• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Menopause

Seiring dengan perubahan usia menopause wanita zaman sekarang yang cenderung semakin cepat, banyak penelitian yang gencar dilaksanakan guna mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi usia menopause seorang wanita. Beberapa faktor-faktor tersebut diantaranya:

1. Riwayat Keluarga (Ibu)

Sebuah studi epidemiologi yang meneliti usia menopause pada sampel multietnik menemukan fakta bahwa usia menopause cenderung lebih cepat pada wanita keturunan Jepang dan Latin. Studi lain menemukan adanya riwayat keluarga pada ibu seorang wanita yang mengalami menopause dini (Pradana, 2010).

2. Status Perkawinan

Keadaan seorang wanita yang tidak menikah diduga mempengaruhi perkembangan reproduksinya. Mereka akan mengalami masa menopause lebih muda atau lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang telah menikah (Kasdu, 2002).

Wanita menikah cenderung lebih aktif melakukan aktivitas seksual dibandingkan wanita yang tidak menikah. Wanita yang aktif secara seksual setidaknya sekali seminggu menunjukkan tingkat estrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita kurang aktif secara seksual (Sulistiany, 2013).

3. Paritas

Paritas dapat dikelompokkan menjadi nullipara (wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali), primipara (wanita yang telah melahirkan satu kali) dan multipara (wanita yang telah melahirkan lebih dari satu kali). Bila dilihat dari

hubungan antara paritas dan menopause, menurut Baziad (2003) wanita yang belum pernah melahirkan sama sekali (nullipara) lebih awal memasuki menopause dibandingkan wanita yang telah melahirkan lebih dari satu kali (multipara) yang akan mengalami menopause lebih lambat. Semakin sering seorang wanita melahirkan maka semakin tua atau lama wanita tersebut memasuki masa menopause. Hal ini dikarenakan kehamilan dan persalinan akan memperlambat sistem kerja organ reproduksi wanita dan juga dapat memperlambat penuaan tubuh.

Menurut penelitian Pradana (2010) menunjukkan bahwa ada hubungan antara paritas dengan usia menopause. Banyak hal yang turut mempengaruhi munculnya keadaan ini. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi peningkatan peran wanita dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, banyak wanita yang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, tetapi juga menggeluti berbagai pekerjaan guna meningkatkan taraf perekonomian keluarga. Kesibukan ini tentunya akan membatasi waktu yang dimiliki oleh seorang wanita untuk merawat dan membesarkan anaknya. Dampaknya adalah banyak wanita yang saat ini cenderung membatasi jumlah anaknya, dengan pertimbangan waktu yang ada dapat dimanfaatkan untuk bekerja.

Selain itu, sosialisasi program Keluarga Berencana juga turut berpengaruh terhadap penurunan rata-rata jumlah paritas wanita. Saat ini, banyak keluarga yang telah menyadari efek positif dari program ini, sehingga memutuskan untuk membatasi jumlah paritas wanita hanya 2 kali saja. Kesemua hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap penurunan rata-rata jumlah paritas wanita.

Percepatan usia menopause ini menjadi permasalahan tersendiri bagi kesehatan wanita. Wanita yang lebih cepat memasuki usia menopause berarti memiliki risiko yang jauh lebih besar pula untuk mengalami berbagai penyakit yang terkait dengan usia menopause. Seperti osteoporosis misalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka rata-rata kehilangan massa tulang pasca-menopause mencapai 1,4% per tahunnya. Jika seorang wanita mengalami menopause lebih cepat, maka akan terjadi penurunan bermakna densitas massa tulang sehingga akan meningkatkan resiko osteoporosis (Setiyohadi, 2006).

