• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH DIMENSI-DIMENSI RELIGIUSITAS

TERHADAP PENERIMAAN ORANG TUA ANAK AUTIS

DI BEKASI BARAT

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Disusun Oleh :

TSARA SABIRA SUBHAN

206070004197

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

PENGARUH DIMENSI-DIMENSI RELIGIUSITAS TERDAHAP PENERIMAAN ORANG TUA ANAK AUTIS DI BEKASI BARAT

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Tsara Sabira Subhan Nim : 206070004197

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I

Pembimbing II

Solicha, M.Si. Gazi, M.Si

NIP. 19720415 199903 2 001 NIP. 197112142007011014

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “PENGARUH DIMENSI-DIMENSI RELIGIUSITAS TERHADAP PENERIMAAN ORANG TUA ANAK AUTIS DI BEKASI BARAT”, telah dujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (Satu) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 7 Oktober 2011

Sidang Munaqosyah

Dekan / Ketua Pembantu Dekan / Sekretaris

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130855522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si Solicha, M.Si.

NIP. 19770608 200501 2 003 NIP.19720415 199903 2 001

Gazi, M.Si

(4)

iii

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Tsara Sabira Subhan Nim : 206070004197

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul“Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas Terhadap Penerimaan Orang Tua Anak Autis Di Bekasi Barat” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun

kutipan-kutipan dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya

dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika

ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 7 Oktober 2011

(5)

iv

ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi

(B) September 2011 (C) Tsara Sabira Subhan

(D) 125 halaman + lampiran

(E) Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas Terhadap Penerimaan Orang Tua Anak Autis Di Bekasi Barat.

(F) Setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun si anak menyandang sindrom autis. Namun dalam proses ke arah sana orang tua mempunyai tanggung jawab untuk dapat menerima keadaan anaknya dengan apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan atau penilaian, selain itu juga tetap menghargai dan memahami sebagai individu yang berbeda dan mendukung perkembangannya. Karena penerimaan orang tua ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis mereka. Menerima anak berarti menyadari anak sebagai seorang individu yang memiliki perasaan, keinginan, dan kebutuhan yang sama dengan anak-anak lainnya (Mangunsong, 1998). Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua antaranya adalah agama (religiusitas).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dimensi religiusitas terhadap penerimaan orang tua yang memiliki anak autis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kuantitatif dengan menggunakan jenis penelitian korelasional prediktif yaitu penelitian yang memfokuskan pada pengukuran terhadap satu variabel atau lebih yang dapat dipakai untuk memprediksi atau meramal kejadian di masa yang akan datang atau variabel lain.

Analisis data yang digunakan adalah uji regresi ganda. Subyek yang diambil dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak autis yang berdomisili di Bekasi Barat

dan menyekolahkan di sekolah/tempat terapi “Rumah Autis dan Yayasan Ananda”. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik pengambilan data yang digunakan yaitu menggunakan skala Religiusitas berdasarkan dimensi dari John E Fetzer (1999) yang berjumlah 28 item dan skala penerimaan orang tua berdasarkan aspek dari Mussen dan Conger (1963) yang berjumlah 56 item.

(6)

v

Dari kesebelas dimensi variable religiusitas terhadap penerimaan orang tua yang memiliki sumbangsih secara signifikan hanya satu dimensi yaitu meaning yang memberikan pengaruh signifikan terhadap variable penerimaan orang tua.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas Terhadap Penerimaan Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis”. Shalawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Jahja Umar, Ph.D, seluruh dosen dan seluruh staf karyawan fakultas yang telah banyak membantu penulis dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

2. Ibu Solicha, M.Si. selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berarti dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal.

3. Bapak Gazi, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan masukan yang teramat bermanfaat dalam penyelesaian penelitian ini. 4. Seluruh Dosen-dosen, Staf-staf dan Pengurus-pengurus Perpustakaan Fakultas Psikologi

yang telah membantu peneliti selama perkuliahan sampai selesai penyusunan skripsi. 5. Bapak Wawan dan Bapak Zainal selaku pimpinan yayasan Ananda, yang bersedia

yayasannya menjadi tempat penelitian peneliti.

6. Ibu Pipit dan Bapak Danu selaku pimpinan yayasan Rumah Autis, yang bersedia yayasannya menjadi tempat penelitian peneliti.

7. Seluruh orang tua yang menjadi subjek penelitian, terima kasih atas waktunya dan kesediaannya untuk menjadi responden.

(8)

vii

semua dukungan, sumber inspirasi, semangat, kasih sayang serta doa yang telah kalian berikan kepada peneliti untuk selalu meneruskan perjuangan ini agar mencapai yang terbaik. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan menganugerahkan kebahagiaan kepada keluargaku tersayang.

9. Rohidi, seseorang yang selalu memberi inspirasi, dukungan, semangat, dan doa selama penulis menyusun skripsi. Semoga kamu akan selalu terus ada di hatiku.

10. Seluruh sahabat-sahabat terbaikku, khususnya Bintang Mayyudhia S.Psi, Ita Puspita Dewi S.Psi, Dedeh Mahmudah S.Psi, Agustin Harrum Sari S.Psi, Dewi Aminah, Iha sholiha, Solihul Anwar, S.Psi, Nurfaizin, Deni Hermanyah . Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

11. Teman-teman Fakultas Psikologi Angkatan 2006, terima kasih atas dukungan dan semangat yang kalian berikan kepada peneliti.

12. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, karena dukungan dan pengertian mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya doa yang dapat penulis panjatkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis semoga mendapatkan balasan pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Peneliti menyadari dengan segala semua kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu peneliti mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai mana mestinya, terutama untuk peneliti sendiri.

Akhirnya peneliti ucapkan terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian laporan penelitian ini. Wassalam.

