• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya Visual Thinking dalam Pembela

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pentingnya Visual Thinking dalam Pembela"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pentingnya Visual Thinking dalam Pembelajaran Geometri SMP

1

Oleh:

Intan Nur Ismi & Bagus Hidayatulloh

(Jurusan Pendidikan Matematika IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Abstrak

Visual thinking memegang peranan penting dalam keberhasilan pembelajaran geometri. Sebab siswa yang belajar tanpa mengandalkan visual thinking, rawan mengalami miskonsepsi (kesalahan konsep). Terlebih dalam pembelajaran geometri dimana objek kajiannya bersifat abstrak. Untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan visualisasi (visual thinking), guru harus terlebih dahulu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan siswa dalam metode pemecahan masalah, dan dari proses dan peran yang digunakan siswa dalam visualisasi di pemecahan masalah matematika. Jika visualisasi adalah inti pemecahan masalah matematika maka sangat penting bahwa baik guru dan siswa melihat peran visualisasi dan menggunakannya membantu mereka dalam proses mereka memecahkan masalah.

Kata Kunci : visualisasi, visual thinking, pemecahan masalah matematika, geometri

I. PENDAHULUAN

Geometri adalah salah satu cabang matematika yang diajarkan di bangku

sekolah. Meskipun telah diajarkan sejak jenjang sekolah dasar, namun pada

kenyataannya geometri masih dianggap sebagai materi yang sulit. Hasil survey

Programme for International Student Assessment (PISA) 2000/2001

menunjukkan bahwa siswa lemah dalam geometri, khususnya dalam pemahaman

ruang dan bentuk.

1

(2)

Kenyataan ini tentu dipengaruhi banyak faktor. Selain faktor pedagogis,

materi geometri itu sendiri merupakan materi yang membutuhkan kemampuan

visualisasi yang baik. Bahkan Stein (dalam I Gusti Agung Oka Yadnya, 2006)

sekalipun mengungkapkan bahwa objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak

jelas pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line.”

Tidak hanya cukup kemampuan visualisasi, namun juga kemampuan

visual thinking. Visual Thinking (Edy Surya, 2010) adalah suatu pemikiran yang

aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan

visual, interaksi antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan sebagai

tujuan dapat digunakan, dan canggih seperti berpikir verbal.

Visual thinking memegang peranan penting dalam keberhasilan

pembelajaran geometri. Sebab siswa yang belajar tanpa mengandalkan visual

thinking, rawan mengalami miskonsepsi (kesalahan konsep). Sebagaimana kasus

yang sering ditemui guru matematika dimana siswa terbiasa memahami rumus

secara terpisah dengan objek geometrinya. Akibatnya siswa hanya menghafal

rumus tanpa mengetahui kaitannya dengan objek geometrinya.

Menghindari miskonsepsi semacam itu, guru perlu melatihkan

pembelajaran yang berorientasi pada visual thinking.

II. PEMBAHASAN

Geometri merupakan salah satu cabang matematika yang dipelajari di

sekolah. Istilah geometri sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu geo yang artinya

bumi dan metro yang artinya mengukur. Sehingga dalam pengertian dasar,

Muhamad Fakhri Aulia (2007) mendefinisikan bahwa geometri adalah sebuah

cabang ilmu yang mempelajari pengukuran bumi dan proyeksinya dalam sebuah

bidang dua dimensi. Dalam pengertian yang lebih umum, Alders (1961)

menyatakan bahwa geometri adalah salah satu cabang matematika yang

mempelajari tentang titik, garis, bidang dan benda-benda ruang beserta

(3)

Di bangku sekolah, materi geometri tidak diajarkan secara khusus, namun

terintegrasi dalam satu kesatuan mata pelajaran matematika. Materi Geometri

dalam matematika SMP meliputi garis, sudut, bangun datar, kesebangunan,

bangun ruang, dan Pythagoras. Standar Kompetensi Lulusan yang dikeluarkan

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), khususnya menyangkut materi

