• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat

Pada dasarnya seseorang yang mempunyai minat yang tinggi akan mencapi hasil yang maksimal. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi minat, Faktor-faktor yang mempengaruhi minat di kelompokkan menjadi 2 golongan (Winkel, 1986:27-28):

a. Minat secara intrinsik

Minat seara intrinsik merupakan minat yang timbul dari dalam individu sendiri tanpa pengaruh dari luar. Minat intrinsik dapat timbul karena pengaruh sikap, persepsi, prestasi belajar, bakat, jenis kelamin dan intelegensi.

b. Minat secara ekstrinsik

Minat secara ekstrinsik merupakan minat yang timbul akibat pengaruh dari luar individu. Minat secara ekstrinsik timbul antara lain karena latar belakang ekonomi, minat orang tua dan teman sebaya.

Menurut Sumardi (1982:54), faktor-faktor yang mempengaruhi minat adalah:

a. Minat Pembawaan

Minat ini muncul dengan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain baik kebutuhan maupun lingkungan. Biasanya minat ini muncul berdasarkan bakat yang ada. Misalnya apabila seeorang mempunyai bakat di bidang pendidikan maka ia berminat masuk FKIP

b. Minat yang muncul karena pengaruh luar

Minat seseorang bisa saja berubah karena adanya pengaruh-pengaruh seperti lingkungan dan kebutuhan. Misalnya siswa yang teman-temanya banyak masuk fakultas hukum, maka ia terpaksa masuk fakultas hukum pula walaupun niatnya bukan ke fakultas hukum.

B. Kewirausahaan

1. Pengertian Wirausaha

Ilmu kewirausahaan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan, dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai risiko yang mungkin dihadapinya. Dalam konteks bisnis, menurut Zimmerer (1996) dalam Suryana (2001:2) : “ entrepreneurship is the result of a disciplined,

systematic process of applying creativity and innovations to need and

opportunities in the market place”. Kewirausahaan adalah hasil dari suatu

disiplin, proses sistematis penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar. Kewirausahaan mempelajari tentang nilai, kemampuan, dan perilaku seseorang dalam berkreasi dan berinovasi. Menurut Soeparman Soemahamijaja (1997) dalam Suryana (2001:3), kemampuan seseorang yang menjadi objek kewirausahaan meliputi:

a. Kemampuan merumuskan tujuan hidup/usaha. Dalam merumuskan

berulang-ulang dibaca dan diamati sampai memahami apa yang menjadi kemauannya.

b. Kemampuan memotivasi diri, untuk melahirkan suatu tekad kemauan yang selalu menyala-nyala.

c. Kemampuan untuk berinisiatif, yaitu mengerjakan sesuatu yang baik tanpa menunggu perintah orang lain, yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan berinisiatif.

d. Kebiasaan berinisiatif yang melahirkan kreatifitas (daya cipta) setelah dibiasakan berulang–ulang akan melahirkan motivasi. Kebiasaan inovatif adalah desakan dalam diri untuk selalu mencari berbagai kemungkinan baru atau kombinasi baru apa saja yang dapat dijadikan piranti dalam menyajikan barang dan jasa bagi kemakmuran masyarakat.

e. Kemampuan untuk membentuk modal uang atau barang modal(capital goods).

f. Kemampuan untuk mengatur waktu dan membiasakan diriuntuk selalu tepat waktu dalam segala tindakannya melalui kebiasaan yang selalu tidak menunda pekerjaan.

g. Kemampuan mental yang dilandasi dangan agama.

h. Kemampuan untuk membiasakan diri dalam mengambil hikmah dari

pengalaman yang baik maupun menyakitkan.

Secara epistemologi, kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai usaha atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru dan sesuatu yang berbeda. Dua hal ini tampak dalam definisi kewirausahaan yang dikemukakan oleh Zimmerer (1996:51)

dalam Suryana (2001:4) sebagai berikut: applying creativity and

innovation to solve the problem and to exploit oportunity that people face

everyday.

