• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Media Sosial

2.6.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pacaran

Menurut DeGenova & Rice (2005) ada beberapa faktor yang menyebabkan individu – individu berpacaran, antara lain:

a. Pacaran sebagai bentuk rekreasi.

Sebuah alasan bagi yang berpasangan adalah untuk keluar bersama seperti bersantai, menikmati diri mereka sendiri dan untuk memperoleh kesenangan.

Pacaran juga merupakan sebuah bentuk hiburan bagi mereka dan hiburan inilah yang menjadi tujuan individu – individu tersebut untuk berpacaran.

b. Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman pribadi banyak anak muda dengan cara berpacaran mereka memiliki dorongan untuk mengembangkan kedekatan dan hubungan yang intim.

c. Pacaran adalah bentuk sosialisasi.

Pacaran dapat membantu seorang individu untuk mempelajarai keahlian – keahlian social individu lainnya. Serta juga dapat menambah kepercayaan diri dan ketenangan, dan mulai menjadi ahli dalam seni berbicara, bekerjasama, dan perhatian terhadap orang lain.

d. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian.

Salah satu cara seseorang untuk mengembangkan identitas diri mereka yaitu dengan cara menjalin hubungan dengan orang lain. Kesuksesan seseorang dalam melakukan suatu hubungan merupakan bagian dari perkembangan kepribadian. Satu dari alasan – alasan anak muda berpacaran adalah karena hubungan tersebut memberi mereka rasa aman dan dihargai secara pribadi.

e. Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender.

Peran gender harus dipraktekkan dalam situasi kehidupan nyata dengan pasangan. Pacaran membantu mereka mengetahui hal – hal baru dalam peran gender dalam hubungan yang dekat.

f. Pacaran, cara untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih

Kebutuhan akan rasa kasih sayang dan cinta dari lawan jenisnya adalah satu dari alasan individu berpacaran.

g. Pacaran memberikan kesempatan untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Remaja dalam berpacaran akan lebih berorientasi kepada hal – hal seksual karena semakin banyaknya remaja yang ingin melakukan hubungan intim seperti suami istri.

h. Pacaran merupakan cara menyeleksi pasangan

Pacaran merupakan cara penyeleksian untuk mencari kesesuaian dan kecocokan terhadap setiap pasangan dan juga untuk mengenal karakteristik

individu. Karena kecocokan dapat meningkatkan kemungkinan mereka untuk membangun hubungan yang lebih serius (pernikahan).

i. Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan.

Pacaran dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sikap dan perilaku setiap pasangan. Mereka dapat saling belajar cara bagaimana untuk mempertahankan sebuah hubungan dan bagaimana cara untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam sebuah hubungan.

Sedangkan faktor pemicu yang lain adalah adanya perubahan - perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. Akan tetapi, penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan yang diatur oleh UU. Faktor lainnya bisa disebabkan oleh media massa, dengan adanya teknologi canggih (video cassete, foto copy, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) rangsangan seksual (Sarwono, 2011).

2.6.4. Dampak Pacaran

Pada saat remaja manusia mengalami perkembangan terhadap kelenjar – kelenjar yang terdapat dalam tubuhnya tak terkecuali kelenjar kelamin remaja.

Akibatnya mereka akan mulai timbul rasa perhatian terhadap lawan jenisnya. Hal ini merupakan tanda bahwa masa remaja telah dimulai. Proses percintaan remaja dimulai dari, crush (membenci), Hero-worshiping (suka dengan yang lebih tua), Boy Crasy and Gril Crasy (mulai menunjukkan rasa saying kepada teman sebaya), Puppy Love (Cinta Monyet) dan Romantic Love (Percintaan yang berakhir pada pernikahan).

Pacaran sendiri memiliki dampak positif dan negatif yang mencakup berbagai aspek dari kehidupan remaja, meliputi pergaulan sosial, mengisi waktu luang, ketertarikan pacaran dengan seks, penuh masalah sehingga berakibat stres, kebebasan pribadi berkurang (Arifin, 2002).