Geometri adalah sebagai berikut:

Memahami bangun-bangun geometri, unsur-unsur dan sifat-sifatnya,

ukuran dan pengukuran, meliputi: hubungan antar garis, sudut melukis sudut dan

membagi sudut), segitiga (termasuk melukis segitiga) dan segi empat, teorema

Pythagoras, lingkaran (garis singgung sekutu, lingkaran luar dan lingkaran dalam

segitiga dan melukisnya), kubus, balok, prisma, limas dan jaring-jaringnya,

kesebangunan dan kongruensi, tabung, kerucut, bola, serta menggunakannya

dalam pemecahan masalah sehari-hari dan bidang lain.

Meskipun geometri sendiri telah diajarkan sejak jenjang sekolah dasar,

namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa geometri masih dianggap sebagai

pokok bahasan yang sulit. Terlepas dari faktor pedagogis, pembelajaran geometri

sendiri memang membutuhkan kemampuan visualisasi yang baik. Stein (dalam I

Gusti Agung Oka Yadnya, 2006) mengungkapkan, objek Geometri bersifat

abstrak. Hal ini tampak jelas pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a

geometric line.”

Keabstrakan objek geometri inilah yang menuntut siswa untuk mampu

memiliki kemampuan visualisasi. Visualisasi (Hershkowitz dkk, 1990: 75) atau

representasi adalah hal yang berhubungan dengan kemampuan menggambarkan,

mengubah, generalisasi, mengkomunikasikan, membuktikan, membayangkan

informasi visual, yang memainkan peran utama dalam memahami geometri.

Duval (1998) mendefinisikan bahwa visualisasi adalah satu dari tiga proses

kognitif bebas yang memenuhi fungsi epistemology khusus dalam geometri,

(4)

merupakan proses yang menyangkut kontruksi dan transformasi gambar-gambar

mental visual.

Arcavi (2003) menyatakan visualisasi matematika dengan kiasan sebagai “melihat yang gaib”. Ia menganggap matematika sebagai dunia yang lebih “abstrak” berurusan dengan benda-benda dan entitas cukup berbeda dari fenomena fisik, yang meningkatkan kebutuhan untuk bergantung pada visualisasi

dalam bentuk yang berbeda dan pada tingkat yang berbeda.

Visualisasi memainkan fungsi yang berbeda atau peran pada siswa

menggunakannya untuk memecahkan masalah. Ada tujuh (7) peran visualisasi

(Presmeg, 1986) : 1) Untuk memahami masalah. Dengan merepresentasi masalah

visual, siswa dapat memahami bagaimana unsur-unsur dalam masalah

berhubungan satu sama lain, 2) Untuk menyederhanakan masalah. Visualisasi

memungkinkan siswa untuk mengidenfikasi lebih sederhana versi masalah,

peme-cahan masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan

mengidentifikasi metode yang digunakan untuk semua masalah seperti itu, 3)

Untuk melihat keterkaitan (koneksi) ke masalah terkait. Ini melibatkan masalah

yang berkaitan yang diberikan sebelumnya dalam pengalaman pemecahan

masalah, 4) Untuk memenuhi gaya belajar individual. Setiap siswa punya

proferensi sendiri ketika menggunakan representasi visual ketika menyelesaikan

masalah, 5) Sebagai pengganti untuk komputasi/perhitungan. Jawaban masalah

dapat diperoleh secara langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa

memerlukan komputasi, 6) Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi

visual dapat digunakan untuk memeriksa kebenaran dari jawaban yang diperoleh,

7) Untuk mengubah masalah ke dalam bentuk matematis. Bentuk matematis dapat

diperoleh dari representasi visual untuk memecahkan masalah.

Visualisasi erat kaitannya dengan berpikir visual (visual thinking). Dimana

visual thinking adalah proses intelektual intuitif dan ide imajinasi visual, baik

dalam pencitraan mental atau melalui gambar (Brasseur, 1991 : 130).

