• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan intervensi militer Perancis ke Pantai Gading Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan intervensi militer Perancis ke Pantai Gading Tahun 2011"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh

Teuku Muhammad Valdy Arief

109083000050

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Skripsi ini menganalisa kebijakan intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tindakan intervensi tersebut, dengan mempertimbangkan faktor domestik dan eksternal. Kerangka pemikiran skripsi yang digunakan dalam ini adalah konsep politik luar negeri dan faktor-faktor determinasi politik luar negeri dalam frame work K.J. Holsti. Argumen ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat sejarah konflik di Pantai Gading, dinamika hubungan Perancis dan Pantai Gading, dari masa kolonial hingga keterlibatan Perancis dalam konflik di Pantai Gading tahun 2011, serta menelaah kepentingan nasional Perancis di Pantai Gading.

(6)

vi

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji penulis haturkan kepada kehadirat

Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, tuhan semesta alam, berkat segala rahmat, taufik,

dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul,

“Kebijakan Intervensi Militer Perancis ke Pantai Gading Tahun 2011”.

Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

sarjana pada program studi Hubungan Internasional.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya

bimbingan, bantuan, dan motivasi oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

mendukung penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Debbie Affianty Lubis, M.si selaku Ketua Jurusan Hubungan

Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Bapak Agus Nilmada Azmi, M.si selaku sekretaris jurusan Hubungan

Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Andar Nubowo, DEA. selaku dosen pembimbing penulis. Terima

kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan ilmu dan

(7)

vii

5. Bapak Dr. Harun Alisyah dan Bapak Kiky Rizky, M.Si atas konstribusinya

membantu penulis dalam pengerjaan skripsi.

6. Orangtua penulis, Papa Almarhum Drs. Teuku Sofyan, M.Kes dan Mama

tercinta Tjut Rachmawati Berabo atas semua kasih sayang yang diberikan.

Terima kasih atas doa, kesabaran dan motivasi yang diberikan selama

penulis menyelesaikan studi.

7. Adik dan kakak tercinta Pocut Nayla Annisa, Teuku Muhammad

Rachmanda, S.E, Cut Galuh Vanessa, S.E, drg. Cut Nadira Sabilla, Teuku

Miersal Fajar Almursalin, M.A. dan keponakan terkasih Cut Shayma

Amira dan Cut Shaza Altayra yang menjadi motivasi untuk menyelesaikan

skripsi ini.

8. Teman-teman jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta, khususnya

angkatan 2009. HMJ HI 2012-2013, terutama Departemen Advokasi

Mahasiswa yang membantu penulis menjalankan tugas.

9. Teman-teman Komunitas Maritim UIN Jakarta dan IMAPA cabang

Ciputat yang telah menjadi saudara di perantauan.

Jakarta, 4 Desember 2014

(8)

viii

ABSTRAKSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6

D. Tinjauan Pustaka... 7

E. Kerangka Pemikiran... 10

1. Politik Luar Negeri... 10

2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri... 11

3. Intervensi... 13

F. Metode Penelitian... 18

G. Sistematika Penulisan... 19

(9)

ix

BAB III KEBIJAKAN PERANCIS UNTUK MENGINTERVENSI

KONFLIK DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2011

A. Sejarah keterlibatan Perancis di Pantai Gading... 36

1. Periode Kolonial... 36

2. Periode Setelah Kemerdekaan dan Sebelum Konflik Sipil ... 40

B. Sikap dan Kebijakan Perancis terhadap Konflik di Pantai Gading... 45

C. Dukungan Perancis atas Intervensi bersama PBB di Pantai Gading Tahun 2011... 48

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2010-2011 A. Faktor Internal Intervensi Perancis ke Pantai Gading ... 51

1. Kebutuhan Sosio-ekonomi dan Keamanan... 51

2. Atribut Nasional... 60

3. Opini Publik... 62

4. Birokrasi... 64

(10)

x

2. Masalah Global dari Sektor Privat... 70

BAB V PENUTUP

Kesimpulan... 74

DAFTAR PUSTAKA ... xv

(11)
[image:11.595.116.511.215.581.2]

xi

(12)
[image:12.595.115.515.207.582.2]

xii

Gambar I. Peta Eropa Barat dan Afrika...xiv

Gambar II.1 Afrika Paska Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia...35

(13)

xiii AOF : Afrique Occidentale Française

CSIS : Centre for Strategic and International Studies DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

ECOWAS : Economic Community Of West African States FPI : Front Populaire Ivoirien

HAM : Hak Asasi Manusia

MINUCI : Mission des Nations Unies en Côte d’Ivoire MJP : Mouvement pour la Justice et la Paix

MPCI : Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire MPIGO : Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest NATO : North Atlantic Treaty Organization

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PDCI : Parti Démocratique de Côte d’Ivoire PIGS : Portugal Ireland Greece Spain PS :Parti Socialiste

RECAMP : Renforcements des Capacités Africaines de Maintien de la Paix RPR : Rassemblement pour la République

UA : Uni Afrika

UE : Uni Eropa

(14)

xiv

[image:14.595.118.512.134.602.2]
(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pantai Gading atau Republic of Côte d’Ivoire adalah negara yang terletak di bagian barat benua Afrika, tepatnya di teluk Guinea. Negara bekas koloni Perancis ini mendapat status daerah otonomi pada tahun 1958 dan pada 1960,

Pantai Gading mendapatkan kemerdekaannya dari Perancis. Setelah mendapatkan

status independennya sampai tahun 1993, dalam pemerintahan Felix

Houphouët-Boigny, Pantai Gading merupakan negara yang secara politik cenderung stabil1.

Stabilnya situasi politik di Pantai Gading diikuti oleh situasi ekonomi yang

membaik ditandai dengan dicapainya pertumbuhan ekonomi yang mencapai

angka 7 persen setelah 20 tahun kemerdekaannya2

Selama dekade 1990-an Pantai Gading mengalami pertumbuhan ekonomi

yang sangat baik karena liberalisasi reformasi pasar yang diterapkan pemerintahan

Houphouët-Boigny sehingga Pantai Gading menguasai 40 persen produksi kakao

dunia3. Situasi ini membawa banyak imigran berkerja pada sektor industri

perkebunan terutama kopi, kelapa sawit, karet, dan kakao yang merupakan

komoditi utama Pantai Gading4.

1 Tom Ogwag,

The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire (CIGI, 2011), 2. 2 Abdul Hadi Adnan,

Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika (Bandung: C.V. Angkasa,

2007), 66.

3Christian Purefoy, “What causing the conflict in Ivory Coast ?” Diunduh 23 Desember 2013 dari

(http://edition.cnn.com/2011/WORLD/africa/04/03/ivory.coast.explainer)

(16)

Namun, setelah meninggalnya Presiden Houphouët-Boigny tahun 1993,

Pantai Gading harus menghadapi gejolak ekonomi yang diikuti pergolakan politik

akibat perang saudara dan perpecahan politik yang terjadi di negara ini. Keadaan

ini menyebabkan Pantai Gading terbagi menjadi wilayah utara dan selatan5.

Pemerintah yang dipimpin Laurent Gbagbo mengendalikan bagian selatan yang

terpusat di Abidjan, dan basis kekuatan massa Kristen pendukung Gbagbo.

Sedangkan wilayah utara dikuasai oleh kelompok oposan yang dipimpin oleh

Alassane Ouattara terpusat di Yamoussoukro, didominasi oleh kaum imigran

pedagang Muslim6.

Pantai Gading menyelenggarakan pemilihan umum tahun 2010, setelah

tertunda enam kali, untuk menyatukan kembali wilayah yang terpecah7. Pemilu

yang diikuti oleh 14 kandidat pada putaran pertama, kemudian dilanjutkan oleh

dua kandidat dengan suara terbanyak yaitu Presiden yang menjabat dari tahun

2000 Laurent Gbagbo dan mantan Perdana Menteri pada masa

Houphouët-Boigny, Alassane Ouattara pada putaran kedua8.

Perselisihan dimulai ketika hasil dari pemilu putaran kedua diumumkan.