Jakarta, 7 Oktober 2011

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ……….. i

HALAMAN PENGESAHAN ……… ii

HALAMAN PERNYATAAN ……… iii

ABSTRAKSI ……… iv

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR TABEL ………... xi

DAFTAR GAMBAR ………. xii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8

1.2.1 Pembatasan masalah ... 8

1.2.2 Perumusan masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan penelitian ... 10

1.3.2 Manfaat penelitian ... 12

1.4 Sistematika Penulisan ... 13

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 14

2.1 Penerimaan Orang Tua yang Memiliki Anak Autis ... 14

2.1.1 Definisi penerimaan orang tua ... 14

2.1.2 Aspek-aspek penerimaan orang tua ... 16

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua ... 17

(10)

ix

2.2 Religiusitas ... 28

2.2.1 Definisi religiusitas ... 28

2.2.2 Dimensi-dimensi religiusitas ... 30

2.2.3 Sumber-sumber munculnya sikap religiusitas ... 38

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas ... 38

2.3 Kerangka Berpikir ... 40

2.4 Hipotesis Penelitian ... 44

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 47

3.2 Variabel Penelitian ... 48

3.3 Definisi Konseptual dan Definisi Oprasional Variabel ... 49

3.3.1 Definisi konseptual variabel ... 49

3.3.2 Definisi operasional variabel ... 49

3.4 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 52

3.4.1 Populasi ... 52

3.4.2 Sampel ... 52

3.4.3 Teknik pengambilan sampel ... 52

3.5 Pengumpulan Data ... 53

3.6 Teknik Uji Instrumen ... 59

3.6.1 Uji validitas ... 59

3.6.2 Uji reliabilitas ... 59

3.7 Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 60

3.8 Uji Regresi ... 64

(11)

x

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 66

4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian ………. 66

4.1 Deskripsi Data ... 67

4.2 Hasil Uji Hipotesis ... 70

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI & SARAN ... 81

5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Diskusi ... 82

5.3 Saran ... 84

5.3.1 Saran teoritis ... 84

5.3.2 Saran praktis ... 85

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Blue Print Skala Dimensi-dimensi Religiusitas ... 56

Tabel 3.2 Blue Print Skala Penerimaan Orang Tua ... 58

Tabel 3.3 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 60

Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas Skala Dimensi-dimensi Religiusitas ... 62

Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Skala Penerimaan Orang Tua ... 63

Tabel 3.6 Koefisien Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 64

Table 4.1 Latar Belakang Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66

Tabel 4.2 Deskripsi Statistik Perolehan dan Teoritik Skor Dimensi-dimensi Religiusitas dan Penerimaan Orang Tua ... 67

Tabel 4.3 Model Summary ... 70

Tabel 4.4 Anovab ... 71

Tabel 4.5 Coefficientsa ... 73

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

2.1 Gambar Kerangka Berpikir Penelitian Pengaruh Dimensi-dimensi

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pernyataan Kebersediaan dan Angket

Lampiran 2 Skoring Dimensi-dimensi Religiusitas Try Out

Lampiran 3 Skoring penerimaan Orang Tua Try Out

Lampiran 4 Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas

Lampiran 5 Hasil Uji Regresi Ganda

Lampiran 6 Rumus F Hitung

(15)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang permasalahan, pembatasan masalah

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Suatu kebanggaan bagi seorang ayah dan ibu saat menantikan hadirnya seorang

anak dalam keluarganya. Seluruh anggota keluarganya pun merasakan hal yang sama

dengan apa yang dirasakan ayah dan ibu. Lahirnya seorang anak menandakan

bertambahnya anggota baru dalam keluarga, yang disambut dengan penuh suka cita dan

penuh harapan. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang secara sempurna.

Namun masih ada pula anak-anak di dunia yang mengalami kelainan sejak usia dini.

Salah satunya adalah anak yang mengalami autisme.

Anak dengan autisme dapat dikatakan anak yang memerlukan kebutuhan khusus.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) dinyatakan bahwa anak

berkebutuhan khusus adalah: (a). anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan sosial hingga berhak memperoleh pendidikan khusus. (b). anak di

(16)

memperoleh pendidikan layanan khusus. (c). anak yang memiliki potensi kecerdasan

dan bakat istimewa sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus. (Agustyawati &

Solicha, 2009)

Dalam kutipan di atas dikatakan bahwa anak yang mengalami autisme memiliki

kebutuhan khusus, bukan saja kebutuhan dalam keseharian melainkan juga kebutuhan

dalam pendidikan. Anak autisme memang anak yang sangat istimewa, oleh karena itu

anak autis sangat memerlukan perhatian khusus para orang tua mereka.

Meskipun berbeda dari anak normal, pada dasarnya anak autis mempunyai hak-hak

yang sama seperti anak normal. Anak autis sangat memerlukan teman bermain dan

bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Mereka juga butuh untuk dicintai,

dihargai, serta diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri. Anak autis

membutuhkan perhatian dari orang tuanya. Akan tetapi pada kenyataannya, orang tua

yang mempunyai anak autis pada awalnya menolak dan bahkan kecewa. Keberadaan

seorang anak dalam keluarga tentunya diharapkan dapat menjadi penerus bagi

keturunan keluarganya.

Setiap orang tua sangat mengharapkan dan mendambakan buah hatinya dapat lahir

secara normal dan sehat. Akan tetapi keinginan dan harapan tersebut tentunya tidak

selalu sejalan dengan apa yang diharapkannya. Keadaan anak yang serba terbatas

kemampuannya akan menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan

kenyataan pahit yang harus dihadapi orang tua. “Bila anak yang dinanti-nanti gagal

(17)

menolak” (Hurlock, 1978). Orang tua yang memiliki anak cacat akan berduka karena

harapan-harapan mereka tidak terpenuhi.

