• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Tinjauan Pustaka

3. Konsep Ambulasi

3.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini pasien paska operasi ekstremitas bawah adalah:

a. Kondisi kesehatan pasien

Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi sistem muskuloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan koordinasi. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas (Kozier & Erb, 1987).

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

Nyeri paska bedah kemungkinan disebabkan oleh luka bekas operasi tetapi kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Setelah pembedahan nyeri mungkin sangat berat, edema, hematom dan spasme otot merupakan penyebab nyeri yang dirasakan, beberapa pasien menyatakan bahwa nyerinya lebih ringan dibanding sebelum pembedahan dan hanya memerlukan jumlah anlgetik yang sedikit saja harus diupayakan segala usaha untuk mengurangi nyeri dan kestidaknyamanan. Tersedia berbagai pendekatan farmakologi berganda terhadap penatalaksanaan nyeri. Analgesia dikontrol pasien (ADP) dan analgesia epidural dapat diberikan untuk mengontrol nyeri, pasien dianjurkan untuk meminta pengobatan nyeri sebelum nyeri itu menjadi berat. Obat harus diberikan segera dalam interval yang ditentukan bila awitan nyeri dapat diramalkan misalnya ½ jam sebelum aktivitas terencana seperti pemindahan dan latihan ambulasi (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Brunner & Suddarth (2002) kebanyakan pasien merasa takut untuk bergerak setelah paska operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka bekas operasi dan luka bekas trauma.

Efek immobilisasi pada sistem kardiovaskular adalah hipotensi ortostatik. Hipotensi orthostatik adalah suatu kondisi ketidak mampuan berat dengan karakteristik tekanan darah yang menurun ketika pasien berubah dari posisi horizontal ke vertikal (posisi berbaring ke duduk atau berdiri), yang dikatakan hipotensi ortostatik jika tekanan darahnya < 100 mmhg (Dingle, 2003 dalam Perry & Potter, 2006). Ditandai dengan sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan energi, gangguan visual, dispnea, ketidaknyamanan kepala dan leher, dan hampir pingsan atau pingsan (Gilden, 1993 dalam Potter & Perry

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

1999). Keadaan ini sering menyebabkan pasien kurang melakukan mobilisasi dan ambulasi.

Kelelahan dan kerusakan otot dan neuromuskular, kelelahan otot mungkin karena gaya hidup, bedrest dan penyakit, keterbatasan kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas karena otot lelah menyebabkan pasien tidak dapat meneruskan aktivitas. Kelelahan otot dapat menurunkan kekuatan pasien untuk bergerak, ditandai dengan pergerakan yang lambat. Kelelahan yang berlebihan bisa menyebabkan pasien jatuh atau mengalami ketidak seimbangan pada saat latihan (Berger & Williams, 1992). ketidakmampuan untuk berjalan berhubungan dengan kelemahan dan kerusakan otot ekstremitas bawah, terlihat tanda-tanda penurunan kekuatan dan massa otot kaki dan lutut yang selalu ditekuk ketika berusaha untuk berdiri (Berger & Williams, 1992). Ambulasi dini pada pasien paska operasi fraktur sulit dilakukan karena pemasangan alat fiksasi eksternal, luka bekas operasi dan luka bekas taruma (Gartland, 1987) yang mengakibatkan kerusakan pada neuromuskular atau sistem skeletal yang bisa memperberat dan menghambat pergerakan pasien (Kozier & Erb, 1987).

Demam paska bedah dapat disebabkan oleh gangguan dan kelainan. Peninggian suhu badan pada hari pertama atau kedua mungkin disebabkan oleh radang saluran nafas, sedangkan infeksi luka operasi menyebabkan demam setelah kira-kira 1 minggu. Transfusi darah juga sering menyebabkan demam, dan diperkirakan kemungkinan adanya dehidrasi (Sjamsuhidajat & jong, 2005).

Pasien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispnea selama latihan tidak akan tahan melakukan ambulasi seperti pada pasien yang tidak

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

mengalaminya. Pada pasien lemah tidak mampu meneruskan aktivitasnya karena energi besar diperlukan untuk menyelesaikan aktivitas menyebabkan kelelahan dan kelemahan yang menyeluruh (Potter & Perry, 1999).

