut dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai

63UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground” (2011), 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.undp.org/africa)

64UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective from Ground”, 8

Gading. Respon PBB, khususnya Dewan Keamanan, mengenai situasi yang berlangsung di Pantai Gading terus mengalami peningkatan mengikuti perkembangan konflik. Setelah kudeta tahun 2002, pada 13 Maret 2003 DK PBB mengeluarkan resolusi no. 1479 yang membentuk Mission des Nations unies en Côte d'Ivoire (MINUCI) yang terdiri dari pasukan Perancis dan pasukan gabungan ECOWAS untuk memfasilitasi gencatan senjata dan implementasi Linas-Marcoussis Agreement . Menindaklanjuti resolusi sebelumnya DK PBB kembali mengeluarkan resolusi no. 1528 untuk mengalihkan otoritas MINUCI kepada Opération des Nations Unies en Côte d'Ivoire (ONUCI)66.

Serangan udara Pemerintah Gbagbo ke Bouaké yang melukai pasukan perdamaian Perancis di tanggapi oleh DK PBB dengan mengeluarkan resolusi no. 157267. Penerapan resolusi ini berakibat pada diberlakukannya embargo senjata atas Pantai Gading dan pembekuan aset individu yang melanggar HAM serta mengancam upaya perdamaian dalam konflik ini. Resolusi ini kemudian diperkuat oleh resolusi no. 1603, 1633, dan 172168.

Perjanjian damai yang ditandatangani di Ouagadougou ditanggapi oleh DK PBB dengan dikeluarkannya resolusi no. 1765. Dengan dikeluarkannya resolusi ini ,mandat ONUCI diperbaharui untuk mendukung pelucutan senjata milisi dan persiapan pelaksanaan pemilu sesuai perjanjian Ouagadougou. Meski kata damai hampir tercapai antara pihak yang bertikai di Pantai Gading, DK PBB

66

“UNOCI Mandate” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/mandate.shtml)

67Robert Iztok dan Tomas Koziak “Ivory Coast- From Stability to Collapse. Failed States in Time

of Globalisation” (Ostrava:University of Ostrava, 2010), 4 diunduh dari

(http://conference.osu.eu/globalization/publ/10-istok_koziak.pdf.)

memperpanjang embargo senjata pada 29 Oktober 2009, dan melarang perdagangan berlian dari negara ini69.

Meletusnya kembali konflik pascapemilu 2010, ditanggapi oleh DK PBB

Dokumen terkait