Kreatifitas oleh Zimmerer (1996:51) dalam Suryana (2001:3) diartikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dan menghadapi

peluang. Sedangkan inovasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk

menghadapi peluang. Dengan demikian, kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup.

Dalam konteks manajemen, seorang entrepreneur umumnya

memiliki kemampuan menggunakan sumber daya seperti finansial, bahan mentah (materials) dan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu produk

baru, bisnis baru, proses produksi, ataupun pengembangan organisasi usaha ( Marzuki Usman, 1997 dalam Suryana 2001:3). Beberapa definisi lain juga menekankan pada hal yang sama seperti tampak dalam pendapat Scarborough dan Zimmerer (1993:5) dalam Suryana (2001:4) sebagai berikut:

“an entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on those opportunities”

Menurut Drucker (1994) dalam Suryana (2001:10), kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang berbeda (ability to

create the new and different thing). Bygrave (1995) dalam Suryana

(2001:4) menambahkan bahwa kemampuan menciptakan sesuatu tidaklah cukup, seorang wirausaha harus berani mengembangkan usaha dan ide-ide barunya.

Dengan demikian esensi kewirausahaan dalam konteks manajemen adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses kombinasi antara sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing. Cara-

cara tersebut menurut Zimmerer (1996:51) dalam Suryana (2001:7) mencakup:

a. Pengembangan teknologi baru (developing new technology) b. Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge)

c. Perbaikan produk dan jasa yang sudah ada (improving existing

products or services)

d. Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan

jasa yang lebih banyak dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more goods and services with fewer resources).

2. Karakteristik Kewirausahaan

Sama halnya dengan definisi kewirausahaan, karakteristik kewirausahaan dikemukakan oleh berbagai pihak secara beragam. Meredith (1996:9) dalam Suryana (2001:7) menyatakan bahwa berwirausaha berarti memadukan watak pribadi, keuangan dan sumber daya. Oleh sebab itu, berwirausaha merupakan suatu pekerjaan atau karier dimana seseorang dalam menjalankan memiliki ciri-ciri: (1) kepribadian, ketidaktergantungan, individualitas dan optimisme; (2) kebutuhan untuk berprestasi berorientasi laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras mempunyai dorongan kuat, energik dan inisiatif; (3) kemampuan untuk mengambil resiko yang wajar; (4) perilaku sebagai pemimpin, bergaul dengan orang lain, menanggapi saran-saran dan kritik; (5) inovatif dan kreatif serta fleksibel; dan (6) berpandangan ke depan.

Wirausaha memiliki sejumlah karakteristik umum. M. Scarborough dan Zimmerer (1993) yang dikutip oleh Suryana (2001:8-9) mengemukakan delapan karakteristik sebagai berikut:

Memiliki tanggung jawab atas usaha-usaha yang dilakukannya. Seseorang yang memiliki rasa tanggung jawab akan selalu mawas diri. b. Preference for moderate risk

Lebih memilih resiko yang moderat, artinya ia selalu menghindari risiko yang rendah dan menghindari risiko yang tinggi.

c. Confidence in their ability to success

Percaya akan kemampuan dirinya untuk berhasil. d. High level of energy

Memiliki semangat dan kerja keras untuk mewujudkan keinginannya demi masa depan yang lebih baik.

e. Future orientation

Berorientasi ke masa depan, perspektif, dan berwawasan jauh ke depan. f. Skill at organizing

Memiliki keterampilan dalam mengorganisasikan sumber daya untuk menciptakan nilai tambah.

g. Desire for immediate feedback

Selalu menghendaki umpan balik yang segera. h. Value of achievement over money

Selalu menilai prestasi dengan uang.

Sementara, menurut Arthur Kuriloff dan J.M. Mempil (1993:20) dalam Suryana (2001:9) mengemukakan karakteristik kewirausahaan dalam bentuk nilai-nilai dan perilaku kewirausahaan antara lain: (1) commitment, (2) moderate risk, (3) seeing opportunities, (4) objectivity,

(5) feedback, (6) optimism, (7) money, (8) proactive management.