Ketika anak terdiagnosa autisme tidak mudah bagi orang tua untuk menerima kabar

tersebut dengan tenang, tanpa bereaksi apapun. Walau reaksi orang tua berbeda-beda,

pada umumnya orang tua merasa shock, tidak percaya, sedih, menjadi overprotektif

terhadap anak, merasa malu, marah, bahkan merasa bersalah. Tentunya setiap orang tua

menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun si anak menyandang autisme,

namun dalam proses ke arah sana orang tua mempunyai tanggung jawab untuk dapat

menerima keadaan anaknya dengan apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai

persyaratan atau penilaian, selain itu juga tetap menghargai dan memahami sebagai

individu yang berbeda dan mendukung perkembangannya. Karena penerimaan orang

tua ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis seorang anak yang

mengalami sindrom autisme. Menerima anak berarti menyadari anak sebagai seorang

individu yang memiliki perasaan, keinginan, dan kebutuhan yang sama dengan

anak-anak lainya (Mangunsong, 1998).

Dalam surat Athagobun, ayat 15

Artinya : “esungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi

(18)

Sesuai dengan ayat di atas, sebagai orang tua sudah merupakan kewajiban untuk

menjaga anak-anak mereka, walau anak mereka terlahir dalam keadaan tidak normal.

Memang sulit bagi orang tua untuk awalnya menerima keadaan anak mereka yang

mengalami sindrom autisme, tetapi pada faktanya kebanyakan anak-anak yang

mengalami sindrom autisme dapat mandiri dengan sentuhan para orang tua mereka yang

ikhlas merawat anak autis tersebut. Kata sembuh yang dimaksud bukan hanya sembuh

dalam penderitaan sindom autisme, minimal penderita autisme dapat melakukan

tugasnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Atau dengan kata lain si penderita autis dapat

mandiri. Para orang tua memang diharapkan ikhlas merawat dan menjaga anak mereka

karena dengan keikhlasan si anak dapat merasakan cinta kasih yang tulus, inilah awal

sembuhnya dengan cepat si penderita autis.

Ikhlas disini mungkin lebih tepatnya dikatakan bersabar dengan apa yang diterima.

Orang tua yang bersabar dalam menghadapi ujian dari Allah niscaya akan memperoleh

kemudahan dalam merawat dan menjaga anak yang mengalami sindrom autisme. Dalam

firman Allah di dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah, ayat 153

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,

(19)

Dari ayat di atas, jika orang tua menerima dengan ikhlas atau bersabar dalam

mengdapai keadaan anaknya yang mengalami autisme, maka Allah bersama hambanya

yang sabar dan selalu memberi mereka kekuatan.

Sudah banyak fakta yang menunjukkan bahwa jika orang tua ikhlas dan bersabar

atas anak yang didapat walau mereka terlahir tidak normal, selain anak autis tersebut

dapat cepat sembuh bahkan para orang tua selalu diberi nikmat oleh Allah dari berbagai

sudut, misalnya anak autis tersebut dapat memenangkan perlombaan olimpiade khusus.

Seperti kristian salah satu atlet olimpiade khusus yang memenangkan juara dunia lomba

renang gaya bebas untuk putra. (dalam tayangan kick&andi, september 2011)

Peran orang tua dalam penyembuhan anak penderita autisme sangatlah penting.

Pada penelitian Kurnianti (2005) disimpulkan bahwa peran serta ayah dan ibu tidak ada

bedanya atau bisa dikatakan sama besarnya kepada anak mereka, terutama

anak-anak yang mengalami kelainan atau anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini berkaitan

dengan sikap penerimaan orang tua terhadap anak autisme yang ditunjukkan dalam

perilaku menghadapi anak autisme. Sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai

langkah lanjutan pengertian yaitu berarti dengan segala kelemahan, kekurangan, dan

kelebihannya ia seharusnya mendapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga

berhak atas kasih sayang orang tuanya. Penerimaan orang tua terhadap anak autis

memerlukan pengetahuan yang lebih tentang autism itu sendiri, sehingga orang tua akan

(20)

tua akan menerima kondisi anak dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan

memahami perkembangan anak sejak dini.

Dengan demikian semakin cepat orang tua anak autis menerima anak mereka yang

mengalami autisme, dapat membantu anak untuk menjadi lebih optimal dalam

penatalaksanaannya. Orang tua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan,

orang tua sebaiknya lebih mempelajari hal-hal seputar autisme dan mampu

mengorganisir kegiatan terapi penyembuhan untuk anaknya. Meskipun semakin intensif

semakin baik, setidaknya ada usaha orang tua dan keluarga terus menerus melakukan

pendampingan pada anak sehingga mereka terlibat secara langsung dalam peroses

pengajaran anak. Keterlibatan langsung ini sangat berpengaruh pada perkembangan

anak. Para dokter tidak dapat bekerja tanpa peran serta orang tua dan terapi tidak akan

efektif bila orang tua tidak dapat bekerja sama. Bagaimanapun hebatnya seorang terapis

atau sebuah tempat terapi, guru terbaik adalah orang tua.

Penerimaan orang tua sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu unsur

tersebut adalah agama. Agama biasanya sangat mempengaruhi penerimaan atau

penolakan orang tua terhadap anak mereka yang mengalami kelainan karena dengan

agama juga diharap bisa mengontrol emosi yang berlebihan dalam diri seseorang,

terutama emosi yang dialami orang tua dalam penerimaan anak mereka yang mengalami

kelainan.

Salah satu fakta yang mempengaruhi penerimaan orang tua adalah peran agama,

(21)

keberagamaannya kuat maka akan berpengaruh kuat pula dengan penerimaan terhadap

anak mereka, terutama jika orang tua yang memiliki anak yang mengalami kelainan

(berkebutuhan khusus). Penerimaan orang tua juga dipengaruhi faktor dukungan

keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, tingkat

pendidikan, status perkawinan, usia serta dukungan para ahli dan masyarakat.

