Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh
Teuku Muhammad Valdy Arief
109083000050
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v
Skripsi ini menganalisa kebijakan intervensi militer Perancis ke Pantai Gading tahun 2011. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tindakan intervensi tersebut, dengan mempertimbangkan faktor domestik dan eksternal. Kerangka pemikiran skripsi yang digunakan dalam ini adalah konsep politik luar negeri dan faktor-faktor determinasi politik luar negeri dalam frame work K.J. Holsti. Argumen ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat sejarah konflik di Pantai Gading, dinamika hubungan Perancis dan Pantai Gading, dari masa kolonial hingga keterlibatan Perancis dalam konflik di Pantai Gading tahun 2011, serta menelaah kepentingan nasional Perancis di Pantai Gading.
vi
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji penulis haturkan kepada kehadirat
Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, tuhan semesta alam, berkat segala rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul,
“Kebijakan Intervensi Militer Perancis ke Pantai Gading Tahun 2011”.
Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana pada program studi Hubungan Internasional.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya
bimbingan, bantuan, dan motivasi oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
mendukung penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Debbie Affianty Lubis, M.si selaku Ketua Jurusan Hubungan
Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Bapak Agus Nilmada Azmi, M.si selaku sekretaris jurusan Hubungan
Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Andar Nubowo, DEA. selaku dosen pembimbing penulis. Terima
kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan ilmu dan
vii
5. Bapak Dr. Harun Alisyah dan Bapak Kiky Rizky, M.Si atas konstribusinya
membantu penulis dalam pengerjaan skripsi.
6. Orangtua penulis, Papa Almarhum Drs. Teuku Sofyan, M.Kes dan Mama
tercinta Tjut Rachmawati Berabo atas semua kasih sayang yang diberikan.
Terima kasih atas doa, kesabaran dan motivasi yang diberikan selama
penulis menyelesaikan studi.
7. Adik dan kakak tercinta Pocut Nayla Annisa, Teuku Muhammad
Rachmanda, S.E, Cut Galuh Vanessa, S.E, drg. Cut Nadira Sabilla, Teuku
Miersal Fajar Almursalin, M.A. dan keponakan terkasih Cut Shayma
Amira dan Cut Shaza Altayra yang menjadi motivasi untuk menyelesaikan
skripsi ini.
8. Teman-teman jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta, khususnya
angkatan 2009. HMJ HI 2012-2013, terutama Departemen Advokasi
Mahasiswa yang membantu penulis menjalankan tugas.
9. Teman-teman Komunitas Maritim UIN Jakarta dan IMAPA cabang
Ciputat yang telah menjadi saudara di perantauan.
Jakarta, 4 Desember 2014
viii
ABSTRAKSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6
D. Tinjauan Pustaka... 7
E. Kerangka Pemikiran... 10
1. Politik Luar Negeri... 10
2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri... 11
3. Intervensi... 13
F. Metode Penelitian... 18
G. Sistematika Penulisan... 19
ix
BAB III KEBIJAKAN PERANCIS UNTUK MENGINTERVENSI
KONFLIK DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2011
A. Sejarah keterlibatan Perancis di Pantai Gading... 36
1. Periode Kolonial... 36
2. Periode Setelah Kemerdekaan dan Sebelum Konflik Sipil ... 40
B. Sikap dan Kebijakan Perancis terhadap Konflik di Pantai Gading... 45
C. Dukungan Perancis atas Intervensi bersama PBB di Pantai Gading Tahun 2011... 48
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI GADING PADA TAHUN 2010-2011 A. Faktor Internal Intervensi Perancis ke Pantai Gading ... 51
1. Kebutuhan Sosio-ekonomi dan Keamanan... 51
2. Atribut Nasional... 60
3. Opini Publik... 62
4. Birokrasi... 64
x
2. Masalah Global dari Sektor Privat... 70
BAB V PENUTUP
Kesimpulan... 74
DAFTAR PUSTAKA ... xv
xi
xii
Gambar I. Peta Eropa Barat dan Afrika...xiv
Gambar II.1 Afrika Paska Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia...35
xiii AOF : Afrique Occidentale Française
CSIS : Centre for Strategic and International Studies DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
ECOWAS : Economic Community Of West African States FPI : Front Populaire Ivoirien
HAM : Hak Asasi Manusia
MINUCI : Mission des Nations Unies en Côte d’Ivoire MJP : Mouvement pour la Justice et la Paix
MPCI : Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire MPIGO : Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest NATO : North Atlantic Treaty Organization
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDCI : Parti Démocratique de Côte d’Ivoire PIGS : Portugal Ireland Greece Spain PS :Parti Socialiste
RECAMP : Renforcements des Capacités Africaines de Maintien de la Paix RPR : Rassemblement pour la République
UA : Uni Afrika
UE : Uni Eropa
xiv
[image:14.595.118.512.134.602.2]BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pantai Gading atau Republic of Côte d’Ivoire adalah negara yang terletak di bagian barat benua Afrika, tepatnya di teluk Guinea. Negara bekas koloni Perancis ini mendapat status daerah otonomi pada tahun 1958 dan pada 1960,
Pantai Gading mendapatkan kemerdekaannya dari Perancis. Setelah mendapatkan
status independennya sampai tahun 1993, dalam pemerintahan Felix
Houphouët-Boigny, Pantai Gading merupakan negara yang secara politik cenderung stabil1.
Stabilnya situasi politik di Pantai Gading diikuti oleh situasi ekonomi yang
membaik ditandai dengan dicapainya pertumbuhan ekonomi yang mencapai
angka 7 persen setelah 20 tahun kemerdekaannya2
Selama dekade 1990-an Pantai Gading mengalami pertumbuhan ekonomi
yang sangat baik karena liberalisasi reformasi pasar yang diterapkan pemerintahan
Houphouët-Boigny sehingga Pantai Gading menguasai 40 persen produksi kakao
dunia3. Situasi ini membawa banyak imigran berkerja pada sektor industri
perkebunan terutama kopi, kelapa sawit, karet, dan kakao yang merupakan
komoditi utama Pantai Gading4.
1 Tom Ogwag,
The Root Causes of The Conflict in Côte d’Ivoire (CIGI, 2011), 2. 2 Abdul Hadi Adnan,
Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika (Bandung: C.V. Angkasa,
2007), 66.
3Christian Purefoy, “What causing the conflict in Ivory Coast ?” Diunduh 23 Desember 2013 dari
(http://edition.cnn.com/2011/WORLD/africa/04/03/ivory.coast.explainer)
Namun, setelah meninggalnya Presiden Houphouët-Boigny tahun 1993,
Pantai Gading harus menghadapi gejolak ekonomi yang diikuti pergolakan politik
akibat perang saudara dan perpecahan politik yang terjadi di negara ini. Keadaan
ini menyebabkan Pantai Gading terbagi menjadi wilayah utara dan selatan5.
Pemerintah yang dipimpin Laurent Gbagbo mengendalikan bagian selatan yang
terpusat di Abidjan, dan basis kekuatan massa Kristen pendukung Gbagbo.
Sedangkan wilayah utara dikuasai oleh kelompok oposan yang dipimpin oleh
Alassane Ouattara terpusat di Yamoussoukro, didominasi oleh kaum imigran
pedagang Muslim6.
Pantai Gading menyelenggarakan pemilihan umum tahun 2010, setelah
tertunda enam kali, untuk menyatukan kembali wilayah yang terpecah7. Pemilu
yang diikuti oleh 14 kandidat pada putaran pertama, kemudian dilanjutkan oleh
dua kandidat dengan suara terbanyak yaitu Presiden yang menjabat dari tahun
2000 Laurent Gbagbo dan mantan Perdana Menteri pada masa
Houphouët-Boigny, Alassane Ouattara pada putaran kedua8.
Perselisihan dimulai ketika hasil dari pemilu putaran kedua diumumkan.
