• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui deviasi dari rencana yang telah ditentukan selama pelaksanaan pekerjaan, atau apakah pekerjaan dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan. Pengukuran kinerja membutuhkan kemampuan untuk mengukur kinerja sehingga diperlukan adanya ukuran kinerja. Pengukuran kinerja dapat dilakukan terhadap kinerja yang nyata dan terukur. Untuk memperbaiki kinerja, perlu diketahui seperti apa kinerja saat ini. Apabila deviasi kinerja dapat diukur, dapat diperbaiki. Menurut Casio (1992), pengukuran kinerja merupakan proses mengevaluasi capaian karyawan dalam rangka mengembangkan potensi karyawan tersebut.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2001), orang yang melakukan pengukuran kinerja perlu memenuhi persyaratan diantaranya: (a) dalam posisi mengamati perilaku dan kinerja yang menjadi kepentingan individu, (b) mampu memahami dimensi atau gambaran kinerja, (c) mempunyai pemahaman tentang format skala dan instrumennya, dan (d) harus termotivasi untuk melakukan pekerjaan rating secara sadar.

Armstrong & Baron didalam Sapar, (2011), mengemukakan ada tiga dasar pengembangan ukuran kinerja sebagai alat peningkatan efektivitas organisasi, yaitu: (a) apa yang diukur semata-mata ditentukan oleh apa yang dipertimbangkan penting oleh pelanggan, (b) kebutuhan pelanggan diterjemahkan menjadi prioritas strategis dan rencana strategis mengindikasikan apa yang harus diukur dan (c) memberikan perbaikan kepada tim dengan mengukur hasil dari prioritas strategis, memberi kontribusi untuk perbaikan lebih lanjut dengan mengusahakan motivasi tim, dan informasi tentang apa yang berjalan dan tidak berjalan. Tujuan ukuran kinerja adalah memberikan bukti apakah hasil yang diinginkan telah dicapai atau belum dan apakah muatan yang terdapat di tempat pekerja memproduksi hasil tersebut. Fokus dan isi ukuran kinerja bervariasi di antara berbagai pekerjaan.

Menurut Armstrong dan Baron (1998), ukuran kinerja adalah alat ukur yang obyektif sehingga diperlukan adanya kriteria yang sama. Kriteria yang sama akan memberikan hasil yang dapat diperbandingkan secara obyektif dan adil. Kriteria ukuran kinerja adalah: (a) dikaitkan dengan tujuan strategis dan mengukur sesuatu yang secara organisasional penting dan mendorong kinerja;(b) relevan dengan sasaran dan akuntabilitas tim dan individu; (c) fokus pada output yang terukur; (d) fokus pada data yang tersedia sebagai dasar pengukuran; (e) dapat diverifikasi; (f) hasil pengukuran dijadikan dasar untuk umpan balik dan tindakan; serta (h) bersifat komprehensif, mencakup semua aspek kinerja.

Karakteristik ukuran kinerja adalah (a) secara akurat mengukur peubah kunci kinerja; (b) termasuk basis komparasi untuk membantu pemahaman yang lebih baik yang ditunjukkan tingkat kinerja; (c)

dikumpulkan dan didistribusikan berdasarkan waktu; (d) dapat dianalisis secara makro dan mikro; dan (e) tidak mudah dimanipulasi untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Pedoman mendefinisikan ukuran kinerja adalah sebagai berikut: (a) ukuran harus berhubungan dengan hasil dan perilaku yang diamati; (b) hasilnya harus dalam jangkauan pengawasan tim atau individu, dan berdasarkan target yang disepakati; (c) kompetensi yang merupakan persyaratan perilaku harus didefinisikan dan disepakati; (d) data harus tersedia untuk pengukuran dan (e) ukuran harus obyektif, (Armstrong & Baron, 1998).

