• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Life Satisfaction

BAB II LANDASAN TEOR

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Life Satisfaction

Komponen afektif dan kognitif dari subjective well being dipengaruhi oleh faktor penyebab yang berbeda. Prediktor perubahan pada komponen kognitif lebih kepada perubahan yang terjadi pada domain penting dalam hidup individu (Headey et al. dalam Eid & Larsen, 2008).

Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya kebahagiaan secara umum dan khususnya life satisfaction pada seorang individu antara lain:

1. Kesehatan

Diener (dalam Carr, 2004) mengatakan bahwa hal yang berkaitan dengan kebahagiaan adalah penilaian subjektif individu mengenai kesehatannya dan bukan atas penilaian objektif yang didasarkan pada analisa medis. Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun dapat melakukan aktivitas. Sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan fisik dapat menjadi penghalang untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan individu, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia (Hurlock, 1980).

Diener dan Biswas-Diener (2008) juga mengatakan bahwa individu yang bahagia lebih jarang mengalami sakit daripada individu yang tidak bahagia. Hal ini dikarenakan kebahagiaan dapat menangkis infeksi penyakit, pertahanan melawan gaya hidup yang dapat menimbulkan penyakit dan melindungi dari penyakit jantung. Sementara itu, ketidakbahagiaan dan depresi dikatakan dapat membahayakan kesehatan individu.

Olahraga juga dikatakan mempunyai dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap kesehatan dan kebahagiaan individu. Hal ini dikemukakan oleh Argyle dan Serafino (dalam Carr, 2004) yang menyatakan bahwa dampak jangka pendek dari olahraga adalah dapat menimbulkan emosi positif yaitu dengan adanya pengeluaran endorphin diotak. Lebih lanjut, dampak jangka panjangnya adalah mengurangi depresi dan kecemasan, meningkatkan kecepatan dan ketepatan kerja, memperbaiki konsep diri dan meningkatkan

kebugaran tubuh dan fungsi kardiovaskuler yang baik serta mengurangi resiko timbulnya penyakit sehingga pada akhirnya mengarah pada kebahagiaan. 2. Status Kerja

Argyle (dalam Carr, 2004) mengatakan bahwa individu dengan status bekerja lebih bahagia daripada individu yang tidak bekerja dan begitu juga dengan individu yang profesional dan terampil tampak lebih bahagia daripada individu yang tidak terampil. Wright (dalam Diener, 2009) juga mengatakan bahwa individu yang bekerja dengan menerima upah lebih bahagia daripada individu bekerja yang tidak menerima upah.

Diener et al. (2008) juga mengatakan bahwa ketika individu menikmati pekerjaannya dan merasa pekerjaan tersebut adalah hal yang penting dan bermakna maka individu akan puas terhadap kehidupannya. Sebaliknya, ketika individu merasa pekerjaannya buruk oleh karena lingkungan pekerjaan yang buruk dan kurang sesuai dengan diri individu tersebut maka individu akan merasa tidak puas pada kehidupannya.

Lebih lanjut, Hurlock (1980) mengatakan bahwa semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk mempunyai otonomi dalam pekerjaan, maka kepuasan akan semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada tugas sehari-hari yang diberikan kepada anak-anak dan juga pekerjaan orang- orang dewasa.

3. Penghasilan/Pendapatan

Penghasilan berkaitan dengan kepuasan finansial dan kepuasan finansial berkaitan dengan life satisfaction (Diener & Oishi dalam Eid & Larsen, 2008).

Diener dan Seligman (dalam Weiten & Llyod, 2006) juga mengatakan bahwa penghasilan mempunyai hubungan yang lemah dengan kebahagiaan. Dalam hal ini, kemiskinan dilaporkan dapat menyebabkan individu tidak bahagia, namun kekayaan juga dikatakan tidak selamanya menyebabkan individu bahagia. 4. Realisme dari Konsep-Konsep Peran

Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/istri, orang tua dan pencari nafkah dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Semakin berhasil seseorang melaksanakan tugas tersebut semakin hal itu dihubungkan dengan prestise, maka semakin besar kepuasan yang ditimbulkan (Hurlock, 1980).