Peneliti merasa agama sangat dominan dalam kekehidupan sehari-hari hal ini

dirasakan penting karena dalam ajaran agama bukan hanya dihubungkan interaksi antar

sesama manusia namun seimbangnya dengan inetraksi dengan Tuhan (Allah) pencipta

dan pemilik alam semesta.

Dalam penelitian ini peneliti mencoba mengkaitkan lebih erat dan lebih dalam lagi

mengenai penerimaan orang tua yang memiliki anak autis dengan agama atau yang

lebih di kenal dengan religiusitas. Religiusitas disini peneliti mencoba menarik

pengertian dan dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh John E. Fetzer

Institute (1999). Religiusitas yang di teliti oleh Fetzer terdapat 12 (dua belas) dimensi

yang bepengaruh dengan kegiatan atau perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan

agama.

Berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk meneliti mengenai

“PENGARUH DIMENSI-DIMENSI RELIGIUSITAS TERHADAP

(22)

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini peneliti memberi batasan masalah penelitian adalah sebagai

berikut :

1.2.1. Pembatasan masalah

Supaya permasalahan tidak meluas, maka pembahasan ini akan difokuskan dalam ruang

lingkup sebagai berikut :

1. Dimensi-dimensi religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran

agama dalam diri seseorang (orang tua) dalam memperlakukan orang lain.

Religiusitas dalam hal ini menggunakan teoriJhon E. Fetzer Institute (1999) yang

terdiri dari 12 dimensi yaitu: individu penganut agama merasakan pengalaman

beragama sehari-hari (daily spiritual experience), kebermaknaan hidup dengan beragama (religion-meaning), ekspresi keagamaan sebagai sebuah nilai (value), keyakinan (belief), memaafkan (forgiveness), melatih diri dalam beragama

(private religious practice), penggunaan agama sebagai coping (religious/spiritual coping), dukungan penganut sesama agama (religious support), sejarah keberagamaan (religious/spiritual history), komitmen beragama (commitment), mengikuti organisasi/kegiatan keagamaan (organizational religious), pilihan agama (religious preference).

2. Penerimaan orang tua adalah penerimaan orang tua yang memiliki anak autis

(23)

mereka), tuntutan kematangan (tekanan pada anak dalam melakukan sesuatu

sesuai dengan kemampuan intelektual dan emosional), komunikasi jelas antara

orang tua dengan anak, pengasuhan orang tua (adanya cinta dan sayang yang tulus

antara anak dan orang tua). (Mussen dan Conger, 1963)

3. Orang tua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang tua anak autis yang

berdomisili di Bekasi Barat.

1.2.2. Perumusan masalah

Dari pembatasan masalah tersebut peneliti memberikan perumusan masalahnya

sebagai berikut :

a. Apakah ada pengaruh yang signifikan Daily Spiritual Experiences terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

b. Apakah ada pengaruh yang signifikan Meaning terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

c. Apakah ada pengaruh yang signifikan Value & Belief terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat ?

d. Apakah ada pengaruh yang signifikan Forgiveness terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat ?

(24)

f. Apakah ada pengaruh yang signifikan Religious/Spiritual Coping terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

g. Apakah ada pengaruh yang signifikan Religious Support terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

h. Apakah ada pengaruh yang signifikan Religious/Spiritual History terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

i. Apakah ada pengaruh yang signifikan Commitment terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

j. Apakah ada pengaruh yang signifikan Organizational Religiousness terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

k. Apakah ada pengaruh yang signifikan Religious Preferences terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat?

l. Apakah ada pengaruh yang signifikan religiusitas terhadap penerimaan orang tua

anak autis di Bekasi Barat?

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah di kemukakan diatas, maka tujuan

dilaksanakan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

(25)

2. Pengaruh yang signifikan dimensi Meaning terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

3. Pengaruh yang signifikan dimensi Value & Belief terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

4. Pengaruh yang signifikan dimensi Forgiveness terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

5. Pengaruh yang signifikan dimensi Religious Practices terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

6. Pengaruh yang signifikan dimensi Religious/Spiritual Coping terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

7. Pengaruh yang signifikan dimensi Religious Support terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

8. Pengaruh yang signifikan dimensi Religious/Spiritual History terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

9. Pengaruh yang signifikan dimensi Commitmen terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

10.Pengaruh yang signifikan dimensi Organizational Religiousness terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

11.Pengaruh yang signifikan dimensi Religious Preferences terhadap penerimaan orang tua anak autis di Bekasi Barat.

12.Pengaruh yang signifikan religiusitas terhadap penerimaan orang tua anak autis di

(26)

1.3.2. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun

praktis, yaitu sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan teori-teori

psikologi khususnya yang berhubungan dengan bidang klinis, perkembangan, dan

pendidikan.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan pertimbangan

untuk penelitian-penelitian selanjutnya, serta dijadikan bahan pertimbangan dan dapat

memberi kontribusi pemikiran umumnya bagi orang tua yang terkait dengan

masalah-masalah yang terkait dengan autisme. Sehingga dengan banyaknya informasi yang

diterima oleh para orang tua yang memiliki anak kelainan atau sindro autisme,

diharapkan orang tua dapat menerima keberadaan anaknya dengan penuh kesadaran dan

keikhlasan dalam mendampingi, membesarkan dan mendidik anaknya dengan penuh

kasih sayang karena inilah modal utama yang diharapkan terjadinya kesembuhan dari

(27)

1.4. Sistemaika Penulisan

Adapun inti dari keseluruhan penulisan sebagai berikut :

BAB 1 Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan, pembatasan

masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, sistematika

penulisan.