Goldsmchmidt (1994) menyatakan bahwa visual thinking mengandalkan proses

berpikir bahasa gambar visual, bentuk, pola, tekstur, symbol. Namun Visual

(5)

bentuk struktur ide, itu adalah aliran ide sebagai gambar, diagram, penjelasan

model, lukisan yang diatur ide-ide besar dan penyelesaian sederhana.”

Visual Thinking juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang

aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan

visual, interaksi antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan sebagai

tujuan dapat digunakan, dan canggih seperti berpikir verbal. (Edy Surya, 2010)

Untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan visual thinking, penulis

akan menggambarkannya melalui sebuah contoh. Contoh berikut adalah proses

belajar geometri seorang anak yang dikaitkan dengan teori Bruner. Bruner (dalam

Hudoyo, 1988:56) menggambarkan tiga tahap perkembangan siswa yaitu

enactive, ikonic dan simbolic.

Pada tahap enactive, siswa belajar menggunakan/ memanipulasi

obyek-obyek secara langsung. Misalkan menunjuk sebuah penggaris segitiga sebagai

salah satu contoh segitiga. Pada tahap ikonic, kegiatan siswa mulai menyangkut

mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek. Misalnya siswa cukup

menggambar / mensketsa untuk menunjukkan segitiga tanpa bantuan benda

konkrit. Tahap terakhir yakni simbolic, siswa memanipulasi simbol -simbol secara

langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan obyek –obyek. Misalnya ketika

mendengar kata segitiga, dalam otak siswa telah terbentuk gambaran segitiga

tanpa perlu bantuan benda kongkrit ataupun sketsa.

Jika ketiga tahapan tersebut telah berhasil dilalui siswa, maka

pembelajaran bisa dilanjutkan dengan penanaman konsep segitiga. Mulai dari ciri,

sifat, bagian-bagiannya, macam-macamnya, luas dan keliling. Pada tahap

penanaman konsep ini, guru mulai perlu melatihkan kemampuan visual thinking

pada siswa. Sebelum mengajarkan cara menghitung luas segitiga, sebaiknya guru

menguji pengetahuan siswa tentang luas, bila belum memahami, guru bisa

menjelaskan terlebih dahulu pengertian luas, pengertian keliling dan

perbedaannya melalui representasi visual. Guru tidak boleh ragu membawa alat

peraga. Karena meskipun siswa telah melalui tahap simbolic untuk segitiga, tapi

tetap saja luas menjadi hal yang baru bagi siswa. Alat peraga disini berfungsi

(6)

Bila siswa telah mengenal pengertian luas dan keliling dengan baik, guru

bisa melanjutkan materi luas segitiga. Sebagian besar guru lebih suka

mengajarkan luas segitiga dengan rumus lansung. Namun, hal ini ternyata kurang

baik karena siswa akan menghafalkannya saja. Mengajarkan rumus luas segitiga

bisa melalui luas persegi panjang. Tentu siswa telah mengenal luas persegi

panjang sebelumnya. Jika sebuah persegi dipotong melalui salah satu diagonalnya,

maka akan terbentuk dua buah segitiga siku. Dengan kata lain, luas segitiga

siku-siku adalah setengah dari luas persegi panjang.

Pembelajaran seperti ini akan lebih bermakna karena siswa akan tahu

penurunan rumusnya sehingga meminimalisir terjadinya miskonsepsi. Sebaliknya,

pembelajaran dengan langsung menunjukkan rumus, akan rawan menimbulkan

miskonsepsi sebab tidak melibatkan visual thinking. Siswa hanya akan memiliki

pemahaman terpisah-pisah mengenai bentuk segitiga dan rumus luasnya.

Berikut adalah paparan contoh kasus miskonsepsi yang diakibatkan oleh

siswa yang terjebak dalam berpikir rutin (routine thinking). Dalam mempelajari

segitiga, disadari atau tidak, siswa lebih terbiasa menghafalkan bahwa rumus luas

segitiga adalah L = ½ a x t (setengah dikali alas dikali tinggi). Rumus ini tidak

terlalu menimbulkan masalah ketika diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, sebab

tingkat kesulitan soal di bangku SD masih terbilang sederhana dan sedikit variasi.