Wirausaha selalu komitmen dalam melakukan tugasnya sampai berhasil. Ia harus tekun, ulet, pantang menyerah sebelum pekerjaannya berhasil. Wirausaha selalu berani mengambil risiko yang moderat artinya risiko yang didukung oleh komitmen yang kuat, mendorong wirausaha untuk terus berjuang mencari peluang sampai berhasil. Keberanian menghadapi risiko yang didukung oleh komitmen yang kuat, mendorong wirausaha untuk terus berjuang mencari peluang sampai ada hasil. Hasil- hasil itu harus nyata/jelas dan objetif, dan merupakan umpan balik bagi

kelancaran kegiatannya. Dengan semangat optimisme yang tinggi karena ada hasil yang diperoleh, maka uang selalu dikelola secara proaktif dan dipandang sebagai sumber daya.

Masing-masing karakteristik kewirausahaan memiliki makna- makna yang disebut nilai (Milton Rockeach, 1973) dalam Suryana (2001:13). Konsep nilai selanjutnya dibedakan menjadi 2: (1) person has a

value dan (2) an object has value. Konsep pertama menyatakan bahwa

nilai yang dianut seseorang dijadikan sebagai ukuran baku bagi persepsinya terhadap dunia luar. Oleh sebab itu, watak yang melekat pada seorang wirausaha akan menjadi ciri-ciri kewirausahaan dapat dipandang sebagai sistem nilai kewirausahaan. Nilai-nilai kewirausahaan tersebut identik dengan nilai yang melekat pada sistem nilai manajer. Sedangkan pada pandangan ke dua, nilai dianggap sebagai sesuatu yang ada pada objek dan merupakan milik dari objek.

Sedangkan menurut pandangan Timmons dan McClelland (1961), Thomas F. Zimmerer (1996:6-8) dalam Suryana (2001:11-12) tentang karakteristik sikap dan perilaku kewirausahaan yang berhasil adalah sebagai berikut:

a. Commitment and determination, memiliki komitmen dan tekad yang bulat untuk mencurahkan semua perhatiannya pada usaha. Sikap yang setengah hati kemungkinan akan gagal dalam berwirausaha adalah besar.

b. Desire for responsibility, yaitu memiliki rasa tanggung jawab baik dalam mengontrol sumber daya yang digunakan maupun tanggung jawab terhadap keberhasilan berwirausaha. Oleh karena itu akan mawas diri secara internal.

c. Opportunity obsession, yaitu selalu berambisi untuk mencari peluang. Keberhasilan wirausaha selalu diukur dengan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan terjadi apabila ada peluang.

d. Tolerance for risk, ambiguity, and uncertainty, yaitu tahan terhadap risiko dan ketidakpastian. Wirausaha harus belajar untuk mengelola risiko dengan cara mentransfer resiko ke pihak lain seperti banker, investor, konsumen, pemasok dan lain-lain. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan ketidakpastian.

e. Self confidence, yaitu percaya diri, ia cenderung optimis dan tidak memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk berhasil.

f. Creatifity and flexibility, yaitu berdaya cipta dan luwes. Salah satu kunci penting adalah kemampuan untuk menghadapi perubahan permintaan. Kekuatan dalam menghadapi perubahan ekonomi dunia yang serba cepat sering kali membawa kegagalan. Kemampuan untuk merespons perubahan yang cepat dan fleksibel tentu saja memerlukan kreatifitas yang tinggi.

g. Desire for imidiate feedback, yaitu selalu memerlukan umpan balik yang segera untuk mengetahui hasil dari apa yang dikerjakanya. Oleh karena itu, dalam memperbaiki kinerjanya, ia selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya dan selalu belajar dari kegagalan.

h. High level of energy, yaitu memiliki tingkat energi yang tinggi. Wirausaha yang berhasil biasanya memiliki daya juang yang lebih tinggi dibanding rata-rata orang lainnya, sehingga ia lebih suka kerja keras walaupun dalam waktu yang relatif lama.