BAB 2 Kajian teori yang terdiri dari teori-teori mengenai penerimaan orang tua yang

memiliki anak autis, teori-teori mengenai religiusitas, kerangka berfikir, dan

hipotesis

BAB 3 Metode Peneitian yang terdiri dari pendekatan dan metode penelitian,

variabel penelitian, definisi konseptual dan oprasional, populasi dan sampel,

pengumpulan data, teknik uji instrumen penelitian, hasil uji coba alat ukur,

uji regresi dan prosedur penelitian.

BAB 4 Hasil Penelitian yang terdiri dari deskripsi data, intervensi dimensi-dimensi

religiusitas, intervensi penerimaan orang tua, dan uji hipotesis.

BAB 5 Penutupan yang berisi dari kesimpulan, diskusi dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

(28)

BAB 2

KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan di bahas mengenai definisi penerimaan orang tua, aspek-aspek

penerimaan orang tua, faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua, dan

juga penerimaan orang tua yang memiliki anak autis. Selanjutnya akan membahas

tentang definisi dan dimensi religiusitas, sumber-sumber munculnya sikap religiusitas,

faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas, kerangka berpikir, serta hipotesis

penelitian.

2.1. Penerimaan Orang Tua Anak Autis

2.1.1. Definisi penerimaan orang tua

Menurut C.P. Chaplin (2000) penerimaan (acceptance) ditandai dengan sikap penerimaan atau menolak. Menurut Rogers (dalam Kurnianti, 2005) penerimaan

merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima kenyataan hidup. Semua

pengalaman-pengalaman, baik maupun buruk atau positif maupun negatif, dengan kata

lain seseorang membutuhkan situasi yang menghormati dan menghargai yang tidak

disertai persyaratan. Situasi ini bisa tercipta bila seseorang merasa diterima apa adanya

tanpa ada penilaian atau persyaratan tertentu. Oleh karena itu penerimaan orang tua

(29)

Orang tua dalam lingkungan keluarga memegang tanggung jawab dan peranan yang

sangat penting dalam perkembangan anak. Perlakuan yang diberikan oleh orang tua

terhadap anaknya akan memberikan dampak bagi anak. Menurut Gordon (1999) “semua

orang tua adalah pribadi-pribadi yang dari masa ke masa mempunyai dua perasaan yang

berbeda terhadap anak-anak mereka menerima dan tidak menerima”.

Sedangkan menurut Johnson dan Medinnus (1974) penerimaan didefinisikan

sebagai “pemberian cinta tanpa syarat sehingga penerimaan orang tua terhadap anaknya

tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta kasih terhadap anak serta sikap

penuh kebahagiaan mengasuh anak”.

Ditambahkan pula oleh Hurlock (1978), konsep penerimaan orang tua ditandai

oleh: perhatian besar dan kasih sayang anak. Orang tua yang menerima akan

memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat. Anak

yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, secara

emosional stabil, dan gembira.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan orang tua

terhadap anak autis adalah perhatian, cinta atau kasih sayang serta sikap pengertian dari

orang tua yang ditunjukkan dengan sikap yang penuh bahagia dalam mengasuh anak

(30)

2.1.2. Aspek-aspek penerimaan orang tua

Orang tua yang menerima anaknya akan menempatkan anaknya pada posisi penting

dalam keluarga dan mengembangkan hubungan emosional yang hangat dengan anak.

Porter, 1954 (dalam Johnson dan Medinnus, 1974) mengungkap aspek-aspek

penerimaan orang tua terhadap anak sebagai berikut :

a. Menghargai anak sebagai individu dengan segenap perasaan mengakui hak-hak

anak dan memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan.

b. Menilai anaknya sebagai diri yang unik sehingga orang tua dapat memelihara

keunikan anaknya tanpa batas agar mampu menjadi pribadi yang sehat.

c. Mengenal kebutuhan-kebutuhan anak untuk membedakan dan memisahkan diri

dari orang tua dan mencintai individu yang mandiri

d. Mencintai anak tanpa syarat.

Menurut Zuck (dalam Ningrum, 2007) aspek-aspek yang terdapat dalam diri orang

tua yang menerima anaknya adalah, sebagai berikut :

a. Memperlihatkan kecemasan yang minimal dalam kehadiran anak

b. Memperlihatkan keadaan membela diri yang minimal tentang keterbatasan anak

c. Tidak ada penolakan yang jelas pada anak maupun membantu perkembangan

(31)

Aspek-aspek penerimaan orang tua menurut Mussen dan Conger (1963) di

golongkan menjadi empat, yaitu :

a. Adanya kontrol, yaitu usaha –usaha untuk mempengaruhi aktivitas orientasi

cita-cita anak, membatasi ketergantungan, agresif dan perilaku untuk terus bermain

b. Tuntutan kematangan, tekanan pada anak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan

kemampuan intelektual, sosial dan emosional

c. Komunikasi jelas antara orang tua dengan anak, contohnya menggunakan alasan

untuk menanyakan pendapat anak dan perasaannya

d. Pengasuhan orang tua, meliputi kehangatan (cinta, perhatian dan keharuan) dan

keterbukaan (pujian dan kesenangan dalam prestasi anak).

Berdasarkan uraian di atas peneliti mencoba mengambil aspek-aspek yang lebih

cocok dalam penelitian ini adalah pendapat Musen dan Conger (1963), karena dianggap

dapat memberi kontribusi terhadap cepat atau lamanya penerimaan orang tua terhadap

anak mereka yang mengalami sindrom autis.