Kedua kandidat sama-sama mengaku sebagai pemenang dari pemilihan umum

yang telah berlangsung. Berdasarkan hasil dari Constitutional Council, Gbagbo dinyatakan sebagai pemenang pemilu dan diambil sumpah kembali sebagai

5 Abdul Hadi Adnan,

Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika,68

6 Gary K. Busch, The French, The UN and Ivory Coast”, diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://www.ocnus.net/artman2/publish/editorial_101)

7Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” 2010 , 17 diunduh dari

(http://opus.bath.co.uk)

8Matthew Mitchell, “Insights from the Cocoa Regions in Côte d'Ivoire and Ghana: Rethinking the

(17)

Presiden Pantai Gading untuk masa jabatan selanjutnya9. Namun, Commission

Electorale Independente menyatakan bahwa Ouattara sebagai pemenang pemilu10. Penolakan atas pengesahan hasil pemilu yang dikeluarkan Constitutional

Council dilakukan oleh masa pendukung Outtara sehingga menyebabkan bentrok antara milisi pendukung Ouattara dan Gbagbo yang didukung oleh militer11.

Konflik bersenjata antara dua kubu ini menyebabkan tewasnya 44 orang di

Abidjan dan Yamoussoukro pada Desember 2010.

Melihat konflik yang berakibat pada timbulnya korban sipil, PBB, Uni

Afrika dan ECOWAS memulai upaya mediasi dari kedua pihak yang bertikai.

Pada 4 Desember 2010, Uni Afrika mengutus mantan Presiden Afrika Selatan

Thabo Mbeki untuk menemui Gbagbo guna mendiskusikan jalan damai dan

penghentian kekerasan. Mediasi yang bertujuan meminta Gbagbo untuk bersedia

turun dari jabatannya dan digantikan oleh Ouattara, ditanggapi dingin oleh

Gbagbo dengan tidak mundur dari jabatan Presiden Pantai Gading12. ECOWAS

juga mengimbau Gbagbo untuk mundur dari jabatannya guna menghindari

9“Ivory Coast poll overturned: Gbagbo declared winner” Diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-11913832)

10 “Resultats de la second tour de L'ELECTION DU PRESIDENT DE LA REPUBLIQUE

diunduh 23 Desember 2013 dari

(www.ceici.org/elections/docs/EPR2010_2T_RESULTATS_VALEURS_02122010.pdf)

11 (Torrent & Potokar, 2011) Lluis Torrent dan Iztok Potokar “Côte d’Ivoire: International

response and origins of the conflic”, diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://www.unitedexplanations.org/2011/04/04/international-response-to-the-current-situation-in-cote-divoire-and-the-origins-of-the-conflict/)

12Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a

(18)

penggunaan kekerasan untuk mengakhiri konflik dan kemudian diikuti oleh sanksi

ekonomi13.

Setelah gagalnya mediasi, konflik kembali menelan 33 korban jiwa

akibat bentrok di Duékoué pada Januari 2011. Menjelang pertengahan Januari

2011, keadaan semakin parah di Abidjan, 11 penduduk sipil tewas setelah

diserang oleh RPG dan senjata otomatis yang diduga dilakukan milisi

pro-Ouattara14. Perang saudara ini mencapai klimaksnya saat kontak senjata yang

terjadi pada 27 - 29 Maret 2011 menyebabkan sedikitnya 505 orang tewas di

Duékoué, menurut laporan United Nations Operation in Côte d’Ivoire15, ketika terjadi kontak senjata antara pihak yang bertikai di wilayah tersebut.

Menanggapi konflik horizontal yang terjadi di Pantai Gading, Perancis

mensponsori Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi DK PBB No.

1975 yang meminta Gbagbo untuk mundur dari jabatan presiden Pantai Gading.

Bentuk dari tindak lanjut resolusi DK PBB no. 1975. Pada 31 Maret 2011,

Perancis mengirim pasukan dalam operasi Licorne bersama pasukan PBB menyerang basis militer pro-Gbagbo. Dalam serangan ini, Perancis mengerahkan

tank Puma dan helikopter Gazzelle yang dibantu oleh dua helikopter MI24 milik

13Foluke Ipinyomi, “Is Côte d’Ivoire a Test Case for R2P? Democratization as Fulfilment of the

International Community’s Responsibility to Prevent”. Journal of African Law,

volume56, no 2. (2012): 159

14 Summary of UNOCI weekly press conference March 2011

(19)

PBB16. Serangan terhadap kelompok pro-Gbagbo menandai intervensi Perancis

ke Pantai Gading di tahun 2011.

Pada 1 April 2011, militer Perancis mengirim sejumlah tentara dan 30

kendaraan tempur ke kediaman Presiden untuk menangkap Gbagbo17.Dalam

serangan sepuluh hari ke kediaman Presiden yang diduduki oleh Gbagbo, pasukan

Perancis dan PBB berhasil menghancurkan senjata berat yang melindungi

kediaman tersebut dan menangkap Gbagbo18. Setelah tertangkap, Laurent Gbagbo

dikirim ke Den Hague untuk diadili di International Criminal Court 19. Pascapertempuran sepuluh hari di Abidjan militer Perancis dan PBB menyuplai

logistik dan mempersenjatai milisi pro-Ouattara20. Peran Perancis menurut

Zounmenou dan Lamin melewati mandat PBB untuk melindungi penduduk sipil

dikarenakan peran aktif dan agresif dalam menangkap Gbagbo21. Sedangkan

menurut McGovern, Perancis dianggap menyalahi mandat DK-PBB 1975 poin 6

dan 722.

16Bruce Crumley “Anatomy of an Intervention: Why France Joined the U.N. Action in Abidjan”.

Diunduh 22 Desember 2013 dari

(http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2063613,00.html)

17Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’

and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”. African Journal on Conlifct Resolution, Volume 12, no. 2 (2012): 146

18Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a

Stand”, 129

19Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’

and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”, 138

20David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis :

Ouattara Rules but can he Govern ?”. Journal of African Elections, Volume 10, no. 2

(2011): 13

21David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis :

Ouattara Rules but can he Govern ?”, 11

22 Mike McGovern, “The Ivorian Endgame” diunduh 23 Desember 2013 dari

(20)

Intervensi Perancis terhadap Pantai Gading pada 2011 terjadi saat situasi

perekonomian Uni Eropa sedang labil. Ketika negara-negara UE sedang

melakukan kebijakan pengetatan pengeluaran negara, termasuk pengeluaran

militer, tindakan intervensi militer Perancis bertentangan dengan tren austerity

budget (penyederhanaan anggaran) yang sedang diterapkan oleh negara-negara UE. Perancis pada tahun 2009 bersama negara-negara PIGS (Portugal, Irlandia,

Yunani,dan Spanyol) mengalami defisit anggaran, melakukan intervensi militer ke

Pantai Gading saat pertumbuhan ekonominya pada tahun 2011 hanya mencapai

1,5 persen23. Tindakan pemerintah Perancis untuk melakukan intervensi militer ke

Pantai Gading ketika kondisi ekonomi negaranya sedang tidak stabil

menyebabkan fenomena ini menarik untuk diteliti.

B. Pertanyaan penelitian

Perdasarkan penjelasan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan

oleh penulis adalah : Mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai

Gading pada tahun 2011 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini lakukan untuk menjawab pertanyaan penelitan dengan

teori-teori serta konsep-konsep yang ada dalam hubungan internasional.

(21)

1.3.1 Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk menjelaskan faktor-faktor intervensi militer Perancis ke Pantai

Gading pada tahun 2011.

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan historis antar negara dapat

mempengaruhi kebijakan suatu negara.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat :

1. Sebagai media untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama

belajar di program studi hubungan internasional.

2. Sebagai sumber bacaan untuk peminat masalah keamanan internasional

sebagai salah satu kajian hubungan internasional.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian terkait intervensi Perancis di Pantai Gading dan konflik di

Pantai Gading sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Courtney P. Conroy

(2010), dalam skripsinya di Universitas Salve Regina yang berjudul France as A Negative Influence on Côte d’Ivoire : The Consequences of Foreign Interference. Conroy menjelaskan mengapa Pantai Gading meneruskan hubungan dengan

Perancis meski banyak konsekuensi negatif yang dihasilkan. Penelitian ini

(22)

kolonial Perancis dan Pantai Gading sehingga menemukan hubungan yang jelas

antara kedua negara terkait masalah kontemporer yang dihadapi Pantai Gading24.

Conroy dalam penelitiannya menemukan bahwa konflik di Pantai Gading,

tidak terlepas dari ketergantungan Pantai Gading dengan Perancis setelah masa

kolonial. Selain itu, Conroy menjelaskan bahwa meski hubungan antara dua

negara ini memberikan banyak konsekuensi negatif kepada Pantai Gading, ikatan

historis yang kuat dan terjadinya transfer teknologi membuat hubungan terus

diperkuat.