Pacaran juga bisa mengarah ke hal – hal negatif seperti pacaran yang berisiko, dimana pacaran yang beresiko itu meliputi kissing, necking, petting, intercourse.

Biasanya para remaja melakukan pacaran tidak sehat ini bertujuan untuk menunjukan rasa cinta sebenarnya dapat ditunjukan dengan beragam cara dan tidak harus dengan aktifitas seksual. Biasanya perilaku mencemaskan ini dimulai dengan berciuman (kissing) dengan pasangan, yang lama-lama berlanjut ke necking (mencium leher sampai meraba-raba tubuh). Jika sudah sampai ketahap necking maka sangat mungkin untuk berlanjut ke petting (saling menggosok- gosokkan alat kelamin).

Apabila telah melakukan petting maka biasanya aktivitas ini berlanjut pada tahap intercourse. Hal ini disebabkan rangsangan yang dihasilkan oleh petting menimbulkan motivasi yang sangat besar bagi pasangan untuk melakukan intercourse. Dengan terjadinya intercourse, tentu resiko terjadinya kehamilan akan sangat besar (Iwan, 2010).

Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rheza tahun 2008 mendapatkan bahwa remaja putri yang berpacaran telah melakukan hubungan seksual pranikah seperti berhubungan seks (sexual intercourse), seks oral (oral seks), berkencan (dating), berfantasi, berdandan, merayu dan menggoda, pemaksaan perlakuan seksual terhadap pasangan (date rape) dan seduksi, phone sex, bercumbuan (petting), berciuman (kissing) dan bersentuhan (touching).

Dijaman sekarang dengan gaya pacaran modern perlu adanya upaya untuk mengatasi gaya pacaran remaja yang negatif diantaranya adalah dengan meningkatkan iman dan takwa. Orang tua juga harus memahami perubahan pada anaknya yang tumbuh menjadi remaja (bukan lagi anak yang selalu perlu dibantu) serta penyuluhan tentang pendidikan seks. Pendidikan seks sendiri adalah suatu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak - dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa (Sarwono, 2011).

2.7. Perilaku Seksual Remaja

Menurut Sarwono (2005), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dari lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Seperti yang kita ketahui umumnya remaja laki-laki lebih mendominasi dalam melakukan tindak perilaku seksual bila dibandingkan dengan remaja perempuan. Hal ini di karenakan banyaknya faktor yang membuat remaja laki-laki untuk menyalurkan hasrat seksualitasnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara maju menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan hubungan seksual pada usia lebih muda bila dibandingkan dengan remaja perempuan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yang terjadi pada remaja, antara lain :

1) Faktor Internal

a. Tingkat perkembangan seksual (fisik/psikologis)

Dimana perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan perilaku seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun berbeda dengan anak 13 tahun.

b. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi

Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya.

c. Motivasi

Perilaku yang pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku seksual seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan, mendapatkan perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang misalnya pekerja seks seksual (PSK).

1) Faktor Eksternal a. Keluarga

Kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku menyimpang pada remaja.

b. Pergaulan

Pada masa pubertas, perilaku seksual pada remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya dimana pengaruh dari teman sebaya sebagai pemicu terbesar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lainnya.

c. Media massa

Kemajuan teknologi mengakibatkan maraknya timbul berbagai macam media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan yang paling dicari oleh remaja adalah internet. Dari internet, remaja dapat dengan mudah mengakses informasi yang tidak dibatasi umur, tempat dan waktu.

Informasi yang diperoleh biasanya akan diterapkan dalam kehidupan kesehariannya.

Banyaknya perilaku seksual yang terjadi muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan yang tujuannya hanya untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku.

