• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Penerimaan Orang Tua yang Memiliki Anak Autis

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua

Hurlock (1978) mengemukakan bahwa penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Penerimaan orang tua di dalam pengertian

Hurlock menerangkan berbagai macam sikap khas orang tua terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak mereka merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sikap orang tua terhadap anak. Hurlock (1978) menjelaskan faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh :

a. Konsep “anak idaman”, yang terbentuk sebelum kelahiran anak, yang sangat

diwarnai romantisme, dan didasarkan gambaran anak ideal dari orang tua.

b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya.

c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, demokratis maupun permisif, akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara memperlakukan anaknya.

d. Orang tua yang menyukai peran, merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, akan mencerminkan penyesuaian yang baik pada anak.

e. Apabila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap mereka terhadap anak dan perilakunya lebih baik dibandingkan sikap mereka yang merasa kurang mampu dan ragu-ragu.

f. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berpusat pada keluarga.

g. Alasan memiliki anak. Apabila alasan untuk memiliki anak untuk mempertahankan perkawinan yang retak dan hal ini tidak berhasil maka sikap orang tua terhadap

anak akan berkurang dibandingkan dengan sikap orang tua yang menginginkn anak untuk memberikan kepuasan mereka dengan perkawinan mereka.

h. Cara anak bereaksi terhadap orang tuanya mempengaruhi sikap orang tua terhadapnya.

Darling-Darling (dalam Ningrum, 2007) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah :

a. Umur anak

Studi Korn menjelaskan orang tua dengan anak-anak cacat yang usianya lebih muda lebih mudah tertekan dan menderita daripada orang tua dari anak-anak cacat yang usianya lebih tua.

b. Agama

Zuck melaporkan bahwa orang tua yang menghargai terhadap agamanya dan orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik.

c. Penerimaan diri sendiri orang tua

Medinnus dan Curtis menemukan terdapat hubungan yang sangat tinggi antara penerimaan diri sendiri dan penerimaan orang tua terhadap anaknya.

d. Alasan orang tua memiliki anak

Orang tua yang mendambakan anaknya menjadi atlit atau orang yang terpelajar akan menjadi kecewa pada kelahiran anaknya yang cacat secara fisik atau mental.

e. Status sosial ekonomi

Downey menjelaskan bahwa keluarga dari kelas bawah lebih dapat menerima daripada keluarga kelas menengah.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang turut mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya menurut Hurlock adalah bagaimana konsep orang tua terhadap anaknya, apakah anaknya tersebut sesuai dengan gambaran ideal orang tua, pengalaman dan cara bereaksi anak terhadap sikap orang tua, gaya pengasuhan orang tua terhadap anaknya, kemampuan dan penyesuaian orang tua terhadap perkawinannya, alasan orang tua memiliki anak, serta ditambahkan pula oleh Darling-darling (dalam Ningrum, 2007), bahwa anak dengan usia yang lebih muda dapat menyebabkan orang tua lebih mudah tertekan, dari sisi agama juga menjelaskan bahwa orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik, dan alasan orang tua memiliki anak, bagaimana penerimaan orang tua terhadap anaknya serta faktor sosial ekonomi, merupakan faktor-faktor yang turut mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya.

2.1.4. Penerimaan orang tua anak autis

Karakteristik tentang autisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Kanner (dalam Rachmayanti, 2009) yang mendeskripsikan gangguan ini dengan tiga kriteria umum, yaitu gangguan pada hubungan interpersonal, gangguan pada perkembangan bahasa dan kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau melakukan tingkah laku yang sama. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir (Suryana, dalam Rachmayanti ,2009). Penyebab autisme adalah multifaktor, kemungkinan besar disebabkan adanya kerentanan genetik seperti infeksi virus selama kehamilan, bahan-bahan kimia serta polutan.

Kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi emosionalnya, bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Hal ini adalah persoalan yang sangat sulit dihadapi para orang tua dan mereka dipaksa untuk berhadapan dengan keadaan tersebut, serta dipaksa untuk menerima kenyataan yang menekan ini.

Ross (dalam Rachmayanti 2009), membahas reaksi-reaksi manusia dalam

menghadapi “cobaan” dalam hidup ini. Beliau membaginya menjadi lima tahap, (dalam

konteks orang tua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus) tahapan ini bisa dijabarkan sebagai berikut:

a. Tahap Denial (menolak menerima kenyataan)

Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena umumnya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka.

Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan

untuk memberikan keturunan yang “sempurna”. Kadang dalam hati muncul pernyataan “tidak mungkin hal ini terjadi pada anak saya” atau “tidak pernah terjadi keadaan seperti ini di keluarga kami”.

b. Tahap Anger (marah)

Reaksi marah ini bisa dilampiaskan kepada beberapa pihak sekaligus. Bisa kepada dokter yang memberi diagnosa. Bisa kepada diri sendiri atau kepada

pasangan hidup. Bisa juga, muncul dalam bentuk menolak untuk mengasuh anak tersebut. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa

marah) muncul dalam bentuk “Tidak adil rasanya...”, “Mengapa kami yang mengalami ini?” atau “Apa salah kami?”

c. Tahap Bargaining (menawar)

Pada tahap ini, orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan

seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik

dengan sendirinya”.

d. Tahap Depression (depresi)

Muncul dalam bentuk putus asa, tertekan dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu, yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil, atau akibat dosa di masa lalu. Ayahpun sering dihinggapi rasa bersalah, karena merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna.

Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saya mereka meninggal.

Harapan atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul dalam bentuk

lain?”. Pada tahap depresi, orang tua cenderung murung, menghindar dari

lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup.

e. Tahap Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan)

Pada tahap ini, orang tua sudah menjadi kenyataan baik secara emosi maupun

intelektual. Sambil mengupayakan “penyembuhan”, mereka mengubah persepsi

dan harapan atas anak. Orang tua pada tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka.

Patut dicatat bahwa, kelima tahap tersebut di atas tidak harus terjadi secara berurutan. Bisa saja ada satu tahap atau lebih yang terlompati, atau kembali muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidak “sempurnaan” anak mereka

(bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya). Demikian pula pada tahap awal. Ada juga orang tua yang telah begitu lama mencari diagnosa dan penyembuhan. Begitu mereka mendapatkan diagnosa dan metode yang dapat membantu mereka, perasaan legalah yang mereka dapatkan, bukan menolak menerima kenyataan (denial).

Menurut Puspita (dalam Rachmayanti, 2009), bentuk penerimaan orang tua dalam penanganan autisme adalah sebagai berikut :

Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua karena banyak diantara orang tua sulit atau enggan menangani sendiri anaknya sehari-hari dirumah. Mereka mengandalkan bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak. Padahal pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuanya.

b. Memahami kebiasaan-kebiasaan anak.

c. Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak.

d. Memahami penyebab prilaku buruk atau baik anak-anak.

e. Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa depan.

Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran,

anak cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali kedunianya. Ada baiknya orang tua bisa bersikap lebih santai dan “hangat” setiap kali berada bersama anak. Sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya, sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu autis yang sulit untuk diarahkan, dididik dan dibina.

Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua yang tidak tahu harus memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam membantu memberikan keterampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan kebutuhan anak.

Menurut Saraswati (dalam Rachmayanti, 2009) peran orang tua bagi anak penyandang autisme sangat penting, banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orang tua anak autisme diantaranya yaitu; Pertama, memastikan diagnostik, sekaligus mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Memilih dokter yang kompeten. Umumnya, adalah dokter anak yang menangani autisme, dokter saraf anak, dan dokter rehabilitasi medik.

Kedua, orang tua perlu membina komunikasi dengan dokter. Hal ini dikarenakan kerja sama antara orang tua dengan dokter sangatlah penting, keterbukaan orang tua tentang kondisi anak, dan kesediaan mengikuti aneka pengobatan atau treatment yang disarankan akan mempengaruhi kemajuan anaknya dan merupakan syarat mutlak. Komunikasi yang baik antara dokter dengan orang tua dapat terlihat dari kemampuan orang tua memperoleh informasi mengenai kondisi anak. Jadi, pada saat berobat bukan hanya datang, anak diperiksa, diberi obat, lalu pulang. Jika hal itu terjadi maka waktu dan biaya yang telah dikeluarkan akan sia-sia.

Ketiga, mencari dokter lain yang dapat memahami penyakit anak jika orang tua menganggap dokter kurang kooperatif atau tidak memberikan konsultasi memadai.

Orang tua tidak boleh fanatik pada satu dokter karena tidak selamanya seorang dokter benar secara mutlak.

Keempat, hal lain yang tidak kalah penting adalah berkata jujur pada dokter saat konsultasi, misalnya tidak menutup-nutupi salah satu gejala yang dialami anak. Kejujuran orang tua dalam menceritakan kondisi keseharian anak akan sangat membantu dokter mengevaluasi kondisi anak yang dapat mempengaruhi kemajuan anak.

Kelima, orang tua perlu memperkaya pengetahuannya mengenai autisme. Terutama pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Selain itu, orang tua perlu menguasai terapi karena orang tua selalu bersama anak, sedangkan pengajar atau terapis hanya sesaat dan saling bergantian. Sebelum terapi dimulai, perlu diinformasikan bahwa orang tua juga terlibat dan tidak ada terapi yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua. Untuk mengoptimalkan terapi perlu adanya kerja sama orang tua dan pertemuan berkala antara orang tua dengan terapis untuk mengevaluasi program maupun terapi itu sendiri.

Keenam. hal yang juga sangat membantu orang tua adalah bertemu dan berbicara dengan sesama orang tua anak autis. Orang tua berusaha untuk bergabung dalam parent support group. Selain untuk berbagi rasa, juga untuk berbagi pengalaman, informasi, dan pengetahuan.

Ketujuh, selain itu, orang tua juga perlu bertindak sebagai manager saat terapi dilakukan, misalnya mempersiapkan kamar khusus, mencari dan mewawancara terapis,

mengatur jadwal, melakukan evaluasi bersama tim, juga mampu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapisan, dan pengobatan anak. Terapis harus mempunyai perilaku professional termasuk mematuhi jam kerja dan menginformasikan jika mereka datang terlambat atau tidak datang. Lingkungan rumah tangga juga dapat menjadi suatu lingkungan terapi yang ideal bagi anak autisme.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas, peneliti mencoba mengambil pendapat dari puspita yaitu memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan), memahami kebiasaan-kebiasaan anak, menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak, memahami penyebab prilaku buruk atau baik anak-anak, membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa depan, mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak.

Dokumen terkait