Konflik yang terjadi Pantai Gading, juga dibahas oleh Dita Herdiyanti

(2013), dalam skripsinya di Universitas Hasanudin Makasar yang berjudul Peran

UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Pasca-Pemilu 2010 di Pantai Gading. Skripsi ini membahas bagaimana peran UNOCI di Pantai Gading untuk

menyelesaian konflik pascapemilu 2010 dengan menggunakan pendekatan liberal

institusional yang terfokus pada peran organisasi internasional untuk menjaga

perdamaian dan teori konflik Johan Galtung untuk menganalis konflik yang

terjadi di Pantai Gading25.

Herdiyanti menjelaskan bahwa UNOCI memiliki peran yang signifikan

dalam penyelesaian konflik pascapemilu 2010 di Pantai Gading. Hal ini

ditunjukan dengan berhasilnya UNOCI dalam menekan intensitas konflik.

UNOCI menggunakan pendekatan koersif dalam menekan konflik dengan

24 Courtney Patricia Conroy,

France as a Negative Influence on Ivory Coast : The Consequences of Foreign Interference, (Salve Regina University, 2010)

25 Dita Herdiyanti,

(23)

menyebarkan pasukan penjaga perdamaian untuk mengamankan wilayah dan

melindungi warga sipil di Pantai Gading.

Skripsi ini menemukan hambatan-hambatan yang dialami oleh UNOCI

dalam menjalankan mandat, seperti serangan dan gangguan terhadap personilnya.

Dalam upaya merespon hambatan ini UNOCI menerima dukungan dari personil

UNMIL, pasukan Licorne Perancis, dan pasukan FRCI untuk menekan konflik

dan melindungi warga sipil. Skripsi ini juga menyimpulkan bahwa UNOCI

berhasil dalam menekan konflik hingga konflik terselesaikan, maka UNOCI telah

memiliki peran yang signifikan dalam penyelesaian konflik di Pantai Gading.

Terkait intervensi militer Perancis telah dibahas oleh Katariina Simonen

pada artikel Qui s’excuse s’accuse... An Analysis of French Justifications for Intervening in Côte d’Ivoire dalam jurnal International Peacekeeping. Artikel ini menjelaskan bagaimana Perancis melakukan justifikasi atas intervensi militer

yang dilakukan ke Pantai Gading26.

Simonen menganalisa pernyataan resmi Pemerintah Perancis dan

menelaah bagaimana intervensi yang berakibat pada pergantian regim di Pantai

Gading dapat dibenarkan, khususnya pada aspek legal. Pernyataan resmi mengacu

pada pernyataan Presiden Perancis dan perwakilan pemerintah terkait pengunaan

kekuatan militer melalui Operasi Licorne untuk membantu UNOCI dalam periode November 2010 sampai Ouattara menjabat Presiden pada 2011.

(24)

Penelitian ini menyatakan bahwa menurut Pemerintah Perancis intervensi

ke Pantai Gading dapat dibenarkan karena sejalan dengan regim intervensi di

bawah hukum internasional. Intervensi berada dibawah mandat DKPBB, Perancis

memiliki tanggung jawab untuk mengevakuasi warga negara Perancis dan Eropa,

serta intervensi dilakukan untuk kepentingan demokrasi Pantai Gading dan

Afrika, menjadi justifikasi Perancis atas intervensi ke Pantai Gading. Meski,

menurut Simonen, pendapat ini dipengaruhi oleh interpretasi regim yang

memerintah di Perancis saat itu.

Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini meneliti

faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri Perancis untuk melakukan

intervensi militer ke Pantai Gading pada 2011. Penelitian ini mencoba menjawab

mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai Gading dengan

menggunakan teori faktor eksternal dan internal dari kebijakan luar negeri yang

dirumuskan oleh K.J. Holsti.

E. Kerangka Pemikiran

1. Politik Luar Negeri

Politik luar negeri adalah sebuah aktifitas dimana negara sebagai aktor

melakukan aksi dan reaksi27. Politik luar negeri merupakan sintesis dari

tujuan-tujuan (kepentingan nasional) dan instrumen negara (power dan kapabilitas). Jika dilihat dari pengertian dan unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri terdiri

27 Graham Evans dan Jeffrey Newnham,

The Penguin Dictionary of International Relations

(25)

dari dua elemen yaitu : kepentingan nasional yang akan dicapai dan instrumen

untuk mencapainya. Dalam unsur-unsurnya itu terdapat politik luar negeri semua

negara28.

Politik luar negeri sendiri bisa dibagi atas empat kategori, dibedakan

menurut keputusan-keputusan yang kritis, penting, dan rutin. Politik luar negeri

juga dapat dibedakan menurut kategori isu, seperti isu-isu militer, politik,

ekonomi, lingkungan, sumber daya, teknik, kultural, dan humaniter

(kemanusiaan)29.

2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri

Dalam prakteknya upaya mencapai kepentingan nasional melalui politik

luar negeri dipengaruhi oleh banyak hal. Holsti berpendapat bahwa politik luar

negeri suatu negara dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal30.

Faktor Eksternal adalah faktor-faktor non domestik suatu negara yang

memengaruhi negara dalam melakukan politik luar negeri atau mengeluarkan

kebijakan luar negeri. Struktur sistem internasional, kebijakan dari negara lain,

masalah global dan regional sektor privat, hukum internasional dan opini publik

global merupakan faktor ekternal yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar

negeri.

28 .Theodore A.Coulumbis & James Wolfe,

Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power (Bandung: C.V Abardin 1990), 126

29 Theodore A.Coulumbis & James Wolfe,

Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power, 128

30 K. J. Holsti,

(26)

1.Struktur sistem internasional, yaitu tatanan internasional, unipolar,

bipolar, atau multipolar. Situasi ini berpengaruh pada pengambilan

keputusan kebijakan luar negeri, terlebih bagi negara-negara yang berada

pada pengaruh negara besar atau negara pusat polar.

2. Karateristik atau struktur ekonomi internasional. Faktor ini terdiri dari

tiga hal yaitu struktur ekonomi global, masih dalam keadaan polaritas atau

sudah mengalami globalisasi. Selanjutnya peran rejim ekonomi

internasional seperti World Bank dan IMF. Terakhir keadaan ekonomi

global saat itu

3. Kebijakan aktor atau negara lain, faktor ini adalah bentuk tanggapan

atau respon dari negara lain di luar negara atau aktor yang terlibat dalam

suatu kebijakan luar negeri.

4. Masalah global dan regional sektor privat merupakan masalah yang

dilakukan oleh aktor non-negara atau aktor privat. Masalah yang dimaksud

adalah masalah kontemporer dalam hubungan internasional seperti

pencemaran udara yang disebabkan oleh perusahaan swasta.

5. Hukum internasional dan opini publik, kebijakan suatu negara

dipengaruhi oleh hukum internasional yang berlaku pada negara tersebut

juga opini publik global terkait kebijakan yang akan dikeluarkan.

Faktor Internal adalah faktor domestik yang memengaruhi negara dalam

menyusun politik luar negeri atau mengeluarkan kebijakan luar negeri. Kebutuhan

(27)

opini publik domestik, Struktur Pemerintahan dan filosofi, birokrasi, dan

pertimbangan etik merupakan faktor internal atau domestik yang memengaruhi

pembuatan kebijakan luar negeri.

1. Kebutuhan sosioekonomi atau keamanan adalah faktor yang memengaruhi

keadaan sosio ekonomi atau keamanan domestik negara.

2. Karakteristik geografi dan topografi, kondisi geografi dan topografi sangat

memengaruhi keadaan sosial domestik. Sebagai contoh negara kepulauan

mempunyai kebijakan luar negeri yang berbeda dengan negara landlock

3. Atribut Nasional adalah karakteristik atau ciri umum suatu negara, seperti

atribut sebagai negara Islam. keikutsertaan suatu negara terhadap suatu

forum atau organisasi juga sebagai atribut suatu negara. Karakteristik

umum ini akan memengaruhi bentuk kebijakan luar negari suatu negara.

4. Struktur Pemerintahan dan filosofi. Struktur pemerintahan dan falsafah

yang dianut oleh sebuah negara secara langsung akan memengaruhi cara

pengambilan kebijakan dan kebijakan yang dihasilkan.