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua

Hurlock (1978) mengemukakan bahwa penerimaan orang tua ditandai oleh

(32)

Hurlock menerangkan berbagai macam sikap khas orang tua terhadap anak. Sikap orang

tua terhadap anak mereka merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang turut

mempengaruhi sikap orang tua terhadap anak. Hurlock (1978) menjelaskan

faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh :

a. Konsep “anak idaman”, yang terbentuk sebelum kelahiran anak, yang sangat

diwarnai romantisme, dan didasarkan gambaran anak ideal dari orang tua.

b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya.

c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter,

demokratis maupun permisif, akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara

memperlakukan anaknya.

d. Orang tua yang menyukai peran, merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian

yang baik terhadap perkawinan, akan mencerminkan penyesuaian yang baik pada

anak.

e. Apabila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap mereka

terhadap anak dan perilakunya lebih baik dibandingkan sikap mereka yang merasa

kurang mampu dan ragu-ragu.

f. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang

berpusat pada keluarga.

g. Alasan memiliki anak. Apabila alasan untuk memiliki anak untuk mempertahankan

(33)

anak akan berkurang dibandingkan dengan sikap orang tua yang menginginkn

anak untuk memberikan kepuasan mereka dengan perkawinan mereka.

h. Cara anak bereaksi terhadap orang tuanya mempengaruhi sikap orang tua

terhadapnya.

Darling-Darling (dalam Ningrum, 2007) menjelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah :

a. Umur anak

Studi Korn menjelaskan orang tua dengan anak-anak cacat yang usianya lebih

muda lebih mudah tertekan dan menderita daripada orang tua dari anak-anak cacat

yang usianya lebih tua.

b. Agama

Zuck melaporkan bahwa orang tua yang menghargai terhadap agamanya dan

orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap

lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik.

c. Penerimaan diri sendiri orang tua

Medinnus dan Curtis menemukan terdapat hubungan yang sangat tinggi antara

(34)

d. Alasan orang tua memiliki anak

Orang tua yang mendambakan anaknya menjadi atlit atau orang yang terpelajar

akan menjadi kecewa pada kelahiran anaknya yang cacat secara fisik atau mental.

e. Status sosial ekonomi

Downey menjelaskan bahwa keluarga dari kelas bawah lebih dapat menerima

daripada keluarga kelas menengah.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang turut

mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya menurut Hurlock adalah

bagaimana konsep orang tua terhadap anaknya, apakah anaknya tersebut sesuai dengan

gambaran ideal orang tua, pengalaman dan cara bereaksi anak terhadap sikap orang tua,

gaya pengasuhan orang tua terhadap anaknya, kemampuan dan penyesuaian orang tua

terhadap perkawinannya, alasan orang tua memiliki anak, serta ditambahkan pula oleh

Darling-darling (dalam Ningrum, 2007), bahwa anak dengan usia yang lebih muda

dapat menyebabkan orang tua lebih mudah tertekan, dari sisi agama juga menjelaskan

bahwa orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap

lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik, dan alasan orang tua

memiliki anak, bagaimana penerimaan orang tua terhadap anaknya serta faktor sosial

ekonomi, merupakan faktor-faktor yang turut mempengaruhi penerimaan orang tua

(35)

2.1.4. Penerimaan orang tua anak autis

Karakteristik tentang autisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Kanner (dalam

Rachmayanti, 2009) yang mendeskripsikan gangguan ini dengan tiga kriteria umum,

yaitu gangguan pada hubungan interpersonal, gangguan pada perkembangan bahasa dan

kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau melakukan tingkah laku yang sama.

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut

komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum

anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir

(Suryana, dalam Rachmayanti ,2009). Penyebab autisme adalah multifaktor,

kemungkinan besar disebabkan adanya kerentanan genetik seperti infeksi virus selama

kehamilan, bahan-bahan kimia serta polutan.

Kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir,

cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya

mengalami gangguan autisme. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi emosionalnya,

bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua tersebut adalah

hal yang wajar dan alamiah. Hal ini adalah persoalan yang sangat sulit dihadapi para

orang tua dan mereka dipaksa untuk berhadapan dengan keadaan tersebut, serta dipaksa

(36)

Ross (dalam Rachmayanti 2009), membahas reaksi-reaksi manusia dalam

menghadapi “cobaan” dalam hidup ini. Beliau membaginya menjadi lima tahap, (dalam

konteks orang tua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus) tahapan ini bisa dijabarkan

sebagai berikut:

a. Tahap Denial (menolak menerima kenyataan)

Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli,

perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung atas arti

diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal

ini dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena

umumnya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka.

Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang

sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui

bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini bisa menjadi

bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan

untuk memberikan keturunan yang “sempurna”. Kadang dalam hati muncul

pernyataan “tidak mungkin hal ini terjadi pada anak saya” atau “tidak pernah

terjadi keadaan seperti ini di keluarga kami”.

b. Tahap Anger (marah)

Reaksi marah ini bisa dilampiaskan kepada beberapa pihak sekaligus. Bisa

(37)

pasangan hidup. Bisa juga, muncul dalam bentuk menolak untuk mengasuh anak

tersebut. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa

marah) muncul dalam bentuk “Tidak adil rasanya...”, “Mengapa kami yang

mengalami ini?” atau “Apa salah kami?”

c. Tahap Bargaining (menawar)

Pada tahap ini, orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan

seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik

dengan sendirinya”.

d. Tahap Depression (depresi)

Muncul dalam bentuk putus asa, tertekan dan kehilangan harapan.

Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu,

yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil,

atau akibat dosa di masa lalu. Ayahpun sering dihinggapi rasa bersalah, karena

merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna.

Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai

membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka

memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saya mereka

meninggal.

Harapan atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul dalam bentuk

(38)

lain?”. Pada tahap depresi, orang tua cenderung murung, menghindar dari

lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup.

e. Tahap Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan)

Pada tahap ini, orang tua sudah menjadi kenyataan baik secara emosi maupun

intelektual. Sambil mengupayakan “penyembuhan”, mereka mengubah persepsi

dan harapan atas anak. Orang tua pada tahap ini cenderung mengharapkan yang

terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka.

