• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Hariandja (2005), menyatakan gaji diartikan sebagai bentuk imbalan dalam bentuk moneter yang diterima oleh pegawai sebagai bentuk kompensasi tradisional yang tidak dihubungkan dengan kinerja melainkan dihubungkan dengan jabatan dan kepangkatan seseorang. Insentif yaitu pembayaran langsung di luar gaji yang dikaitkan langsung dengan kinerja yang disebut sistem kompensasi berdasarkan kinerja (pay for perfomance plan).

Menurut Werther dan Davis, (1989), insentif sebagai bentuk kompensasi non tradisional memberi pengaruh positif terhadap kinerja, produktivitas dan kualitas, memperbaiki komitmen dan rasa memiliki,

meningkatkan kerjasama tim serta a sense of common life atau common destiny.

Stephen dkk didalam Siagian, (2004), menyatakan bahwa uang/gaji tidak dapat memotivasi terkecuali pegawai menyadari keterkaitannya dengan performa. Meier didalam Siagian, (2004), bahwa pendistribusian gaji didasarkan pada produksi, lamanya kerja, lamanya dinas dan besarnya kebutuhan hidup. Agar karyawan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik, dalam pemberian kompensasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum, (b) dapat mengikat karyawan agar tidak keluar dari perusahaan, (c) dapat menimbulkan semangat dan kegairahan kerja, (d) selalu ditinjau kembali, e) mencapai sasaran yangdiinginkan, (f) mengangkat harkat kemanusiaan dan (g) berpijak pada peraturan yang berlaku.

Padmowihardjo (2004), menyatakan tingkat pendidikan formal penyuluh akan menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan penyuluh dalam melaksanakan tugas, sehingga yang berpendidikan lebih tinggi mampu berpikir lebih abstrak dan memiliki wawasan yang lebih luas. Pendidikan yang lebih tinggi akan berpengaruh pada tingkat adaptasi, mempunyai pilihan-pilihan yang lebih luas dalam kehidupannya, termasuk dalam melaksanakan penyuluhan.

Pendapat Slamet, (1992), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan. Dengan demikian diduga

tingkat pendidikan formal penyuluh pertanian memiliki pengaruh pada tingkat kompetensi mereka.

Pendidikan menyebabkan seseorang memiliki harapan yang tinggi terhadap tanggungjawab dalam pekerjaannya, karena itu mereka yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi cenderung terancam oleh perasaan tidak puas kerja dibanding mereka yang memiliki pendidikan lebih rendah Schultz & Schultz, (1994).

Kuncel dkk dalam siagian, (2004), melaporkan bahwa pendapat yang menyatakan kecerdasan (intelligence) selama pendidikan secara keseluruhan berbeda dengan sukses dalam pekerjaan tidak terbukti dalam penelitiannya, bahkan hasil penelitian menunjukkan konsistensi dengan hasil sebagian besar penelitian bahwa kinerja merupakan fungsi dari penerapan motivasi dan pengetahuan kerja dan pengetahuan prosedur kerja (keterampilan).

Salkind (1985), menyatakan umur seseorang berkaitan erat dengan tingkat perkembangannya. Secara kronologi, umur memberi petunjuk tentang tingkat perkembangan individu. Menurut Padmowihardjo, (2004), umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Seseorang yang berumur 15-25 tahun akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi belajar jika diberi bimbingan belajar dengan baik. Kemampuan belajar berkembang hingga usia 45 tahun dan terus menurun setelah mencapai usia 55 tahun. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama ialah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ seksual

dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain.

Von Senden dkk dalam Wibowo (2007), mengamati gejala yang menyatakan bahwa terdapat periode kritis dalam tahap perkembangan manusia. Tahap seperti itu hadir dalam perkembangan sensor utama, seperti konsepsi tentang ukuran, bentuk, dan jarak dan juga dalam pengembangan perilaku sosial.

Menurut Robbins (1996), Usia seseorang sangat erat hubungannya dengan kinerja, alasan yang memperkuat ungkapan ini adalah produktivitas seseorang akan merosot dengan bertambahnya usia seseorang. Kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi merosot dengan perjalanan waktu. Pekerjaan yang membosankan dan kurangnya rangsangan intelektual juga akan mengurangi produktivitas. (Robbins,1996).