Pada penelitian yang dilakukan Paola, dkk (2006) menghasilkan bahwa wanita yang mempunyai anak kurang dari 2 beresiko memasuki menopause lebih awal (p=0,04). Begitu juga pada penelitian Mufidah (2011) menghasilkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan usia menopause, dimana makin sering wanita melahirkan maka makin lama mengalami menopause (p=0,024). 4. Usia Melahirkan

Semakin tua seseorang melahirkan anak, semakin tua ia memulai memasuki usia menopause. Hal ini terjadi karena kehamilan dan persalinan akan memperlambat sistem kerja organ reproduksi. Bahkan memperlambat proses penuaan tubuh (Sulistiany, 2013).

5. Usia Saat Haid Pertama (Menarche)

Menarche adalah haid pertama yang dialami oleh wanita. Menurut Fox- Spencer (2007) menarche biasanya dimulai pada usia 12-13 tahun. Perbedaan usia terjadinya menarche dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormonal, genetik,

bentuk badan, keadaan gizi, lingkungan, aktivitas fisik dan rangsangan psikis (Anggraini, 2001).

Usia mulai terjadinya menarche telah turun dari 15 tahun seabad yang lalu, menjadi 12,5 tahun pada saat sekarang. Penurunan ini diyakini karena nutrisi anak yang lebih baik. Hipotesis yang dikemukakan adalah bahwa semakin banyaknya jumlah lemak tubuh memungkinkan semakin besarnya aromatisasi androgen menjadi estrogen. Peningkatan cepat kadar estrogen menimbulkan umpan balik positif terhadap hipotalamus dan kelenjar hipofisis sehingga terjadi sentakan peninggian Luteinizing Hormone (LH) yang mengawali terjadinya menarche (Jones, 2005).

Menurut Manuaba (2010) menopause ada hubungan dengan menarche. Wanita yang pubertas prekok akan mengalami menopause lebih cepat. Hal ini disebabkan karena degenerasi oosit lebih cepat, menjadi atresia dan tidak berfungsi.

Penelitian Rohmatika, dkk (2012) di Desa Jingkang Babakan Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas menunjukkan bahwa rata-rata usia menarchenya yaitu 14 tahun, usia menarche minimum 9 tahun, usia menarche maksimum 20 tahun, dan yang sering terjadi pada usia 15 tahun. Kemudian rata-rata usia menopausenya 49 tahun, usia menopause minimum yaitu 31 tahun, usia menopause maksimum 56 tahun, dan yang sering terjadi pada usia 50 tahun.

6. Pemakaian Kontrasepsi

Kontrasepsi adalah cara untuk mencegah terjadinya konsepsi dan pemakaian kontrasepsi, khususnya kontrasepsi hormonal, pada wanita yang menggunakannya akan lebih lama atau lebih tua memasuki usia menopause. Hal ini dapat terjadi karena

cara kerja kontrasepsi yang menekan fungsi indung telur sehingga tidak memproduksi sel telur (Kasdu, 2002).

Pemberian pil kontrasepsi pada usia >35 tahun ternyata memberikan nilai positif seperti siklus haid menjadi teratur dan keluhan premenstrual sindrom (PMS) menjadi berkurang dan cara kerja estrogen dalam pil kontrasepsi adalah mempengaruhi ovulasi, perjalanan sel telur atau implantasi. Selain itu penambahan estrogen dalam pil bertujuan untuk menjamin berlangsungnya siklus haid. Ovulasi dihambat melalui pengaruh estrogen terhadap hipotalamus dan selanjutnya menghambat Follicle Stimulating Hormone dan Luteinizing Hormone (Baziad, 2003).

Pada wanita usia perimenopause haid tidak berhenti selama wanita tersebut memakai kontrasepsi hormonal. Perdarahan terus terjadi selama wanita masih menggunakan pil kontrasepsi secara siklik dan wanita itu tidak mengalami keluhan klimakterium. Untuk menentukan diagnosis menopause, pil kontrasepsi harus segera dihentikan (Baziad, 2003).