Gambar segitiga yang diajarkan di SD pun relatif sama, yakni alas segitiga berada

di bawah dan tinggi segitiga adalah garis yang tegak / vertikal.

Namun ketika hafalan rumus tersebut dibawa ke bangku SMP, bisa jadi

menimbulkan miskonsepsi. Sebagaimana yang kita ketahui tingkat kesulitan

materi di SMP semakin berkembang. Bukan mustahil akan ada gambar segitiga

yang mengecoh siswa. Misalnya alas segitiga yang biasanya ada di bawah kini

seolah-olah menjadi sisi miring segitiga. Bahkan mungkin ada soal yang sengaja

memberi simbol a untuk tinggi segitiga, dan sebaliknya simbol t untuk alas

segitiga. Siswa yang mengandalkan routine thinking kemungkinan besar akan

terkecoh dengan variasi soal seperti di atas.

Kasus lain terjadi pada pembelajaran materi lingkaran. Ketika ditanya

(7)

ketika ditanya luas dan keliling ¾ lingkaran, siswa yang mengandalkan routine

thinking akan menjawab luas 3/4 lingkaran = ¾ πr2 dan keliling ¾ lingkaran = ¾ πd. Tentu ini menjadi kesalahan fatal dan bertolak belakang dengan tujuan pembelajaran geometri (Budiarto, 2000: 439) yaitu untuk mengembangkan

kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan

pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta

menginterpretasikan argumen-argumen matematik.

Kemampuan visual thinking juga berperan penting untuk memecahkan

soal-soal yang membutuhkan penalaran tingkat tinggi, misalnya soal cerita atau

masalah terapan matematika. Jika kemampuan untuk memecahkan masalah

adalah jantung matematika, maka visualisasi merupakan inti pemecahan masalah

matematika.

Dalam konteks ini, visualisasi diartikan sebagai kemampuan untuk melihat

dan memahami situasi masalah. Memvisualisasikan suatu situasi atau objek melibatkan “Memanipulasi mental berbagai altenatif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan suatu situasi atau objek tanpa manfaat manipulative

kongkrit (MOE, 2001: 51). Visualisasi dapat menjadi alat kognitif yang kuat

dalam masalah pemecahan matematika hal ini ditandai sebagai ketrampilan yang

penting dalam pembelajaran dan penerapan matematika.

Visualisasi yang dilakukan oleh siswa melewati proses berikut ketika

memecahkan masalah matematika (MOE, 2001) :

1. Memahami hubungan unsur-unsur spasial (keruangan) dalam masalah

2. Keterkaitan satu sama lain ke pemecahan masalah.

3. Mengkonstruksi/membangun sebuah representasi visual (dalam pikiran,

pada kertas, atau melalui penggunaan alat-alat teknologi)

4. Menggunakan representasi visual untuk memecahkan masalah

5. Encoding jawaban atas masalah

Untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan visualisasi (visual

thinking), guru harus terlebih dahulu memperhatikan faktor-faktor yang

mempengaruhi pilihan siswa dalam metode pemecahan masalah, dan dari proses

dan peran yang digunakan siswa dalam visualisasi di pemecahan masalah

(8)

sangat penting bahwa baik guru dan siswa melihat peran visualisasi dan

menggunakannya membantu mereka dalam proses mereka memecahkan masalah.

Contoh Pembelajaran Matematika Materi Bangun Datar Persegi. Yakni dengan

meminta siswa menggambarkan sebuah pondasi rumah tipe 90 yang terdiri dari

(beberapa) persegi yang di lihat dari tampak atas. Disini akan tampak seberapa

besar kreatifitas siswa dan kemampuannya merepresentasikan / memvisualisasi

bangun.

