• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fertilitas .1 Umur

Dalam dokumen SKRIPSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI (Halaman 25-37)

Umur adalah salah satu faktor sterilitas terpaksa yang penting dalam menentukan fertilitas. Pada awal masa reproduksinya, seorang wanita mungkin kurang subur karena ovulasinya tidak teratur, dan ini menyebabkan sterilitas masa remaja. Kesuburan dan tingkat fertilitas wanita menurut umur mencapai puncaknya pada usia 20-29 tahun, kemudian menurun saat masih haid yaitu pada umur 50 tahun, dan menjadi steril untuk seterusnya (Lucas et al, 1995).

Teori menyatakan bahwa semakin tinggi umur ibu, maka semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan, karena masa kemungkinan hamil yang makin panjang (Adioetomo, 1980). Hasil penelitian yang serupa oleh Ananta (1986), Santoso (1980), Suwarno (1987), Utari (2002), Fathimah (2002), penelitian yang

dilakukan oleh BKKBN (1999) dan Deswarini (2004) memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah anak akan meningkat sejalan dengan meningkatnya umur wanita. Secara lebih lanjut Adioetomo (1980) menjelaskan bahwa kelompok umur wanita akan mempengaruhi tingkat kesuburannya, dimana jumlah anak yang dimiliki akan membentuk pola huruf U terbalik atau seperti lonceng (Adioetomo, 1980).

4.4.2 Daerah Tempat Tinggal

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) daerah perkotaan adalah suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang memenuhi persyaratan tertentu dlama hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan, seperti jalan raya, sarana pendidikan formal, dan sarana kesehatan. Sedangkan daerah perdesaan adalah suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi persyaratan dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan (demografi.bps.go.id).

Penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan memiliki tantangan untuk dapat tetap hidup karena terbatasnya sumber kehidupan berupa kebutuhan pangan, air bersih, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Keterbatasan tersebut memberi pengaruh bagi seseorang terhadap pertumbuhan dan kesehatannya. Di sisi lain, perkotaan merupakan tempat pencaharian yang menguntungkan karena sebagian besar uang beredar di perkotaan. Dengan demikian, dari segi ekonomi, serta akses terhadap segala kebutuhan termasuk akses kesehatan relatif lebih baik di perkotaan dibandingkan perdesaan (demografi.bps.go.id). Masyarakat perdesaan lebih sulit dicapai oleh informasi keluarga berencana, di samping akses mereka terhadap pelayanan, kemungkinan juga lebih terbatas dibandingkan dengan masyarakat perkotaan karena lokasi klinik dan sumber alat kontrasepsi yang jauh (Royston, 1994).

Berdasarkan penelitian Afifah (2000), Wanita di perkotaan memiliki kelebihan dalam hal pajanan informasi maupun kases ke pelayanan keluarga berencana, serta menggunakan waktu yang lebih banyak untuk bekerja sehingga cenderung untuk membatasi jumlah anak.

Fertilitas dari penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan 22%-23% lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan. Dari periode 1981-1987, fertilitas perkotaan turun lebih cepat daripada fertilitas pedesaan (Population Reference Bureu (1969, 1971, 1980, 1990 dalam Ananta, 1995).

Proporsi wanita yang mempunyai 1-2 anak sedikit lebih tinggi di antara wanita yang tinggal di perkotaan dibandingkan mereka yang ada di perdesaan. Sebaliknya, wanita yang mempunyai lebih dari 2 anak, dijumpai lebih tinggi pada wanita yang tinggal di perdesaan. Dengan nilai p = 0,001, menandakan bahwa tempat tinggal memiliki hubungan bermakna dengan jumlah anak lahir hidup (Arsyad, 2016).