Hal ini sejalan dengan pendapat Wahyudi (2004), beberapa perilaku seksual secara rinci dapat berupa:

a. Berfantasi merupakan perilaku membayangkan dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan erotisme.

b. Pegangan tangan dimana perilaku ini tidak terlalu menimbulkan rangsangan seksual yang begitu kuat namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba perilaku lain.

c. Cium kering berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir d. Cium basah berupa sentuhan bibir ke bibir.

e. Meraba merupakan kegiatan pada bagian-bagian sensitive rangsang seksual seperti leher, dada, paha, alat kelamin dan lain-lain.

f. Berpelukan perilaku ini hanya menimbulkan perasaan tenang, aman, nyaman disertai rangsangan seksual (apabila mengenai daerah sensitif).

g. Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) merupakan perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual dan dilakukan sendiri.

h. Oral seks merupakan perilaku seksual dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.

i. Petting merupakan seluruh perilaku yang non intercourse (hanya sebatas pada menggesekkan alat kelamin).

j. Intercourse (senggama) merupakan aktivitas seksual dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.

2.7.1 Peran Orang Tua

Orang tua adalah ayah dan ibu adalah figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anak-anaknya (Mardiya, 2000). Dalam pendidikan seks orang tua mempunyai peranan yang sangat penting bagi remaja untuk menerangkan pengertian dan penghayatan pada remaja tentang identitas seksual mereka. Para ahli beranggapan, bahwa pendidik terbaik bagi anak dalah kedua orang tuanya sendiri termasuk dalam pendidikan seksual. Namun kebanyakan orang tua sulit untuk membicarakan permasalahan seksualitas dengan anak remajanya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh pengetahuan orang tua mengenai seksualitas kurang dibandikan dengan anaknya (Gunarsa, 1991).

Kadang kala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja muncul akibat ketidak-harmonisan hubungan ayah dan ibu, sikap orang tua yang menabuhkan pertanyaan anak tentang reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta adanya tindak kekerasa terhadap anak (child physical abuse). Membuat orang tua merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan pengetahuan yang memadai tentang seksualitas kepada anak (Iskandar, 1997). Hubungan orang tua yang kurang

akrab dengan anak karena kesibukan orang tua oleh pekerjaannya, menyebabkan makin sedikitnya waktu bagi remaja untuk mendiskusikan masalah kehidupan seksualitasnya kepada orang tua, sehingga membuat kehidupan seksualitasnya menjadi tidak bertanggung jawab dan terkontrol (Nurhayati, 2002).

Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli dalam Retnowati (2010), antara lain:

1. Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation, divorce)

2. Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah

3. Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik (buruk)

4. Substitusi ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).

Kemajuan pembangunan dibidang ekonomi dan meningkatnya industrialisasi membuat remaja untuk hidup konsumtif, hedonistik dan kesempatan untuk tinggal diluar pengawasan orang tua. Hal ini dapat diikuti dengan dengan meningkatnya kehidupan seksual mereka, yang sulit dihentikan dengan melarang dan mengajari tentang moralitas, karena disisi lain produsen akan merayu remaja dengan memanfaatkan perkembangan biologis dan seksualitasnya (Mohammad, 1998).

Ketidaktahuan orang tua maupun sikap yang masih menabuhkan pembicaraan seks dengan anak dan cenderung membuat jarak dengan anak, akibatnya pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang.

Orang tua mempunyai peranan yang penting sebagai sumber informasi sehingga harus memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan terbuka mengenai permasalahan yang dialami oleh anak-anak remaja dan lingkungan sekitarnya terhadap masalah seks.

2.7.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

Menurut Hyde (2006) semakin muda umur seseorang saat mengalami pubertas makasemakin besar risiko terjadinya perilaku seks pranikah dikarenakan perubahan pada hormone yang terjadi seiring dengan masa pubertasberkontribusi pada meningkatnya keterlibatanseksual pada sikap dan hubungan dengan lawan jenis.

Hal ini dikarenakan pada umur ini adalah potensial aktif bagi mereka untuk melakukan perilaku seks bebas.