Wahyunita dan Fitrah (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pemakaian alat kontrasepsi dengan kecepatan menopause (p=0,003) dimana menopause lebih lambat terjadi pada wanita yang memakai jenis kontrasepsi hormonal. Begitu juga penelitian Celentano dkk (2003) menggambarkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral akan mempengaruhi usia menopause.

Lama penggunaan kontrasepsi pil, beberapa kali hamil, ras dan sosial ekonomi di duga bukan merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya menopause

lebih awal atau terlambat. Namun, penelitian menemukan bahwa menopause alami yang lebih dini juga terkait dengan pendidikan rendah,sosial ekonomi rendah, mempunyai anak sedikit, tidak pernah menggunakan kontrasepsi oral dan berat badan rendah. Dewasa ini hampir 380 juta pasangan menjalankan keluarga berencana dari 66-75 juta di antaranya terutama negara berkembang menggunakan kontrasepsi oral yang digunakan untuk mencegah terjadinya kehamilan,dapat memiliki pengaruh positif maupun negatif terhadap berbagai organ tubuh wanita, baik organ genitalia maupun non organ genitalia (Baziad, 2008). Penggunaan kontrasepsi oral dalam waktu yang lama akan menyebabkan keluhan pada menopause (Asiah dkk, 2013).

Penelitian Asiah, dkk (2013) di Desa Binangga Kecamatan Marawola Kabupaten Sigi menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh jenis penggunaan kontrasepsi pil, lama penggunaan dan paritas jumlah anak pada mulainya usia menopause. Sangat perlu memberikan pemahaman kepada wanita usia menopause tentang metode penggunaan kontrasepsi efektif yang dapat di gunakan oleh banyak akseptor jika dibandingkan dengan metode kontrasepsi lain ,penggunaan kontrasepsi dapat di gunakan sebagai metode untuk mengatur kehamilan jangka panjang selama lebih dari dua tahun sampai empat tahun. Perlu dilakukan sosialisasi pentingnya pemahaman jenis kontrasepsi di pelayanan posyandu lansia di masing – masing desa untuk mengetahui lebih dini masalah – masalah tentang jenis kontrasepsi berupa pil kombinasi, yang berisi hormon estrogen dan progesteron atau pun hanya berisi hormon progesteron saja bahwa pil bekerja dengan cara mencegah terjadinya ovulasi

dan mencegah terjadinya penebalan dinding rahim sehingga ini di gunakan secara tepat.

7. Asupan Fitoestrogen

Konsumsi pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk atau seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati (Baziad, 2003). Salah satu makanan yang dibutuhkan wanita dalam menunjang kesehatan reproduksinya adalah makanan yang mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen adalah bahan tanaman yang mengandung zat yang mirip estrogen. Salah satu makanan yang dibutuhkan wanita dalam menunjang kesehatan reproduksinya adalah makanan yang mengandung fitoestrogen.Bahan tanaman ini banyak terdapat di lingkungan dan sudah sering dikonsumsi untuk kebutuhan sehari di masyarakat. Fitoestrogen dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : isoflavon, coumestan dan lignan. Isoflavon merupakan fitoestrogen yang sering digunakan di masyarakat (Rishi, 2002). Sumber tanaman kaya fitoestrogen yang biasanya digunakan pada wanita Indonesia rata-rata 50-150 mg fitoestrogen kedelai/hari, 50 gram tempe atau 120 gram tahu.

Wanita yang kurang mengkonsumsi fitoestrogen memiliki risiko tinggi untuk menopause dini. Fitoestrogen dapat diperoleh dari kacang-kacangan baik yang sudah diolah seperti tempe, tahu, ataupun bukan olahan seperti kedelai, buncis dan kacang tolo (Muljati dkk, 2003).

Penelitian Muljati dkk (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jumlah tahu yang dikonsumsi dengan usia menopause dimana

p=0,010 dan dinyatakan bahwa wanita yang kurang mengkonsumsi fitoestrogen memiliki resiko tinggi untuk menopause dini.

Dokumen terkait