TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Outcome
Banyak sekali studi yang meneliti faktor faktor yang mempengaruhi outcome, di antaranya: Umur, Skor GCS, Reflek Pupil, skor hipoksia, hipotensi, klasifikasi CT Scan, dan Perdarahan Sub arachnoid (Murray et al, 2007; Hukkelhoven et al, 2005; Jennett et al, 1976; Choi et al, 1991;Signorini et al, 1999; Braakman et al, 1980; Quigleyetal, 1997; Stablein et al, 1980; Lannoo et al, 2000;Young et al, 1981; Narayan et al, 1981; Fearnside et al,1993; Schaan etal, 2002; Barlowet al, 1984; Andrewset al, 2002; Chantalet al, 2005).
19
Waktu prothrombin juga diidentifikasi sebagai faktor prognostik independent kuat, tetapi data ini hanya ditunjang oleh sedikit pasien pada 3 studi yang relevan (Murray et al, 2007). Dengan meneliti faktor - faktor prognostik tersebut, akan memberikan jalan bagi proyek IMPACT, yang berfokus pada perkembangan dari pendekatan terbaru dari rancangan dan analisis dari uji klinis pada Cedera Kepala Traumatis (Maaset al, 2007; Marmarouet al, 2007).
2.2.1 Demografi
Secara demografi faktor usia dan jenis kelamin penderita mempengaruhi
outcome penderita cedera kepala sedang. Umur adalah prediktor independen dari outcome pasien (Luerssen et al, 1988; Signoriniet al, 1999; Mosenthal et al, 2002; Hukkelhovenet al, 2003;Mushkudiani et al, 2007).Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa penderita dengan usia lebih muda memiliki prognosis atau outcome yang lebih baik dibandingkan dengan usia yang lebih tua terutama pada usia diatas 65 tahun, ini dikarenakan banyaknya co-morbiditas yang dimiliki oleh penderita sejalan dengan meningkatnya usia, disamping itu juga pada penderita yang lebih tua memiliki daya tahan yang menurun, serta elastisitas pembuluh darah yang menurun pula, serta respon yang lebih buruk terhadap anemia (Tokutomi et al, 2008). Pasien yang lebih tua memiliki angka kematian yang lebih tinggi dan memiliki
favorableoutcome yang lebih rendah. Kejadian cedera sistemik multiple jarang terjadi pada pasien yang lebih tua. Terjadinya variasi dari jenis lesi
20
intrakranial sesuai dengan usia mungkin disebabkan oleh perbedaan antara otak usia muda dan usia tua pada saat terjadinya cedera otak sekunder. Perubahan dari respon patofisiologisnya sangat berhubungan dengan perkembangan cedera otak sekunder terhadap suatu proses penuaan otak (Tokutomiet al,2008).
Jenis Kelamin dikatakan sebagai yang paling kontroversial di antara faktor-faktor yang lain. Walaupun angka insiden penderita cedera kepala didapatkan lebih besar pada laki-laki, namun prognosis atau
outcome yang didapatkan lebih buruk pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, namun mekanismenya belum dapat dijelaskan. Pada beberapa penelitian menegaskan kelompok wanita pada observasi multiple mempunyai outcome yang lebih buruk setelah cedera kepala berat (Tateet al, 2001; Slewa-Younan et al, 2008; Macintyre et al, 1999; Ponsford et al, 2008). Pada suatu uji klinis terkontrol didapatkan pada binatang menunjukkan pemulihan yang lebih baik dan fungsi kognitif yang lebih baik di antara betina seteleh cedera kepala dibandingkan kelompok jantan(Bramlett and Dietrich, 2001; O’Connor et al, 2003, Wagner et al, 2004).
2.2.2 Penyebab cedera
Meskipun Kepentingan yang paling besar dari penyebab cedera adalah dari segi dan perspektif Kesehatan Masyarakat, Relevansi klinis dari penyebab cedera tidak boleh diremehkan. Tergantung dari Mekanisme
21
dan penyebab cedera, dampak dari cedera terhadap otak mungkin berbeda, dan ini sangat berhubungan dengan konsekuensi langsung dari diagnostik
imagingdan manajemen terapinya (Butcheret al, 2007).
Terdapat sebuah hubungan univariat yang kuat antara penyebab cedera pasien dan outcome jangka panjang pada pasien cedera kepala sedang sampai berat. Kemungkinan hasil yang lebih buruk bagi mereka yang mengalami kecelakaan dibandingkan dengan oleh karena kekerasan maupun oleh karena jatuh dengan sendirinya. Mereka yang terluka karena olahraga atau rekreasi memiliki outcome yang lebih buruk dibandingkan dengan yang dikarenakan jatuh, sementara untuk kelompok "lain" dan "kecelakaan kerja" kemungkinan hasil yang lebih buruk yang mirip dengan kecelakaan lalu lintas (Butcheret al,2007).