4.4.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu usaha mengembangkan suatu kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup hidup. kategori pendidikan menurut Arikunto, 2007, yaitu:

1. Pendidikan rendah (SD-SMP)

2. Pendidikan tinggi (SMA-Perguruan Tinggi)

Menurut Holsinger dan Kasarda (1976) bahwa kenaikan tingkat pendidikan menghasilkan kelahiran yang lebih rendah, tetapi hubungan antara kedua variabel ini belum terbukti. Pendidikan jelas mempengaruhi usia kawin karena pelajar dan mahasiswa pada umumnya berstatus bujangan. Di sisi lain, jika pendidikan meningkat maka pemakaian alat kontrasepsi juga meningkat. Hawthorn (1970) menyatakan bahwa dalam semua masyarakat, kesadaran akan pembatasan kelahiran memang tergantung pada latar belakang daerah kota atau tempat tinggal, pendidikan dan penghasilan.

Bouge (1969) menyatakan bahwa pendidikan menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap fertilitas dari pada variabel lainnya. Di beberapa negara lain termasuk Indonesia, Hull dan Hull (1977) menemukan bahwa wanita yang tidak berpendidikan dan berpendidikan tingkat menengah mempunyai rata-rata anak lebih sedikit daripada yang berpendidikan sekolah dasar. Dengan

mempertimbangkan pola tersebut (rendah-tinggi-rendah), Sembajwe (1977), menemukan bahwa peningkatan pendidikan mengakibatkan abstinensi sesudah melahirkan menurun sedangkan penggunaan alat kontrasepsi meningkat (Lucas et al, 1995).

Hubungan antara pendidikan dan fertilitas masih diperdebatkan karena beberapa penelitian menemukan hasil yang bervariasi mengenai hubungan tersebut. Temuan dari penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan beberapa pola hubungan seperti hubungan negatif, positif dan berbentuk U terbalik. Hasil SDKI 2007 juga menunjukkan hubungan U terbalik antara pendidikan dan fertilitas. Wanita dengan pendidikan belum tentu tamat SD (Sekolah Dasar) dan tamat SD mempunyai fertilitas lebih tinggi dibanding wanita lainnya. Disebutkan juga dalam SDKI 2007 bahwa wanita usia reproduksi berpendidikan lebih baik dan terdapat peningkatan persentase wanita berpendidikan SMTA dari 38% di tahun 2002-2003 menjadi 46% pada tahun 2007.

Hull (1976) dalam Lucas et al. (1995) serta Supraptilah dan Soeradji dalam Anwar (1995) menemukan hubungan positif antara fertilitas dan tingkat pendidikan. Perempuan berpendidikan tinggi mempunyai paritas lebih tinggi daripada perempuan berpendidikan rendah. Penurunan fertilitas terjadi pada perempuan berpendidikan SLTA ke atas. Sejumlah penelitian memperlihatkan hubungan antara pendidikan dengan jumlah anak atau fertilitas sebagaimana dikemukakan oleh Santoso (1980), Adioetomo (1980), BKKBN (1999), Fathimah (2002), Deswarini (2004).

4.4.4 Status Pekerjaan

Bekerja bagi perempuan merupakan alternatif dari pekerjaan mengurus rumah tangga. Ada beberapa hal yang mendorong perempuan berpartisipasi di pasar kerja, antara lain karena desakan ekonomi keluarga, terbukanya kesempatan kerja ataupun karena tingkat pendidikan yang makin maju. Meskipun demikian, perempuan bekerja tidak berarti dia lepas sama sekali dari dari pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, perempuan yang bekerja akan mengalami konflik antara karier dan kehidupan keluarga. Mengurus anak merupakan pekerjaan yang membutuhkan banyak waktu, sementara seorang perempuan yang bekerja akan

merasa bahwa waktunya semakin mahal dan kehadiran anak yang banyak akan mengganggunya. Atas dasar itu, suatu hipotesis menyatakan bahwa perempuan yang bekerja akan mempunyai anak lebih sedikit daripada perempuan yang tidak bekerja (Anwar, 1995).