Myers (dalam Carr, 2004) juga mengatakan bahwa individu baik pria maupun wanita yang telah menikah lebih bahagia daripada individu yang tidak menikah, baik yang bercerai, berpisah maupun tidak pernah menikah sama sekali. Hal tersebut dikarenakan pernikahan menyediakan intimasi psikologis dan fisik, yang meliputi memilki anak dan membangun rumah, peran sosial sebagai orangtua dan pasangan, dan menegaskan identitas dan menciptakan keturunan.

5. Pernikahan

Meskipun hubungan romantis dapat menimbulkan keadaan stres, namun hubungan romantis juga adalah sumber kebahagiaan (Weiten & Llyod, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa individu yang telah menikah memiliki

subjective well being yang lebih tinggi daripada kelompok individu yang tidak menikah (Diener, 2009). Glenn (dalam Diener, 2009) juga mengatakan bahwa meskipun wanita yang menikah mungkin dilaporkan mengalami gejala stres yang lebih besar daripada wanita yang tidak menikah, mereka juga dilaporkan memiliki life satisfaction yang lebih tinggi. Lebih lanjut, Glenn dan Weaver (dalam Diener, 2009) juga mengatakan bahwa pernikahan merupakan prediktor utama dari subjective well being ketika faktor pendidikan, pendapatan, dan status pekerjaan dikontrol.

Lebih lanjut, Harvey, Pauwels dan Zickmund (Carr, 2004) juga menambahkan bahwa pernikahan yang memiliki komunikasi yang saling menghargai dan jelas serta saling memaafkan kesalahan masing-masing berkaitan dengan tingkat kepuasan yang tinggi sehingga mengakibatkan kebahagiaan yang lebih tinggi.

6. Usia

Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bradburn dan Caplovitz (dalam Diener, 2009) menemukan bahwa individu usia muda lebih bahagia daripada individu yang berusia lanjut. Akan tetapi, sejumlah tokoh mengadakan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan penelitian tersebut dan hasilnya menunjukkan dua hal, ada penelitian yang menunjukkan tidak ada efek usia terhadap kebahagiaan tetapi ada juga penelitian yang menemukan adanya hubungan yang positif antara usia dengan life satisfaction (Diener, 2009).

7. Pendidikan

Pendidikan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap subjective well being (Palmore; Palmore & Luikart, dalam Diener, 2009) dan memiliki interaksi dengan variabel lain yaitu pendapatan (Bradburn & Caplovitz dalam Diener, 2009). Namun, beberapa penelitian juga menemukan bahwa pendidikan mempunyai dampak positif terhadap kebahagiaan wanita (Freudiger; Glenn & Weaver; dan Mitchell dalam Diener, 2009).

8. Agama/Kepercayaan)

Myers (dalam Weiten & Llyod, 2006) mengatakan bahwa agama dapat memberikan tujuan dan makna hidup, membantu individu mensyukuri kegagalannya, memberikan individu komunitas yang supportif, dan memberikan pemahaman mengenai kematian secara benar.

Agama menyediakan manfaat bagi kehidupan sosial dan psikologis individu sehingga akhirnya meningkatkan life satisfaction. Agama dapat menyediakan perasaan bermakna dalam kehidupan setiap hari terutama saat masa krisis. Selain itu, juga menyediakan identitas kolektif dan jaringan sosial dari sekumpulan individu yang memiliki kesamaan sikap dan nilai. (Diener et al., 2009).

9. Hubungan sosial

Hubungan sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap life

satisfaction. Individu yang memiliki kedekatan dengan orang lain, memiliki

teman dan keluarga yang supportif cenderung puas akan seluruh kehidupannya. Sebaliknya, kehilangan orang yang disayangi akan menyebabkan individu

menjadi tidak puas akan hidupnya dan individu tersebut memerlukan waktu untuk kembali menilai kehidupannya secara positif (Diener et al., 2009).

B. KONFLIK PERAN GANDA 1. Definisi Konflik Peran Ganda

Sejak dilahirkan, setiap individu memiliki dan memainkan beberapa peran dalam kehidupannya. Henslin (2005) mengatakan bahwa peran (roles) adalah perilaku, kewajiban, dan hak yang melekat pada suatu status. Misalnya, menjadi seorang anak adalah status, dan peran seorang anak adalah menghormati orangtua dan mendapat perawatan dan perlindungan dari orangtuanya.