5. Opini Publik, yang dimaksud adalah pendapat masyarakat yang memiliki

kebebasan dalam berpendapat. Holsti menjelaskan untuk mengetahui

sejauh mana pendapat masyarakat berpengaruh harus di lihat dari siapa

(28)

6. Birokrasi, hal ini tertuju bagaimana proses perumusan kebijakan luar

negeri dirumuskan dan bagaimana kerjasama antar elemen dalam

pemerintahan dalam merumuskan kebijakan.

7. Pertimbangan etik adalah pertimbangan yang dilakukan oleh negara agar

tujuan kepentingan nasional dari kebijakan luar negeri yang keluarkan

(29)

Faktor Eksternal/ Sistemik

1. Sistem struktur (latitude of choice)

2. Karakteristik/struktur ekonomi dunia

3. Tujuan dan aksi dari negara lain

4. Masalah global dan regional

5. Hukum internasional dan opini dunia

Pengaruh Pengaruh

Aksi

Umpan balik

Faktor Domestik

1. Ekonomi sosial/kebutuhan kemananan

2. Karakteristik Geografi dan Topografi

3. Atribut Nasional

4. Struktur pemerintahan dan Filosofi

5. Opini publik

6. Birokrasi

7. Pertimbangan Etik

Umpan Balik

(sumber : K. J. Holsti 1992: 272)

Kepentingan dan tujuan

negara Proses

(30)

Selain faktor eksternal dan faktor domestik, terdapat faktor-faktor lain

yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri. Persepsi dan posisi

terhadap pengaruh dari perumusan kebijakan merupakan faktor lain selain faktor

eksternal dan domestik dalam perumusan kebijakan luar negeri yang terkait pada

elemen-elemen pembuat kebijakan luar negeri31.

Persepsi dari pembuat kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh pandangan

(image) terhadap situasi lingkungan yang berupa persepsi, evaluasi serta pemaknaan atas situasi yang terjadi pada lingkungan; sikap (attitudes) atau dapat diartikan sebagai tindakan yang muncul tentang objek, fakta atau kondisi, terkait

kebijakan luar negeri ini dapat dimaknai bagaimana pembuat kebijakan

menginterpretasi national interest atas situasi dan respon atas situasi yang terjadi; nilai-nilai (values) yang menentukan ke mana tindakan negara akan diarahkan, keyakinan (beliefs) yaitu pandangan pembuat kebijakan yang berasal dari dasar-dasar negara; doktrin dan ideologi (doctrine and ideologies) yang menghasilkan kerangka pemikiran melalui observasi pembuat kebijakan, membentuk pandangan

dunia terhadap negaranya, justifikasi untuk pilihan kebijakan luar negeri,

mengarahkan negara pada tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam

dasar-dasar negara yang mereka tetapkan; analogi (analogies) yaitu pembelajaran terhadap masalah saat ini berdasarkan pengalaman suatu isu di peristiwa-peristiwa

masa lalu.

Selain itu, Holsti juga menyatakan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh

faktor-faktor personal seperti, pertama, keahlian pembuatan kebijakan, kedua,

31 K. J. Holsti,

(31)

pembawaan karakter setiap pembuat kebijakan yang dapat memengaruhi orang

lain untuk berpikiran sama dengannya, ketika bertindak dalam suatu situasi, dan

ketiga, pathological traits,yaitu karakter yang menunjukkan kelemahan pembuat kebijakan ini.

3. Intervensi Militer

Intervensi mengacu pada tindakan aktor eksternal yang memenagruhi

keadaan domestik suatu negara berdaulat32. Intervensi merupakan bentuk hard

diplomacy untuk menyelesaikan konflik, terutama bagi negara yang dinilai tidak memiliki kapabilitas untuk menghentikan konflik.

Intervensi sebagai instrumen resolusi konflik memiliki beberapa prinsip

yaitu : impartiality atau imparsialitas adalah sikap dari intervener yang tidak melibatkan kepentingannya dalam tindakan intervensi, prinspi ini dapat juga

diartikan bahwa intervener harus bersikap netral; mutuality adalah prinsip mendasar dalam tindakan intervensi, antara intervener dan negara yang harus saling membantu dalam upaya penghentian konflik; sustainability atau berkelanjutan diartikan bahwa tindakan intervensi memberikan dampak

berkelanjutan serta menuju pada penghentian kekerasan dan rekonstruksi

pascakonflik; complementarity atau saling melengkapi, prinsip ini bertujuan saat intervensi dilakukan oleh pasukan multinasional untuk saling membantu demi

kepentingan yang lebih besar; reflexivity adalah prinsip yang membuat intervener agar mengingat tujuan intervensi dan batasan-batasan yang dimiliki; consistency

32 Joseph Nye,

(32)

merupakan prinsip yang menegaskan sikap konsisten dalam tindakan intervensi

agar tidak terjadi standar ganda; accountability, prinsip ini mengatur hubungan antara intervener dan atas nama siapa mereka bertindak, sehingga jelas atas otoritas siapa intervensi dilakukan; dan universality atau universalitas mengingatkan bahwa intervensi merupakan tindakan lintas batas negara dan

berdampak secara universal33.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metodologi penelitian sosial

kualitatif. Menurut Salkind, metode kualitatif adalah “social or behavioral science research that explores the prosses that underline human behavior using such exploratory techniques as interviews, surveys, case studies, and other relatively personal techniques.” Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada penggunaan

teknik-teknik personal seperti wawancara dan studi kasus34. Metode kualitatif

didasarkan pada data-data primer dan sekunder yang didapatkan dari buku, jurnal,

artikel, wawancara serta sumber-sumber lain yang memiliki kesesuaian dengan

materi penelitian .

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam menganalisa kebijakan

Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading dilakukan dengan

menggabungkan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah

33Oliver Ramsbotham, dkk,

Contemporary Conflict Resolution (Cambridge: Polity Press, 2006),h.

277-283.

34 Neil J. Salkind,

(33)

dari wawancara dengan staf-staf perwakilan pemerintahan Perancis dan para pakar

isu terkait. Laporan resmi pemerintah juga dimasukan dalam data-data primer.

Sumber data sekunder bersumber dari buku, jurnal, surat kabar, dan artikel

yang terkait dengan subjek yang diteliti, baik melalui studi kepustakaan dan akses

internet. Sumber sekunder berupa studi kepustakaan didapat melalui kunjungan ke

Perpustakaan FISIP UIN Jakarta, Perpustakaan CSIS, Perpustakaan Kementerian

Luar Negeri, Perpustakaan Kedutaan Perancis, Perputakaan Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Perpustakan Kementerian Pertahanan

Penelitian ini juga merupakan analisa data kualitatif berupa

penggambaran, penguraian, dan analisa fakta atau keadaan terkait kebijakan

Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading. Penelitian analisa kualitatif ini

difokuskan pada faktor eksternal dan internal yang memengaruhi kebijakan

Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan dari penelitian. Dalam bab ini dijelaskan

latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka

pemikiran, metode penelitian, serta sistematika penulisan dalam penelitian.

BAB II KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING

Bab ini menjelaskan sejarah dan dinamika konflik yang terjadi di Pantai

Gading, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan pengaruh konflik yang

(34)

BAB III KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA

KONFLIK DI PANTAI GADING TAHUN 2011

Bab ini menjelaskan peran dan keterlibatan Perancis di Pantai Gading,

sejak masa kolonial hingga saat terjadi konflik paska pemilu tahun 2011. Dalam

Bab ini juga dijelaskan sikap dan kebijakan Perancis terkait dinamika politik di

Pantai Gading.

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN

PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI

GADING TAHUN 2010-2011

Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan Perancis

terkait intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011. Dalam bab ini dijelaskan

faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi Intervensi militer Perancis

ke Pantai Gading tahun 2011.

BAB V PENUTUP

Bab ini merangkum hasil penelitian mengenai intervensi militer Perancis

(35)

BAB II

KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING

Dalam hukum humaniter internasional, konflik bersenjata dibagi menjadi

dua, yaitu konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Pada kasus

Pantai Gading, awalnya konflik hanya terjadi di dalam batas negara kemudian

meluas sehingga menjadi konflik yang ter-internasionalisasi. Instabilitas ekonomi,

xenophobia35, dan kurangnya legitimasi institusi negara merupakan beberapa penyebab konflik.