Menurut Soetjiningsih (2010), hubungan seksual yang pertama dialami oleh remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu :

1. Waktu/saat mengalami pubertas. Saat itu mereka tidak pernah memahami tentang apa yang akan dialaminya.

2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar.

3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga hubungan akan makin mendalam.

4. Hubungan antar mereka makin romantis.

5. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak untuk memasuki masa remaja dengan baik.

6. Kurangnya kontrol dari orang tua. Orang tua terlalu sibuk sehingga perhatian terhadap anak kurang baik.

7. Status ekonomi. Mereka yang hidup dengan fasilitas berkecukupan akan mudah melakukan pesiar ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya kesempatan melakukan hubungan seksual. Sebaliknya kelompok yang ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan, mereka mencari kesempatan untuk memanfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan sesuatu.

8. Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke tempat-tempat sepi.

9. Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling ingin menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan kematangannya, misal mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sudah mampu membujuk seorang perempuan untuk melayani kepuasan seksualnya.

10. Pengaruh media massa yang menampilkan perilaku seks bebas. Informasi seksual dari media cetak seperti gambar dan cerita menjurus porno di majalah, koran. Sedangkan informasi pornografi media elektronik seperti menonton film porno, melihat gambar porno, dan cerita-cerita porno di internet, menonton film di VCD/ DVD, melalui hand phone.

11. Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol. Peningkatan penggunaan obat terlarang dan alkohol makin lama makin meningkat.

12. Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

13. Mereka merasa sudah saatnya untuk melakukan aktivitas seksual sebab sudah merasa matang secara fisik.

14. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.

15. Penerimaan aktivitas seksual pacarnya.

16. Sekedar menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.

17. Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon reproduksi/seksual.

Sedangkan menurut BKKBN (2007) faktor-faktor yang meningkatkan dorongan seksual pada remaja yaitu menonton film porno, melihat gambar porno, mendengar cerita porno, berduaan ditempat sepi, berkhayal tentang seksual, menggunakan zat perangsang atau napza. Cara mengendalikannya yaitu dengan taat beribadah, remaja memahami tugas utamanya misalnya belajar dan bekerja, mengisi

waktusesuai bakat, minat dan kemampuan misalnya olahraga, kesenian dan berorganisasi.

Dari faktor-faktor yang memengaruhi remaja melakukan perilaku seksual pranikah di atas, terdapat pengaruh teman sebaya dan media massa sebagai sumber informasi seksual. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian terdahulu yang membuktikan bahwa adanya pengaruh variabel teman sebaya dan sumber informasi seksual terhadap perilaku seksual pranikah.

2.7.3. Peran Teman Sebaya

Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompok. Sebagai akibatnya, mereka akan merasa senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya. Bagi remaja, pandangan kawan-kawan terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting.

Menurut Santrock (2007) mengatakan bahwa peran terpenting dari teman sebaya adalah :

a. Sebagai sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga.

b. Sumber kognitif, untuk pemecahan masalah dan perolehan pengetahuan.

c. Sumber emosional, untuk mengungkapkan ekspresi dan identitas diri.

Melalui interaksi dengan teman-teman sebaya, anak-anak dan remaja mempelajari modus relasi yang timbal-balik secara simetris. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan dapat membuat mereka merasa kesepian dan bersikap bermusuhan. Dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Teman sebaya memberikan sebuah dunia tempat para remaja melakukan sosialisasi dalam suasana yang mereka ciptakan sendiri (Piaget dan Sullivan dalam Santrock, 2007).

2.7.4. Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seksual Pranikah

Teman sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Dalam pembentukan kelompok teman sebaya selain diperhatikan persamaan usia, para remaja juga memperhatikan persamaan-persamaan lainnya, seperti hobi, status sosial, ekonomi, latar belakang keluarga, persamaan sekolah, tempat tinggal, agama dan juga ras (Ghozaly, 2011).

Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja.