Kedua kandidat sama-sama mengaku sebagai pemenang dari pemilihan umum
yang telah berlangsung. Berdasarkan hasil dari Constitutional Council, Gbagbo dinyatakan sebagai pemenang pemilu dan diambil sumpah kembali sebagai
5 Abdul Hadi Adnan,
Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika,68
6 Gary K. Busch, The French, The UN and Ivory Coast”, diunduh 22 Desember 2013 dari
(http://www.ocnus.net/artman2/publish/editorial_101)
7Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” 2010 , 17 diunduh dari
(http://opus.bath.co.uk)
8Matthew Mitchell, “Insights from the Cocoa Regions in Côte d'Ivoire and Ghana: Rethinking the
Presiden Pantai Gading untuk masa jabatan selanjutnya9. Namun, Commission
Electorale Independente menyatakan bahwa Ouattara sebagai pemenang pemilu10. Penolakan atas pengesahan hasil pemilu yang dikeluarkan Constitutional
Council dilakukan oleh masa pendukung Outtara sehingga menyebabkan bentrok antara milisi pendukung Ouattara dan Gbagbo yang didukung oleh militer11.
Konflik bersenjata antara dua kubu ini menyebabkan tewasnya 44 orang di
Abidjan dan Yamoussoukro pada Desember 2010.
Melihat konflik yang berakibat pada timbulnya korban sipil, PBB, Uni
Afrika dan ECOWAS memulai upaya mediasi dari kedua pihak yang bertikai.
Pada 4 Desember 2010, Uni Afrika mengutus mantan Presiden Afrika Selatan
Thabo Mbeki untuk menemui Gbagbo guna mendiskusikan jalan damai dan
penghentian kekerasan. Mediasi yang bertujuan meminta Gbagbo untuk bersedia
turun dari jabatannya dan digantikan oleh Ouattara, ditanggapi dingin oleh
Gbagbo dengan tidak mundur dari jabatan Presiden Pantai Gading12. ECOWAS
juga mengimbau Gbagbo untuk mundur dari jabatannya guna menghindari
9“Ivory Coast poll overturned: Gbagbo declared winner” Diunduh 22 Desember 2013 dari
(http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-11913832)
10 “Resultats de la second tour de L'ELECTION DU PRESIDENT DE LA REPUBLIQUE”
diunduh 23 Desember 2013 dari
(www.ceici.org/elections/docs/EPR2010_2T_RESULTATS_VALEURS_02122010.pdf)
11 (Torrent & Potokar, 2011) Lluis Torrent dan Iztok Potokar “Côte d’Ivoire: International
response and origins of the conflic”, diunduh 22 Desember 2013 dari
(http://www.unitedexplanations.org/2011/04/04/international-response-to-the-current-situation-in-cote-divoire-and-the-origins-of-the-conflict/)
12Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a
penggunaan kekerasan untuk mengakhiri konflik dan kemudian diikuti oleh sanksi
ekonomi13.
Setelah gagalnya mediasi, konflik kembali menelan 33 korban jiwa
akibat bentrok di Duékoué pada Januari 2011. Menjelang pertengahan Januari
2011, keadaan semakin parah di Abidjan, 11 penduduk sipil tewas setelah
diserang oleh RPG dan senjata otomatis yang diduga dilakukan milisi
pro-Ouattara14. Perang saudara ini mencapai klimaksnya saat kontak senjata yang
terjadi pada 27 - 29 Maret 2011 menyebabkan sedikitnya 505 orang tewas di
Duékoué, menurut laporan United Nations Operation in Côte d’Ivoire15, ketika terjadi kontak senjata antara pihak yang bertikai di wilayah tersebut.
Menanggapi konflik horizontal yang terjadi di Pantai Gading, Perancis
mensponsori Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi DK PBB No.
1975 yang meminta Gbagbo untuk mundur dari jabatan presiden Pantai Gading.
Bentuk dari tindak lanjut resolusi DK PBB no. 1975. Pada 31 Maret 2011,
Perancis mengirim pasukan dalam operasi Licorne bersama pasukan PBB menyerang basis militer pro-Gbagbo. Dalam serangan ini, Perancis mengerahkan
tank Puma dan helikopter Gazzelle yang dibantu oleh dua helikopter MI24 milik
13Foluke Ipinyomi, “Is Côte d’Ivoire a Test Case for R2P? Democratization as Fulfilment of the
International Community’s Responsibility to Prevent”. Journal of African Law,
volume56, no 2. (2012): 159
14 Summary of UNOCI weekly press conference March 2011
PBB16. Serangan terhadap kelompok pro-Gbagbo menandai intervensi Perancis
ke Pantai Gading di tahun 2011.
Pada 1 April 2011, militer Perancis mengirim sejumlah tentara dan 30
kendaraan tempur ke kediaman Presiden untuk menangkap Gbagbo17.Dalam
serangan sepuluh hari ke kediaman Presiden yang diduduki oleh Gbagbo, pasukan
Perancis dan PBB berhasil menghancurkan senjata berat yang melindungi
kediaman tersebut dan menangkap Gbagbo18. Setelah tertangkap, Laurent Gbagbo
dikirim ke Den Hague untuk diadili di International Criminal Court 19. Pascapertempuran sepuluh hari di Abidjan militer Perancis dan PBB menyuplai
logistik dan mempersenjatai milisi pro-Ouattara20. Peran Perancis menurut
Zounmenou dan Lamin melewati mandat PBB untuk melindungi penduduk sipil
dikarenakan peran aktif dan agresif dalam menangkap Gbagbo21. Sedangkan
menurut McGovern, Perancis dianggap menyalahi mandat DK-PBB 1975 poin 6
dan 722.
16Bruce Crumley “Anatomy of an Intervention: Why France Joined the U.N. Action in Abidjan”.
Diunduh 22 Desember 2013 dari
(http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2063613,00.html)
17Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’
and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”. African Journal on Conlifct Resolution, Volume 12, no. 2 (2012): 146
18Thomas J Basset dan Scott Straus “Defending Democracy in Côte d'Ivoire: Africa Takes a
Stand”, 129
19Kasaija Philip Apuuli, “The African Union’s notion of ‘African solutions to African problems’
and the crises in Côte d’Ivoire (2010–2011) and Libya (2011)”, 138
20David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis :
Ouattara Rules but can he Govern ?”. Journal of African Elections, Volume 10, no. 2
(2011): 13
21David Dossou Zounmenou dan Abdul Rahman Lamin, “Côte d’Ivoire’s Post Electoral Crisis :
Ouattara Rules but can he Govern ?”, 11
22 Mike McGovern, “The Ivorian Endgame” diunduh 23 Desember 2013 dari
Intervensi Perancis terhadap Pantai Gading pada 2011 terjadi saat situasi
perekonomian Uni Eropa sedang labil. Ketika negara-negara UE sedang
melakukan kebijakan pengetatan pengeluaran negara, termasuk pengeluaran
militer, tindakan intervensi militer Perancis bertentangan dengan tren austerity
budget (penyederhanaan anggaran) yang sedang diterapkan oleh negara-negara UE. Perancis pada tahun 2009 bersama negara-negara PIGS (Portugal, Irlandia,
Yunani,dan Spanyol) mengalami defisit anggaran, melakukan intervensi militer ke
Pantai Gading saat pertumbuhan ekonominya pada tahun 2011 hanya mencapai
1,5 persen23. Tindakan pemerintah Perancis untuk melakukan intervensi militer ke
Pantai Gading ketika kondisi ekonomi negaranya sedang tidak stabil
menyebabkan fenomena ini menarik untuk diteliti.
B. Pertanyaan penelitian
Perdasarkan penjelasan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan
oleh penulis adalah : Mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai
Gading pada tahun 2011 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini lakukan untuk menjawab pertanyaan penelitan dengan
teori-teori serta konsep-konsep yang ada dalam hubungan internasional.
1.3.1 Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk menjelaskan faktor-faktor intervensi militer Perancis ke Pantai
Gading pada tahun 2011.
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan historis antar negara dapat
mempengaruhi kebijakan suatu negara.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat :
1. Sebagai media untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama
belajar di program studi hubungan internasional.
2. Sebagai sumber bacaan untuk peminat masalah keamanan internasional
sebagai salah satu kajian hubungan internasional.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait intervensi Perancis di Pantai Gading dan konflik di
Pantai Gading sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Courtney P. Conroy
(2010), dalam skripsinya di Universitas Salve Regina yang berjudul France as A Negative Influence on Côte d’Ivoire : The Consequences of Foreign Interference. Conroy menjelaskan mengapa Pantai Gading meneruskan hubungan dengan
Perancis meski banyak konsekuensi negatif yang dihasilkan. Penelitian ini
kolonial Perancis dan Pantai Gading sehingga menemukan hubungan yang jelas
antara kedua negara terkait masalah kontemporer yang dihadapi Pantai Gading24.