A. Sejarah Konflik di Pantai Gading

Konflik yang terjadi di Pantai Gading yang terjadi pascapemilihan umum

tahun 2010 bukan konflik pertama di negara Afrika Barat tersebut. Ketegangan

politik sudah terjadi sejak tahun 1990 yang menjadi awal ketidakstabilan

keamanan di Pantai Gading hingga terjadi konflik pascapemilu tahun 2011.

Pantai Gading sebelumnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang

mencapai 7 persen pada dekade 1980-an berkat komoditas utamanya kakao.

Namun, memasuki dekade 90-an, harga kakao mengalami kemerosotan dan

berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi Pantai Gading yang

menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi secara tidak langsung

mengubah sistem pemilihan umum Pantai Gading36. Boigny yang telah menjadi

presiden sejak tahun 1960, untuk pertama kali menyelenggarakan pemilihan

umum multipartai. Padahal, sebelumnya pemilihan umum di Pantai Gading hanya

35

Xenophobia adalah ketakutan atau kebencian kepada orang dan sesuatu yang asing. Diunduh dari (http://www.merriam-webster.com/dictionary/xenophobia)

36Abdul Hadi Adnan,

(36)

diikuti oleh Parti Démocratique de Côte d’Ivoire (PDCI) sebagai satu-satunya partai yang berkuasa.

Pada tahun 1990, pemilu diselenggarakan akibat rangkaian protes yang

menentang pemerintahan Boigny. Protes tersebut terjadi akibat pemerintah saat itu

mencabut subsidi sektor pertanian serta melakukan penyederhanaan anggaran37.

Menanggapi kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, mahasiswa dan serikat

tani Pantai Gading saat itu melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintahan

yang lebih demokratis, demonstrasi berakibat bentrokan dengan polisi38. Melihat

demonstrasi yang semakin mengkhawatirkan, Presiden Boigny menyelenggarakan

pemilihan umum yang diikuti oleh partai selain PDCI.

Selain diikuti oleh PDCI sebagai partai pemerintah, Pemilu Pantai Gading

juga diikuti Front Populaire Ivoirien (FPI) yang mengusung Laurent Gbagbo sebagai calon presiden. Meski kembali dimenangi oleh Boigny, peristiwa ini

menandai kemunculan Gbagbo sebagai tokoh oposisi di Pantai Gading.

Kemenangan Boigny membuatnya meneruskan masa jabatan yang telah diduduki

sejak 1960.

Namun, hanya tiga tahun setelah memenangi pemilu multipartai

pertamanya, Felix Houphouët Boigny meninggal dunia. Pascameninggalnya

Boigny, jabatan Presiden Pantai Gading dijabat oleh Henri Konan Bedié yang

37Jennifer A. Widner, “The 1990 Elections in Côte d’Ivoire”,

Journal of Option, Vol. 20 no. 1

(1991), 31.

38Global Nonviolent Action Database, “Ivorians demand switch to multiparty democracy, 1989

-1990” diunduh pada 8 Maret 2014 dari

(37)

sebelumnya menjabat sebagai ketua Dewan Legislatif Pantai Gading39. Selama

memerintah, Bedié memperkenalkan konsep Ivoirité yang melarang orang yang bukan asli Pantai Gading untuk menempati posisi tinggi dalam pemerintahan

Pantai Gading. Konsep Ivoirité diduga digunakan oleh Bedié untuk menjegal niat dari Alassane Ouattara, mantan perdana menteri Boigny, yang ingin maju menjadi

presiden pada pemilu 1995, namun Ouattara merupakan keturunan Burkina

Faso40.

Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1995, Bedié yang menjadi

pengganti Boigny mengikuti pemilu pertama kali. Dalam pemilihan presiden kali

ini Bedié bersama Francis Wodié bersaing untuk menjadi presiden. Hasil pemilu

memenangkan Bedié. Pemilu ini tidak diikuti oleh Laurent Gbagbo yang

merupakan tokoh oposisi pemerintah. Tindakan ini diambil Gbagbo untuk

mendukung Alassane Ouattara yang tidak dapat mengikuti pemilu akibat

diskriminasi Ivoirité41.

Dalam pemerintahan Bedié setelah pemilu 1995, Pantai Gading

mengalami stagnansi ekonomi dan diskriminasi etnis akibat Ivoirité. Kondisi ini menyebabkan kelompok militer yang dipimpin oleh Jenderal Gueï melakukan

kudeta atas pemerintahan Bedié dan menghapuskan Ivoirité, meski demikian Ouattara masih dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum

selanjutnya karena dianggap sebagai entitas asing. Tindakan Gueï yang melarang

39Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition

in the 1990 and 1995 Elections”, African Affairs, vol. 96 no. 383 (1997): 220

40 Cyril K. Dadieh, “Elections and Ethnic Violence in Côte d’Ivoire: The Unfinished Business of

Succession and Democratic Transition”, African Issues. Vol. 29 no. ½ (2001):17 41Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition

(38)

keikutsertaan Ouattara dalam pencalonan presiden memunculkan pandangan

bahwa penghapusan Ivoirité hanya upaya untuk mengonsolidasi massa agar terpilih menjadi Presiden Pantai Gading42.

Pemilihan umum Pantai Gading tahun 2000, merupakan pertama kali

PDCI tidak berpartisipasi dan pemilu pertama Pantai Gading dalam pemerintahan

junta militer. Dalam pemilu ini, Gueï dan Gbagbo merupakan dua calon presiden

yang bersaing paling ketat. Meski pada akhirnya Gbagbo memenangkan

pemilihan, Gueï yang merasa masih memiliki dukungan dari militer tidak mau

menyerahkan kekuasaan junta militernya kepada Laurent Gbagbo yang terpilih

secara demokratis dan membubarkan Commission Electorale43.

Tindakan Gueï memicu perlawanan yang dipimpin oleh Gbagbo dan

memaksa Gueï untuk meninggalkan Pantai Gading. Setelah Gueï meninggalkan

Pantai Gading, pemerintahan dikendalikan oleh Gbagbo44. Dalam pemerintahan

ini, politik segregasi di negara Afrika Barat ini kembali berjalan ketika Gbagbo

mengekslusifkan pemerintahan kepada kelompok non-imigran yang merupakan

penduduk bagian selatan Pantai Gading dan kelompok penduduk bagian utara

yang dipandang sebagai entitas imigran tidak diikutsertakan dalam

pemerintahan45.

Pemerintahan eksklusif yang dijalankan Gbagbo memicu kekecewaan dari

kelompok militer yang mayoritas merupakan penduduk utara. Kekecewaan dari

42 Francis Akindès, “The Roots of MilitaryPolitical Crises in Côte d’Ivoire” (Uppsala: Nordiska

Afrikainstitutet, 2004), 21

43 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict” (Norway: Landinfo, 2006),16

44 Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” (Bath : Centre for Development

Studies University of Bath, 2010), 10

(39)

kalangan militer ini berakibat pada upaya kudeta terhadap pemerintahan Gbagbo

pada tahun 200146. Upaya kudeta ini tidak berhasil dan berdampak pada

terbaginya Pantai Gading menjadi dua bagian, bagian selatan dikendalikan oleh

pemerintahan Gbagbo yang terpusat di Abidjan dan bagian utara yang terpusat di

Yamoussoukro yang kuasai oleh Nouvelle Forces dibawah pimpinan Alassane Ouattara. Pemerintahan Abidjan menganggap kelompok Nouvelle Forces sebagai pemberontak sehingga perang saudara di Pantai Gading tidak dapat dihindari.

Pada Januari 2002, untuk menormalkan keadaan keamanan di negaranya,

Gbagbo mengundang Ouattara, Bedié, dan Gueï untuk melakukan rekonsiliasi.

Pertemuan tersebut menghasilkan pengakuan kewarganegaraan Ouattara47. Meski

telah mencapai rekonsiliasi, pada 13 September 2002, Gbagbo mengganti militer

yang diangkat selama masa Gueï berkuasa dan mengganti dengan loyalisnya.

Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran atas komitmen rekonsiliasi yang telah

dicapai dan menimbulkan kekecewaan dari kelompok militer48.