Patut dicatat bahwa, kelima tahap tersebut di atas tidak harus terjadi secara

berurutan. Bisa saja ada satu tahap atau lebih yang terlompati, atau kembali

muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidak “sempurnaan” anak mereka

(bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya). Demikian pula pada tahap

awal. Ada juga orang tua yang telah begitu lama mencari diagnosa dan

penyembuhan. Begitu mereka mendapatkan diagnosa dan metode yang dapat

membantu mereka, perasaan legalah yang mereka dapatkan, bukan menolak

menerima kenyataan (denial).

Menurut Puspita (dalam Rachmayanti, 2009), bentuk penerimaan orang tua dalam

penanganan autisme adalah sebagai berikut :

(39)

Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua karena banyak diantara

orang tua sulit atau enggan menangani sendiri anaknya sehari-hari dirumah.

Mereka mengandalkan bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek

dalam pengasuhan anak. Padahal pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik

bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuanya.

b. Memahami kebiasaan-kebiasaan anak.

c. Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak.

d. Memahami penyebab prilaku buruk atau baik anak-anak.

e. Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa

depan.

Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua

bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran,

anak cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali kedunianya. Ada baiknya

orang tua bisa bersikap lebih santai dan “hangat” setiap kali berada bersama anak.

Sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan

pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya,

sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan

individu autis yang sulit untuk diarahkan, dididik dan dibina.

(40)

Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua yang tidak tahu harus

memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam

membantu memberikan keterampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan

kebutuhan anak.

Menurut Saraswati (dalam Rachmayanti, 2009) peran orang tua bagi anak

penyandang autisme sangat penting, banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orang

tua anak autisme diantaranya yaitu; Pertama, memastikan diagnostik, sekaligus

mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Memilih dokter

yang kompeten. Umumnya, adalah dokter anak yang menangani autisme, dokter saraf

anak, dan dokter rehabilitasi medik.

Kedua, orang tua perlu membina komunikasi dengan dokter. Hal ini dikarenakan

kerja sama antara orang tua dengan dokter sangatlah penting, keterbukaan orang tua

tentang kondisi anak, dan kesediaan mengikuti aneka pengobatan atau treatment yang

disarankan akan mempengaruhi kemajuan anaknya dan merupakan syarat mutlak.

Komunikasi yang baik antara dokter dengan orang tua dapat terlihat dari kemampuan

orang tua memperoleh informasi mengenai kondisi anak. Jadi, pada saat berobat bukan

hanya datang, anak diperiksa, diberi obat, lalu pulang. Jika hal itu terjadi maka waktu

dan biaya yang telah dikeluarkan akan sia-sia.

Ketiga, mencari dokter lain yang dapat memahami penyakit anak jika orang tua

(41)

Orang tua tidak boleh fanatik pada satu dokter karena tidak selamanya seorang dokter

benar secara mutlak.

Keempat, hal lain yang tidak kalah penting adalah berkata jujur pada dokter saat

konsultasi, misalnya tidak menutup-nutupi salah satu gejala yang dialami anak.

Kejujuran orang tua dalam menceritakan kondisi keseharian anak akan sangat

membantu dokter mengevaluasi kondisi anak yang dapat mempengaruhi kemajuan

anak.

Kelima, orang tua perlu memperkaya pengetahuannya mengenai autisme. Terutama

pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Selain itu, orang tua

perlu menguasai terapi karena orang tua selalu bersama anak, sedangkan pengajar atau

terapis hanya sesaat dan saling bergantian. Sebelum terapi dimulai, perlu

diinformasikan bahwa orang tua juga terlibat dan tidak ada terapi yang dilakukan tanpa

persetujuan orang tua. Untuk mengoptimalkan terapi perlu adanya kerja sama orang tua

dan pertemuan berkala antara orang tua dengan terapis untuk mengevaluasi program

maupun terapi itu sendiri.

Keenam. hal yang juga sangat membantu orang tua adalah bertemu dan berbicara

dengan sesama orang tua anak autis. Orang tua berusaha untuk bergabung dalam parent

support group. Selain untuk berbagi rasa, juga untuk berbagi pengalaman, informasi,

dan pengetahuan.

Ketujuh, selain itu, orang tua juga perlu bertindak sebagai manager saat terapi

(42)

mengatur jadwal, melakukan evaluasi bersama tim, juga mampu memutuskan segala

sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapisan, dan pengobatan anak. Terapis

harus mempunyai perilaku professional termasuk mematuhi jam kerja dan

menginformasikan jika mereka datang terlambat atau tidak datang. Lingkungan rumah

tangga juga dapat menjadi suatu lingkungan terapi yang ideal bagi anak autisme.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas, peneliti mencoba mengambil pendapat dari puspita yaitu memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan

kekurangan), memahami kebiasaan-kebiasaan anak, menyadari apa yang bisa dan belum

bisa dilakukan anak, memahami penyebab prilaku buruk atau baik anak-anak,

membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa

depan, mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak.

2.2. Religiusitas

2.2.1. Definisi religiusitas

Secara bahasa, kata religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata benda

religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re dan ligare artinya menghubungkan kembali yang telah putus, yaitu menghubungkan kembali tali hubungan antara Tuhan

(43)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) religiusitas berarti pengabdian terhadap agama atau kesalehan. Sedang menurut pengertian Glock dan Stark (1970)

agama atau religion adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem

perilaku yang terlambangkan yang sebmuanya berpusat pada persoalan yang dihayati

sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).

Sedangkan Thouless (1992) mendefinisikan Religion adalah sikap atau cara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan

yang lebih luas dari pada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu.