Survei Fertilitas dan Mortalitas Indonesia tahun 1973 menunjukkan bahwa hipotesis tersebut tidak terbukti dengan tidak adanya perbedaan paritas perempuan tidak bekerja dengan perempuan bekerja. Adioetomo (1980), Hatmadji dalam Anwar (1984) tidak menolak hipotesis bahwa rata-rata paritas dari perempuan bekerja lebih rendah daripada perempuan tidak bekerja. Adioetomo (1980) menemukan dari data yang sama bahwa setelah pengaruh umur ditiadakan, perempuan yang tidak bekerja mempunyai anak lebih banyak daripada perempuan yang bekerja. Hal tersebut mungkin terjadi karena mereka sudah terlanjur memiliki anak banyak sehingga lebih baik memilih tidak bekerja. Utari (2002) menyebutkan bahwa hasil uji statistik menunjukkan nilai probabilitas 0,204 pada tingkat kemaknaan 0,05 artinya tidak terdapat perbedaan jumlah anak pada ibu yang tidak bekerja dengan ibu yang bekerja di sektor ekonomi.

4.4.5 Status Ekonomi

Menurut Polak dalam Abdulsyani (2007) status (kedudukan) memiliki dua aspek: aspek struktural; aspek struktural ini bersifat hierarkis yang artinya secara relatif mengandung perbandingan tinggi atau rendahnya terhadap status-status lain, sedangkan aspek status yang kedua yaitu aspek fungsional atau peranan sosial yang berkaitan dengan status-status yang dimiliki seseorang. Kedudukan atau status berarti posisi atau tempat seseorang dalam sebuah kelompok sosial. Makin tinggi kedudukan seseorang, makin mudah pula dalam memperoleh fasilitas yang diperlukan dan diinginkan.

Aristoteles (1999) dalam Suparyanto (2010) membagi kelompok masyarakat secara ekonomi ke dalam 3 kelas atau golongan, yaitu:

1. Golongan sangat kaya: merupakan kelompok kecil dalam masyarakat, terdiri dari pengusaha, tuan tanah, dan bangsawan.

2. Golongan kaya: merupakan golongan yang cukup banyak terdapat dalam masyarakat, terdiri dari para pedagang.

3. Golongan miskin: merupakan golongan terbanyak dalam masyarakat, kebanyakan dari rakyat biasa.

Freadman (2004) dalam Suparyanto (2010) mengatakan bahwa status ekonomi seseorang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

1. Penghasilan tipe kelas atas > Rp 1.000.000

2. Penghasilan ttipe kelas menengah Rp 500.000-Rp 1.000.000 3. Penghasilan tipe kelas bawah < Rp 500.000

Saraswati (2009) dalam Suparyanto (2010) mengatakan bahwa status ekonomi dibagi menjadi:

1. Tipe kelas atas > Rp 2.000.000

2. Tipe kelas menengah Rp 1.000.000-Rp 2.000.000 3. Tipe kelas bawah < Rp 1.000.000

Variabel ini termasuk dalam pengelompokkan proximate determinant dari Bongaarts. Dalam pengelompokkannnya, variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi salah satu proximate determinant, yaitu pengaturan kelahiran. Namun, para ekonom, yang dipelopori oleh Becker dengan artikel pemulanya (Becker. 1960), melihat bahwa variabel sosial ekonomi mempengaruhi fertilitas karena pengaruh mereka pada jumlah anak yang diinginkan (demand for children). Kemajuan dalam pembangunan menyebabkan kenaikan dalam pendapatan, dan hal ini akan meningkatkan jumlah anak yang lebih banyak. Peningkatan pendapatan dapat mempunyai fertility promoting effect.

Becker juga mengatakan bahwa kesimpulan itu diperoleh jika diasumsikan bahwa tak ada perubahan dalam variabel lain. Kenyataannya variabel lain, yaitu “harga anak” ikut berubah dengan naiknya pendapatan. Ketika pendapatan naik, (khususnya pendapatan yang berasal dari bekerja, dan bukan dari sewa, bunga, atau deviden) harga satu sataun waktu pun naik. Padahal, memiliki, anak merupakan kegiatan yang sangat padat waktu (time intensive); dengan demikian, memiliki anak menjadi suatu kegiatan yang mahal. Harga seorang anak menjadi mahal dan cenderung menurunkan jumlah anak yang diinginkan. Dampaknya bisa sangat besar, sehingga menutupi dampak kenaikan pendapatan, bahkan dapat

membuat dampak akhir yang negatif, yaitu naiknya pendapatan disertai dengan turunnya jumlah anak yang diinginkan (Ananta, 1995).