Menurut Baron dan Greenberg (1990), usia dan masa kerja seseorang berpengaruh terhadap kompetensi. Pegawai yang lebih tua dan memiliki masa kerja yang lebih lama menunjukkan kepuasan kerja yang tinggi dibanding pegawai yang lebih muda serta kurang berpengalaman. Menurut Luthans (2006), tingkat kepuasan kerja pegawai yang lebih muda cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pegawai yang lebih tua karena pegawai yang lebih muda seringkali mempunyai harapan yang tinggi ketika memasuki dunia kerja, sementara tidak dapat terpenuhi karena pekerjaan kurang menantang atau kurang bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat Schultz dalam Sapar (2011), yang membuktikan bahwa kepuasan kerja akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Menurut Padmowihardjo (2004), umur seseorang diduga kuat memengaruhi kemampuannya, baik kemampuan fisik ataupun kemampuan berpikir (inteligensia). Umur seseorang erat kaitannya dengan kemampuan belajarnya. Kemampuan belajar seseorang mencapai puncaknya pada umur 25 tahun, dan selanjutnya cenderung menurun.

Menurut Purba (2002), umur seseorang dibagi dalam kelompok anak-anak (0-14 tahun), usia kerja (16-64) dan kelompok lanjut usia bila berumur 65 tahun atau lebih. Usia kerja dibagi juga dalam tiga kategori, yaitu golongan usia muda atau pradewasa (20-39 tahun), usia dewasa (40-54 tahun) dan yang berumur 55-65 termasuk golongan tua atau purna, Semakin tua umur seseorang akan semakin berkurang atau menurun kemampuannya, karena itu umur erat kaitannya dengan kompetensi seseorang. Penyuluh pertanian yang termasuk pada kelompok usia kerja dengan umur antara 20-65 tahun diduga mempunyai kompetensi yang berbeda dengan kompetensi yang termasuk usia muda dan atau usia dewasa.

Mulyasa (2002), menyatakan pendidikan nonformal merupakan kegiatan yang tertata, sistematis, di luar sistem formal dan ditujukan untuk orang dewasa., mengemukakan bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, menampilkan individu yang memili keunggulan yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Salah satu bentuk pendidikan nonformal yang dilakukan oleh penyuluh adalah pelatihan.

Menurut Siagian (2002), salah satu cara untuk mengubah potensi seseorang menjadi kemampuan nyata ialah melalui pendidikan dan pelatihan.

Sasaran yang ingin dicapai dalam suatu pelatihan adalah mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tertentu yang pada umumnya berupa keterampilan baru yang belum dimiliki peserta, sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku. Pelatihan bagi penyuluh pertanian dipersiapkan melalui program pelatihan bersyarat dan program pelatihan tidak bersyarat.

Pelatihan bersyarat sifatnya berjenjang selaras dengan jabatan/golongan kepangkatan, misalnya pelatihan dasar I, pelatihan dasar II, sedangkan pelatihan tidak bersyarat tidak mensyaratkan golongan kepangkatan dan tidak mensyaratkan program pelatihan yang telah diikuti, tujuan dari program tidak bersyarat ini adalah untuk meningkatkan kemampuan penyuluh pertanian di bidang inovasi atau teknologi pertanian, misalnya pelatihan teknologi, komoditi atau budidaya. (YST,2001)

Menurut Sapar (2011), Pelatihan yang pernah diikuti dapat dilihat dari jumlah dan jenis pelatihan yang diikutinya selama kurun waktu tertentu. Pelatihan akan meningkatkan kompetensinya melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikapnya dalam bidang tertentu guna menunjang pelaksanaan tugasnya. Pelatihan yang pernah diikuti oleh penyuluh pertanian memiliki pengaruh pada kompetensi mereka

Jayaratne dan Gamon didalam Sapar (2011), mengemukanan, fokus utama pelatihan adalah peningkatan dan pengembangan kompetensi, menekankan pentingnya program pelatihan atau konseling untuk mengatasi “stress” akibat restrukturisasi dan realokasi penyuluh. Jayaratne dan Gamon menemukan adanya kecenderungan “stress” dalam menghadapi pekerjaan yang baru. Restrukturisasi dalam organisasi penyuluhan mengakibatkan empat

perubahan utama yaitu perubahan materi penyuluhan, wilayah kerja, kelompok inti dan sasaran (klien). Perubahan kelompok inti dan klien, berpengaruh negatif terhadap kinerja. Kedua perubahan ini erat kaitannya dengan perubahan lingkungan sosial dan interaksi sosial. Disimpulkan bahwa kinerja penyuluh mengalami kelelahan segera setelah penunjukan kembali dalam pekerjaan yang baru dan berpengaruh negatif terhadap kinerja.

Dokumen terkait