Conroy dalam penelitiannya menemukan bahwa konflik di Pantai Gading,
tidak terlepas dari ketergantungan Pantai Gading dengan Perancis setelah masa
kolonial. Selain itu, Conroy menjelaskan bahwa meski hubungan antara dua
negara ini memberikan banyak konsekuensi negatif kepada Pantai Gading, ikatan
historis yang kuat dan terjadinya transfer teknologi membuat hubungan terus
diperkuat.
Konflik yang terjadi Pantai Gading, juga dibahas oleh Dita Herdiyanti
(2013), dalam skripsinya di Universitas Hasanudin Makasar yang berjudul Peran
UNOCI dalam Penyelesaian Konflik Pasca-Pemilu 2010 di Pantai Gading. Skripsi ini membahas bagaimana peran UNOCI di Pantai Gading untuk
menyelesaian konflik pascapemilu 2010 dengan menggunakan pendekatan liberal
institusional yang terfokus pada peran organisasi internasional untuk menjaga
perdamaian dan teori konflik Johan Galtung untuk menganalis konflik yang
terjadi di Pantai Gading25.
Herdiyanti menjelaskan bahwa UNOCI memiliki peran yang signifikan
dalam penyelesaian konflik pascapemilu 2010 di Pantai Gading. Hal ini
ditunjukan dengan berhasilnya UNOCI dalam menekan intensitas konflik.
UNOCI menggunakan pendekatan koersif dalam menekan konflik dengan
24 Courtney Patricia Conroy,
France as a Negative Influence on Ivory Coast : The Consequences of Foreign Interference, (Salve Regina University, 2010)
25 Dita Herdiyanti,
menyebarkan pasukan penjaga perdamaian untuk mengamankan wilayah dan
melindungi warga sipil di Pantai Gading.
Skripsi ini menemukan hambatan-hambatan yang dialami oleh UNOCI
dalam menjalankan mandat, seperti serangan dan gangguan terhadap personilnya.
Dalam upaya merespon hambatan ini UNOCI menerima dukungan dari personil
UNMIL, pasukan Licorne Perancis, dan pasukan FRCI untuk menekan konflik
dan melindungi warga sipil. Skripsi ini juga menyimpulkan bahwa UNOCI
berhasil dalam menekan konflik hingga konflik terselesaikan, maka UNOCI telah
memiliki peran yang signifikan dalam penyelesaian konflik di Pantai Gading.
Terkait intervensi militer Perancis telah dibahas oleh Katariina Simonen
pada artikel Qui s’excuse s’accuse... An Analysis of French Justifications for Intervening in Côte d’Ivoire dalam jurnal International Peacekeeping. Artikel ini menjelaskan bagaimana Perancis melakukan justifikasi atas intervensi militer
yang dilakukan ke Pantai Gading26.
Simonen menganalisa pernyataan resmi Pemerintah Perancis dan
menelaah bagaimana intervensi yang berakibat pada pergantian regim di Pantai
Gading dapat dibenarkan, khususnya pada aspek legal. Pernyataan resmi mengacu
pada pernyataan Presiden Perancis dan perwakilan pemerintah terkait pengunaan
kekuatan militer melalui Operasi Licorne untuk membantu UNOCI dalam periode November 2010 sampai Ouattara menjabat Presiden pada 2011.
Penelitian ini menyatakan bahwa menurut Pemerintah Perancis intervensi
ke Pantai Gading dapat dibenarkan karena sejalan dengan regim intervensi di
bawah hukum internasional. Intervensi berada dibawah mandat DKPBB, Perancis
memiliki tanggung jawab untuk mengevakuasi warga negara Perancis dan Eropa,
serta intervensi dilakukan untuk kepentingan demokrasi Pantai Gading dan
Afrika, menjadi justifikasi Perancis atas intervensi ke Pantai Gading. Meski,
menurut Simonen, pendapat ini dipengaruhi oleh interpretasi regim yang
memerintah di Perancis saat itu.
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini meneliti
faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri Perancis untuk melakukan
intervensi militer ke Pantai Gading pada 2011. Penelitian ini mencoba menjawab
mengapa Perancis melakukan intervensi militer ke Pantai Gading dengan
menggunakan teori faktor eksternal dan internal dari kebijakan luar negeri yang
dirumuskan oleh K.J. Holsti.
E. Kerangka Pemikiran
1. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri adalah sebuah aktifitas dimana negara sebagai aktor
melakukan aksi dan reaksi27. Politik luar negeri merupakan sintesis dari
tujuan-tujuan (kepentingan nasional) dan instrumen negara (power dan kapabilitas). Jika dilihat dari pengertian dan unsur-unsur fundamentalnya, politik luar negeri terdiri
27 Graham Evans dan Jeffrey Newnham,
The Penguin Dictionary of International Relations
dari dua elemen yaitu : kepentingan nasional yang akan dicapai dan instrumen
untuk mencapainya. Dalam unsur-unsurnya itu terdapat politik luar negeri semua
negara28.
Politik luar negeri sendiri bisa dibagi atas empat kategori, dibedakan
menurut keputusan-keputusan yang kritis, penting, dan rutin. Politik luar negeri
juga dapat dibedakan menurut kategori isu, seperti isu-isu militer, politik,
ekonomi, lingkungan, sumber daya, teknik, kultural, dan humaniter
(kemanusiaan)29.
2. Faktor Determinasi Politik Luar Negeri
Dalam prakteknya upaya mencapai kepentingan nasional melalui politik
luar negeri dipengaruhi oleh banyak hal. Holsti berpendapat bahwa politik luar
negeri suatu negara dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal30.
Faktor Eksternal adalah faktor-faktor non domestik suatu negara yang
memengaruhi negara dalam melakukan politik luar negeri atau mengeluarkan
kebijakan luar negeri. Struktur sistem internasional, kebijakan dari negara lain,
masalah global dan regional sektor privat, hukum internasional dan opini publik
global merupakan faktor ekternal yang memengaruhi pembuatan kebijakan luar
negeri.
28 .Theodore A.Coulumbis & James Wolfe,
Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power (Bandung: C.V Abardin 1990), 126
29 Theodore A.Coulumbis & James Wolfe,
Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power, 128
30 K. J. Holsti,
1.Struktur sistem internasional, yaitu tatanan internasional, unipolar,
bipolar, atau multipolar. Situasi ini berpengaruh pada pengambilan
keputusan kebijakan luar negeri, terlebih bagi negara-negara yang berada
pada pengaruh negara besar atau negara pusat polar.
2. Karateristik atau struktur ekonomi internasional. Faktor ini terdiri dari
tiga hal yaitu struktur ekonomi global, masih dalam keadaan polaritas atau
sudah mengalami globalisasi. Selanjutnya peran rejim ekonomi
internasional seperti World Bank dan IMF. Terakhir keadaan ekonomi
global saat itu
3. Kebijakan aktor atau negara lain, faktor ini adalah bentuk tanggapan
atau respon dari negara lain di luar negara atau aktor yang terlibat dalam
suatu kebijakan luar negeri.
4. Masalah global dan regional sektor privat merupakan masalah yang
dilakukan oleh aktor non-negara atau aktor privat. Masalah yang dimaksud
adalah masalah kontemporer dalam hubungan internasional seperti
pencemaran udara yang disebabkan oleh perusahaan swasta.
5. Hukum internasional dan opini publik, kebijakan suatu negara
dipengaruhi oleh hukum internasional yang berlaku pada negara tersebut
juga opini publik global terkait kebijakan yang akan dikeluarkan.
Faktor Internal adalah faktor domestik yang memengaruhi negara dalam
menyusun politik luar negeri atau mengeluarkan kebijakan luar negeri. Kebutuhan
opini publik domestik, Struktur Pemerintahan dan filosofi, birokrasi, dan
pertimbangan etik merupakan faktor internal atau domestik yang memengaruhi
pembuatan kebijakan luar negeri.
1. Kebutuhan sosioekonomi atau keamanan adalah faktor yang memengaruhi
keadaan sosio ekonomi atau keamanan domestik negara.
2. Karakteristik geografi dan topografi, kondisi geografi dan topografi sangat
memengaruhi keadaan sosial domestik. Sebagai contoh negara kepulauan
mempunyai kebijakan luar negeri yang berbeda dengan negara landlock
3. Atribut Nasional adalah karakteristik atau ciri umum suatu negara, seperti
atribut sebagai negara Islam. keikutsertaan suatu negara terhadap suatu
forum atau organisasi juga sebagai atribut suatu negara. Karakteristik
umum ini akan memengaruhi bentuk kebijakan luar negari suatu negara.