Kelompok sebaya juga merupakan wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran. Di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman sebagai sumber kesenangannya dan keterikatannya dengan teman sebaya begitu kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggota-anggotanya (Soetjiningsih, 2004).

Horrocks dan Benimoff dalam Hurlock (2003) menjelaskan bahwa kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan panggung dimana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, di sinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat remaja melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman sebayanya.

Jadi, dalam kelompok sebaya ini remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan di situ pula ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu melakukannya.

Dalam kelompok sebaya (peer group), individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti di bidang usia, kebutuhan, dan tujuan yang dapat memperkuat kelompok itu. Dalam kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun di antara anggota kelompok merasakan adanya tanggungjawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam kelompok sebaya, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Dalam teman sebaya pengaruh pola hubungan, konformitas, kepemimpinan kelompok, adaptasi sangat besar terhadap remaja (Santosa, 2009).

Penelitian Suharsa (2006) meneliti interaksi teman sebaya dengan perilaku seksual siswa SMA di Kabupaten Pandeglang menunjukkan bahwa responden yang aktif berinteraksi dengan teman sebaya berpeluang melakukan perilaku seksual pranikah 7 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak aktif berinteraksi dengan teman sebayanya.

2.8. Model S-O-R

Perubahan perilaku remaja dapat dasarkan pada teori perubahan perilaku dari Skiner (1938) yang dikembangkan oleh Hosland (1953) dalam Notoatmodjo (2010) yang teori tersebut terkenal dengan teori Stimulus – Organism – Response (SOR).

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme, maksudnya kualitas yang diberikan dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas kepemimpinan, dan gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat.

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon,

maka teori skiner disebut teori "S-O-R" atau stimulus - organisme- respon. Dalam teori ini Skiner membedakan dua jenis respon, yaitu :

1. Respondent respons atau refleksif, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut dengan eliciting stimuli, karena menimbulkan respon yang relatif tetap. Sebagai contoh makanan yang lezat akan menimbulkan keinginan seseorang untuk memakannya.

2. Operant respons atau atau instrumental respons, yaitu respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan lain.

Perangsang ini disebut dengan reinforcing stimuli atau reinfocer, karena berfungsi sebagai penguat respons seseorang. Sebagai contoh ketika seorang tenaga kesehatan mendapatkan penghargaan dari atasannya (stimuli baru), maka kedepannya tenaga kesehatan tersebut akan lebih baik lagi melakukan tugasnya.

Menurut Thorndike (1949), belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.

Menurut Effendy dalam buku Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi (2003:

254), juga mengatakan bahwa teori dan model komunikasi yang tampil pada dekade 1940-an dan 1950-an adalah Teori S-O-R singkatan dari Stimulus – Organism – Response teori ini berasal dari psikologi. Obyek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen seperti sikap, opini, perilaku, kognisi afeksi dan konasi. Unsur-unsur dalam model ini adalah :

a. Pesan (Stimulus, S)

b. Komunikasi (Organism, O) c. Efek (Response, R)

Asumsi dasar dari model ini adalah: media massa menimbulkan efek yang terarah, segera dan langsung terhadap komunikan. Stimulus Response Theory atau S-R theory. Model ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksi-reaksi.

Artinya model ini mengasumsikan bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respon dengan cara tertentu. Pola S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif; misal jika orang tersenyum akan dibalas tersenyum ini merupakan reaksi positif, namun jika tersenyum dibalas dengan palingan muka maka ini merupakan reaksi negatif. Model inilah yang kemudian mempengaruhi suatu teori klasik komunikasi yaitu Hypodermic Needle atau teori jarum suntik. Asumsi dari teori inipun tidak jauh berbeda dengan model S-O-R, yakni bahwa media secara langsung dan cepat memiliki efek yang kuat tehadap komunikan. Artinya media diibaratkan sebagai jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai perangsang (S) dan menghasilkan tanggapan (R) yang kuat pula.

Hovland, et al (1953) dalam notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :

1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau

1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau

Dokumen terkait