Adanya peran tersebut memberikan individu sejumlah kebebasan namun memiliki batasan atau pagar, dalam hal ini adalah pandangan masyarakat mengenai perilaku yang tepat atau sesuai (Henslin, 2005). Hal ini sesuai dengan pengertian peran menurut Myers dan Myers (1992) yang mengatakan bahwa peran adalah pola perilaku yang menentukan perilaku yang tepat dalam suatu situasi yang spesifik.

Setiap hari, individu laki-laki dan perempuan memainkan beberapa peran sekaligus (Henslin, 2005). Sebagai contoh, seorang perempuan dewasa dini memainkan peran-peran seperti peran pekerja, istri dan ibu dalam waktu yang bersamaan.

Pada umumnya tuntutan atau harapan berbagai peran yang dimainkan individu tersebut muncul dan terpenuhi secara terpisah-pisah. Namun, terkadang apa yang diharapkan oleh peran yang satu tidak sesuai dengan harapan peran yang

lain. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan konflik peran (Henslin, 2005). Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang bekerja sambil kuliah dituntut untuk mengikuti jadwal kuliah ganti sementara peran sebagai pekerja menuntut mahasiswa tersebut untuk hadir dalam rapat bulanan.

Lewin (dalam Shaw & Costanzo, 1982) mengambarkan konflik sebagai suatu situasi dimana gaya dalam diri individu bergerak dalam arah yang bertentangan namun dengan kekuatan yang seimbang.

Konflik terjadi ketika forces atau vector (arah dan kekuatan dorongan untuk berubah) dan resultant force (kombinasi sejumlah forces) mengarahkan individu untuk bergerak (secara fisik dan psikologis) dalam satu atau lebih arah dalam area-area khusus dalam life space (area kehidupan) sesuai dengan valence (nilai) yang dibuat individu dari adanya kebutuhan (Lewin, dalam Lindzey & Hall, 1985).

Atau dengan kata lain, konflik terjadi ketika individu merasakan adanya dua atau lebih kebutuhan yang sama-sama penting dan mendesak namun usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dilakukan secara bersamaan dalam suatu situasi sehingga menyebabkan individu merasakan ketegangan.

Konflik dapat mengarah pada hasil yang bersifat konstruktif karena konflik dan ketegangan dapat memberikan energi atau motivasi sehingga membuat seorang individu menjadi kreatif, inovatif, dan perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, jika konflik tidak diatasi dengan baik, konflik juga dapat

bersifat destruktif yang merugikan individu itu sendiri dan orang lain (Myers & Myers, 1992).

Sementara itu, konflik peran ganda adalah suatu situasi yang dihadapi individu ketika harus memenuhi tuntutan atau harapan dua peran sosial yang saling bertentangan muncul secara bersamaan (Schaefer, 2007 dan Newman & Newman, 2006). Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang bekerja sambil kuliah dituntut untuk mengikuti jadwal kuliah ganti sementara peran sebagai pekerja menuntut mahasiswa tersebut untuk hadir dalam rapat bulanan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda adalah situasi ketegangan atau kesulitan yang dirasakan individu saat beberapa peran yang dimainkan memiliki tuntutan yang saling bertentangan dan muncul secara bersamaan dalam hal cara pemenuhannya.

2. Dimensi Konflik Peran Ganda

Greenhaus dan Beutell (dalam Schabracq et al., 2003) serta pembahasan lebih lanjut dalam jurnal beliau yang berjudul Sources of Conflict Between Work and Family Roles (1985) terdapat tiga dimensi dalam konflik peran ganda, yaitu: 1. Time-Based Conflict, mengacu pada kesulitan dalam pembagian waktu, energi

dan kesempatan antara peran pekerjaan dan rumah tangga. Time based conflict terjadi dalam dua bentuk yaitu (1) tuntutan waktu dari satu peran menyebabkan tuntutan dari peran lain tidak mungkin terpenuhi (secara fisik) dan (2) individu sangat menikmati satu peran dibanding peran yang lain (secara mental). Waktu

yang dihabiskan untuk melaksanakan satu peran akan menyisakan sedikit waktu untuk menjalankan peran yang lain.

2. Strain Based Conflict, mengacu pada ketegangan atau keadaan emosional (misalnya kelelahan, kecemasan, depresi, mudah marah) yang dihasilkan oleh satu peran menyulitkan pemenuhan tuntutan peran yang lain atau menghambat performansi peran lain tersebut.