Pada 19 September 2002, perang sipil dimulai ketika kelompok militer

yang dinon-aktifkan Gbagbo menyerang kota Abidjan serta Bouaké dan Korhogo

di utara Pantai Gading. Tindakan militer ini dipandang oleh Gbagbo sebagai

percobaan kudeta yang dilakukan Gueï. Dalam serangan tersebut kota Abidjan

46Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” (2014) diunduh dari

(http://www.securitycouncilreport.org/chronology/cote-divoire.php?pag)

47“Post-Election Crisis” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/elections.shtml)

48 Tom Ogwag,

(40)

berhasil dipertahankan Gbagbo tapi Bouaké dan Korhogo berhasil dikuasai oleh

pihak militer, meski Gueï dan istrinya tewas dalam kontak senjata yang terjadi49.

Menanggapi krisis yang terjadi di Pantai Gading Masyarakat Ekonomi

Afrika Barat atau Economic West Africa Society (ECOWAS) memprakasai Accra

Meeting I pada 29 September 2002, yang dihadiri oleh Laurent Gbagbo dan pemimpin negara-negara Afrika Barat. Pertemuan ini dinilai memberikan harapan

kepada proses perdamaian di Pantai Gading, meski mengalami kegagalan

dikarenakan isi dari pertemuan yang tidak direalisasikan dan Presiden Gbagbo

yang tidak mengakui eksistensi kelompok pemberontak50.

Menindaklanjuti Accra Meeting I, PBB melalui Utusan Khusus untuk Afrika Barat, Ahmedou Ould-Abdallah bertemu Laurent Gbagbo di Abidjan dan

Pimpinan MPCI (Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire), kelompok militer yang memberontak karena diberhentikan Gbagbo, di Bouaké untuk

membahas gencatan senjata yang dikenal sebagai Abidjan Cease-Fire Agreement. Keberhasilan Abidjan Cease-Fire Agreement ditindaklanjuti oleh upaya peningkatan perdamaian di Pantai Gading dengan diadakan pertemuan di Lomé

pada 1 November 2002. Pertemuan di Lomé menghasilkan Lomé Agreement yang menyetujui pemberian amnesti dan pembebasan kepada tahanan tentara yang

melakukan upaya kudeta serta ditugaskan kembali dalam militer Pantai Gading.

Namun, upaya perdamaian ini mengalami deadlock ketika MPCI meminta Gbagbo untuk mundur sebagai presiden serta penghapusan artikel 35 dalam

49Dwayne Woods “The Tragedy of Cocoa Pods: Rent Seeking, Land, and Ethnic Conflict in Côte

d’Ivoire”, The Journal of Modern African Studies vol. 41 no.4 (2003), 641 50 Prosper Addo,

Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, (Accra: KAIPTC 2005) ,

(41)

Konstitusi Pantai Gading yang melegalkan konsep Ivoirité51. Tuntutan MPCI ditolak oleh Gbagbo dan meminta MPCI untuk melakukan penyerahan senjata

kepada pemerintah. Permintaan Gbagbo juga ditolak oleh pihak MPCI.

Perundingan antara dua pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan untuk

perdamaian dan penyatuan kembali Pantai Gading sehingga Lomé Agreement menghasilkan penempatan ECOWAS Force dan Licorne Forces di Buffer Area yang memisahkan kawasan utara dan selatan Pantai Gading.

Upaya mewujudkan perdamaian di Pantai Gading terus berlanjut. Pada 15

Januari 2003, Pemerintah Perancis, ECOWAS, Uni-Afrika, dan PBB

mempertemukan seluruh entitas politik Pantai Gading di Linas dan Marcoussis,

Perancis. Pertemuan ini bertujuan membentuk Goverment of National

Reconciliation yang mempertemukan semua faksi yang ada di Pantai Gading dengan tujuan menyatukan kembali Pantai Gading yang terpecah akibat krisis

politik. Setelah penandatanganan perjanjian Linas-Marcoussis, rekonsiliasi di

negara Afrika Barat ini tidak terealisasikan dengan efektif dikarenakan pihak

pemerintah dan pihak pemberontak memiliki interpretasi yang berbeda terkait

perjanjian yang mereka sepakati52.

Pada 4 November 2004, Laurent Gbagbo memerintahkan serangan udara

ke Bouaké yang menjadi basis pemberontak. Namun, serangan dengan pesawat

Sukhoi Su-25 pada 6 November itu menewaskan tentara Perancis yang tergabung

dalam Operasi Licorne untuk mendukung UNOCI(United Nations Operation in

51 Prosper Addo,

(42)

Côte d’Ivoire)53. Menanggapi serangan atas operasi perdamaiannya, Perancis atas perintah Presiden Jacques Chirac melancarkan aksi balasan dengan menyerang

kekuatan udara Pantai Gading di Abidjan dan menguasai pangkalan udara di

Yamoussoukro serta menambah kekuatan di Gabon untuk menanggulangi situasi

yang akan terjadi54. Akibat dari serangan Perancis, muncul kemarahan massa

pendukung pemerintahan Gbagbo yang menyerang entitas Perancis di Abidjan.

Penyerangan oleh massa bersenjata itu menimbulkan kontak senjata dengan

tentara Perancis yang memaksa Perancis mengungsikan warga negaranya dari

Pantai Gading55. Situasi di Pantai Gading semakin tidak terkendali.

Setelah beberapa upaya perdamaian yang gagal dan kondisi Pantai Gading

yang semakin terpuruk secara politik dan ekonomi akibat embargo yang

diberlakukan oleh PBB, Gbagbo mengajukan proposal perdamaian kepada

Uni-Afrika dan ECOWAS56. Proposal perdamaian tersebut kemudian dilanjutkan

dengan pertemuan antara Pemerintahan Gbagbo yang mengendalikan wilayah

selatan dan Nouvelles Forces yang menguasai wilayah utara di Ouagadougou, Burkina Faso pada Maret 2007. Perjanjian Ouagadougou merupakan upaya

perdamaian yang paling berhasil mengakhiri konflik sipil di Pantai Gading yang

bermula dari tahun 2002. Pascapenandatangan perjanjian ini pasukan perdamaian

53Giulia Piccolino, “David Against Goliath in Côte d’Ivoire ? Laurent Gbagbo’s War Against

Global Governace”, African Affairs (2011), 8

54 Jolien Schure, dkk , Natural Resources in Côte d’Ivoire : fostering Crisis of Peace (Bonn:BICC,

2010), 12

55French foreign minister's visit is first since 2003” diunduh pada 4 Maret 2014 dari

(http://www.france24.com/en/20080614-french-foreign-ministers-visit-first-2003-ivory-coast-france)

(43)

PBB yang berjaga di buffer area ditarik dan proses pelucutan senjata yang dimiliki kelompok paramiliter dimulai57.

Pada 16 April 2007, Presiden Laurent Gbagbo menyatakan perang sipil di

Pantai Gading berakhir. Proses perdamaian pascaperjanjian Ouagadougou yang

ditandai dengan penyerahan senjata kelompok paramiliter juga diikuti dengan

reformasi regulasi terkait kewarganegaraan Pantai Gading untuk persiapan

pemilihan umum selanjutnya. Pada Oktober 2010, Pantai Gading

menyelenggarakan Pemilu pertama kalinya pascakonflik sipil 2002-2007, meski

sebelumnya dijadwalkan pada Juni 2008 yang tertunda akibat belum selesainya

penyerahan senjata dan daftar pemilih yang berhak memilih. Pemilu yang diikuti

oleh 5 juta penduduk Pantai Gading mempertemukan Laurent Gbagbo dan

Alassane Ouattara pada putaran akhir.

Pemilu Pantai Gading tahun 2010, merupakan pemilu yang kontroversial

karena kedua calon presiden mengklaim sebagai pemenang pemilu dan menjadi

Presiden Pantai Gading. Pengambilan sumpah Laurent Gbagbo sebagai Presiden

Pantai Gading untuk periode selanjutnya menimbulkan kemarahan oleh massa

pendukung Ouattara dan menimbulkan konflik baru seperti yang dijelaskan pada

bab sebelumnya.

57 Arnim Langer, Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace (Bath : Centre for Development Studies

(44)

B. Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading

Konflik di Pantai Gading melibatkan banyak pihak, baik dari dalam negeri

dan luar negeri. Perbedaan latar belakang politik dan identitas menjadi penyebab

beragamnya kelompok atau unit-unit politik yang terlibat dalam konflik ini.