Hipotermia, pasien yang telah mengalami anastesi rentan terhadap menggigil. Pasien yang telah menjalani pemajanan lama terhadap dingin dalam ruang operasi dan menerima banyak infus intravena dipantau terhadap hipotermi. Ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman dan selimut disediakan untuk mencegah menggigil. Resiko hipertermia lebih besar pada pasien yang berada diruang operasi untuk waktu yang lama (Brunner & Suddarth, 2002).

Anemia adalah adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41% pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita. Gejala- gejala umum anemia antara lain cepat lelah, takikardia, palpitasi dan takipnea pada latihan fisik (Mansjoer et al, 2001).

b. Emosi

Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perubahan perilaku yang dapat menurunkan kemampuan ambulasi yang baik. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan harga diri yang rendah akan mudah mengalami perubahan dalam ambulasi (Kozier & Erb, 1987).

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga lebih mudah lelah karena mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi pasien mengalami keletihan secara fisik dan emosi (Potter & Perry, 1999). Hubungan antara nyeri dan takut bersifat

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

kompleks. Perasaan takut seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan takut. Menurut Paice (1991) dalam Potter & Perry (1999) melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya rasa takut. Setelah paska operasi fraktur nyeri mungkin sangat berat khususnya selama beberapa hari pertama paska operasi. Area insisi mungkin menjadi satu-satunya sumber nyeri, iritasi akibat selang drainase, balutan atau gips yang ketat menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Secara signifikan nyeri dapat memperlambat pemulihan. Pasien menjadi ragu-ragu untuk melakukan batuk, nafas dalam, mengganti posisi, ambulasi atau melakukan latihan yang diperlukan. Setelah pembedahan analgetik sebaiknya diberikan sebelum nyeri timbul dengan dosis yang memadai. Jenis obat dan pemberian bergantung pada penyebab, letak nyeri dan keadaan pasien (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas. Pasien depresi biasa tidak termotivasi untuk berpartisipasi. Pasien khawatir atau cemas lebih mudah lelah karena mereka mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosional (Potter & Perry, 1999).

Tidak bersemangat karena kurangnya motivasi dalam melaksanakan ambulasi. Penampilan luka, balutan yang tebal drain serta selang yang menonjol keluar akan mengancam konsep diri pasien. Efek pembedahan, seperti jaringan parut yang tidak beraturan dapat menimbulkan perubahan citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perasaan klien kurang sempurna, sehingga klien merasa

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

cemas dengan keadaannya dan tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas. Pasien dapat menunjukkan rasa tidak senang pada penampilannya yang ditunjukkan dengan cara menolak melihat insisi, menutupi balutannya dengan baju, atau menolak bangun dari tempat tidur karena adanya selang atau alat tertentu (Perry & Potter, 1999).

c. Gaya hidup

Status kesehatan, nilai, kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat dari gaya hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia mendefinisikan aktivitas sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang berarti, dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur, latihan yang teratur, istirahat yang cukup dan penanganan stres Pender (1990 dalam berger & Williams, 1992). Menurut Oldmeadow et al (2006) tahapan pegerakan dan aktivitas pasien sebelum operasi di masyarakat atau dirumah dapat mempengaruhi pelaksanaan ambulasi.

d. Dukungan Sosial

Gottlieb (1983) mendefenisikan dukungan sosial sebagai info verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dalam subjek didalam lingkungan soisialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005) Keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan keperawatan pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan. Membantu pasien mengganti balutan,

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

membantu pelaksanaan latihan ambulasi atau memberi obat-obatan. Menurut penelitian yang dilakukan Oldmeadow et al (2006) dukungan sosial yaitu keluarga, orang terdekat dan perawat sangat mempengaruhi untuk membantu pasien melaksanakan latihan ambulasi. Menurut Olson (1996 dalam Hoeman, 2001) ambulasi dapat terlaksana tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan berpatisipasi dalam latihan (Olson, 1996 dalam Hoeman, 2001). e. Pengetahuan

Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal akan mengalami peningkatan alternatif penanganan. Informasi mengenai apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan setelah penanganan dapat memberanikan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan dan penerapan penanganan. Informasi khusus mengenai antisipasi peralatan misalnya pemasangan alat fiksasi eksternal, alat bantu ambulasi (trapeze, walker, tongkat), latihan, dan medikasi harus didiskusikan dengan pasien (Brunner & Suddarth, 2002). Informasi yang diberikan tentang prosedur perawatan dapat mengurangi ketakutan pasien.

Nova Mega Yanty : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP. H. Adam Malik Medan, 2010.

Dokumen terkait