4. Struktur Pemerintahan dan filosofi. Struktur pemerintahan dan falsafah
yang dianut oleh sebuah negara secara langsung akan memengaruhi cara
pengambilan kebijakan dan kebijakan yang dihasilkan.
5. Opini Publik, yang dimaksud adalah pendapat masyarakat yang memiliki
kebebasan dalam berpendapat. Holsti menjelaskan untuk mengetahui
sejauh mana pendapat masyarakat berpengaruh harus di lihat dari siapa
6. Birokrasi, hal ini tertuju bagaimana proses perumusan kebijakan luar
negeri dirumuskan dan bagaimana kerjasama antar elemen dalam
pemerintahan dalam merumuskan kebijakan.
7. Pertimbangan etik adalah pertimbangan yang dilakukan oleh negara agar
tujuan kepentingan nasional dari kebijakan luar negeri yang keluarkan
Faktor Eksternal/ Sistemik
1. Sistem struktur (latitude of choice)
2. Karakteristik/struktur ekonomi dunia
3. Tujuan dan aksi dari negara lain
4. Masalah global dan regional
5. Hukum internasional dan opini dunia
Pengaruh Pengaruh
Aksi
Umpan balik
Faktor Domestik
1. Ekonomi sosial/kebutuhan kemananan
2. Karakteristik Geografi dan Topografi
3. Atribut Nasional
4. Struktur pemerintahan dan Filosofi
5. Opini publik
6. Birokrasi
7. Pertimbangan Etik
Umpan Balik
(sumber : K. J. Holsti 1992: 272)
Kepentingan dan tujuan
negara Proses
Selain faktor eksternal dan faktor domestik, terdapat faktor-faktor lain
yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri. Persepsi dan posisi
terhadap pengaruh dari perumusan kebijakan merupakan faktor lain selain faktor
eksternal dan domestik dalam perumusan kebijakan luar negeri yang terkait pada
elemen-elemen pembuat kebijakan luar negeri31.
Persepsi dari pembuat kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh pandangan
(image) terhadap situasi lingkungan yang berupa persepsi, evaluasi serta pemaknaan atas situasi yang terjadi pada lingkungan; sikap (attitudes) atau dapat diartikan sebagai tindakan yang muncul tentang objek, fakta atau kondisi, terkait
kebijakan luar negeri ini dapat dimaknai bagaimana pembuat kebijakan
menginterpretasi national interest atas situasi dan respon atas situasi yang terjadi; nilai-nilai (values) yang menentukan ke mana tindakan negara akan diarahkan, keyakinan (beliefs) yaitu pandangan pembuat kebijakan yang berasal dari dasar-dasar negara; doktrin dan ideologi (doctrine and ideologies) yang menghasilkan kerangka pemikiran melalui observasi pembuat kebijakan, membentuk pandangan
dunia terhadap negaranya, justifikasi untuk pilihan kebijakan luar negeri,
mengarahkan negara pada tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam
dasar-dasar negara yang mereka tetapkan; analogi (analogies) yaitu pembelajaran terhadap masalah saat ini berdasarkan pengalaman suatu isu di peristiwa-peristiwa
masa lalu.
Selain itu, Holsti juga menyatakan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh
faktor-faktor personal seperti, pertama, keahlian pembuatan kebijakan, kedua,
31 K. J. Holsti,
pembawaan karakter setiap pembuat kebijakan yang dapat memengaruhi orang
lain untuk berpikiran sama dengannya, ketika bertindak dalam suatu situasi, dan
ketiga, pathological traits,yaitu karakter yang menunjukkan kelemahan pembuat kebijakan ini.
3. Intervensi Militer
Intervensi mengacu pada tindakan aktor eksternal yang memenagruhi
keadaan domestik suatu negara berdaulat32. Intervensi merupakan bentuk hard
diplomacy untuk menyelesaikan konflik, terutama bagi negara yang dinilai tidak memiliki kapabilitas untuk menghentikan konflik.
Intervensi sebagai instrumen resolusi konflik memiliki beberapa prinsip
yaitu : impartiality atau imparsialitas adalah sikap dari intervener yang tidak melibatkan kepentingannya dalam tindakan intervensi, prinspi ini dapat juga
diartikan bahwa intervener harus bersikap netral; mutuality adalah prinsip mendasar dalam tindakan intervensi, antara intervener dan negara yang harus saling membantu dalam upaya penghentian konflik; sustainability atau berkelanjutan diartikan bahwa tindakan intervensi memberikan dampak
berkelanjutan serta menuju pada penghentian kekerasan dan rekonstruksi
pascakonflik; complementarity atau saling melengkapi, prinsip ini bertujuan saat intervensi dilakukan oleh pasukan multinasional untuk saling membantu demi
kepentingan yang lebih besar; reflexivity adalah prinsip yang membuat intervener agar mengingat tujuan intervensi dan batasan-batasan yang dimiliki; consistency
32 Joseph Nye,
merupakan prinsip yang menegaskan sikap konsisten dalam tindakan intervensi
agar tidak terjadi standar ganda; accountability, prinsip ini mengatur hubungan antara intervener dan atas nama siapa mereka bertindak, sehingga jelas atas otoritas siapa intervensi dilakukan; dan universality atau universalitas mengingatkan bahwa intervensi merupakan tindakan lintas batas negara dan
berdampak secara universal33.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan metodologi penelitian sosial
kualitatif. Menurut Salkind, metode kualitatif adalah “social or behavioral science research that explores the prosses that underline human behavior using such exploratory techniques as interviews, surveys, case studies, and other relatively personal techniques.” Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada penggunaan
teknik-teknik personal seperti wawancara dan studi kasus34. Metode kualitatif
didasarkan pada data-data primer dan sekunder yang didapatkan dari buku, jurnal,
artikel, wawancara serta sumber-sumber lain yang memiliki kesesuaian dengan
materi penelitian .
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam menganalisa kebijakan
Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading dilakukan dengan
menggabungkan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah
33Oliver Ramsbotham, dkk,
Contemporary Conflict Resolution (Cambridge: Polity Press, 2006),h.
277-283.
34 Neil J. Salkind,
dari wawancara dengan staf-staf perwakilan pemerintahan Perancis dan para pakar
isu terkait. Laporan resmi pemerintah juga dimasukan dalam data-data primer.
Sumber data sekunder bersumber dari buku, jurnal, surat kabar, dan artikel
yang terkait dengan subjek yang diteliti, baik melalui studi kepustakaan dan akses
internet. Sumber sekunder berupa studi kepustakaan didapat melalui kunjungan ke
Perpustakaan FISIP UIN Jakarta, Perpustakaan CSIS, Perpustakaan Kementerian
Luar Negeri, Perpustakaan Kedutaan Perancis, Perputakaan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Perpustakan Kementerian Pertahanan
Penelitian ini juga merupakan analisa data kualitatif berupa
penggambaran, penguraian, dan analisa fakta atau keadaan terkait kebijakan
Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading. Penelitian analisa kualitatif ini
difokuskan pada faktor eksternal dan internal yang memengaruhi kebijakan
Perancis dalam intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan dari penelitian. Dalam bab ini dijelaskan
latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
pemikiran, metode penelitian, serta sistematika penulisan dalam penelitian.
BAB II KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING
Bab ini menjelaskan sejarah dan dinamika konflik yang terjadi di Pantai
Gading, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan pengaruh konflik yang
BAB III KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA
KONFLIK DI PANTAI GADING TAHUN 2011
Bab ini menjelaskan peran dan keterlibatan Perancis di Pantai Gading,
sejak masa kolonial hingga saat terjadi konflik paska pemilu tahun 2011. Dalam
Bab ini juga dijelaskan sikap dan kebijakan Perancis terkait dinamika politik di
Pantai Gading.
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBIJAKAN
PERANCIS DALAM INTERVENSI MILITER DI PANTAI
GADING TAHUN 2010-2011
Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan Perancis
terkait intervensi militer ke Pantai Gading tahun 2011. Dalam bab ini dijelaskan
faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi Intervensi militer Perancis
ke Pantai Gading tahun 2011.