i. Motivation to excel, yaitu memiliki dorongan untuk selalu unggul. Ia selalu ingin lebih unggul, lebih berhasil dalam mengerjakan apa yang dilakukannya dengan melebihi standar yang ada. Motivasi ini muncul karena ada dalam diri (internal) dan jarang dari luar.

j. Orientation to the future, yaitu berorientasi pada masa yang akan datang. Untuk tumbuh dan berkembang, ia selalu berpandangan jauh kemasa depan yang lebih baik.

k. Willingness to learn from failure, yaitu selalu belajar dari kegagalan. Wirausaha yang berhasil selalu tidak takut gagal. Ia selalu mengkonsentrasikan kemampuannya pada keberhasilan.

l. Leadership ability, yaitu kemampuan dalam kepemimpinan. Wirausaha yang berhasil selalu memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh tanpa kekuatan (power), ia harus memiliki taktik mediator dan negotiator pada diktaktor.

Dalam kewirausahaan ada 2 sistem yang menonjol yaitu sistem nilai primer pragmatik dan sistem nilai moralistik. Sistem nilai primer

pragmatik dapat dilihat dari watak, jiwa dan perilakunya, misalnya: selalu kerja keras, tegas, mengutamakan prestasi, keberanian mengambil risiko, produktivitas, kreativitas, inovatif, kualitas kerja, komitmen, dan kemampuan mencari peluang. Sementara sistem nilai moralistik mencakup keyakinan atau percaya diri, kehormatan, kepercayaan, kerja sama, keteladanan dan keutamaan.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, pengertian minat wirausaha sebagai suatu keadaan dimana seseorang mempunyai perasaan senang menaruh perhatian pada sesuatu serta berusaha untuk mengetahui, melakukan pendekatan, memperhatikan dengan seksama, melibatkan diri dan mengarahkan individu pada suatu pilihan tertentu.

C. LINGKUNGAN BELAJAR

1. Lingkungan Keluarga

Siswa yang mengalami proses belajar, supaya berhasil sesuai dengan tujuan yang harus dicapainya perlu memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Petterson dan Loeber (1984) seperti dikutip oleh Muhibbin Syah (1995:138) mengatakan bahwa lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar siswa ialah orang tua dan keluarga itu sendiri.

Menurut Roestiyah (1982:163), faktor-faktor yang datang dari keluarga yang mempengaruhi belajar siswa, yaitu :

a. Cara mendidik

Orang tua yang memanjakan anaknya, maka setelah sekolah akan menjadi siswa yang kurang bertanggung jawab, dan takut menghadapi

tantangan kesulitan. Juga orang tua yang mendidik anaknya secara keras itu akan menjadi penakut.

b. Suasana keluarga

Hubungan antara anggota keluarga yang kurang intim, menimbulkan suasana kaku, tegang di dalam keluarga, menyebabkan anak kurang semangat untuk belajar. Suasana yang menyenangkan, akrab dan penuh kasih sayang, memberi motivasi yang mendalam pada anak. c. Pengertian orang tua

Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Kadang- kadang anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi pengertian dan dorongannya, membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu menghubungi guru anaknya, untuk mengetahui perkembangannya.

d. Keadaan sosial ekonomi keluarga

Anak belajar memerlukan sarana-sarana yang kadang-kadang mahal. Bila keadaan ekonomi keluarga tidak memungkinkan, kadang kala menjadi penghambat anak belajar. Namun bila keadaan memungkinkan cukuplah sarana yang diperlukan anak, sehingga mereka dapat belajar dengan senang.

e. Latar belakang kebudayaan pendidikan

Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan- kebiasaan yang baik, agar mendorong semangat anak untuk belajar.