Contoh soal lain untuk menguji kemampuan visual thinking siswa yaitu

sebagai berikut:

Sebuah kolam renang diketahui panjang kolam 60 meter, lebar kolam 20 meter dalam Kolam yang dangkal 1 meter dan kolam yang ujung satu lagi 5 meter. Dasar kolam renang landai dari yang dangkal hingga yang dalam. Jika kolam diisi penuh air. Permasalahan yang diberikan kepada siswa : a. Gambarlah situasi kolam renang tersebut.

b. Tentukan volume air kolam renang tersebut.

Seseorang akan dengan mudah menyelesaikan soal diatas bila ia mampu

memvisualisasikannya dalam bentuk sketsa lalu membuat model matematikanya.

Setiap individu mungkin akan berbeda-beda dalam memvisualisasikan. Dari

sinilah kita akan mengetahui kemampuan visualisasi seorang anak pada tingkatan

itu.

III. PENUTUP

Untuk menciptakan proses pembelajaran yang berorientasi pada visual

thinking, diperlukan kreativitas dan kompetensi guru dalam mengelola

pembelajaran. Beberapa model pembelajaran yang tepat diterapkan untuk melatih

visual thinking antara lain, Pembelajaran Matematika Realistik, Inkuiri, Problem

Solving, Problem Posing dan sebagainya.

Pembelajaran matematika berorientasi visual thinking di kelas juga harus

melibatkan semua siswa, guru harus inovatif mempunyai ide-ide baru. Guru harus

kreatif dan pembelajaran enak bagi guru dan siswa, sehingga pembelajaran yang

dilakukan tidak membuat siswa bosan atau pembelajaran yang dilakukan

(9)

REFERENSI

Alders, C.J. 1961. Ilmu Ukur Ruang. Jakarta: Noor Komala.

Arcavi A. 2003. The Role of Visual Representations in the learning of

mathematics Educational Studies in Mathematics, 52, 215-241.

Aulia, Fakhri M. 2007. Bisakah Arsitektur ‘Lari’ dari Geometri?. Jurnal teori dan

Desain Arsitektur Vol 1 No 1. www.arsitektur.net. Accessed September

27th, 2012.

Blanco, J.Lorenzo. 2000. Errors in the Teaching/Learning of the Basic Concepts

of Geometry. Journal of Science Teacher Education.

Graumann, G. 1999. Problem Fields in Geometry Teaching. Germany: /t, p/.

Oka Yadnya, I Gusti Agung. 2006. Problematik Pembelajaran Geometri di

Sekolah. Jurnal Penelitian SMPN 1 Singaraja.

Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals of Mathematics. Seventh Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Surya, Edi. 2010. Visual Thinking dalam Memaksimalkan Pembelajaran

Matematika Siswa dapat Membangun Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tahap pertama yang berjudul Pengembangan Model E-learning Adaptif Terhadap Keragaman Gaya Belajar Mahasiswa untuk Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran ini

Pada hari ini xamis tanggal Enam Eelas bulan Juni tahun Dua Ribu Enam Belas, Xelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Pekerjaan Rehabilitasi Atap Gedung kotor

Dalam arti peneliti akan mengkaji sistematis, faktual, cermat, dan akurat terhadap Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir, meliputi konsep tujuan, proses,

[r]

Mikrostruktur bahan biomaterial ASPn+KMTn yang diaplikasikan pada struktur dentin menunjukkan tag like structure lebih banyak dibandingkan MTA yang berarti sealing ability

hanya kepada Allah SWT, simpulnya terletak pada Syahadah, dan Syahadah dari sisi pendidikan tidak lain adalah sebuah pernyataan “pembebasan” da ri segala macam belenggu

PENGEMBANGAN SIKAP BERTANGGUNG JAWAB SISWA MELALUI MODEL HELLISON DAN CANTER ASSERTIVE. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

PENGEMBANGAN SIKAP BERTANGGUNG JAWAB SISWA MELALUI MODEL HELLISON DAN CANTER ASSERTIVE.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |