• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Eksistensi Hadis Dalam Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep dan Eksistensi Hadis Dalam Islam"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DAN EKSISTENSI HADIS

Pendahuluan

Urgensi hadis nabi—baik dalam studi Islam maupun implementasi ajaran Islam—bukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan ulamanya. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-Qur’a>n.1

Bahkan, hadis merupakan ‚sumber mata air‛ yang menghidupkan peradaban Islam,

menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

Imam Al-Nawawi rahimah}ullah menjelaskan posisi strategis studi hadis ini

sebagai berikut: ‚Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang

berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari aspek sahi>h, hasan dan d}o’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}ol, maqlu>b,

masyhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir,dstnya.‛ Al-Nawawi berargumen bahwa syari’at

Islam dilandaskan atas al-Qur’a>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah furu‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas (muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qad{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan ini—menurut an-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT yang paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW. 2

Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syari’at,

1 DR. Abdullah Hasan al-Haditsi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3

(2)

menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya.3

Intensitas kajian dalam aspek al-riwa>yah, al-dira>yah dan fiqh hadis dari zaman ke zaman diorientasikan untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan kandungan hukum dan hikmahnya. Para ulama hadis meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis dan melakukan dokumentasi dan kodifikasi dengan berbagai macam metode untuk memudahkan akses terhadap hadis.

Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang konsep hadis, eksistensi serta otoritas (hujjiyah)-nya dalam syari’at Islam sebagai pengantar mengkaji berbagai aspek dan cabang ilmu hadis.

Ontologi dan eksistesi hadis dalam perspektif kajian keilmuan

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara sederhana ontologi dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada). 4 Setiap disiplin ilmu mempunyai objek penelaahan yang jelas dan landasan ontologis yang berbeda-beda. Adapun epistemologi merupakan gabungan dari dua kata yaitu episteme dan logos yang keduanya berarti teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi dapat didefiniskan sebagai ilmu yang membahas pengetahuan dan cara atau teknik dan prosedur untuk memperolehnya. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan secara ilmiah yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah.5 Sementara itu, aksiologi atau juga disebut teori nilai,6 adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu.7

3 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6 4 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 69

(3)

Landasan penelaahan suatu ilmu terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiganya perlu diuraikan dalam upaya menggambarkan hakikat keberadaan ilmu.8 Dalam konteks ini, ilmu hadis9 sebagai suatu pengetahuan ilmiah, tentunya harus memenuhi syarat ontologis, epitemologi dan aksiologi tersebut.

Secara ontologis, ilmu hadits adalah ilmu yang membahas mengenai sesuatu yang datang dari Nabi baik ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat fisik dan kepribadiannya. Objek yang diteliti adalah sanad dan matan hadits.10 Ilmu ini dibagi

menjadi dua, yaitu ilmu hadith dirayah atau ilmu dirayah hadith dan ilmu al-hadith riwayah atau ilmu riwayah al-al-hadith.11 Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang

mencakup informasi tentang perkataan Nabi SAW, perbuatan, taqrir maupun s}ifat beliau, tentang cara periwayatan dengan penukilan redaksi secara teliti. Termasuk

di dalamnya juga informasi tentang sahabat dan tabi’in menurut mayoritas ahli

hadis.12 Topik pembahasan ilmu riwayat hadis adalah perkataan, perbuatan dan sifat-sifat dari segi penukilan. Ilmu ini mencakup pembahasan tentang segala yang berpautan dengan lafal dan periwayatan. Adapun, Ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat yang mencakup syarat, macam dan hukumnya serta keadaan perawi yang mencakup syarat, jenis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya. Obyek pembahasan ilmu ini adalah sanad dan matan hadits. Jadi hakikatnya ilmu hadits adalah ilmu yang dirancang untuk mengetahui keorisinilan dan tata cara periwayatan hadits yang benar dari Rasulullah.13

Adapun dari aspek epistemologi, menurut Ibnu Sholah, Ilmu hadis mencakup pembahasan 75 cabang ilmu, diantaranya ma’rifah as-sahih min al-hadith, ma’rifah

al-hasan, ma’rifahal-dha’if, ma’rifah al-marfu’, ma’rifah mukhtalaf al-hadith,

ma’rifah t}abaqat al-ruwah wa al-‘ulama.14 DR. Hamzah al-Malibary meringkas

bahwa ilmu hadis mencakup empat bagian utama yaitu ‘ilm al-riwayah, qawa’id al

8 Adib, Filsafat Ilmu, 67

9 Disebut juga ilmu mus}t}alah al-H}adi>th atau ’ Ilm Us}u>l al-H}adi>th.

10 Mahmud Thahhan. Taisir Mustalah al-Hadith (Iskandariyah: Dar al-Huda> li al-Dirasah, 1415), 15 11 Nuruddin ‘Itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), 30

12 Ibid., 31

13 Abu Mu’adz Tariq bi ‘Iwad{allah, al-Madkhal ila ‘Ilm al-Hadith (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi dan Dar Ibn Affan, cet. 2, 1428 H/2007 M), 22. Muhammad S{iddiq al-Minshawy, Qamus Mustalahat al-Hadith al-Nabawy (Kairo : Dar al-Fadhilah, tt), 80

14 Ibnu Salah, Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadith, ed. Abdul Latif al-Hamum dan Mahir Yasin Fahl

(4)

tashih wa al-ta’lil, ‘ilm jarh wa al-ta’dil dan fiqh al-hadith.15 Namun, perlu

ditambahkan juga cabang ilmu hadis yang penting dewasa ini yaitu sejarah perkembangan ilmu hadis.

Dari aspek aksiologi, nilai guna ilmu hadis merujuk kepada kedudukan hadis sebagai marja’iyah al-‘ulya fi al-Islam ba’da al-Quran (referensi/acuan nilai yang tertinggi dalam Islam setelah Al-Quran). Kandungan pesan yang termuat dalam

hadis menjadi landasan dan pedoman keyakinan (akidah), hukum (syari’ah), dan

etika dan moralitas (akhlak dan adab) bagi kaum muslimin.16 Nilai guna ilmu hadis, antara lain; (1) untuk mengetahui hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk istidla>l dan istinba>t} dalam ijtihad dalam berbagai persoalan agama, (2) menguatkan ke-thiqoh-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis yang telah diverifikasi validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi SAW, (3) sebagai keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah,17 (4) menjaga orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan (tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat dan isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis.18

Terminologi yang berkembang seputar Hadis

Dalam referensi ilmu hadis, term yang berkembang dan dipakai luas seputar hadis tidak hanya satu yaitu hadis, namun juga al-sunnah, al-khabar dan al-athar. Keempat term tersebut ada yang mengartikan sama dan ada pula yang mengartikan berbeda. Tentunya, beragam terminologi ini perlu diklarifikasi maknanya sesuai dengan definisi dan konteks penggunaan masing-masing agar tidak menimbulkan kerancuan dan kesalahan persepsi (misunderstanding).

a. Hadis

15 Hamzah al-Malibary, Ulum al-Hadith fi D{au’ Tatbi>qa>t Muhadithin al-Nuqa>d (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 1423 H/2003),16

16 Lihat Israr Ahmad Khan, Authentication of Hadith –Redefining the Criteria (London: The

International Institute of Islamic Thought, 1431 HH/2010 CE), XIII

17 Mustafa al-Khan dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Taba’ah wa al-Nashr, ttt), 18

(5)

Arti kata hadis secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki empat macam arti,19 yaitu:

1. Hadis berarti khabar dan berita (al-Khabar wa al-naba>’), seperti tersebut dalam QS. An-Nazi’at: 15 dan al-Ghasyiyah: 52.

2. Hadis bersinonim dengan al-kala>m, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah SWT (QS. Az-Zumar: 23) ah}san h}adi>th dalam ayat ini artinya ah}san al-kala>m (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50

3. Hadis bermakna al-jadi>d (baru) sebagai lawan dari al-qadi>m (lama). Makna ini merupakan arti dasar dari kata al-hadis, yang kemudian digunakan untuk al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up to date dan berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai sesuatu yang baru.20

Konteks penggunaan kata hadis dalam ilmu hadis, tidak terpaut jauh dari makna etimologis di atas. Hadis merupakan sesuatu yang berisi informasi (al-khabar wa al-naba>’) dari kala>m Nabi SAW yang bersifat jadi>d bila dibandingkan dengan kala>m Allah SWT. 21

Adapun secara terminologis, di kalangan ahli hadis, setidaknya ada tiga versi pendapat tentang pengertian hadis secara istilah, yaitu:

(1). Perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—dan perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat khususnya, termasuk gerak dan diamnya, bangun dan tidurnya.22 Dengan demikian hadis hanya terbatas pada hadis marfu’ saja. Hadis sinonim dengan sunah Nabi. (2). Khusus untuk perkataan Nabi SAW. Dalam hal ini hadis adalah antonim dari sunah dimana sunah adalah amalan dan perbuatan Nabi SAW yang diteladani (t}ariqah ‘amaliyah) dan merupakan penjelasan praktis Nabi SAW tentang ajaran

19 Lihat Ibnu Mandhur. Lisan al-‘Arab. (Mesir, maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M) juz 2/hlm 507. Majma’ Lughah ‘Arabiyah Idarah ‘A<mmah li Mu’jama>t wa ihya’ al-Turoth, al-Mu’jam al-Was>it} (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 190 . 20 lihat As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, 1/hlm. 42. Makna al-h}adi>th sebagai al-jadi>d, merupakan pasangan kata al-qadi>m untuk al-Qur’an, lihat Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa

Must}alahuhu; ‘Ard{un wa Dirasatun, h. 5

21 Dalam Al-Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata hadith seperti dalam QS. Al-Thur: 34, Thoha : 9, Al-Dzariyat : 24, Al-Mursalat : 50, Al-Nazi’at : 15, dll. Sementara di dalam hadis Rasulullah SAW, kata hadith misalnya dapat ditemui dalam riwayat al-Bukhari no. 771 Al-Bukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah, cet. 1, 1400 H) Juz 1, 250.

(6)

Quran dan bersifat mutawatir.23 Definisi ini merujuk kepada pengertian bahasa

(etimologis) hadis yang berarti al-kalam (perkataan). Dalam atsar salaf di kalangan ulama hadis terdapat indikasi pembedaan ini. Abdurrahman bin Mahdi ketika ditanya tentang Malik bin Anas, al-Auza’y dan Sufyan bin ‘Uyainah menjawab: ‚al

-Auza’y adalah imam dalam masalah sunah tapi bukan imam dalam masalah hadis.

Sufyan adalah Imam dalam masalah hadis dan bukan imam dalam masalah sunah. Adapun Malik adalah imam dalam kedua hal tersebut‛.24

(3). Perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—,perbuatan, persetujuan Nabi atas sesuatu hal (taqrir), sifat fisik (khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus sebagai Nabi (qabla al-bi’tsah) atau sesudahnya (ba’da al-bi’tsah), termasuk pula biografi (sirah) dan peperangan (ghazawa>t) yang terkait kehidupan dan dakwahnya. Demikian pula, hadis mencakup perkataan dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan tabi’in. Dengan

demikian hadis meliputi riwayat yang marfu’, mawqu>f dan maqt}u>’. 25

Menurut DR. Nuruddin ‘Itr, definisi yang ketiga adalah definisi yang paling tepat.26 Hal ini dapat dibuktikan dengan realita dalam kitab-kitab hadis yang ada yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu’ kepada Nabi, namun juga hadis yang mawqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u>’ (perkataan tabi’in).27 Bahkan

dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab hadis seperti

al-muwatho’, al-jami’ ash-sahih, as-sunan, terkandung di dalamnya hadis nabawi, perkataan (aqwa>l) shahabat dan tabi’in. 28

23 As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, hlm. 5

24 Manahij Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiyah. Ad-Difa’ ‘an as-Sunnah. (Kode bahan. GUHD5303). Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiyah. Hlm. 14

25 Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. Al-Wasith, hlm. 15-16, As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi

Syarh Taqrib an-Nawawy,. 1/43 . Pengertian yang luas semacam inilah yang dipilih oleh DR.

Nuruddin ‘Itr dalam Nuruddin ‘itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), hlm. 26 dan Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah dalam al-Wasith fi ‘Ulum

wa Mustholah al-Hadits, hlm. 16. Dalam konteks penyebutan umum (mutlaq), al-hadis diasosiasikan

dengan khobar marfu’ dari Nabi SAW. Kemudian akan mempunyai makna khusus (muqayyad) jika disertai qari>nah (indikasi lain) tertentu seperti dalam kalimat ‚Hadis Abubakar‛, ‚hadis Qotadah‛ yang bermakna atsar. (ta’liq Abu Mu’azd Thariq bin ‘Audhillah dalam As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi

Syarh Taqrib an-Nawawy, hlm. 42-3), Ali Hasan al-Halaby, An-Nukat ‘ala Nuzhat al-Nadzar, hlm. 52

(footnote)

26 Nuruddin ‘itr, Manh}aj al-Naqd, hlm. 26 27 Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith hlm. 16

28 Adapun dalam penyebutan secara umum dan kebiasaan para ahli hadis, konteks pemakaian istilah

hadis adalah segala hlm yang terkait dengan yang bersumber dari Rasulullah SAW dan tidak digunakan kepada orang lain selain beliau kecuali jika penyebutannya dalam konteks yang bersifat khusus dan tertentu (muqoyyad). Lihat catatan kaki dari Ali Hasan al-Halaby al-Atsary. An-Nukat

(7)

b. Sunnah

Secara etimologis, Sunnah berarti al-t}ariqah dan al-sirah. 29 yang berarti

jalan, cara atau metode. Makna asal dari kata al-sunnah bermakna jalan yang dirintis dan ditempuh oleh orang terdahulu sehingga menjadi jalan yang selalu diikuti dan dilalui oleh orang-orang yang datang kemudian.30 Sunnah mencakup juga jalan yang dilalui hal itu baik ataupun buruk, atau jalan yang ditempuh kemudian diikuti orang lain, ataupun cara, arah, mode, peraturan, dan gaya hidup, kebiasaan (tradition) dalam hal yang positif ataupun negatif.31 Rasulullah SAW bersabda: ....Man sanna fi al-Islam sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man ‘amila biha ba’dahu min ghair an yanqus}a min ujurihim shai’un.32

Para ulama fiqh menyebutkan istilah sunnah sebagai sesuatu perbuatan yang berpahala jika dikerjakan dan diberikan sanksi dosa bila meninggalkannya.33 Dalam istilah sebagian ahli hadis, sunnah adalah apa saya yang dikaitkan dengan Nabi SAW saja, namun mayoritas ulama hadis menetapkan bahwa sunnah mencakup pula apa

yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.34 Dengan demikian, sunnah menurut ulama hadis sinonim dengan hadis.

Adapun para ulama disiplin ilmu lain mendefinisikan hadis dalam perspektif keperluan bidang keilmuanya seperti ahli Us}u>l adalah segala hal yang datang dari Nabi (selain al- Qur’an), baik perkataan, perbuatan maupun taqri>r yang pantas

menjadi dalil hukum shara`. Menurut ahli Fiqih adalah segala hal yang datang dari

29 Al-Jurjany, Mujam al-Tarifa>t, 105Al-Qa>mus al-Muhi>t}, materi sunan h. 1558 dan Lisa>n al-‘Arab Juz 3 h. 2124

30 Lisa>n al-‘Arab Juz 3 h. 2124

31 Di dalam ayat-ayat Al-Quran, terdapat beragam penggunaan kata dimaksud seperti; Sunan

alladhi>na min qablikum atau jalan orang-orang sebelum kamu(QS. An-Nisa : 26), sunnat al-awwalin

(QS. Al-Anfal : 38), wa la>> tajidu li sunnatina> tah{wi>lan (QS. Al-Isra’ : 77), sunnah Allah (QS. Al-Fath : 23), dll. Secara umum, penggunaan kata sunnah dalam Al-Quran menunjukkan makna al-t}ariqah wa

al-‘adah (jalan yang ditempuh dan kebiasaan yang berlaku). Sementara dalam hadis Rasululah,

terdapat dalam hadis Rasulullah SAW : latattabi’unna sanana man kana qablakum shibran bi shibrin.. (HR. Al-Bukhari dalam Fath al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya’ Bab Dhikru Bani Israil, hadis no. 3456 dari Abu Sa’id al-Khudry RA), juga dalam hadis : ... fa man raghiba ‘an sunnaty fa laisa minny (HR. Bukhari dalam Fath al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab al-Targhib fi al-Nikah, hadis no. 5063 dari Anas bin Malik RA), Hadis : S{allu qabla al-Maghrib—qala fi al-thalithah—liman sha’a,

karahiyatan an yattakhidhaha al-nas sunnatan (HR. Al-Bukhari dalam al-Fath 3/60, Kitab al-Tauhid,

bab al-S{alah qabl al-Maghrib, hadis nomor 1183 dari Ibnu Buraidah RA). Ibnu al-Hajar menjelaskan maksud sunnah dalam hadis ini adalah shari’atun wa t{ariqatun la>zimah.(ibid).

32 HR. Muslim 4/2059 Kitab al-‘Ilm Bab Man Sanna sunnah hasanah aw sayyi’ah hadis no. 15 (1017). 33 Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 138

34 Itr, Manhaj al-Naqd, 28. Namun istilah sunnah lebih banyak berkaitan dengan Nabi SAW dan para

(8)

Nabi yang tidak berkaitan dengan fard}u dan wajib. Sunnah merupakan lawan bid`ah.35

Sebagaimana pendapat‘Itr, bahwa term sunnah lebih banyak dipakai oleh para ulama ushul fiqh, sementara term hadis, lebih banyak dipakai oleh ulama hadis. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW yang meliputi perkataan atau perbuatan atau ketetapan (taqrir) saja. Hal ini karena

konteks pembahasan mereka terkait sunnah sebagai sumber penetapan syari’at (masdar tashri’). 36 Sementara ulama hadis, mengkategorikan ‚sifat‛ sebagai bentuk

sunnah. 37

Penulis sependapat dengan S{ubhi S{aleh yang menolak adanya klaim sinonim antara sunnah dan hadith, menurut tinjauan etimologis maupun terminologis.38 Sunnah lebih berkaitan dengan perbuatan (af’a>l) Nabi SAW dan lebih berorientasi aplikatif-fiqhy (living tradition) dari cara hidup (tariqah) Nabi SAW yang menjadi kebiasaannya (al-‘adah). Hal ini didukung keumuman konteks penggunaan term ini dalam hadis-hadis Nabi SAW.39

c. Khabar

Khabar adalah suatu informasi yang berimplikasi pembenaran atau pendustaan.40 Menurut S{ubhi S{a>lih, khabar lebih dekat untuk dianggap sinonim dengan hadis karena tahdith adalah bentuk ikhbar dan hadis Rasulullah SAW adalah

jenis khabar yang marfu’ kepada Rasulullah SAW.41 Sejalan dengan pendapat tersebut, ‘Itr menilai bahwa hadis, khabar dan athar, ketiganya memiliki arti yang sama yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat jasmani (fisik), maupun sifat kepribadian (akhlak), termasuk pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.

35 Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, 186 36 Idem, 28

37 Menurut penulis, memasukkan istilah ‚sifat khilqiyah‛ ke dalam definisi ‚sunnah‛ tidak tepat

karena akan janggal jika dipahami dalam konteks hadis ‘alaikum bi sunnatiy..

38 Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa Must}alahuhu; ‘Ard{un wa Dirasatun, h. 6

39

Di antaranya hadis Rasulullah SAW : latattabi’unna sanana man kana qablakum shibran bi shibrin.. (HR. Al-Bukhari dalam Fath al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya’ Bab Dhikru Bani Israil, hadis no. 3456 dari Abu Sa’id al-Khudry RA), juga dalam hadis : ... fa man raghiba ‘an sunnaty fa laisa minny (HR. Bukhari dalam Fath al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab al-Targhib fi al-Nikah, hadis no. 5063 dari Anas bin Malik RA).

(9)

Menurut penulis, ruang lingkup term khabar adalah yang paling luas. Secara bahasa, domain conten khabar mencakup informasi apa saja, bukan hanya terkait Nabi SAW. Dalam praktek para perawi pun, mereka tidak membatasi periwayatan hanya informasi Nabi SAW tetapi juga selain Nabi SAW.

d. Athar

Dalam Nukhbat al-Fikar, Ibnu Hajar mensinyalir adanya pendapat sebagian muhadithin yang mengkhususkan istilah atha>r untuk khabar yang mawqu>f dan

maqthu’.42 Menurut An-Nawawi khabar yang marfu’ ataupun mawqu>f semuanya disebut athar. Beliau menolak bahwa pendapat para ulama fiqh negeri Khurasan yang membedakan bahwa athar untuk khabar yang mawqu>f.43 ‘Itr sepakat pendapat

al-Nawawi dengan alasan bahwa istilah athar sinonim dengan hadis yang bukan

hanya marfu’, tapi juga mawqu>f dan maqthu’.44

Menurut penulis, walaupun dalam pemakaianya istilah atha>r bersifat global yang mencakup hadis Nabi. Namun, jika pemakaiannya bersamaan dengan penyebutan istilah hadis, maka atha>r lebih menunjukkan makna perkataan sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in (al-qurun al-thalathah al-mufad}alah).45

Sebagai kesimpulan dari sub bahasan ini, berikut urutan ruang lingkup dari yang paling luas cakupan maknanya ke paling sempit dari keempat istilah tersebut;

Namun sejalan dengan pendapat S{ubhi S{a>lih, diskursus tentang perbedaan antara istilah (hadis, khabar, sunnah dan athar) tidak terlalu urgen dan substansial.46

42 Ibnu Hajar, Nukhbat al-Fikar, ed. Abd al-Hamid bin Salih alu a’waj (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1,

2006 M) h. 326

43 As-Suyuthi, Tadrib al-Rawy (Kairo: Dar al-Hadith, 1431H), 147 4444 Itr, 29

45Atha>r dari tiga generasi ini menjadi penting dalam wacana keislaman dengan adanya persaksian Rasulullah SAW terhadap mereka sebagai generasi terbaik. Lihat Shahih al-Bukhari Juz 2 hlm. 251, hadis nomor 2651, 2652.

46 Ibid, 11

(10)

Macam-macam Kategori hadis :47

Kehujjahan/otoritas hadis (H{{ujjiyah al-Hadith)

Kata hujjjah menurut bahasa adalah alasan atau bukti, yaitu sesuatu yang menunjukkan kepada kebenaran atas tuduhan atau dakwaan, dikatakan juga hujjah dengan dalil.48 Adapun, landasan normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan marja’ (rujukan) bagi ajaran Islam adalah sebagai berikut;

a. Al-Quran

 Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan (tabyi>n) al-Quran.49 Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan Al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri.50 Kalau

47 Lihat Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisir Must}alah al-Hadi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasa>t, cet. 7, 1405 H), Ima>d ‘Ali Jum’ah, Must}alah al-Hadith al-Muyassar (Riyad} : Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, cet. 1, 2005)

48 Al-Jurjany. Mu’jam Al-Ta’rifa>t, ed. Muhammad S{iddiq al-Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah, ttp), 73

49 QS. 16: 44

50 Imam Shafi’i berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut Kitab berarti Qur’an dan

al-hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu QS. 4: 113, 2 :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Shafi’i, Al-Risalah, 73-76

(11)

al-Qur’an adalah wahyu matlu, maka sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw 51.

 Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri’) kepada Rasulullah

disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.52 Perintah untuk berhukum kepada keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan.53 Tidak ada alternatif pilihan lain bagi orang yang beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>’) itu.54 Menurut

al-Shafi’i, adalah keputusan (qad}a>’) Rasulullah dalam bentuk sunnah

yang tidak disebutkan secara tekstual dalam Al-Quran.55 Penegasan

otoritas hukum ini disertai ancaman penegasian iman56, penetapan sifat hipokrit dalam keimanan (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya,57 serta ancaman keras berupa pembiaran dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah SAW.58

 Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat

tersebut sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT.59 Tentunya, menaati Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis.

 Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan diikuti peri kehidupannya,60 disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi agung yang layak diteladani.61 Mengikutinya merupakan manifestasi cinta kepada Allah .62

b. Hadis

 Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang teguh.

51 Al-Qur’an, 53: 3-4, Ibnu Hazm, Al-Ihkam 1/97 52 Ibid., 24: 63, 4: 65, 59: 7

53 Ibid., 4: 59 54 Ibid., 33:36 55 Ibid, 83 56 Ibid., 3: 65 57 Ibid., 3: 61 58 Ibid., 3:115

59 Lihat al-Qur’an, 3:: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 60 Ibid., 33:21

(12)

ِيِبَن َة ُسَو ِللا َباَتِك اَمِِِ ْمُتْكسَََ اَم اولِضَت ْنَل ِنْيَرْمَأ ْمُكيِف ُتْكَرَ ت

63

 Prediksi Rasulullah tentang munculnya mungkir al-hadith dan penegasan tentang otoritas beliau dalam persoalan hukum (tashri’).

ٌلُجَر ىَسَع ْلَ َََأ

اََ ْ يَ ب ُلوُقَ يَ ف ِِتَكيِرَأ ىَلَع ٌئِكتُم َوَُو َِع ُثيِدَْْا ُُغُلْ بَ ي

ُاَْمرَح اًماَرَح ِيِف اَنْدَجَو اَمَو ُاَْلَلْحَتْسا ًَ َََح ِيِف اَنْدَجَو اَمَف ِللا ُباَتِك ْمُكَْ يَ بَو

ُللا ىلَص ِللا ُلوُسَر َمرَح اَم نِإَو

ُللا َمرَح اَمَك َملَسَو ِْيَلَع

.64

 Kedudukan sunnah yang setara dengan Al-Quran sebagai wahyu Allah.

َُعَم َُلْ ثِمَو َباَتِكْلا ُتيِتوُأ ِِإ َََأ

65.

 Penjelasan tentang konsekwensi ta’at dan maksiat terhadap ajaran

(sunnah) Rasulullah SAW.

لُك

َِِعاَطَأ ْنَم َلاَق ََْأَي ْنَمَو ِللا َلوُسَر اَي اوُلاَق َََأ ْنَم َِإ َةَْْا َنوُلُخْدَي ِِمُأ

َََأ ْدَقَ ف ِِاَصَع ْنَمَو َةَْْا َلَخَد

66.

 Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para al-khulafa’ al-Rashidin.

ْمُكِْم ْشِعَي ْنَم ُنِإَف ايِشَبَح اًدْبَع ْنِإَو ِةَعاطلاَو ِعْمسلاَو ِللا ىَوْقَ تِب ْمُكيِصوُأ

َنيِدِشارلا َنيِدْهَمْلا ِءاَفَلُْْا ِة ُسَو ِِ ُسِب ْمُكْيَلَعَ ف اًرِثَك اًف ََِتْخا ىَرَ يَسَف يِدْعَ ب

َََ

ٌةَعْدِب ٍةَاَدُْْ لُك نِإَف ِروُمُُْا ِتاَاَدَُْْو ْمُكايِإَو ِ ِجاَو لاِب اَهْ يَلَع اوضَعَو اَِِ اوُكس

ٌةَل َََض ٍةَعْدِب لُكَو

.

67

 Kondisi umat yang jelek jika pemimpin tidak mengimplementasikan petunjuk dan sunnah Rasulullah.

63 HR. Malik dalam al-Muwatha (2/899) secara mursal, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/93)

secara mutashil marfu’ dan disahihkan al-Albani dalam Sahih al-Jami’ no. 2937. Merujuk takhrij Rabi’ bin Hady Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar Ahad fi Aqaid wa Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15

64 HR. Ibn Majah (1/6) hadis no. 12, disahihkan al-Albany dalam Sahih Ibn Majah hadis no. 12, juga

al-Tirmidzi dalam hadis no. 2664. Merujuk takhrij Rabi’ bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15

65 HR. Ibn Majah nomor. 4604

(13)

َلاَق

ِناَمَيْلا ُنْب ُةَفْ يَ ُح

ِيِف ُنْحََ ف ٍْرَِِ ُللا َءاَجَف ٍرَشِب ا ُك انِإ ِللا َلوُسَر اَي ُتْلُ ق

ْمَعَ ن َلاَق ٌرْ يَخ رشلا َكِلَذ َءاَرَو ْلَ ُتْلُ ق ْمَعَ ن َلاَق رَش ِْرَْْا اَ َ ِءاَرَو ْنِم ْلَهَ ف

َكِلَذ َءاَرَو ْلَهَ ف ُتْلُ ق

ِْرَْْا

ٌةمِمَأ يِدْعَ ب ُنوُكَي َلاَق َ ْيَك ُتْلُ ق ْمَعَ ن َلاَق رَش

ََ

ِِ ُسِب َنو َ تْسَي َََو َياَدُِِ َنوُدَتْهَ ي

ِنِطاَيشلا ُبوُلُ ق ْمُهُ بوُلُ ق ٌلاَجِر ْمِهيِف ُموُقَ يَسَو

َلوُسَر اَي ُعَْصَأ َ ْيَك ُتْلُ ق َلاَق ٍسْنِإ ِناَمْثُج ِِ

ُعَمْسَت َلاَق َكِلَذ ُتْكَرْدَأ ْنِإ ِللا

ْعِطَأَو ْعَْْاَف َكُلاَم َ ِخُأَو َكُرْهَظ َبِرُض ْنِإَو ِرِمَِْْل ُعيِطُتَو

68

c. Al-Ijma’

Ijma’ (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat

Islam.69mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mutahharah memiliki independensi

dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama dengan

al-Qur’an dalam penetapan hal dan haram.70 Demikian pula, adanya realitas ijma’

kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan menjadikan sunnah sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak masa sahabat,71

tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.72

d. Logika (al-Ma’qu>l)

Dalil al-Ma’qu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah dari sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an tanpa

penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW melibatkan pembacaan al-Qur’an dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.73 Bahkan, menurut al-Auza’y al

68 HR. Muslim no. 3435 69 S{ubhi S{a>lih, 291

70 Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}ul (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000), 1/187

71 Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma’ mereka tentang

kewajiban ittiba’ kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para sahabat lainnya. Demikian pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa seandainya dia tidak melihat Rasulullah mencium Hajar aswad maka dia tidak akan melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M), 1/206

(14)

Qur’an lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada sebaliknya (al-Kitab ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kitab).74 (2) Jika perbuatan Nabi

mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati (ikhtiyat}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban, hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat fardhu atau belum. (3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan mulia dan yang terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang agung. Mengikuti perbuatannnya adalah bentuk pengagungan dan pemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan. 75