Pihak pertama, FPI (Front Populaire Ivoirien) adalah partai yang berkuasa dalam pemerintahan Laurent Gbago. Partai ini dibentuk oleh para akademisi kritis

pada Pemerintahan Boigny. Sebelum pemilu 1990, partai ini masih merupakan

organisasi ilegal di Pantai Gading. Setelah diubahnya sistem pemilu maka partai

ini menjadi partai pertama yang masuk dalam parlemen selain PDCI. Pada konflik

pada 2002, partai ini memiliki kelompok simpatisan paramiliter yaitu Jeunes

Patriots. Ketika terjadi konflik terbuka, keterlibatan FPI diwakilkan oleh Jeunes Patriots, kelompok ini mendukung dan dipersenjatai oleh Laurent Gbagbo sehingga dapat menguasai daerah selatan Pantai Gading58.

Pada pihak kedua atau pihak yang berlawanan dengan FPI, dipandang oleh

Gbagbo sebagai pihak pemberontak Pemerintah resmi Pantai Gading. Pihak

tersebut adalah MPCI, MPJ, dan MPIGO. Kelompok-kelompok ini yang terlibat

konflik langsung dengan Jeunes Patriots saat konflik terjadi di Pantai Gading. Tindakan Laurent Gbagbo menonaktifkan tentara yang direkrut selama

pemerintahan junta militer Gueï dan menyebabkan upaya kudeta yang dilancarkan

oleh Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI). MPCI adalah gerakan yang dibentuk oleh militer yang dinonaktifkan Gbagbo. Gerakan ini adalah aktor

utama dari upaya kudeta Gbagbo pada September 2002, dan memiliki kekuatan

58“Main Actors of Ivory Coast’s Conflict” diunduh pada 30 Maret dari

(45)

sekitar 800 personel bekas pasukan Jenderal Gueï. Meski pada tahun 2002 gagal

menguasai Abidjan, gerakan ini berhasil menguasai Bouaké, kota terbesar kedua

di Pantai Gading, dan sebagian besar lahan pertanian coklat. Pemerintah Gbagbo

menuding kelompok ini sebagai pendukung Ouattara dan dibantu oleh negara lain

dikarenakan kebanyakan anggota gerakan ini berasal dari bagian utara Pantai

Gading 59

Tewasnya jenderal Gueï pada kudeta tahun 2002, menimbulkan

kemarahan dari penduduk bagian barat Pantai Gading yang memiliki kedekatan

kultural dengan suku Yacouba, suku asal Gueï. Kemarahan tersebut diwujudkan

dengan dikuasainya wilayah Man dan Danane oleh kelompok yang dikenal

sebagai Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO). Anggota gerakan ini dianggap bukan warga Pantai Gading dikarenakan berbicara dalam

bahasa Inggris dan dikaitkan dengan suku Gio yang berasal dari Liberia yang

punya hubungan kultural dengan suku Jenderal Gueï60.

Selain MPIGO, wilayah barat Pantai Gading juga dikuasai oleh gerakan

lain yaitu Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP). Muncul dengan alasan yang sama dengan MPIGO, MJP merupakan gerakan dengan kekuatan yang

relatif lebih kecil. Pada Desember 2002, menanggapi tindakan Perancis yang

menempatkan pasukan Licorne di Pantai Gading, MPCI, MPIGO, dan MJP

membentuk koasilisi yang di namakan Nouvelles Forces61.

59“Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpci.htm)

60“ Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpigo.htm)

61“Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP)”diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(46)

Pada konflik pascapemilu 2010, pertikaian terjadi antara Nouvelles Forces yang mendukung Alassane Ouattara sebagai pemenang pemilu, sedangkan

Laurent Gbagbo didukung oleh kelompok paramiliter FPI, Jeunes Patriots. Ketika Perancis mengintervensi Pantai Gading tahun 2011, pasukan Perancis

mempersenjatai milisi Nouvelles Forces, meski sebelumnya gerakan ini pernah mencoba mengusir pasukan Perancis dari Pantai Gading di tahun 2002 62.

C. Internasionalisasi Konflik di Pantai Gading

Konflik Pantai Gading seperti kebanyakan konflik bersenjata di Afrika

yang awalnya konflik internal dengan cepat berubah menjadi konflik yang

melibatkan pihak lain di luar wilayah konflik. Konflik yang terjadi tahun 2002,

akibat kudeta atas pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo menyebabkan korban

jiwa dalam jumlah besar dan gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga.

Semakin besar korban jiwa dan jumlah pengungsi dari konflik yang terjadi,

semakin memaksa komunitas regional dan internasional untuk terlibat dalam

penyelesaian pertikaian.

Mayoritas penduduk kawasan utara Pantai Gading adalah pendatang dari

Mali dan Burkina Faso, maka konflik ini melibatkan kedua negara ini secara tidak

langsung. Bagi Burkina Faso, situasi keamanan di Pantai Gading berpengaruh

besar, sebab kondisi geografis Burkina Faso merupakan negara landlock dan sangat bergantung pada pelabuhan di Pantai Gading untuk arus barang masuk.

UNDP menyebutkan pada Januari 2011, antara 20.000 sampai 30.000 pupuk,

beras dan gandum yang akan diimpor ke Burkina Faso tertahan di Pelabuhan

62“Gbagbo comes under attack from ground assault” diunduh pada 20 Agustus 2014 dari

(47)

Abidjan63. Sebagi negara landlock, Mali yang berbatasan langsung dengan Pantai Gading mengalami dampak akibat konflik ini. Data tahun 2011, menunjukkan

2.000.000 imigran asal Mali tinggal di Pantai Gading. Konflik Pantai Gading pada

tahun 2011, menyebabkan harga barang-barang di Mali naik hingga 50 persen 64.

Dampak dari konflik tidak hanya berdampak pada Burkina Faso dan Mali,

namun juga berdampak pada negara lain di regional Afrika Barat. Menanggapi

situasi yang semakin tidak menguntungkan baik karena arus pengungsi ke

negara-negara tetangga dan tertahannya arus barang, ECOWAS sebagai organisasi

regional terbesar di Afrika Barat berinisiatif untuk berperan dalam penyelesaian

konflik. Saat konflik tahun 2002, ECOWAS mengirim pasukan untuk

mengamankan buffer zone yang memisahkan wilayah utara dan selatan serta memfasilitasi beberapa upaya perdamaian65. Ketika konflik pascapemilu tahun

2010, ECOWAS kembali melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai,

meski gagal, dan kembali mengirim pasukan untuk membantu pasukan

perdamaian PBB.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional

dengan pengaruh paling besar terkait dinamika dalam hubungan internasional,

menerapkan konsep responsibility to protect terkait situasi yang mengancam kemanusiaan. Konflik di Pantai Gading yang menimbulkan banyak korban sipil

membuat PBB ikut dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai

63UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective

from Ground” (2011), 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.undp.org/africa)

64UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective

from Ground”, 8 65 Prosper Addo,

(48)

Gading. Respon PBB, khususnya Dewan Keamanan, mengenai situasi yang

berlangsung di Pantai Gading terus mengalami peningkatan mengikuti

perkembangan konflik. Setelah kudeta tahun 2002, pada 13 Maret 2003 DK PBB

mengeluarkan resolusi no. 1479 yang membentuk Mission des Nations unies en

Côte d'Ivoire (MINUCI) yang terdiri dari pasukan Perancis dan pasukan gabungan ECOWAS untuk memfasilitasi gencatan senjata dan implementasi

Linas-Marcoussis Agreement . Menindaklanjuti resolusi sebelumnya DK PBB kembali mengeluarkan resolusi no. 1528 untuk mengalihkan otoritas MINUCI kepada

Opération des Nations Unies en Côte d'Ivoire (ONUCI)66.

Serangan udara Pemerintah Gbagbo ke Bouaké yang melukai pasukan

perdamaian Perancis di tanggapi oleh DK PBB dengan mengeluarkan resolusi no.

157267. Penerapan resolusi ini berakibat pada diberlakukannya embargo senjata

atas Pantai Gading dan pembekuan aset individu yang melanggar HAM serta

mengancam upaya perdamaian dalam konflik ini. Resolusi ini kemudian diperkuat

oleh resolusi no. 1603, 1633, dan 172168.

Perjanjian damai yang ditandatangani di Ouagadougou ditanggapi oleh

DK PBB dengan dikeluarkannya resolusi no. 1765. Dengan dikeluarkannya

resolusi ini ,mandat ONUCI diperbaharui untuk mendukung pelucutan senjata

milisi dan persiapan pelaksanaan pemilu sesuai perjanjian Ouagadougou. Meski

kata damai hampir tercapai antara pihak yang bertikai di Pantai Gading, DK PBB

66

“UNOCI Mandate” diunduh pada 30 Maret 2014 dari

(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/mandate.shtml)

67Robert Iztok dan Tomas Koziak “Ivory Coast- From Stability to Collapse. Failed States in Time

of Globalisation” (Ostrava:University of Ostrava, 2010), 4 diunduh dari

(http://conference.osu.eu/globalization/publ/10-istok_koziak.pdf.)