2.2.3 GCS(Glascow Coma Scale)
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974 (Teasdaleet al, 1974). Pemeriksaan GCS dilakukan secara luas pada penderita–penderita pada awal cedera kepala terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi (Brickley and Shepherd, 1995; Hudak et al, 2005;Marion and Carlier, 1994; Sternbach, 2000; Vos et al, 2001). Penilaian awal dari GCS sangat penting terutama pada penderita cedera kepala sedang karena berkaitan denganoutcomedari penderita dimana pada penderita cedera kepala sedang dengan nilai GCS awal lebih besar memiliki prognosis outcome yang lebih baik sehingga
22
dalam melakukan observasi penderita tersebut dapat dilakukan lebih ketat pada GCS lebih kecil (Kothari, 2006). Stein menemukan bahwa pasien dengan GCS 13 didapatkan kelainan patologis pada CT Scan Kepala pada 337 dari 997 kasus (33,8%), sedangkan pada 97 dari 899 (10,8%) pasien diindikasikan untuk operasi (Stein, 2001).
2.2.4 Reflek pupil
Pemeriksaan respons pupil dapat menyediakan informasi yang berharga dari derajat cedera kepala awal ataupun yang progresif (Andrea
et al, 2005).
Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari pupil menandakan adanya herniasi dan penanda tidak langsung dari cedera batang otak (Rovlias, 2004; Goebertet al, 1970; Jamouset al, 2010).
Dilatasi pupil akut pada pasien cedera kepala menandakan kegawat daruratan. Secara tradisional, fenomena ini dipercayai disebabkan oleh herniasi unkus yang merupakan hasil dari edena otak atau suatu lesi masa, yang mengarah ke kompresi dari nervus 3 kranialis (Mauritz et al, 2009). Penyebab lain dari dilatasi pupil adalah penurunan aliran darah ke otak dan kemudian menghasilkan iskemia otak khususnya batang otak (Ritter,et al, 1999).
23
Hipoksia serebral bersama dengan hipotensi adalah faktor yang paling kritis dalam memperparah kerusakan sekunder setelah kejadian cedera kepala, khususnya setelah Cedera Kepala diffuse (McHugh et al, 2007; Miller,1993).
Hipoksia
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa hingga 44% dari pasien cedera kepala berat, mengalami hipoksia otak, yang berhubungan komplikasi neurologis lain (Jeremitsky et al, 2003). Hipoksia dapat diinduksi oleh hipoperfusi serebral, apneu, dan hipoventilasi yang disebabkan oleh Cedera Otak traumatic yang berhubungan dengan cedera batang otak (Newcombe et al, 2010). Lebih lagi, hipoksia sistemik dapat disebabkan oleh cedera ektrakranial dan seringkali berdampingan dengan cedera kepala seperti sumbatan jalan nafas, trauma tembus paru, kehilangan darah berlebihan (Siegelet al, 1995).
Hipoksia juga merupakan tanda seberapa berat cedera otak yang didapat dan dapat menyebabkan kelainan otak sekunder(Manley G, 2001; Gao et al, 2010; Hellewelet al, 2010).
Hipotensi
Suatu kejadian tunggal hipotensi berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan 2 kali mortalitas dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa hipotensi (Chesnutet al, 2000). Manley melaporkan tren yang tidak
24
terlalu signifikan dari peningkatan mortalitas pasien dengan GCS < 13 yang mengalami episode tunggal hipotensi selama dirawat di RS (Sistolik <= 90) (Manleyet al, 2001).
Pada serial penelitian oleh Vassar et al, yang dirancang untuk menekankan pilihan yang optimal dari cairan resusitasi, dalam mengkoreksi hipotensi, berhubungan dengan perbaikanoutcome(Vassaret al, 1993). Pentingnya pengukuran MAP dibandingkan dengan tekanan sistolik, harus ditekankan, bukan hanya karena peran dari MAP dalam menghitung tekanan perfusi serebral (CPP) tetapi juga karena kurangnya konsistensi hubungan antara tekanan sistolik dengan MAP membuat perhitungan berdasarkan tekanan sistolik tersebut tidak akurat (Bullock et al, 2007).
Cerebral blood flow yang rendah, tekanan oksigen yang rendah dan pelepasan asam amino berhubungan dengan terjadinya iskhemia dan hal tersebut dapat menyebabkan pemicu cascade kerusakan sel. Beberapa sistem yang berpengaruh terhadap gambaran patologis pada cedera kepala yaitu adanya faktor ekstrakranial (disebabkan adanya faktor diluar otak) atau intrakranial(disebabkan kerusakan jaringan di dalam otak) (Madikians, 2006; Manley, 2001;Moppett, 2007).