Utomo dalam Sapar (2011), menyatakan untuk memahami kinerja yang lebih tepat, maka harus dikaitkan dengan output yang akan dihasilkan, yaitu prestasi kerja, tingkat kemangkiran, keinginan pindah, tingkat jabatan, dan besar kecilnya organisasi serta lingkungan fisik dan mental yang aman, nyaman, bersih, memiliki tingkat gangguan yang minimal dandukungan keselarasan untuk melakukan interaksi sosial dengan pegawai lain.

Wibowo (2007), menegaskan indikator kinerja kadang-kadang dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja, tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja banyak dikaitkan dengan hasil yang dapat dikuantitatifkan dan mengusahakan data setelah kejadian. Sementara itu indikator kenerja untuk aktivitas yang hanya dapat ditetapkan secara lebih kualitatif atau dasar prilaku yang dapat diamati. Terdapat 7 indikator kinerja, yaitu : (1) Standar; (2) Alat sarana; (3) Umpan balik; (4) Kompetensi; (5) Peluang; (6) Motif (7) Tujuan.

Departemen Pertanian menyatakan ada sembilan indikator kinerja (patokan kerja) penyuluhan pertanian dalam memotivasi dan membangun profesionalisme penyuluh pertanian. Kesembilan indikator kinerja (patokan kerja) penyuluhan pertanian tersebut, yaitu: (1) tersusunnya programa penyuluhan pertanian di tingkat BPP/Kecamatan sesuai dengan kebutuhan petani, (2) tersusunnya rencana kerja penyuluh pertanian di wilayah kerja masing- masing, (3) tersusunnya peta wilayah komoditas unggulan spesifik lokasi, (4) terdiseminasinya informasi dan teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, (5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, usaha/asosiasi petani dan usaha formal (koperasi dan kelembagaan lainnya), (6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha yang saling menguntungkan, (7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, (8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditi unggulan di masing-masing wilayah kerja dan (9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani di masing-masing wilayah kerja. (Departemen Pertanian, 2012).

Menurut Gilmer dalam Sapar ( 2011), Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kinerja adalah kesempatan untuk maju, keamanan kerja, aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi (baik antara pimpinan dengan bawahan atau antara rekan sekerja) dan fasilitas. Kinerja juga ditimbulkan karena faktor yang memiliki hubungan dengan pekerjaan, kondisi kerja, teman sekerja, pengawasan, promosi, dan gaji.

Hasibuan(2007), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja adalah (1) balas jasa yang adil dan layak, (2) penempatan

yang tepat sesuai dengan keahlian, (3) berat ringannya pekerjaan, (4) suasana dan lingkungan pekerjaan, (5) peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, (6) sikap pimpinan dalam kepemimpinannya, (7) Sifat pekerjaan monoton atau tidak.

Robbins(2008), mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja dapat berupa : (1) kerja yang secara mental menantang, (2) ganjaran yang pantas, (3) kondisi kerja yang mendukung, (4) rekan sekerja yang mendukung, (5) kesesuaian kepribadian pekerjaan.

2.4. Manajemen Kinerja

Kinerja juga dapat dilihat dari sisi manajemen. Hal ini sesuai dengan pendapat Simanjuntak (2003), yang menjelaskan bahwa manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja organisasi, termasuk kinerja setiap individu dan kelompok kerja. Kinerja individu dan kinerja kelompok dipengaruhi oleh banyak faktor intern dan ekstern organisasi.

Menurut Mondy (2008), Manajemen kinerja ( performance management) adlah proses berorientasi tujuan yang diarahkan untuk memastikan produktivitas karyawan, tim, dan akhirnya, organisasi. Bacal (2004) memandang manajemen kinerja sebagai proses komunikasi yang dilakukan secara terus-menerus dalam kemitraan antara karyawan dengan atasan langsungnya. Proses komunikasi ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Proses komunikasi merupakan suatu sistem, memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikutsertakan, apabila manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan.

Menurut Wibowo (2007), Manajemen kinerja adalah manajemen tentang menciptakan hubungan dan memastikan komunikasi yang efektif. Manajeme kinerja memfokuskan pada apa yang diperlukan oleh organisasi, manajer dan pekerja untuk berhasil. Manajemen kinerja adalah bagaimana kinerja dikelola untuk memperoleh sukses.