BAB V PENUTUP
Bab ini merangkum hasil penelitian mengenai intervensi militer Perancis
BAB II
KONFLIK SIPIL DI PANTAI GADING
Dalam hukum humaniter internasional, konflik bersenjata dibagi menjadi
dua, yaitu konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Pada kasus
Pantai Gading, awalnya konflik hanya terjadi di dalam batas negara kemudian
meluas sehingga menjadi konflik yang ter-internasionalisasi. Instabilitas ekonomi,
xenophobia35, dan kurangnya legitimasi institusi negara merupakan beberapa penyebab konflik.
A. Sejarah Konflik di Pantai Gading
Konflik yang terjadi di Pantai Gading yang terjadi pascapemilihan umum
tahun 2010 bukan konflik pertama di negara Afrika Barat tersebut. Ketegangan
politik sudah terjadi sejak tahun 1990 yang menjadi awal ketidakstabilan
keamanan di Pantai Gading hingga terjadi konflik pascapemilu tahun 2011.
Pantai Gading sebelumnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 7 persen pada dekade 1980-an berkat komoditas utamanya kakao.
Namun, memasuki dekade 90-an, harga kakao mengalami kemerosotan dan
berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi Pantai Gading yang
menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Krisis ekonomi secara tidak langsung
mengubah sistem pemilihan umum Pantai Gading36. Boigny yang telah menjadi
presiden sejak tahun 1960, untuk pertama kali menyelenggarakan pemilihan
umum multipartai. Padahal, sebelumnya pemilihan umum di Pantai Gading hanya
35
Xenophobia adalah ketakutan atau kebencian kepada orang dan sesuatu yang asing. Diunduh dari (http://www.merriam-webster.com/dictionary/xenophobia)
36Abdul Hadi Adnan,
diikuti oleh Parti Démocratique de Côte d’Ivoire (PDCI) sebagai satu-satunya partai yang berkuasa.
Pada tahun 1990, pemilu diselenggarakan akibat rangkaian protes yang
menentang pemerintahan Boigny. Protes tersebut terjadi akibat pemerintah saat itu
mencabut subsidi sektor pertanian serta melakukan penyederhanaan anggaran37.
Menanggapi kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, mahasiswa dan serikat
tani Pantai Gading saat itu melakukan demonstrasi untuk menuntut pemerintahan
yang lebih demokratis, demonstrasi berakibat bentrokan dengan polisi38. Melihat
demonstrasi yang semakin mengkhawatirkan, Presiden Boigny menyelenggarakan
pemilihan umum yang diikuti oleh partai selain PDCI.
Selain diikuti oleh PDCI sebagai partai pemerintah, Pemilu Pantai Gading
juga diikuti Front Populaire Ivoirien (FPI) yang mengusung Laurent Gbagbo sebagai calon presiden. Meski kembali dimenangi oleh Boigny, peristiwa ini
menandai kemunculan Gbagbo sebagai tokoh oposisi di Pantai Gading.
Kemenangan Boigny membuatnya meneruskan masa jabatan yang telah diduduki
sejak 1960.
Namun, hanya tiga tahun setelah memenangi pemilu multipartai
pertamanya, Felix Houphouët Boigny meninggal dunia. Pascameninggalnya
Boigny, jabatan Presiden Pantai Gading dijabat oleh Henri Konan Bedié yang
37Jennifer A. Widner, “The 1990 Elections in Côte d’Ivoire”,
Journal of Option, Vol. 20 no. 1
(1991), 31.
38Global Nonviolent Action Database, “Ivorians demand switch to multiparty democracy, 1989
-1990” diunduh pada 8 Maret 2014 dari
sebelumnya menjabat sebagai ketua Dewan Legislatif Pantai Gading39. Selama
memerintah, Bedié memperkenalkan konsep Ivoirité yang melarang orang yang bukan asli Pantai Gading untuk menempati posisi tinggi dalam pemerintahan
Pantai Gading. Konsep Ivoirité diduga digunakan oleh Bedié untuk menjegal niat dari Alassane Ouattara, mantan perdana menteri Boigny, yang ingin maju menjadi
presiden pada pemilu 1995, namun Ouattara merupakan keturunan Burkina
Faso40.
Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1995, Bedié yang menjadi
pengganti Boigny mengikuti pemilu pertama kali. Dalam pemilihan presiden kali
ini Bedié bersama Francis Wodié bersaing untuk menjadi presiden. Hasil pemilu
memenangkan Bedié. Pemilu ini tidak diikuti oleh Laurent Gbagbo yang
merupakan tokoh oposisi pemerintah. Tindakan ini diambil Gbagbo untuk
mendukung Alassane Ouattara yang tidak dapat mengikuti pemilu akibat
diskriminasi Ivoirité41.
Dalam pemerintahan Bedié setelah pemilu 1995, Pantai Gading
mengalami stagnansi ekonomi dan diskriminasi etnis akibat Ivoirité. Kondisi ini menyebabkan kelompok militer yang dipimpin oleh Jenderal Gueï melakukan
kudeta atas pemerintahan Bedié dan menghapuskan Ivoirité, meski demikian Ouattara masih dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum
selanjutnya karena dianggap sebagai entitas asing. Tindakan Gueï yang melarang
39Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition
in the 1990 and 1995 Elections”, African Affairs, vol. 96 no. 383 (1997): 220
40 Cyril K. Dadieh, “Elections and Ethnic Violence in Côte d’Ivoire: The Unfinished Business of
Succession and Democratic Transition”, African Issues. Vol. 29 no. ½ (2001):17 41Richard C. Crook, “Winning Coalitions and Ethno-regional Politics: The Failure of Opposition
keikutsertaan Ouattara dalam pencalonan presiden memunculkan pandangan
bahwa penghapusan Ivoirité hanya upaya untuk mengonsolidasi massa agar terpilih menjadi Presiden Pantai Gading42.
Pemilihan umum Pantai Gading tahun 2000, merupakan pertama kali
PDCI tidak berpartisipasi dan pemilu pertama Pantai Gading dalam pemerintahan
junta militer. Dalam pemilu ini, Gueï dan Gbagbo merupakan dua calon presiden
yang bersaing paling ketat. Meski pada akhirnya Gbagbo memenangkan
pemilihan, Gueï yang merasa masih memiliki dukungan dari militer tidak mau
menyerahkan kekuasaan junta militernya kepada Laurent Gbagbo yang terpilih
secara demokratis dan membubarkan Commission Electorale43.
Tindakan Gueï memicu perlawanan yang dipimpin oleh Gbagbo dan
memaksa Gueï untuk meninggalkan Pantai Gading. Setelah Gueï meninggalkan
Pantai Gading, pemerintahan dikendalikan oleh Gbagbo44. Dalam pemerintahan
ini, politik segregasi di negara Afrika Barat ini kembali berjalan ketika Gbagbo
mengekslusifkan pemerintahan kepada kelompok non-imigran yang merupakan
penduduk bagian selatan Pantai Gading dan kelompok penduduk bagian utara
yang dipandang sebagai entitas imigran tidak diikutsertakan dalam
pemerintahan45.
Pemerintahan eksklusif yang dijalankan Gbagbo memicu kekecewaan dari
kelompok militer yang mayoritas merupakan penduduk utara. Kekecewaan dari
42 Francis Akindès, “The Roots of MilitaryPolitical Crises in Côte d’Ivoire” (Uppsala: Nordiska
Afrikainstitutet, 2004), 21
43 Geir Skogseth, “Côte d’Ivoire: Ethnicity, Ivoirité, and Conflict” (Norway: Landinfo, 2006),16
44 Arnim Langer, “Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace” (Bath : Centre for Development
Studies University of Bath, 2010), 10
kalangan militer ini berakibat pada upaya kudeta terhadap pemerintahan Gbagbo
pada tahun 200146. Upaya kudeta ini tidak berhasil dan berdampak pada
terbaginya Pantai Gading menjadi dua bagian, bagian selatan dikendalikan oleh
pemerintahan Gbagbo yang terpusat di Abidjan dan bagian utara yang terpusat di
Yamoussoukro yang kuasai oleh Nouvelle Forces dibawah pimpinan Alassane Ouattara. Pemerintahan Abidjan menganggap kelompok Nouvelle Forces sebagai pemberontak sehingga perang saudara di Pantai Gading tidak dapat dihindari.
Pada Januari 2002, untuk menormalkan keadaan keamanan di negaranya,
Gbagbo mengundang Ouattara, Bedié, dan Gueï untuk melakukan rekonsiliasi.