2.2.6Gambaran lesi intrakranial
Gambaran CT Scan yang ada pada pemeriksaan radiologis sangat mempengaruhi outcome dari penderita cedera kepala sedang, yaitu
25
terutama didasarkan pada jenis fokal lesi yang ada, ukuran besarnya. Dari semua lesi intrakranial yang disebutkan di atas dapat mempengaruhi keadaan umum dari penderita tersebut, dikarenakan terjadinya peningkatan volume intrakranial karena adanya hematom atau edema yang meningkatkan tekanan intrakranial sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran penderita yang dapat dinilai dari penurunan GCS, kondisi tersebut dapat memperburuk keadaan penderita secara umum dan adanya midline shift dapat disebabkan karena peningkatan tekanan volume intrakranial, sehingga stuktur midline nya terdorong ke lateral, menyebabkan cingulate gyrus herniasi di bawah tepi bebas dari falx, sesuai dengan kriteria marshall(Marshallet al, 1991; Robert et al, 2003; Lesko et al, 2012; Chestnut, 2000; Van Dongen et al, 1983; Cordobes et al, 1986; Younget al, 1981; Azian et al, 2001; Eisenberg et al, 1990;Fearnside et al, 1993; Lipper et al, 1985; Pillai et al,2003; Quattrocchiet al, 1991; Servadeiet al, 2000).
2.2.7Gangguan faal hemostasis
Mekanisme patofisiologi koagulopati pada cedera kepala merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui pasti. Hal ini dikarenakan adanya pelepasan banyak faktor jaringan saat cedera kepala ke sirkulasi tubuh, sehingga menyebabkan abnormalitas koagulasi intravaskular. Ketidakseimbangan antara pembentukan clot dan hiperfibrinolisis menyebabkan hipoperfusi sistemik dan penggunaan
26
antikoagulan dapat berperan menyebabkan koagulopati dan gangguan perdarahan. Hipoperfusi menyebabkan ekspresi trombomodulin endotelial yang mengikat thrombin, sehingga menghambat pembentukan fibrin dari fibrinogen. Selain itu, kompleks trombomodulin-trombin mengaktivasi protein C, yang menghambat plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan faktor koagulasi Va dan VIIIa. Hal ini menyebabkan pelepasan tissue plasminogen activator (tPA) endotelial yang menyebabkan terjadinya fibrinolisis. Pada penderita cedera kepala sering terjadi hipotermia dan asidosis yang berperan dalam memperburuk hemostasis dan gangguan
outcome (Greuters, 2011). Selain itu kehilangan darah baik karena trauma cranial maupun sistemik dapat merangsang diathesis hemoragik
disebabkan olehdeplesiplatelet dan faktor pembekuan darah. Pada Cedera kepala, cedera tersebut dapat merangsang keadaan hiperkoagulasi, baik secara sistemik maupun local pada daerah penumbra dari contusion serebri dengan melepaskan faktor PCTF (Pro-Coagulant Tissue Factor). Peningkatan konsentrasi plasma dari produk degradasi Fibrin/fibrinogen dan 2-plasmin inhibitor dan menurunnya kadar fibrinogen berhubungan dengan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Jackelien et al, 2007; Olson et al, 1989; Selladurai et al, 1997; Bredbackaand Edner, 1994; Hoots, 1997; Mineret al, 1982;Steinet al, 1992).
27
Pada cedera kepala akut, hemoglobin rendah mungkin akibat dari kehilangan darah atau pemberian cairan yang berlebihan. Sebagai konsekuensinya, kapasitas membawa oksigen darah akan menurun, dan berpotensi meningkatkan risiko kerusakan iskemik sekunder pada saat aliran darah otak sudah terganggu. Tingkat Hb yang tinggi namun akan meningkatkan viskositas dan kompromi perfusi. Secara teoritis hubungan antara Hb dan hasil mungkin sangat diharapkan. Kami menemukan hubungan linier teru-menerus.Bagaimanapun perlu dicatat bahwa tingkat tinggi Hb yang diamati sangat jarang, dan kemungkinan outcome buruk pada tingkat Hb diatas rentang diamati tidak bisa dikesampingkan. Abnormal nilai Hb rendah yang diamati pada sejumlah pasien (17%) dan terkait dengan parameter lain (misalnya, hipotensi). Anemia adalah masalah umum pada pasien sakit kritis dan berhubungan dengan hasil
outcome buruk yang telah didokumentasikanselama bertahun-tahun (du Cheyronet al, 2005; Hebertet al, 1997;Sanchez-Olmedoet al, 2005).
2.2.9Waktu operasi
Pasien yang dioperasi dalam waktu 4 jam saat kedatangan di ird mempunyai peluang 2 kali lipat lebih kecil kemungkinan meninggal di rumah sakit dibandingkan mereka yang dioperasi setelah 4 jam dari waktu kedatangan. Waktu operasi secara signifikan mempengaruhi kematian di rumah sakit. Evakuasi tepat waktu hematoma akut dapat pemberita