Menurut Winkel (1989:108), keadaan sosial-ekonomi menunjukkan pada taraf kemampuan finansial keluarga yang dapat bertaraf baik, cukup atau kurang. Keadaan inilah tergantung sampai seberapa jauh keluarga dapat membekali siswa dengan perlengkapan material untuk belajar. Keadaan sosial-kultur menunjukkan pada taraf kebudayaan yang dimiliki keluarga, yang dapat tinggi, tengah atau rendah. Dari keadaan ini tergantung kemampuan bagi anak untuk berbahasa dengan baik, corak pergaulan antara orang tua dan anak, serta pandangan keluarga mengenai pendidikan sekolah. Sebenarnya, yang penting di sini bukanlah keadaan itu sendiri, melainkan kondisi intern pada siswa yang timbul sebagai akibat dari keadaan itu. Namun, akibat itu tidak harus timbul secara

otomatis atau dengan sendirinya. Sikap siswa sendiri terhadap keadaan itu, kerap menentukan apakah kondisi intern akan menguntungkan belajar atau menghambatnya.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga dan sikap anak dalam menanggapi lingkungannya dapat menentukan keberhasilan pendidikan yang ditempuh. Agar anak dapat berhasil dalam pendidikannya, maka harus diperhatikan segala sesuatu yang dapat menunjang keberhasilan belajarnya.

2. Lingkungan Sekolah

Kemampuan belajar dimiliki manusia merupakan bekal yang membuka kesempatan luas untuk memperkaya diri dalam hal pengetahuan dan kebudayaan. Karena manusia mampu untuk belajar maka dia berkembang, mulai dari lahir sampai mencapai umur tua. Berdasarkan kesadaran tentang peranan proses belajar mengajar dalam kehidupan anak didik, masyarakat telah mendirikan suatu institut yang mendampingi belajar sedemikian rupa, sehingga menghasilkan corak perkembangan yang diharapkan. Institut ini disebut sekolah (Winkel, 1989:2).

Pendidikan di sekolah sebagai akibat dari pemenuhan akan pentingnya pendidikan, sekolah tidak hanya terdiri dari gedung saja melainkan juga sarana dan prasarana lain yang menunjang pendidikan. Sekolah merupakan tempat anak didik belajar, mempelajari sejumlah materi pelajaran. Oleh karena itu harus diciptakan lingkungan sekolah yang benar-benar dapat mendukung anak untuk belajar.

Menurut Roestiyah (1982:159-161), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yang datang dari sekolah yaitu :

a. Interaksi guru dan murid

Guru yang kurang berinteraksi dengan murid secara intim, menyebabkan proses belajar-mengajar itu kurang lancar. Siswa juga akan merasa jauh dari guru, akibatnya siswa merasa segan berpartisipasi secara aktif dalam belajar.

b. Cara penyajian

Guru pada jaman dulu biasa mengajar dengan metode ceramah saja. Siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif, dan hanya mencatat saja. Guru yang progresif berani mencoba metode-metode yang baru, yang dapat membantu meningkatkan kegiatan belajar mengajar, dan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar.

c. Hubungan antar murid

Guru yang kurang mendekati siswa dan kurang bijaksana, maka tidak akan melihat bahwa di dalam kelas ada group yang saling bersaing secara tidak sehat. Jiwa kelas tidak terbina, bahkan hubungan masing- masing individu tidak tampak.

d. Standar pelajaran di atas ukuran

Guru berpendidikan, untuk mempertahankan wibawanya, kadang memberi pelajaran di atas ukuran standar. Akibatnya anak merasa kurang mampu dan takut kepada guru. Bila banyak siswa yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa senang. Tetapi berdasarkan teori belajar, yang mengingat perkembangan psikis dan kepribadian anak yang berbeda-beda, hal tersebut tidak boleh terjadi. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing. Yang penting tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai.

e. Media pendidikan

Kenyataan saat ini dengan banyaknya jumlah anak yang masuk sekolah, maka memerlukan alat-alat yang membantu lancarnya belajar anak dalam jumlah yang besar pula, seperti buku-buku di perpustakaan, laboratorium atau media-media lain. Kebanyakan sekolah masih kurang dalam memiliki media jumlah maupun kualitasnya.

f. Kurikulum

Sistem instruksional sekarang menghendaki proses belajar-mengajar yang mementingkan kebutuhan anak. Guru perlu mendalami siswa dengan baik, harus mempunyai perencanaan yang mendetail, agar dapat melayani anak belajar secara individual. Kurikulum sekarang belum dapat memberikan pedoman perencanaan yang demikian.