3. Behavior Based Conflict, mengacu pada pola perilaku spesifik dari satu peran yang tidak sesuai dengan harapan perilaku peran yang lain. Ketidaksesuaian seperangkat perilaku individu ketika di tempat kerja dan ketika di rumah menyebabkan individu sulit menukar antara peran yang satu dengan yang lain.

3. Strategi Mengatasi Konflik

Ada berbagai strategi yang dilakukan individu ketika mengalami konflik, antara lain (Myers & Myers, 1992):

1) Avoidance

Banyak manusia yang merasakan ketidaknyaman seperti merasa terancam dan khawatir tidak mampu menghadapi konflik. Ketidaknyamanan ini mengakibatkan individu menghindari konflik atau pemicu konflik dan biasanya individu mempercayai adanya keajaiban dalam penyelesaian konflik tersebut. Teknik yang biasanya digunakan dalam mengatasi konflik meliputi denial, withdrawal dan suppression.

Defusion strategy digunakan ketika individu membuat alasan atau dalih atas konflik yang dialami sampai individu merasa tenang kembali atau mendapat informasi lebih mengenai sumber konflik. Langkah yang dilakukan oleh individu dapat berupa menghindari masalah yang besar atau hanya berfokus pada masalah kecil, mengalihkan perhatian pada hal lain.

3) Confrontation

Dalam strategi ini, individu menghadapi konflik secara langsung dengan tiga strategi yaitu win-lose strategy, lose-lose or concession strategy dan win-win or integration strategy.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda

Stoner dan Charles (1990) menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik peran ganda dalam diri individu, antara lain: a. Time pressure

Semakin banyak waktu yang digunakan wanita karir untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga dan hal ini menyebabkan timbulnya konflik dalam hal waktu.

b. Family size and support

Semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak konflik dan semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik.

c. Work satisfaction.

Semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin sedikit. d. Marital and life satisfaction

Ada asumsi bahwa wanita bekerja memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya.

e. Size of firm

Banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin saja mempengaruhi konflik peran ganda seseorang.

C. WANITA BEKERJA 1. Definisi Wanita Bekerja

Dalam kehidupan, manusia selalu mengadakan bermacam-macam aktivitas. Salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan yang disebut dengan kerja. As’ad (1998) mengatakan bahwa bekerja adalah aktivitas manusia baik fisik maupun mental yang pada dasarnya adalah bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapatkan kepuasan. Weiten dan Llyod (2006) mengatakan bahwa kerja adalah suatu aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang berharga bagi orang lain.

Konsep kerja juga dinyatakan oleh Thomason (dalam Ndraha, 1999) sebagai aktivitas yang menuntut pengeluaran energi atau usaha untuk menciptakan produk dan jasa yang bernilai bagi manusia dari bahan/material mentah.

Brown (dalam Anoraga, 2006) mengatakan bahwa kerja sesungguhnya merupakan bagian penting dari kehidupan manusia karena memberikan status dalam masyarakat dan dalam keadaan biasa, seseorang baik pria maupun wanita sejak dahulu kala memang menyukai pekerjaan.

Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan aktivitas bekerja disebut dengan pekerja/buruh. Hal ini dijelaskan dalam Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang menyatakan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Perempuan bekerja (employed women) adalah perempuan yang bekerja untuk mendapatkan upah (Matlin, 2004). Sementara itu, menurut Anoraga (2006) wanita karir adalah wanita yang memperoleh/mengalami perkembangan dan kemajuan dalam bidang pekerjaan. Anoraga menyebutkan wanita yang bekerja untuk menggantikan istilah wanita karir. Beliau juga menegaskan kembali bahwa yang dimaksud dengan karir adalah bekerja apa saja asal mendatangkan suatu kemajuan dalam kehidupannya.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa wanita bekerja adalah wanita yang melakukan aktivitas pengeluaran energi/usaha dalam menghasilkan produk atau jasa dan bertujuan untuk mempertahankan hidup, mendapatkan kepuasan/kesenangan dan meningkatkan taraf kehidupan.

2. Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja

Anoraga (2006) mengatakan ada berbagai alasan yang mendorong seseorang untuk bekerja, antara lain:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis dasar yaitu mencari nafkah untuk

mempertahankan hidup seperti makan, minum, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya.

2. Memenuhi kebutuhan egoistik misalnya kesenangan (hobi) atau merupakan pilihan-pilihan untuk memenuhi kepuasan terhadap prestasi yang diperoleh, adanya kebebasan/otonomi dalam hal kreativitas dan keinginan akan pengetahuan akan sesuatu.