4.4.6 Jumlah Anak yang Diinginkan dalam Keluarga

Besarnya angka kelahiran di masa mendatang secara tidak langsung dapat digambarkan dari jumlah kelahiran yang diinginkan dan jumlah anak ideal. Tessa (2000) menyebutkan dua teori yang sesuai untuk mengkaji keputusan fertilitas: jumlah anak yang diinginkan. Teori pertama disebutsebagai teori perilaku yang direncanakan (planned behaviour). Teori ini menjelaskan bahwa keputusan seseorang untuk memiliki atau tidak memiliki anak mrupakan bentuk kesadaran dan perilaku yang dpat dipengaruhi oleh beberapa hal berikut (a) penilaian terhadap anak, yaitu penilaian positif dan penilaian negatif, (b) nilai-nilai sosial yang diakui dalam kehidupan, dan (c) kemampuan untuk menampilkan perilaku yang didasarkan pada pendapatan atau sumber daya lainnya. teori ini tidak menyertakan niat pasangan untuk memiliki atau tidak memiliki anak meskipun niat pasangan untuk tidak memiliki anak diasumsikan dapat mempengaruhi nilai atau norma kepercayaan individu. Seseorang yang menginginkan untuk memiliki anak lainnya dan hal itu tidak disampaikan kepada pasangannya dapat membentuk atau menciptakan satu kepercayaan baru bahwa pasangan tidak menginginkan memiliki anak lainnya. persepsi ini dapat mempengaruhi penilaian responden terhadap kelahiran yang dimilikinya.

Teori berikutya menurut Tessa (2000) adalah perilaku yang tidak direncanakan. Di sini, perilaku merupakan sebuah determinan yang menentukan apakah terjadi kelahiran sebagai langkah terakhir dari sebuah motivasi untuk mencapai tahap-tahap selanjutnya. Dalam memutuskan untuk mencapai atau tidaknya sebuah kehamilan, biasanya perilaku reproduksi melewati beberapa tahap. Pada tahap pertama, perilaku menunjukkan motivasi, rasa, dan pikiran untuk menghargsi sebuah kelahiran. Kemudian tahap kedua cenderung memperhatikan tujuan, emosi, atau harapan yang tidak disertai atau tidak mendorong terjadinya tindakan langsung. Tahap ketiga menunjukkan pada niatan, tujuan, dan hasrat yang diikuti dengan niatan dan komitmen untuk melakukan aktivitas yang sama untuk mencapai tujuan di masa mendatang.

Menurut Tidaro (2000), anak di banyak negara berkembang dipandang sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan untuk menggarap lahan dan tumpuan hidup di hari tua. Dengan demikian, penentuan permintaan terhadap anak merupakan bentuk pilihan rasional bagi pasangan. Disisi lain, jumlah anak yang diinginkan akan berhubungan secara negatif dengan biaya pemeliharaan anak dan kuatnya keinginan untuk memiliki barang lain. Keinginan terhadap anak bukanlah hal yang stbail berdasarkan waktu dan usia. Sebagai contoh di Belanda, Liefbroer (2009) menemukan kebanyakan penduduk cenderung mengurangi jumlah anak yang diinginkan seiring bertambahnya usia. Begitu juga di Australia, Wilkins, et.al. (2009) menemukan sekitar 40% laki-laki dan 35% perempuan umur 18-39 tahun tahun 2001 dilaporkan memberikan jawaban yang berbeda terhadap jumlah anak yang diinginkan pada 2006. Jumlah anak yang diinginkan tahun 2001 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006.

4.4.7 Keinginan Suami Terhadap Jumlah Anak

Arsyad (2016), melakukan analisis lanjut terhadap data SDKI 2007, dan memiliki hasil bahwa sekitar 66% wanita pernah kawin, mengaku suami menginginkan jumlah anak yang sama, hampir 15% saja suami yang menginginkan jumlah anak lebih sedikit, serta sisanya mengatakan tidak tahu.