Armstrong dan Baron didalam Sapar, (2011) berpandangan bahwa manajemen kinerja adalah pendekatan strategis dan terpadu untuk menyampaikan sukses berkelanjutan pada organisasi dengan memperbaiki kinerja karyawan yang bekerja di dalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas tim dan kontributor individu. Mereka mengutip pendapat Fletcher yang menyatakan manajemen kinerja adalah pendekatan menciptakan visi bersama tentang maksud dan tujuan organisasi, membantu karyawan memahami dan mengenal bagiannya dalam memberikan kontribusi, dalam melakukannya, mengelola, dan meningkatkan kinerja baik individu maupun organisasi.

Mondy (2008), menyatakan meskipun setiap fungsi SDM berkontribusi terhadap manajemen kinerja, pelatihan dan penilaian kinerja memainkan peranan signifikan dalam proses tersebut. jika penilaian kinerja adalah kejadian sekali waktu setiap tahun, manajemen kinerja adalah proses yang dinamis, konstan, dan berkelanjutan. Penilaian kinerja ( performance approisal) adalah sistem formal untuk menilai dan mengevaluasi kinerja tugas individu atau tim.

Menurut Armstrong dan Baron didalam Sapar, (2011), ukuran kinerja adalah alat ukur yang obyektif sehingga diperlukan adanya kriteria yang sama. Kriteria yang sama akan memberikan hasil yang dapat diperbandingkan secara

obyektif dan adil. Kriteria ukuran kinerja adalah: (a) dikaitkan dengan tujuan strategis dan mengukur sesuatu yang secara organisasional penting dan mendorong kinerja; (b) relevan dengan sasaran dan akuntabilitas tim dan individu; (c) fokus pada output yang terukur; (d) fokus pada data yang tersedia sebagai dasar pengukuran; (e) dapat diverifikasi; (f) hasil pengukuran dijadikan dasar untuk umpan balik dan tindakan; serta (h) bersifat komprehensif, mencakup semua aspek kinerja.

2.5. THL-TBPP

THL-TBPP adalah singkatan dari Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian. THL-TBPP adalah tenaga kontrak penyuluh pertanian yang direkrut oleh pemerintah pusat yakni Kementrian Pertanian RI sejak tahun 2007 – 2009 dan mayoritas tetap bekerja sampai sekarang.Sebagai petugas yang direkrut oleh pemerintah dan diperbantukan pada instansi penyuluh pertanian di daerah Kabupaten / Kota para THL-TBPP menjalankan tupoksi serta mendapat kewenangan yang sama dengan penyuluh PNS. Seragam yang digunakan pun sama dengan seragam penyuluh pertanian PNS, Isyaturriyadhah (2010).

Pembaruan atau perpanjangan kontrak setiap tahun berdasarkan rekomendasi dari SKPD penyuluh pertanian kabupaten/ kota sekaligus menunjukan THL-TBPP sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk menjalankan tupoksi mengawal program pembangunan pertanian melalui pembinaan dan pendampingan kegiatan Kelompok Tani dan Gapoktan di wilayah desa binaan masing – masing, Nur Samsu (2013).

THL-TBPP dikontrak selama sepuluh bulan dalam setahun. Gaji untuk tingkat S2,S1dan D4 sebesar Rp.1.400.000 dengan BOP Rp.600.000/bulan,untuk

D3 Rp.1.200.000 dengan BOP 300.000/bulan, untuk tingkat SLTA Rp.1.000.000 dengan BOP Rp.100.000.Pada tahun 2010 Pemerintah Daerah menanggung gaji untuk THL-TBPP selama dua bulan sebesar Rp.350.000/THL/bulan. THL- TBPPharus bekerja tanpa gaji setiap penandatanganan kontrak kerja. Pemerintah biasanya merapel gaji THL-TBPP selama tiga bulan mulai dari Januari sampai dengan Maretpada bulan April. THL-TBPP umumnya harus bekerja terlebih dahulu baru akan mendapatkan gaji. Hal ini tidak seperti penyuluh PNS yang digaji terlebih dahulu baru bekerja, BP2KP Asahan (2013).