3. Memenuhi kebutuhan sosial seperti mendapatkan imbalan sosial seperti respek atau pengagum dari rekan-rekan sekerja, memperoleh kekuasaan dan menggunakannya kepada orang lain, memperoleh rasa identifikasi dan rasa memiliki serta persahabatan.

Anoraga (2006) secara khusus juga mengatakan ada 3 alasan yang menyebabkan seorang wanita untuk bekerja yaitu memenuhi kebutuhan keluarga, untuk menghilangkan rasa sepi atau membuka lapangan kerja bagi wanita pencari kerja.

DeGenova (2008) juga mengatakan bahwa seorang wanita memasuki dunia kerja untuk alasan ekonomi yaitu kebutuhan finansial dan alasan non ekonomi seperti pemenuhan diri.

3. Manfaat Bekerja Bagi Wanita

Pada umumnya, perempuan yang bekerja dilaporkan memiliki rasa kompetensi dan prestasi yang lebih besar daripada perempuan yang tidak bekerja (Cleveland et al.; Hoffman & Hale-Benson dalam Matlin, 2004). Hal ini semakin diperjelas oleh Agronick dan Duncan (dalam Matlin, 2004) yang mengatakan bahwa perempuan paruh baya yang bekerja di luar rumah dilaporkan merasa lebih powerful dan percaya diri.

Selain itu, perempuan yang memiliki pekerjaan yang bagus dan pendapatan keluarga yang tinggi juga dilaporkan mempunyai kesehatan fisik dan psikologis yang baik (DeGenova, 2008)

Peran pekerja juga memberikan keuntungan bagi wanita seperti adanya status sosial, dukungan sosial atau sumber finansial (Newman & Newman, 2006). Bekerja juga memberikan individu baik pria maupun wanita sebuah status sosial yang juga terdapat peran didalamnya (Anoraga, 2006).

D. PERAN GANDA WANITA BEKERJA 1. Definisi Peran Ganda Wanita Bekerja

Individu laki-laki dan perempuan memainkan peran yang berbeda dalam kehidupannya. Setiap peran yang dimainkan individu tersebut tidak terlepas dari adanya harapan-harapan atau tuntutan (Newman & Newman, 2006). Harapan atau tuntutan peran bagi seorang perempuan adalah munculnya perilaku dan sikap yang feminin seperti lemah lembut, terikat pada orang lain, patuh, sensitif dan lain sebagainya (DeGenova, 2008).

Hal ini juga didukung oleh adanya Panca Dharma Wanita Indonesia yang menuntut seorang wanita dapat melakukan lima tugas di dalam hidupnya yaitu sebagai istri/pendamping suami, sebagai pengelola rumah tangga, sebagai penerus keturunan, sebagai ibu dari anak-anak, dan sebagai warga Negara (Anoraga, 2006).

1. Mandat dalam pernikahan, wanita memiliki tanggung jawab untuk memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya

2. Mandat sebagai ibu, wanita diharapkan untuk memiliki anak. Arandell (dalam Weiten & Llyod, 2006) mengatakan bahwa saat ini ibu diharapkan menjadi seorang ibu yang intensif, berpusat pada anak, dan mengorbankan kebutuhan dan minatnya.

3. Wanita pekerja di luar rumah. Sebagian besar wanita muda, berpendidikan tinggi bekerja diluar rumah dan ingin memuaskan kehidupan keluarganya.

Sementara itu, menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000) peran ganda wanita terdiri dari:

1. Wanita sebagai anggota keluarga.

Wanita memberikan inspirasi tentang gambaran arti hidup dan peranannya sebagai wanita dan anggota keluarga.

2. Wanita sebagai istri.

Wanita membantu suami dalam menentukan nilai-nilai yang akan menjadi tujuan hidup yang mewarnai hidup sehari-hari dan keluarga:

a. menjadi kekasih suami,

b. menjadi pengabdi dalam membantu meringankan beban suami,

c. menjadi pendamping suami, bila perlu membina relasi-relasi dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial, menghadapi, mengatasi masalah baik diatasi sendiri atau bersama-sama,

d. menjadi manajer keuangan yang dilimpahkan oleh suami. 3. Wanita sebagai pencari nafkah.