4.4.8 Pendapat Suami Terhadap KB

Di antara wanita yang memiliki 12 anak lahir hidup tidak tampak adanya perbedaan proporsi suami/pasangan yang setuju dan tidak setuju terhadap penggunaan alat/cara KB. Wanita yang mempunyai lima anak atau lebih cenderung ditemukan banyak pada mereka yang suaminya tidak setuju pada pemakaian alat/cara KB. Dengan nilai p = 0,001 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pendapat suami/pasangan dan pemakaian alat/cara KB (Arsyad, 2016).

4.4.9 Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematik terhadap hakekat suatu maslah dengan pengumpulan fakta-fakta dan data, menentukan

alternatif yang matang untuk mengambil suatu tindakan yang tepat. Ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan:

1. Dalam proses pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan. 2. Pengambilan keputusan tidak melakukan secara sembrono tapi harus

berdasarkan sistematika.

3. Masalah harus diketahui dengan jelas.

4. Pemecahan masalah harus didasarkan pada fakta-fakta yang terkumpul dengan sistematik.

5. Keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipikirkan dari berbagai alternatif yang telah dianalisa secara matang (Swanburg, 1996)

Menurut Alaszweski, Ayer, dan Manthorpe (2000), proses pengambilan keputusan adalah suatu proses yang menggambarkan pemikiran dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan suatu pilihan yang sesuai dengan pilihan mereka sendiri, sehingga dpat ditarik kesimpulan bahwa proses pengambilan keputusan adalah merupakan suatu proses kegiatan untuk melaksanakan pemilihan di antara berbagai kemungkinan untuk mencapai tujuan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang tepat.

Secara umum menurut Jalaluddin (1991) suatu keputusan yang diambil oleh seseorang memiliki tanda-tanda sebagai berikut:

a. Keputusan merupakan hasil berpikir, hasil usaha intelektual; b. Keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif;

c. Keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan.

Pengambilan keputusan merupakan slah satu indikator kekuasaan sosial yang dominan dalam keluarga dan didasari oleh kekuasaan yang dilegitimasi. Beberapa keluarga, suami atau ayah mempunyai hak prerogatif untuk membuat banyak keputusan, walaupun keputusan tersebut menyangkut kepentingan perempuan (Lowdermilk & Perry, 2003).

4.4.10 Paparan Media

Keterpaparan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat diuraikan melalui media televisi, dpat memberikan informasi baik secara hiburan maupun pengetahuan. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medius atau tengah,

perantara atau pengantar, pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Media menurut National Education Association, media sebagai bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio-visual dan peralatannya, dengan demikian media dapat dimanipulasi, dilihat, didengar atau dibaca. Jenis-jenis media massa adalah televisi, internet, surat kabar, majalah dan radio (Arsyad, 2007).

Kesuksesan program keluarga berencana tidak hanya ditentukan oleh kedisiplinan pasangan suami isteri untuk menjalani program tersebut, tetapi juga tergantung pada penyedia informasi atau media massa. Media massa sebagai penyedia informasi bagi rakyat memiliki peran yang kuat untuk mengajak masyarakat dalam mengerti, hingga akhirnya turut serta dalam menyukseskan program keluarga berencana (Royston, 1994). Media massa merupakan suatu komunikasi massa, yaitu komunikasi manusia (human communication), seiring dengan digunakannya alat-alat mekanik yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Terdapat berbagai bentuk media massa, diantaranya surat kabar, majalah, radio, televisi, film, komputer dan internet (Wiryanti, 2004).

Proporsi wanita yang memiliki 1-2 anak lebih tinggi pada wanita yang terakses dengan media yang menginformasikan tentang KB dibandingkan dengan wanita yang tidak terakses media. Sebaliknya, wanita yang memiliki lebih dari 2 (dua) anak cenderung banyak pada mereka yang tidak terakses informasi tentang KB dari media. Akses terhadap media tentang KB memiliki hubungan bermakna dengan jumlah anak lahir hidup dengan nilai p = 0,001 (Arsyad, 2016).