(49)

memperpanjang embargo senjata pada 29 Oktober 2009, dan melarang

perdagangan berlian dari negara ini69.

Meletusnya kembali konflik pascapemilu 2010, ditanggapi oleh DK PBB

dengan menambah pasukan perdamaian sebanyak 500 personel pada Desember

2010 dan menambah hingga 2.000 personel pada Januari 2011. Pada akhir Maret

2011, akibat dari kegagalan mediasi dan penolakan Laurent Gbagbo untuk turun

dari jabatan dan menghentikan konflik, DK PBB mengeluarkan sanksi kepada

Gbagbo berupa Resolusi No. 1975. Bentuk nyata dari resolusi ini adalah

diserangnya pangkalan milisi pendukung Gbagbo di Abidjan pada 4 April 2011,

kemudian penyerangan ke tempat tinggal yang diikuti dengan penangkapan

Gbagbo pada 10 April 2011 70.

69Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire”

(50)

BAB III

KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA KONFLIK DI

PANTAI GADING TAHUN 2011

A. Sejarah Keterlibatan Perancis di Pantai Gading

1. Periode Kolonial

Persaingan antar bangsa di Eropa dan Perang Salib yang terjadi di Timur

Tengah menyebabkan bangsa Eropa melakukan eksplorasi ke bagian dunia baru.

Perancis sebagai salah satu negara besar di Eropa juga melakukan penjelajahan

dengan tujuan ekspansi teritorial, ekploitasi sumber daya, dan misionaris. Afrika

yang secara geografis berdekatan dengan Eropa menjadi daerah pertama yang

menjadi tujuan kolonialisasi.

Perancis datang pertama kali ke kawasan Afrika Barat tercatat pada 1483.

Kedatangan bangsa Perancis ke Afrika Barat bertujuan untuk mengekploitasi

sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam bentuk perbudakan71. Kontak

antara Pantai Gading dan Perancis pertama kali terjadi pada 1637, saat Perancis

mengirim misionaris ke Assinie yang kemudian menjadi pos pertama Perancis di

Pantai Gading72.

Keberadaan Perancis di Teluk Guinea dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan

yang menguasai wilayah Pantai Gading modern. Pada 1843-1844, Kerajaan Kong

yang menguasai wilayah Pantai Gading modern melalui Raja Grand Bassam dan

Assinie melakukan perjanjian yang menempatkan wilayah kedua kerajaan tersebut

71 Robert E. Handloff, ed.,

Ivory Coast, (Washington D.C : Library of Congress, 1988) diunduh

pada 19 April 2014 dari (http://countrystudies.us/ivory-coast/5.htm )

72 Francis McNamara,

(51)

di bawah protektorat Perancis untuk berlindung dari serangan suku Agni dan

Boule73. Pedagang, misionaris, dan tentara dari Perancis mulai berdatangan

setelah wilayah tersebut berada dalam protektorat yang dimanfaatkan oleh

Perancis untuk memperluas kekuasaannya di Afrika sebagai respon untuk

mengimbangi kekuatan Inggris, Jerman dan Portugal.

Pada 1885, Inggris, Jerman, dan Perancis mengadakan pertemuan di Berlin

untuk mengatur kekuasaan wilayah-wilayah di Afrika guna menghindari

ketegangan antar negara-negara kolonial. Pascapertemuan di Berlin, Pantai

Gading secara resmi menjadi koloni Perancis di Afrika Barat pada tahun 1893.

Kolonialisasi Perancis di Pantai Gading mendapat perlawanan dari suku setempat

akibat dari kebijakan kolonial yang dinilai merugikan penduduk setempat dan

[image:51.595.113.510.223.652.2]

menyalahi perjanjian protektorat yang disepakati terdahulu74.

Gambar III.1 Afrika Pasca-Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia

Sumber : French in Black Africa, h. 30

73 Francis McNamara,

French in Black Africa, 23 74 Robert Pakenham,

(52)

Selama berjalannya kolonialisme di Pantai Gading, Perancis menerapkan

kebijakan asimilasi dan asosiasi. Dalam kebijakan asimilasi, Perancis menerapkan

bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, menanamkan nilai-nilai kebudayaan

Perancis di wilayah koloni, dan membentuk institusi hukum Perancis. Untuk

mencegah adanya perlawanan penduduk lokal Perancis menerapkan kebijakan

asosiasi yang mengizinkan hukum adat setempat selama tidak bertentangan

dengan kepentingan Perancis dan memberlakukan pembedaan hukum untuk orang

Perancis yang berkoloni dengan penduduk lokal75.

Pada 1904, Pemerintah Republik ketiga Perancis76 berupaya melakukan

sentralisasi terhadap koloni dengan membentuk Afrique Occidentale Française (AOF) atau Afrika Barat Perancis yang menjadi bagian dari Federasi Koloni

Perancis. Pembentukan AOF juga dilatar belakangi oleh abolisi perbudakan yang

diberlakukan. Berdirinya AOF memberikan kesamaan hak kepada penduduk yang

tinggal di wilayah koloni untuk mendapatkan kewarganegaraan Perancis77.

Saat terjadi Perang Dunia II, perubahan situasi politik di Eropa turut

memengaruhi situasi politik Pantai Gading yang tergabung dalam AOF. Ketika

Nazi Jerman menginvasi wilayah Perancis dan mendirikan Perancis yang

beribukota di Vichy. AOF kemudian berada dalam situasi memilih bergabung

dengan Perancis Vichy Nazi atau Perancis yang bebas dari Nazi pimpinan

75K.E. Robinson, “The Public Law of Overseas France since the War”

Journal of Comparative Legislation and International Law, Vol. 32, No. 3/4. (1950), 37

76 Perancis beberapa kali menganti sistem pemerintahan setelah masa Louis XVI, Perancis saat ini

merupakan Republik ke lima

77“Ivory Coast, Reform and French Community” diunduh pada 1 Juni 2014 dari

(53)

Jenderal Charles De Gaulle, AOF kemudian memilih bergabung dengan Perancis

Jenderal Charles De Gaulle. Pasca-Perang Dunia II, Republik Keempat Perancis

di bawah kepemimpin Charles De Gaulle memberikan hak politik kepada

penduduk koloni di Afrika karena dinilai loyal. Pemberian hak politik ini diikuti

dengan pemberian tempat perwakilan dari wilayah koloni Afrika dalam parlemen

Peranci

Gambar

Tabel II. B. 1  Nilai Ekspor-Impor Pantai Gading tahun 1988..........................40
Gambar I. Peta Eropa Barat dan Afrika...............................................................xiv
Gambar I. Peta Eropa Barat dan Afrika
Gambar III.1 Afrika Pasca-Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bung pasti setuju dengan saya bahwa pada masa itu Indonesia tidak sedang berada dalam “kondisi yang menganggap PKI sebagai setan.” Di lain pihak, maksud saya dari pihak PKI, pada

Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai persepsi terhadap rotasi kerja dari subjek penelitian, untuk itu peneliti menggunakan alat penelitian

Brainstorming atau yang biasa dikenal dengan istilah sumbang saran merupakan salah satu cara sejenis musyawarah untuk mengumpulkan ide-ide atau gagasan- gagasan terbaru dari

Komparator Op-Amp akan membandingkan nilai tegangan pada kedua tegangan, apabila sebuah tegangan (-) lebih besar dari tegangan masukan (+) maka keluaran Op-Amp akan menjadi sama

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (9) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mengamanatkan kepada Menteri Dalam

Kuisioner ………L1 Tampilan Layar Home...L3 Tampilan Layar Member Home...L4 Tampilan Layar About Us...L5 Tampilan Layar Contact Us...L6 Tampilan Layar FAQ...L7 Tampilan

langkah yang bijak dalam mendidik generasi muda karena budaya kita sebenarnya.. sudah kaya dengan nilai-nilai yang adiluhung. Budaya Indonesia yang kaya dengan. peraturan dan

Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang serupa bahwa penggunaan POK dosis rendah akan mempersingkat durasi perdarahan pada akseptor DMPA, seperti percobaan yang dilakukan