g. Keadaan gedung

Dengan jumlah siswa yang luar biasa jumlahnya, keadaan gedung dewasa ini terpaksa kurang, mereka duduk berjejal-jejal di dalam setiap kelas.

h. Waktu sekolah

Akibat meledaknya jumlah anak yang masuk sekolah, dan penambahan gedung sekolah belum seimbang dengan jumlah siswa. Akibat selanjutnya banyak siswa yang terpaksa masuk sekolah di sore hari, sebenarnya kurang dapat dipertanggungjawabkan, karena anak harus beristirahat, tetapi terpaksa masuk sekolah. Mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya. Sebaiknya anak belajar di pagi hari, di mana pikiran masih segar, jasmani dalam kondisi yang baik.

i. Pelaksanaan disiplin

Banyak sekolah yang dalam pelaksanaan disiplin kurang, sehingga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Kurang bertanggung jawab, karena bila tidak melaksanakan tugas, toh tidak ada sangsi. Hal mana dalam proses belajar siswa perlu disiplin, untuk mengembangkan motivasi yang kuat.

j. Metode belajar

Banyak siswa melaksanakan cara belajar yang salah. Dalam hal ini perlu pembinaan dari guru. Dengan cara belajar yang tepat akan efektif pula hasil belajar siswa itu, termasuk pembagian waktu untuk belajar. Kadang-kadang siswa belajar tidak teratur, atau terus- menerus, karena besok akan ujian. Dengan belajar demikian siswa akan kurang beristirahat, bahkan mungkin dapat jatuh sakit. Maka perlu belajar secara teratur setiap hari, dengan pembagian waktu yang baik, memilih cara belajar yang tepat dan cukup istirahat akan meningkatkan hasil belajar.

k. Tugas rumah

Waktu belajar adalah di sekolah, waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapkan guru jangan terlalu banyak memberikan tugas yang harus dikerjakan di rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.

3. Lingkungan Masyarakat

Siswa hidup di masyarakat. Hal demikian berarti siswa adalah bagian dari warga masyarakat. Oleh karena itu siswa menjalin hubungan dengan anggota masyarakat yang lainnya. Hubungan tersebut terjadi dengan teman sebaya, dengan orang tua yang lebih tua maupun dengan yang lebih muda. Menurut Roestiyah (1982:162), anak perlu bergaul

dengan anak lain untuk mengembangkan sosialisasinya. Tetapi perlu di jaga jangan sampai mendapatkan teman bergaul yang buruk. Perbuatan yang tidak baik mudah menular pada orang lain. Maka perlu dikontrol dengan siapa mereka bergaul.

Keberadaan mass media dan televisi, serta banyak bacaan berupa

buku-buku, novel, majalah, koran, kurang dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan. Kadang-kadang anak asyik membaca buku yang bukan buku pelajaran, sehingga lupa akan tugas belajar. Maka, bacaan perlu diawasi dan diseleksi. Televisi yang banyak menyajikan hiburan yang berupa film-film akan dapat mengakibatkan anak untuk malas belajar dan moral bagi anak akan rusak misalnya adanya adegan kekerasan dan pemerkosaan. Hal ini juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.

Siswa banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga itu sendiri merupakan bagian dari masyarakat. Komunikasi dengan anggota masyarakat lainnya, dapat memberikan pengaruh yang baik atau pengaruh yang buruk bagi siswa. Pergaulan yang salah dapat mengakibatkan siswa lupa atas tanggung jawab sendiri seorang pelajar.

Muhibbin Syah (1995:137) mengatakan bahwa kondisi sebuah kelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan kumuh dengan kemampuan ekonomi di bawah garis rata-rata dan tanpa fasilitas umum seperti sekolah dan lapangan olah raga telah terbukti menjadi lahan yang

subur bagi pertumbuhan anak-anak nakal. Dengan kondisi masyarakat

Dokumen terkait