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparat Negara No.9/KEP/MK.Waspan/5/1999, tugas pokok penyuluh pertanian adalah: (1) menyiapkan penyuluhan yang meliputi identifikasi potensi wilayah agroekosistem, penyusunan programa penyuluhan pertanian dan penyusunan rencana kerja penyuluhan pertanian; (2) melaksanakan penyuluhan meliputi penyusunan materi penyuluhan pertanian, penerapan metode penyuluhan pertanian dan pengembangan keswadayaan masyarakat; (3) evaluasi dan pelaporan penyuluhan; (4) pengembangan penyuluhan meliputi penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyuluhan pertanian, perumusan kajian arah kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian dan pengembangan metode dan sistem kerja penyuluhan pertanian; (5) pengembangan profesi penyuluhan meliputi penyusunan karya tulis ilmiah penyuluhan pertanian, penerjemahan atau penyaduran buku penyuluhan pertanian dan bimbingan penyuluh pertanian dan (6) penunjang penyuluhan meliputi seminar dan

lokakarya penyuluhan pertanian serta mengajar pada diklat bidang penyuluhan.

Sebagai penyuluh, THL memiliki tugas pokok yang sama denga penyuluh yang digambarkan pada keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparat Negara No.9/KEP/MK.Waspan/5/1999, tentang tugas pokok penyuluh pertanian. Dalam mewujudkan kinerjanya, THL dihadapkan pada berbagai masalah internal maupun eksternal. Masalah internal dalam hal ini terkait dengan karakteristik THL itu sendiri, sedangkan masalah eksternal diantaranya adalah masalah perbedaan lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi perilaku kerja dan motivasi kerja yang tercermin pada kinerja atau job performance mereka. Perbedaan tipe kelembagaan yang mengelola tenaga THL misalnya dapat berimplikasi pada perbedaan pembinaan, penyelenggaraan program dan pembiayaan, sebagai contohnya, di Kabupaten Asahan memiliki satu kelembagaan kantor/badan penyuluhan, dan ada BPK (balai penyuluhan kecamatan) namun tidak semua kecamatan memiliki BPK ada satu BPK yang menangi dua kecamatan, (Nur Samsu, 2013).

2.6.Penelitian Terdahulu

MenurutPerdana (2009), (analisis kinerja program penyuluhan dan komunikasi pertanian di BPP Sewon Kabupaten Bantul) hasil penelitian menunjukan bahwa gaji, pendidikan formal, umur, pelatihan berhungan dengan kinerja. Perdana (2009), juga menyatakan kinerja adalah prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu organisasi. Agar dapat memberikan umpan balik bagi karyawan maupun organisasi, maka perlu

dilakukan penilaian atas prestasi tersebut. Prestasi berarti merupakan pencapaian hasil kerja. Pegawai yang kinerjanya tinggi akan produktif dalam bekerja. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja sangat erat hubungannya dengan produktivitas.

Sapar, (2011), melakukan penelitian mengenai Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Kompetensi Petani Kakao di Empat Wilayah Sulawesi Selatan. Menyatakan kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai individu secara aktual dalam suatu organisasi sesuai tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya yang dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan periode waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja penyuluh pertanian dipengaruhi oleh kompetensi penyuluh, sikap dan kemandirian penyuluh. Kompetensi penyuluh pertanian adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh penyuluh pertanian agar dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya dapat berhasil. Kinerja penyuluh pertanian juga dipengaruhi oleh tingkat p kemandirian penyuluh dalam melakukan tugas dan perannya dalam membantu petani. Kemandirian penyuluh dapat diartikan sebagai sikap mental seorang penyuluh yang dapat mengembangkan kemampuan mengatasi masalah-masalah dalam pelaksanaan kerjanya tanpa tergantung terhadap orang lain namun dapat pula bekerjasama dengan orang lain. Kemandirian tercermin pada kemampuan berinisiatif, kemampuan mengatasi masalah atau hambatan, memiliki rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu tanpa harus tergantung pada orang lain.