Wanita untuk kepuasan diri bisa menunjukkan kemampuan dengan bekerja. Wanita yang berambisi tinggi, sesudah menikah bisa juga ingin tetap mengejar karir. Dalam kenyataannya, ada wanita yang perlu bekerja diluar atau didalam rumah untuk meringankan beban suami atau untuk mengamalkan kemampuannya setelah mempelajari sesuatu yang member kepuasan tersendiri, sambil menambah penghasilan keluarga.

4. Wanita sebagai ibu rumah tangga.

Wanita mengatur seluruh kehidupan dan kelancaran rumah tangga. Selain itu, wanita mengatur dan mengusahakan suasana rumah yang nyaman.

5. Wanita sebagai ibu dari anak.

a. wanita menjadi model tingkah laku anak yang mudah diamati dan ditiru, b. menjadi pendidik: memberi pengarahan, dorongan dan pertimbangan bagi

perbuatan-perbuatan anak untuk membentuk perilaku,

c. menjadi konsultan: member nasehat, pertimbangan, pengarahan dan bimbingan,

d. menjadi sumber informasi: memberikan pengetahuan, pengertian dan penerangan.

6. Wanita sebagai wanita karir yang berkeluarga, menjadi istri dan ibu.

Wanita perlu memiliki perangkat urutan peran dalam kemajemukan perannya agar dapat mengatasi konflik, yang mungkin akan dihadapinya bila pada saat yang sama dituntut untuk melaksanakan beberapa peran. Wanita dalam mengemban tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan anggota

keluarga, turut berperan membentuk hari depan dengan kesadaran penuh akan kemanusiaan dan sifat hakikinya.

2. Tingkat Konflik Peran Ganda pada Wanita Bekerja

DeGenova (2008) mengatakan bahwa tren ibu bekerja hanya menambah penderitaan wanita. Wanita dituntut untuk bekerja penuh waktu di luar rumah, tuntutan pengasuhan/perawatan keluarga dan tuntutan pekerjaan rumah tangga secara sekaligus. Meskipun wanita bekerja semakin meningkat jumlahnya dan melakukan aktivitas kerja sebanyak jam kerja pasangannya, wanita tetap memegang tanggung jawab utama terhadap pemeliharaan rumah dan anak-anak bahkan wanita bekerja melakukan tugas domestik dua sampai tiga kali lebih banyak daripada pria (Bianchi, Milkie, Sayer & Robinson dalam DeGenova, 2008).

Dalam keluarga berpenghasilan ganda, wanita dilaporkan memikul tanggung jawab yang lebih besar dalam perawatan anak dan pekerjaan rumah tangga (Bond et al. dalam Weiten & Llyod, 2006). Wanita dikatakan lebih mengalami konflik peran ganda daripada pria (Glenn dalam Weiten & Llyod, 2006).

Lewis dan White et al. (dalam Schabracq et al., 2003) juga mengatakan bahwa keletihan dalam gaya hidup keluarga dengan penghasilan ganda paling banyak menimpa wanita. Wanita yang mengalami tekanan pribadi, sosial dan masyarakat yang lebih besar untuk mendahulukan keluarga dan tugas rumah tangga dikatakan juga mengalami ketegangan yang semakin besar dalam

menyelesaikan tuntutan pekerjaan dan keluarga (Barnett & Baruch; Beutell & Greenhaus dalam Schabracq et al., 2003).

E. DINAMIKA HUBUNGAN KONFLIK PERAN GANDA DENGAN LIFE

SATISFACTION PADA WANITA BEKERJA.

Meltzer dan Ludwig (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa faktor penentu kebahagiaan seorang individu dalam berbagai periode dewasa dini, antara lain menyangkut kehidupan keluarga, pekerjaan, kesehatan yang baik dan prestasi-prestasi dalam pencapaian tujuan. Secara khusus, Hurlock (1980) menyatakan bahwa tingkat keberhasilan individu dalam memecahkan masalah penting di masa dewasanya menyangkut kehidupan pekerjaan dan keluarga akan menentukan kepuasannya dan mempengaruhi kebahagiaannya.

Life satisfaction merupakan penilaian secara kognitif mengenai seberapa baik dan memuaskan hal-hal yang sudah dilakukan individu dalam kehidupannya secara menyeluruh dan atas area-area utama dalam hidup yang mereka anggap

Dokumen terkait