Perlu ditegaskan bahwa, kewajiban ta’at kepada Rasul bukan hanya ketika beliau hidup, namun juga setelah wafatnya. Sebab, perintah ta’at bersifat universal

dan mutlaq tanpa dibatasi waktu dan tempat tertentu. 76 Di dalam hadis-hadis di atas, secara eksplisit Rasulullah memerintahkan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya setelah wafat beliau. Untuk itu pula, Rasulullah SAW memotivasi umatnya untuk memperhatikan periwayatan hadis-hadis yang disampaikannya baik perhatian berbentuk riwa>yah maupun dira>yah.77 Rasulullah SAW bersabda:

«

ٍعِماَس ْنِم ىَعْوَأ ٍغلَ بُم بُرَ ف َعَِْ اَمَك َُغلَ بَ ف اًئْيَش ا ِم َعَِْ ًأَرْما ُللا َرضَن

»

‚Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya. Boleh jadi orang yang disampaikan kepadanya sesuatu lebih paham dari orang yang mendengarnya (langsung dari sumber).‛78

Motivasi juga berbentuk informasi tentang kedudukan yang mulia bagi para ahli hadis yang mengemban misi sebagai penjaga eksistensi sumber syariat dalam

‚matan-matan riwayat‛. Rasulullah SAW bersabda:

74 Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri’ al-Islamy (Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M), 387

75 Al-Amidy, Al-Ihkam, 1/237-238. Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 1/ 203-207 76 Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah, 55

77 Ilmu riwa>yah al-hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan proses dan mekanisme transmisi

(15)

، َنِلِطْبُمْلا َلاَحِتْناَو ، َنِلاَغْلا َ يِرََْ َُْع َنوُفْ َ ي ، ُُلوُدُع ٍ ْلَخ لُك ْنِم َمْلِعْلا اَ َ ُلِمََْ

َليِوْأَتَو

َنِلِاَْْا

‚Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang ekstrim, pemalsuan yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang

bid’ah dan interpretasi (ta’wi>l) dari orang-orang bodoh‛.79

Diskursus tentang Eksistensi Hadis sebagai Landasan Agama

Kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubut, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai bayan bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan) adalah adjektif (ta>bi’) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqriry menetapkan hal

tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman.80

Dari aspek kedudukannya dalam wacana agama, hadis memiliki beberapa fungsi yaitu:

1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri, saksi palsu, durhaka kepada orang tua81 menegaskan dan memperkuat larangan tersebut dalam Al-Quran.82

79 Sulaiman bin Ahmad al-Thobary. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), hlm. 344. Hadis Hasan ghorib, lihat catatan Abu Mu’adz dalam Jalaluddin As-Suyuthi. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H), hlm. 511

80 Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh, 37-38 81 Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 2/251, hadis no. 2653 ;

ْعُش اََ ادَح ََاَق َميِاَرْ بِإ َنْب ِكِلَمْلا َدْبَعَو ٍريِرَج َنْب َبَْو َعَِْ ٍرُِم ُنْب ِللا ُدْبَع اََ ادَح

ِنْب ِرْكَب َِِأ ِنْب ِللا ِدْيَ بُع ْنَع ُةَب

َلاَق َُْع ُللا َيِضَر ٍسَنَأ ْنَع ٍسَنَأ

َع ُللا ىلَص ِِ لا َلِئُس

ُلْتَ قَو ِنْيَدِلاَوْلا ُقوُقُعَو ِللاِب ُكاَرْشِْْا َلاَق ِرِماَبَكْلا ْنَع َملَسَو ِْيَل

ِروزلا ُةَداَهَشَو ِسْف لا

82 Sebagai contoh al-Qur’an, 31: 13 dan 4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

(16)

2- Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat83 yang

diperintahkan dalam Al-Quran84, (b) mengkhususkan (lex specialis)

petunjuk yang bersifat umum (‘a>m) dari Al-Quran. Seperti hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa85 sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 2486. Dan yang

ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyid kata ‘yad’ dalam Al-Quran 5:38.

3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Qur’an, seperti hadis ‚La was{iyyah li wa>rith‛ sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.87

4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an.

Seperti; hukuman rajam bagi pezina muhsan, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki, kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.88

83 Lihat hadis-hadis dalam Sahih al-Jami’ pada juz 1 mulai Kitab al-Wudhu’ sampai Kitab as-Sahwi 84 al-Qur’an, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll

85 Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih 3/365, hadis no. 5108 dan 5109

َق َُْع ُللا َيِضَر اًرِباَج َعَِْ ِِْعشلا ْنَع ٌمِصاَع اَنَرَ بْخَأ ِللا ُدْبَع اَنَرَ بْخَأ ُناَدْبَع اََ ادَح

َلا

ِْيَلَع ُللا ىلَص ِللا ُلوُسَر ىَهَ ن

اَهِتَلاَخ ْوَأ اَهِتمَع ىَلَع ُةَأْرَمْلا َحَكُْ ت ْنَأ َملَسَو

86 Di antara penggalan ayatnya :

ْمُكِلَذ َءاَرَو اَم ْمُكَل لِحُأَو

(17)

Kesimpulan

1. Ilmu hadis adalah ilmu yang memenuhi konsep filsafat ilmu, baik dari aspek ontologi, epistomologi dan aksiologi.

2. Istilah hadis, sunnah, athar dan khabar adalah istilah yang sering dianggap sinonim. Pada aspek tertentu bermakna berbeda, terutama jika disebutkan bersamaan dalam satu kalimat (idha ijtama’a iftaraqa). Perbedaan definisi juga bergantung perspektif dan tinjuan keilmuan masing-masing bidang. 3. Kategorisasi hadis cukup beragam, bergantung aspek tinjauannya. Ada

tinjauan dari aspek kuantitas periwayatan, kualitas validitas, narasumber yang menjadi sandaran informasi, dll.