Pertemuan tersebut menghasilkan pengakuan kewarganegaraan Ouattara47. Meski
telah mencapai rekonsiliasi, pada 13 September 2002, Gbagbo mengganti militer
yang diangkat selama masa Gueï berkuasa dan mengganti dengan loyalisnya.
Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran atas komitmen rekonsiliasi yang telah
dicapai dan menimbulkan kekecewaan dari kelompok militer48.
Pada 19 September 2002, perang sipil dimulai ketika kelompok militer
yang dinon-aktifkan Gbagbo menyerang kota Abidjan serta Bouaké dan Korhogo
di utara Pantai Gading. Tindakan militer ini dipandang oleh Gbagbo sebagai
percobaan kudeta yang dilakukan Gueï. Dalam serangan tersebut kota Abidjan
46Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire” (2014) diunduh dari
(http://www.securitycouncilreport.org/chronology/cote-divoire.php?pag)
47“Post-Election Crisis” diunduh pada 30 Maret 2014 dari
(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/elections.shtml)
48 Tom Ogwag,
berhasil dipertahankan Gbagbo tapi Bouaké dan Korhogo berhasil dikuasai oleh
pihak militer, meski Gueï dan istrinya tewas dalam kontak senjata yang terjadi49.
Menanggapi krisis yang terjadi di Pantai Gading Masyarakat Ekonomi
Afrika Barat atau Economic West Africa Society (ECOWAS) memprakasai Accra
Meeting I pada 29 September 2002, yang dihadiri oleh Laurent Gbagbo dan pemimpin negara-negara Afrika Barat. Pertemuan ini dinilai memberikan harapan
kepada proses perdamaian di Pantai Gading, meski mengalami kegagalan
dikarenakan isi dari pertemuan yang tidak direalisasikan dan Presiden Gbagbo
yang tidak mengakui eksistensi kelompok pemberontak50.
Menindaklanjuti Accra Meeting I, PBB melalui Utusan Khusus untuk Afrika Barat, Ahmedou Ould-Abdallah bertemu Laurent Gbagbo di Abidjan dan
Pimpinan MPCI (Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire), kelompok militer yang memberontak karena diberhentikan Gbagbo, di Bouaké untuk
membahas gencatan senjata yang dikenal sebagai Abidjan Cease-Fire Agreement. Keberhasilan Abidjan Cease-Fire Agreement ditindaklanjuti oleh upaya peningkatan perdamaian di Pantai Gading dengan diadakan pertemuan di Lomé
pada 1 November 2002. Pertemuan di Lomé menghasilkan Lomé Agreement yang menyetujui pemberian amnesti dan pembebasan kepada tahanan tentara yang
melakukan upaya kudeta serta ditugaskan kembali dalam militer Pantai Gading.
Namun, upaya perdamaian ini mengalami deadlock ketika MPCI meminta Gbagbo untuk mundur sebagai presiden serta penghapusan artikel 35 dalam
49Dwayne Woods “The Tragedy of Cocoa Pods: Rent Seeking, Land, and Ethnic Conflict in Côte
d’Ivoire”, The Journal of Modern African Studies vol. 41 no.4 (2003), 641 50 Prosper Addo,
Peace Making in West Africa: Progress and Prospects, (Accra: KAIPTC 2005) ,
Konstitusi Pantai Gading yang melegalkan konsep Ivoirité51. Tuntutan MPCI ditolak oleh Gbagbo dan meminta MPCI untuk melakukan penyerahan senjata
kepada pemerintah. Permintaan Gbagbo juga ditolak oleh pihak MPCI.
Perundingan antara dua pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan untuk
perdamaian dan penyatuan kembali Pantai Gading sehingga Lomé Agreement menghasilkan penempatan ECOWAS Force dan Licorne Forces di Buffer Area yang memisahkan kawasan utara dan selatan Pantai Gading.
Upaya mewujudkan perdamaian di Pantai Gading terus berlanjut. Pada 15
Januari 2003, Pemerintah Perancis, ECOWAS, Uni-Afrika, dan PBB
mempertemukan seluruh entitas politik Pantai Gading di Linas dan Marcoussis,
Perancis. Pertemuan ini bertujuan membentuk Goverment of National
Reconciliation yang mempertemukan semua faksi yang ada di Pantai Gading dengan tujuan menyatukan kembali Pantai Gading yang terpecah akibat krisis
politik. Setelah penandatanganan perjanjian Linas-Marcoussis, rekonsiliasi di
negara Afrika Barat ini tidak terealisasikan dengan efektif dikarenakan pihak
pemerintah dan pihak pemberontak memiliki interpretasi yang berbeda terkait
perjanjian yang mereka sepakati52.
Pada 4 November 2004, Laurent Gbagbo memerintahkan serangan udara
ke Bouaké yang menjadi basis pemberontak. Namun, serangan dengan pesawat
Sukhoi Su-25 pada 6 November itu menewaskan tentara Perancis yang tergabung
dalam Operasi Licorne untuk mendukung UNOCI(United Nations Operation in
51 Prosper Addo,
Côte d’Ivoire)53. Menanggapi serangan atas operasi perdamaiannya, Perancis atas perintah Presiden Jacques Chirac melancarkan aksi balasan dengan menyerang
kekuatan udara Pantai Gading di Abidjan dan menguasai pangkalan udara di
Yamoussoukro serta menambah kekuatan di Gabon untuk menanggulangi situasi
yang akan terjadi54. Akibat dari serangan Perancis, muncul kemarahan massa
pendukung pemerintahan Gbagbo yang menyerang entitas Perancis di Abidjan.
Penyerangan oleh massa bersenjata itu menimbulkan kontak senjata dengan
tentara Perancis yang memaksa Perancis mengungsikan warga negaranya dari
Pantai Gading55. Situasi di Pantai Gading semakin tidak terkendali.
Setelah beberapa upaya perdamaian yang gagal dan kondisi Pantai Gading
yang semakin terpuruk secara politik dan ekonomi akibat embargo yang
diberlakukan oleh PBB, Gbagbo mengajukan proposal perdamaian kepada
Uni-Afrika dan ECOWAS56. Proposal perdamaian tersebut kemudian dilanjutkan
dengan pertemuan antara Pemerintahan Gbagbo yang mengendalikan wilayah
selatan dan Nouvelles Forces yang menguasai wilayah utara di Ouagadougou, Burkina Faso pada Maret 2007. Perjanjian Ouagadougou merupakan upaya
perdamaian yang paling berhasil mengakhiri konflik sipil di Pantai Gading yang
bermula dari tahun 2002. Pascapenandatangan perjanjian ini pasukan perdamaian
53Giulia Piccolino, “David Against Goliath in Côte d’Ivoire ? Laurent Gbagbo’s War Against
Global Governace”, African Affairs (2011), 8
54 Jolien Schure, dkk , Natural Resources in Côte d’Ivoire : fostering Crisis of Peace (Bonn:BICC,
2010), 12
55“French foreign minister's visit is first since 2003” diunduh pada 4 Maret 2014 dari
(http://www.france24.com/en/20080614-french-foreign-ministers-visit-first-2003-ivory-coast-france)
PBB yang berjaga di buffer area ditarik dan proses pelucutan senjata yang dimiliki kelompok paramiliter dimulai57.
Pada 16 April 2007, Presiden Laurent Gbagbo menyatakan perang sipil di
Pantai Gading berakhir. Proses perdamaian pascaperjanjian Ouagadougou yang
ditandai dengan penyerahan senjata kelompok paramiliter juga diikuti dengan
reformasi regulasi terkait kewarganegaraan Pantai Gading untuk persiapan
pemilihan umum selanjutnya. Pada Oktober 2010, Pantai Gading
menyelenggarakan Pemilu pertama kalinya pascakonflik sipil 2002-2007, meski
sebelumnya dijadwalkan pada Juni 2008 yang tertunda akibat belum selesainya
penyerahan senjata dan daftar pemilih yang berhak memilih. Pemilu yang diikuti
oleh 5 juta penduduk Pantai Gading mempertemukan Laurent Gbagbo dan
Alassane Ouattara pada putaran akhir.
Pemilu Pantai Gading tahun 2010, merupakan pemilu yang kontroversial
karena kedua calon presiden mengklaim sebagai pemenang pemilu dan menjadi
Presiden Pantai Gading. Pengambilan sumpah Laurent Gbagbo sebagai Presiden
Pantai Gading untuk periode selanjutnya menimbulkan kemarahan oleh massa
pendukung Ouattara dan menimbulkan konflik baru seperti yang dijelaskan pada
bab sebelumnya.