4.4.11 Kontak dengan Petugas KB

Selain komunikasi massa, terdapat bentuk lain komukasi, yaitu komuni kelompok dan komunikasi antarpribadi. Komunikasi kemlompok dapat diartikan bila komunikasi terjadi antar dua orang yang berlangsung secara tatap muka, biasnaya bersifat spony=tan dan informal. Peserta akan menerima umpan balik secara maksimal dan peserta komunikasi berperan secara fleksibel sebagai pengirim dan penerima. Batasan kelompok kecil sebagai sekumpulan orang, urang lebih 5-12 orang. Sedangkan komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah

komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kumpulan orang (Wiryanto, 2004).

Wanita yang memiliki 1-2 anak lebih banyak dijumpai pada mereka yang melakukan kontak dengan petugas KB dalam 6 bulan terakhir. Sebaliknya, wanita yang mempunyai lima anak dan lebih dijumpai tinggi pada mereka yang tidak melakukan kontak dengan petugas KB dalam 6 bulan terakhir. Adanya hubungan yang bermakna antara kontak dengan petugas KB dan jumlah anak yang dimiliki oleh wanita usia subur (p = 0,01) (Arsyad, 2016).

4.4.12 Umur Hubungan Seksual Pertama

Proporsi wanita yang mempunyai 1-2 anak cenderung terus meningkat dengan bertambah tua umur melakukan hubungan seksual pertama kali. Sebaliknya, proporsi wanita yang memiliki anak lebih dari dua cenderung banyak tredapat pada wanita yang melakukan hubungan seksual pada usia yang lebih muda. Dengan nilai p = 0,01 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur hubungan seksual pertama kali dan jumlah lahir hidup (Arsyad, 2016).

4.4.13 Umur Kawin Pertama

Dalam masyarakat Indonesia, hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang harus melelui lembaga perkawinan yang sah menurut agama dan menurut Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. Selain itu, karena usia perkawinan juga dipengaruhi oleh adat istiadat dan anggapan masyarakat tentang usia berapa sebaiknya perempuan menikah, maka usia kawin pertama dapat menjadi indikator dimulainya seorang perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang kawin pada usia lebih tua (Lembaga Demografi UI, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Supraptilah dan Soeradji (1978) dengan menggunakan data Suevei Fertilitas Mortalitas Indonesia 1973 menunjukkan bahwa semakin tua umur perkawinan pertama semakin rendah rata-rata jumlah ALH. Hasil yang sama ditemukan juga oleh Adioetomo (1984) yang melakukan penelitian menggunakan data Sensus Penduduk 1980. Dengan kata lain, terdapat

hubungan yang negatif antara umur kawin pertama dengan rata-rata paritas (dalam Ananta, 1995).

4.4.14 Umur Pertama Melahirkan

Proporsi wanita yang memiliki 1-2 anak meningkat, sejalan dengan meningkatnya umur melahirkan anak pertama yang dimulai dari kelompok umur 15-19 tahun sampai dengan kelompok umur 25-29 tahun, dan angka ini menurun pada wanita yang melahirkan pertama kali pada kelompok umur 30 tahun atau lebih. Artinya, mereka yang yang memiliki anak relatif sedikit, tampak pada mereka yang masih muda. Sedangkan proporsi wanita yang punya lebih dari dua anak tertinggi pada mereka yang melahirkan anak pertama berusia 30 tahun atau lebih tua. Dengan perolehan nilai p = 0,001, yang artinya menunjukkan bahwa umur melahirkan anak pertama memiliki hubungan bermakna dengan jumlah anak lahir yang dimilikinya (Arsyad, 2016).

4.415 Melakukan Hubungan Seksual Setelah Melahirkan

Proporsi wanita yang mempunyai 1-2 anak ditemukan lebih tinggi pada wanita yang tidak segera melakukan seksual setelah melahirkan. Sebaliknya, wanita yang mempunyai anak lebih dari dua banyak dijumpai pada wanita yang segera melakukan hubungan seksual setelah melahirkan. Wanita yang melakukan hubungan seksual segera setelah melahirkan, memiliki hubungan bermakna dengan jumlah anak yang dimilikinya dengan nilai p = 0,001.

Dalam dokumen SKRIPSI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI (Halaman 25-37)

Dokumen terkait