Nani Sufiana Suhanda dkk, (2008), dalam Kinerja Penyuluhan Pertanian di Jawa Barat menyatakan bahwa karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, pendidikan dan pelatihan,kesempatan pengembangan karir, tingkat kewenangan dan tanggung jawab, insentif, pembinaan dan supervisi, memberikan kontribusi terhadap kinerja Penyuluh Pertanian.

2.7.Kerangka Berpikir

Kinerja THL-TBPP di Kabupaten Asahan sangat penting dikarenakan THL-TBPP merupakan bagian dalam proses penyampaian teknologi terbaru untuk petani. THL-TBPP adalah tenaga-tenaga yang direkrut oleh pemerintah Indonesia untuk melasanakan tugas-tugas penyuluhan pertanian di desa-desa.

Kinerja adalah hasil kerja atau prestasi kerja, namun kinerja dapat dipandang sebagai proses maupun hasil pekerjaan. Terdapat beberapa indikator yang dapat mendukung kinerja. Kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Indikator kinerja dalam penyuluhan ada 9 yang kesemuanya harus dicapai agar bisa dikatakan penyuluh yang berhasil.

Kinerja THL-TBPP dipengaruhi beberapa variabel yaitu: gaji, tingkat pendidikan formal, umur, kesesuaian bidang ilmu, dan pelatihan yang diperoleh THL-TBPP. Gaji sangat berhubungan dengan kinerja karena gaji dapat memenuhi kebutuhan seseorang, dapat menimbulkan semangat kerja, semakin tinggi gaji seseorang maka semakin tinggi pula prestasi kerjanya.

Tingkat pendidikan formal dari THL-TBPP akan menentukan kinerja mereka, karena tingkat pendidikan formal akan menunjukan perbedaan tingkat

pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas, yang berpendidikan tinggi juga umumnya memiliki pengetahuan yang luas,

Umur THL-TBPP sangat berhubungan dengan kinerja, umur mempengaruhi kemampuan kerja. Semakin tua umur seseorang akan semakin turun kemampuannya. Kesesuaian bidang ilmu yang dimiliki THL-TBPP umumnya sangat menentuka kinerja seseorang karena semakin sesuai bidang ilmu THL-TBPP dengan komoditi di wilayah kerja nya, maka akan menentukan keahlian THL-TBPP tersebut. Pelatihan yang diperoleh THL-TBPP selama menjadi tenaga penyuluh pertanian paling rendah 200 jam, frekwensi pelatihan sangat mempengaruhi kwalitas penyuluh dalam melaksanakan tugasnya, karena biasanya pelatihan yang diperoleh adalah pelatihan-pelatihan tentang teknologi dan ilmu-ilmu yang terbaru.

Kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian Keterangan: : berhubungan Gaji (X1) Pendidikan Formal (X2) Umur (X3) Kesesuaian Bidang Ilmu (X4) Pelatihan (X5) Kinerja THL-TBPP (Y)

2.8.Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, landasan teori, dan kerangka pemikiran sebagaimana dijelaskan di atas, maka disusun hipotesis sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan positif yang nyata antara gaji dengan kinerja THL-TBPP. 2. Terdapat hubungan positif yang nyata antara tingkat pendidikan formal

dengan kinerja THL-TBPP.

3. Terdapat hubungan psitif yang nyata antara umur dengan kinerja THL-TBPP. 4. Terdapat hubungan positif yang nyata antara kesesuaian bidang ilmu dengan

kinerja THL-TBPP.

5. Terdapat hubungan positif yang nyata antara pelatihan dengan kinerja THL- TBPP.

Dokumen terkait