(18)

Daftar Rujukan

Abdullah Hasan al-Haditsi. Athar H{adith Nabawy Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005)

Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala>

Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M)

Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar Al

-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M) Juz 1

Al-Bukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah, cet. 1, 1400 H) Juz 1

Al-Jurjany. Mu’jam Al-Ta’rifa>t, ed. Muhammad S{iddiq Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah, ttp)

Al-Sakhawy, Tawd}ih al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi ‘Ilm al-Athar, ed. Abdullah bin Muhammad Abdurrahim Bukhary (Saudi: Maktabah Us}ul al-Salaf, cet. 1, 1418 H) Juz 1

Al-Sakhawy. Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits, ed. ‘Abdul Karim al -Khudhair dan Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul as-Salafh, Cet.1, 1418 H) Juz 1

Ash-Shauka>ny. Irsha>d al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}ul (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000) Juz 1

As-Suyuthi, Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy (Kairo: Dar al-Hadith, 1431 H)

Hamzah al-Malibary, Ulum al-Hadith fi D{au’ Tatbi>qa>t Muhadithin al-Nuqa>d (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 1423 H/2003)

Ibnu Hajar, Nukhbat al-Fikar, ed. Abd al-Hamid bin Salih alu a’waj (Beirut: Dar Ibn

Hazm, cet. 1, 2006 M)

Ibnu Mandhur. Lisan al-‘Arab. (Mesir, maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M) juz 2

Ibnu Salah, Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadith, ed. Abdul Latif al-Hamum dan Mahir Yasin Fahl (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1423/2002)

Ima>d ‘Ali Jum’ah, Must}alah al-Hadith al-Muyassar (Riyad} : Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, cet. 1, 2005)

Israr Ahmad Khan, Authentication of Hadith –Redefining the Criteria (London: The International Institute of Islamic Thought, 1431 HH/2010 CE)

Jalaluddin As-Suyuthi. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H)

Mah}mu>d T{ah}h}a>n, Taisir Must}alah Hadi>th (Iskandariyah: Markaz Huda li al-Dirasa>t, cet. 7, 1405 H)

Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)

Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Sunan Al-Tirmi>dzi>, Juz 5, ed. Ahmad Muhammad

(19)

Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al -H{adi>th (Jeddah : ‘Alam al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403

H/1983 M), hlm. 24-25.

Muhammad Muhammad Abu Zahwu, H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh:

Al-Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa

al-Iryad, 1404 H/1984 M)

Muhammad S{iddiq al-Minshawy, Qamus Mustalahat al-Hadith al-Nabawy (Kairo : Dar al-Fadhilah, tt)

Mustafa al-Khan dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Taba’ah wa al-Nashr, ttt)

Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri’ al-Islamy (Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M)

Nuruddin ‘Itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M) Abu Mu’adz Tariq bi ‘Iwad{allah, al-Madkhal ila ‘Ilm al -Hadith (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi dan Dar Ibn Affan, cet. 2, 1428 H/2007 M)

Rabi’ bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar Ahad fi Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M)

Sulaiman bin Ahmad al-Thobary. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M)

Referensi

Dokumen terkait

Sriwijaya Air menurut pengamatan penulis masih kurang informatif sehingga belum bisa menjadi acuan untuk melakukan fuel tankering karena belum adanya data mengenai

Identifikasi masalah: kinerja polri dalam pemberantasan korupsi masih rendah Memahami kerja sistem: sistem proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh POLRI dan

Standar pelayanan minimum yang dimaksud dalam perspektif ini merupakan standar pelayanan yang harus dipenuhi Untirta dalam kaitannya dengan pelaksanan pelayanan sesuai

Kedua, Free Trade Area(FTA)yaitu bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan perdagangan tarif maupun non- tarif di antara negara-negara anggota telah

Data yang berhasil dikumpulkan melalui pengamatan (observasi), dan catatan lapangan akan dianalisis dengan menggunakan metode alur berkesinambungan. Jika ada data

Berdasarkan tabel 8 hasil uji statistik didapatkan bahwa nilai r=0,566 dan nilai p =value 0,000 yang menunjukkan bahwa terdapat kekuatan hubungan yang sedang dan

Kami mengharapkan partisipasi anda dalam penelitian ilmiah yang berjudul : Akurasi Diagnostik Kombinasi Kadar Hemoglobin dan Total Lymphocyte Count (TLC) Untuk Memprediksi

Seni Tari Berbantuan Media Audio Cassette Tape untuk Meningkatkan Keterampilan Motorik Kasar Anak. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan bantuan