57 Arnim Langer, Côte d’Ivoire’s Elusive Quest for Peace (Bath : Centre for Development Studies
B. Pihak yang Terlibat Dalam Konflik Sipil di Pantai Gading
Konflik di Pantai Gading melibatkan banyak pihak, baik dari dalam negeri
dan luar negeri. Perbedaan latar belakang politik dan identitas menjadi penyebab
beragamnya kelompok atau unit-unit politik yang terlibat dalam konflik ini.
Pihak pertama, FPI (Front Populaire Ivoirien) adalah partai yang berkuasa dalam pemerintahan Laurent Gbago. Partai ini dibentuk oleh para akademisi kritis
pada Pemerintahan Boigny. Sebelum pemilu 1990, partai ini masih merupakan
organisasi ilegal di Pantai Gading. Setelah diubahnya sistem pemilu maka partai
ini menjadi partai pertama yang masuk dalam parlemen selain PDCI. Pada konflik
pada 2002, partai ini memiliki kelompok simpatisan paramiliter yaitu Jeunes
Patriots. Ketika terjadi konflik terbuka, keterlibatan FPI diwakilkan oleh Jeunes Patriots, kelompok ini mendukung dan dipersenjatai oleh Laurent Gbagbo sehingga dapat menguasai daerah selatan Pantai Gading58.
Pada pihak kedua atau pihak yang berlawanan dengan FPI, dipandang oleh
Gbagbo sebagai pihak pemberontak Pemerintah resmi Pantai Gading. Pihak
tersebut adalah MPCI, MPJ, dan MPIGO. Kelompok-kelompok ini yang terlibat
konflik langsung dengan Jeunes Patriots saat konflik terjadi di Pantai Gading. Tindakan Laurent Gbagbo menonaktifkan tentara yang direkrut selama
pemerintahan junta militer Gueï dan menyebabkan upaya kudeta yang dilancarkan
oleh Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI). MPCI adalah gerakan yang dibentuk oleh militer yang dinonaktifkan Gbagbo. Gerakan ini adalah aktor
utama dari upaya kudeta Gbagbo pada September 2002, dan memiliki kekuatan
58“Main Actors of Ivory Coast’s Conflict” diunduh pada 30 Maret dari
sekitar 800 personel bekas pasukan Jenderal Gueï. Meski pada tahun 2002 gagal
menguasai Abidjan, gerakan ini berhasil menguasai Bouaké, kota terbesar kedua
di Pantai Gading, dan sebagian besar lahan pertanian coklat. Pemerintah Gbagbo
menuding kelompok ini sebagai pendukung Ouattara dan dibantu oleh negara lain
dikarenakan kebanyakan anggota gerakan ini berasal dari bagian utara Pantai
Gading 59
Tewasnya jenderal Gueï pada kudeta tahun 2002, menimbulkan
kemarahan dari penduduk bagian barat Pantai Gading yang memiliki kedekatan
kultural dengan suku Yacouba, suku asal Gueï. Kemarahan tersebut diwujudkan
dengan dikuasainya wilayah Man dan Danane oleh kelompok yang dikenal
sebagai Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO). Anggota gerakan ini dianggap bukan warga Pantai Gading dikarenakan berbicara dalam
bahasa Inggris dan dikaitkan dengan suku Gio yang berasal dari Liberia yang
punya hubungan kultural dengan suku Jenderal Gueï60.
Selain MPIGO, wilayah barat Pantai Gading juga dikuasai oleh gerakan
lain yaitu Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP). Muncul dengan alasan yang sama dengan MPIGO, MJP merupakan gerakan dengan kekuatan yang
relatif lebih kecil. Pada Desember 2002, menanggapi tindakan Perancis yang
menempatkan pasukan Licorne di Pantai Gading, MPCI, MPIGO, dan MJP
membentuk koasilisi yang di namakan Nouvelles Forces61.
59“Mouvement Patriotique pour la Côte d’Ivoire (MPCI)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari
(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpci.htm)
60“ Mouvement Populaire Ivoirien du Grand Ouest (MPIGO)” diunduh pada 30 Maret 2014 dari
(http://www.globalsecurity.org/military/world/para/mpigo.htm)
61“Mouvement pour la Justice et la Paix (MJP)”diunduh pada 30 Maret 2014 dari
Pada konflik pascapemilu 2010, pertikaian terjadi antara Nouvelles Forces yang mendukung Alassane Ouattara sebagai pemenang pemilu, sedangkan
Laurent Gbagbo didukung oleh kelompok paramiliter FPI, Jeunes Patriots. Ketika Perancis mengintervensi Pantai Gading tahun 2011, pasukan Perancis
mempersenjatai milisi Nouvelles Forces, meski sebelumnya gerakan ini pernah mencoba mengusir pasukan Perancis dari Pantai Gading di tahun 2002 62.
C. Internasionalisasi Konflik di Pantai Gading
Konflik Pantai Gading seperti kebanyakan konflik bersenjata di Afrika
yang awalnya konflik internal dengan cepat berubah menjadi konflik yang
melibatkan pihak lain di luar wilayah konflik. Konflik yang terjadi tahun 2002,
akibat kudeta atas pemerintahan Presiden Laurent Gbagbo menyebabkan korban
jiwa dalam jumlah besar dan gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga.
Semakin besar korban jiwa dan jumlah pengungsi dari konflik yang terjadi,
semakin memaksa komunitas regional dan internasional untuk terlibat dalam
penyelesaian pertikaian.
Mayoritas penduduk kawasan utara Pantai Gading adalah pendatang dari
Mali dan Burkina Faso, maka konflik ini melibatkan kedua negara ini secara tidak
langsung. Bagi Burkina Faso, situasi keamanan di Pantai Gading berpengaruh
besar, sebab kondisi geografis Burkina Faso merupakan negara landlock dan sangat bergantung pada pelabuhan di Pantai Gading untuk arus barang masuk.
UNDP menyebutkan pada Januari 2011, antara 20.000 sampai 30.000 pupuk,
beras dan gandum yang akan diimpor ke Burkina Faso tertahan di Pelabuhan
62“Gbagbo comes under attack from ground assault” diunduh pada 20 Agustus 2014 dari
Abidjan63. Sebagi negara landlock, Mali yang berbatasan langsung dengan Pantai Gading mengalami dampak akibat konflik ini. Data tahun 2011, menunjukkan
2.000.000 imigran asal Mali tinggal di Pantai Gading. Konflik Pantai Gading pada
tahun 2011, menyebabkan harga barang-barang di Mali naik hingga 50 persen 64.
Dampak dari konflik tidak hanya berdampak pada Burkina Faso dan Mali,
namun juga berdampak pada negara lain di regional Afrika Barat. Menanggapi
situasi yang semakin tidak menguntungkan baik karena arus pengungsi ke
negara-negara tetangga dan tertahannya arus barang, ECOWAS sebagai organisasi
regional terbesar di Afrika Barat berinisiatif untuk berperan dalam penyelesaian
konflik. Saat konflik tahun 2002, ECOWAS mengirim pasukan untuk
mengamankan buffer zone yang memisahkan wilayah utara dan selatan serta memfasilitasi beberapa upaya perdamaian65. Ketika konflik pascapemilu tahun
2010, ECOWAS kembali melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bertikai,
meski gagal, dan kembali mengirim pasukan untuk membantu pasukan
perdamaian PBB.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional
dengan pengaruh paling besar terkait dinamika dalam hubungan internasional,
menerapkan konsep responsibility to protect terkait situasi yang mengancam kemanusiaan. Konflik di Pantai Gading yang menimbulkan banyak korban sipil
membuat PBB ikut dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pantai
63UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective
from Ground” (2011), 5 diunduh pada 30 Maret 2014 dari (http://www.undp.org/africa)
64UNDP, “The Conflict in Côte d’Ivoire and It’s Effect on West African Countries: A Perspective
from Ground”, 8 65 Prosper Addo,
Gading. Respon PBB, khususnya Dewan Keamanan, mengenai situasi yang
berlangsung di Pantai Gading terus mengalami peningkatan mengikuti
perkembangan konflik. Setelah kudeta tahun 2002, pada 13 Maret 2003 DK PBB
mengeluarkan resolusi no. 1479 yang membentuk Mission des Nations unies en
Côte d'Ivoire (MINUCI) yang terdiri dari pasukan Perancis dan pasukan gabungan ECOWAS untuk memfasilitasi gencatan senjata dan implementasi
Linas-Marcoussis Agreement . Menindaklanjuti resolusi sebelumnya DK PBB kembali mengeluarkan resolusi no. 1528 untuk mengalihkan otoritas MINUCI kepada
Opération des Nations Unies en Côte d'Ivoire (ONUCI)66.
Serangan udara Pemerintah Gbagbo ke Bouaké yang melukai pasukan
perdamaian Perancis di tanggapi oleh DK PBB dengan mengeluarkan resolusi no.
157267. Penerapan resolusi ini berakibat pada diberlakukannya embargo senjata
atas Pantai Gading dan pembekuan aset individu yang melanggar HAM serta
mengancam upaya perdamaian dalam konflik ini. Resolusi ini kemudian diperkuat
oleh resolusi no. 1603, 1633, dan 172168.
Perjanjian damai yang ditandatangani di Ouagadougou ditanggapi oleh
DK PBB dengan dikeluarkannya resolusi no. 1765. Dengan dikeluarkannya
resolusi ini ,mandat ONUCI diperbaharui untuk mendukung pelucutan senjata
milisi dan persiapan pelaksanaan pemilu sesuai perjanjian Ouagadougou. Meski
kata damai hampir tercapai antara pihak yang bertikai di Pantai Gading, DK PBB
66
“UNOCI Mandate” diunduh pada 30 Maret 2014 dari
(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unoci/mandate.shtml)
67Robert Iztok dan Tomas Koziak “Ivory Coast- From Stability to Collapse. Failed States in Time
of Globalisation” (Ostrava:University of Ostrava, 2010), 4 diunduh dari
(http://conference.osu.eu/globalization/publ/10-istok_koziak.pdf.)
memperpanjang embargo senjata pada 29 Oktober 2009, dan melarang
perdagangan berlian dari negara ini69.
Meletusnya kembali konflik pascapemilu 2010, ditanggapi oleh DK PBB
dengan menambah pasukan perdamaian sebanyak 500 personel pada Desember
2010 dan menambah hingga 2.000 personel pada Januari 2011. Pada akhir Maret
2011, akibat dari kegagalan mediasi dan penolakan Laurent Gbagbo untuk turun
dari jabatan dan menghentikan konflik, DK PBB mengeluarkan sanksi kepada
Gbagbo berupa Resolusi No. 1975. Bentuk nyata dari resolusi ini adalah
diserangnya pangkalan milisi pendukung Gbagbo di Abidjan pada 4 April 2011,
kemudian penyerangan ke tempat tinggal yang diikuti dengan penangkapan
Gbagbo pada 10 April 2011 70.
69Security Council Report, “Chronology of Events Côte d’Ivoire”
BAB III
KEBIJAKAN INTERVENSI MILITER PERANCIS PADA KONFLIK DI
PANTAI GADING TAHUN 2011
A. Sejarah Keterlibatan Perancis di Pantai Gading
1. Periode Kolonial
Persaingan antar bangsa di Eropa dan Perang Salib yang terjadi di Timur
Tengah menyebabkan bangsa Eropa melakukan eksplorasi ke bagian dunia baru.
Perancis sebagai salah satu negara besar di Eropa juga melakukan penjelajahan
dengan tujuan ekspansi teritorial, ekploitasi sumber daya, dan misionaris. Afrika
yang secara geografis berdekatan dengan Eropa menjadi daerah pertama yang
menjadi tujuan kolonialisasi.
Perancis datang pertama kali ke kawasan Afrika Barat tercatat pada 1483.
Kedatangan bangsa Perancis ke Afrika Barat bertujuan untuk mengekploitasi
sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam bentuk perbudakan71. Kontak
antara Pantai Gading dan Perancis pertama kali terjadi pada 1637, saat Perancis
mengirim misionaris ke Assinie yang kemudian menjadi pos pertama Perancis di
Pantai Gading72.
Keberadaan Perancis di Teluk Guinea dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan
yang menguasai wilayah Pantai Gading modern. Pada 1843-1844, Kerajaan Kong
yang menguasai wilayah Pantai Gading modern melalui Raja Grand Bassam dan
Assinie melakukan perjanjian yang menempatkan wilayah kedua kerajaan tersebut
71 Robert E. Handloff, ed.,
Ivory Coast, (Washington D.C : Library of Congress, 1988) diunduh
pada 19 April 2014 dari (http://countrystudies.us/ivory-coast/5.htm )
72 Francis McNamara,
di bawah protektorat Perancis untuk berlindung dari serangan suku Agni dan
Boule73. Pedagang, misionaris, dan tentara dari Perancis mulai berdatangan
setelah wilayah tersebut berada dalam protektorat yang dimanfaatkan oleh
Perancis untuk memperluas kekuasaannya di Afrika sebagai respon untuk
mengimbangi kekuatan Inggris, Jerman dan Portugal.
Pada 1885, Inggris, Jerman, dan Perancis mengadakan pertemuan di Berlin
untuk mengatur kekuasaan wilayah-wilayah di Afrika guna menghindari
ketegangan antar negara-negara kolonial. Pascapertemuan di Berlin, Pantai
Gading secara resmi menjadi koloni Perancis di Afrika Barat pada tahun 1893.
Kolonialisasi Perancis di Pantai Gading mendapat perlawanan dari suku setempat
akibat dari kebijakan kolonial yang dinilai merugikan penduduk setempat dan
[image:51.595.113.510.223.652.2]menyalahi perjanjian protektorat yang disepakati terdahulu74.
Gambar III.1 Afrika Pasca-Perjanjian Berlin dan Sebelum Perang Dunia
Sumber : French in Black Africa, h. 30
73 Francis McNamara,
French in Black Africa, 23 74 Robert Pakenham,
Selama berjalannya kolonialisme di Pantai Gading, Perancis menerapkan
kebijakan asimilasi dan asosiasi. Dalam kebijakan asimilasi, Perancis menerapkan
bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, menanamkan nilai-nilai kebudayaan
Perancis di wilayah koloni, dan membentuk institusi hukum Perancis. Untuk
mencegah adanya perlawanan penduduk lokal Perancis menerapkan kebijakan
asosiasi yang mengizinkan hukum adat setempat selama tidak bertentangan
dengan kepentingan Perancis dan memberlakukan pembedaan hukum untuk orang
Perancis yang berkoloni dengan penduduk lokal75.
Pada 1904, Pemerintah Republik ketiga Perancis76 berupaya melakukan
sentralisasi terhadap koloni dengan membentuk Afrique Occidentale Française (AOF) atau Afrika Barat Perancis yang menjadi bagian dari Federasi Koloni
Perancis. Pembentukan AOF juga dilatar belakangi oleh abolisi perbudakan yang
diberlakukan. Berdirinya AOF memberikan kesamaan hak kepada penduduk yang
tinggal di wilayah koloni untuk mendapatkan kewarganegaraan Perancis77.
Saat terjadi Perang Dunia II, perubahan situasi politik di Eropa turut
memengaruhi situasi politik Pantai Gading yang tergabung dalam AOF. Ketika
Nazi Jerman menginvasi wilayah Perancis dan mendirikan Perancis yang
beribukota di Vichy. AOF kemudian berada dalam situasi memilih bergabung
dengan Perancis Vichy Nazi atau Perancis yang bebas dari Nazi pimpinan
75K.E. Robinson, “The Public Law of Overseas France since the War”
Journal of Comparative Legislation and International Law, Vol. 32, No. 3/4. (1950), 37
76 Perancis beberapa kali menganti sistem pemerintahan setelah masa Louis XVI, Perancis saat ini
merupakan Republik ke lima
77“Ivory Coast, Reform and French Community” diunduh pada 1 Juni 2014 dari
Jenderal Charles De Gaulle, AOF kemudian memilih bergabung dengan Perancis
Jenderal Charles De Gaulle. Pasca-Perang Dunia II, Republik Keempat Perancis
di bawah kepemimpin Charles De Gaulle memberikan hak politik kepada
penduduk koloni di Afrika karena dinilai loyal. Pemberian hak politik ini diikuti
dengan pemberian tempat perwakilan dari wilayah koloni Afrika dalam parlemen
Peranci