Berkaitan dengan religiusitas Islam, kualitas religiusitas seseorang ditentukan oleh

seberapa jauh individu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran serta

perintah Allah secara kaffah atau menyeluruh dan optimal. Untuk mencapai hal tersebut

maka diperlukan iman dan ilmu yang akhirnya berkaitan dengan amal perbuatan

sehingga fungsi Islam sebagai rahmat seluruh umat manusia dan seluruh alam dapat

dirasakan. Religiusitas Islam meliputi dimensi Jasmani dan Rohani, fikir dan dzikir,

aqidah dan ritual, peribadatan, penghayatan dan pengalaman, akhlak, individu dan sosial

kemasyarakatan, masalah duniawi dan akhirat, sehingga pada dasarnya religiusitas

islam meliputi seluruh dimensi dan aspek kehidupan. .

Untuk mengukur religiusitas tersebut, mengenal tiga dimensi dalam Islam yaitu

(44)

Sebagaimana kita ketahui bahwa keberagamaan dalam Islam bukan hanya

diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya.

Sebagai sistem yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara

menyeluruh pula (QS 2: 208); baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, harus

didasarkan pada prinsip penyerahan diri dan pengabdian secara total kepada Allah,

kapan, dimana dan dalam keadaan bagaimanapun. Karena itu, hanya konsep yang

mampu memberi penjelasan tentang kemenyeluruhan yang mampu memahami

keberagamaan umat Islam.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah internalisasi

nilai-nilai agama dalam diri seseorang. Internalisasi di sini berkaitan dengan

kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama baik di dalam hati maupun dalam ucapan.

Kepercayaan ini kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan dan tingkah laku

sehari-hari.

2.2.2. Dimensi-dimensi Religiusitas

Dalam sebuah laporan penelitian yang diterbitkan oleh John E. Fetzer Institute

(45)

Commitment, Organizational Religiousness, dan Religious Preference. Satu persatu dijelaskan berikut ini :

a. Daily Spiritual Experiences (dalam Fetzer, 1999) merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal

ini Daily Spiritual Experinces merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan transenden dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi terhadap

interaksinya pada kehidupan tersebut, sehingga Daily Spiritual Experinces lebih kepada pengalaman dibandingkan kognitif.

b. Adapun meaning dijelaskan oleh Pragment (dalam Fetzer, 1999) bahwa konsep meaning dalam hal religiusitas sebagaimana konsep meaning yang dijelaskan oleh Fiktor Vrankl yang biasa disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. Adapun

meaning yang dimaksud di sini adalah yang berkaitan dengan religiusitas atau disebut religion-meaning yaitu sejauh mana agama dapat menjadi tujuan hidupnya.

c. Konsep value menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai hidup, seperti mengajarkan tentang nilai cinta, saling tolong,

saling melindungi, dan sebagainya.

d. Konsep belief menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) merupakan sentral dari religiusitas. Religiusitas merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa

(46)

e. Dimensi forgiveness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) mencakup lima dimensi turunan, yaitu :

1. Pengakuan dosa (Confession).

2. Merasa diampuni oleh Tuhan (feeling forgiven by God).

3. Merasa dimaafkan oleh orang lain (feeling forgiven by others).

4. Memaafkan orang lain (forgiving others).

5. Memaafkan diri sendiri (forgiving one self)

Namun posisi dimensi forgiving others tidak sama dengan forgiveness sebagai dependen variabel. Dimensi forgiving others pada dimensi religiusitas yang dimaksud adalah sikap memaafkan yang lebih terkait dengan keberagamaan,

motivasi memaafkan lebih pada motivasi mengharapkan pahala dan menjauhkan

dosa karena membalas dendam merupakan perbuatan tercela dan memaafkan

adalah anjuran dalam agama.

f. Private religious practices menurut Levin (dalam Fetzer, 1999) merupakan perilaku beragama dalam praktek agama meliputi ibadah, mempelajari kitab, dan

kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan religiusitasnya.

g. Religious/spiritual coping menurut Pragament (dalam Fetzer, 1999) merupakan coping stress dengan menggunakan pola dan metode religius. Seperti dengan

(47)

1988 (dalam Fetzer Insitute, 1999) menjelaskan bahwa ada tiga jenis coping

secara religius, yaitu :

1. Deferring Style, yaitu memeinta penyelesaian masalah kepada Tuhan saja. Yaitu dengan cara berdoa dan meyakini bahwa Tuhan akan menolong

hamba-Nya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

2. Colaborative Style, yaitu hamba meminta solusi kepada Tuhan dan hambanya senantiasa berusaha untuk melakukan coping.

3. Self-directing Style, yaitu individu bertanggung jawab sendiri dalam menjalankan coping.

h. Konsep religous support menurut Krause (dalam Fetzer, 1999) adalah aspek hubungan sosial antara individu dengan pemeluk agama sesamanya. Dalam Islam

hal semacam ini sering disebut al-Ukhuwah al-Islamiyah.

i. Konsep religious/spiritual history menurut George (dalam Fetzer, 1999) adalah seberapa jauh individu berpartisipasi untuk agamanya selama hidupnya dan

seberapa jauh agama memepngaruhi perjalanan hidupnya.

j. Konsep commitment menurut Williams (dalam Fetzer, 1999) adalah seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada

(48)

k. Konsep organizational religiousness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam

lembaga keagamaan yang ada di masyarakat dan beraktifitas di dalamnya.

l. Konsep religious preference menurut Ellison (dalam Fetzer, 1999) yaitu memandang sejauh mana individu membuat pilihan dan memastikan pilihan

agamanya. Misalnya, majlis taklim dan lain-lain.

Sedang menurut Glock dan Stark (dalam Afiatin, 2008) mengatakan bahwa terdapat

lima dimensi dalam religiusitas, yaitu:

a. Religious Belief (The Ideological Dimension)

Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang

dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga

dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat

kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk

agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang

berlawanan. Pada dasarnya setiap

Agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya.

Adapun dalam agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah

(49)

dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh

penganut agama. Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam

pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat syahadat,

Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad itu utusan allah.

Dengan sendirinya dimensi keyakinan ini menuntut dilakukannya praktek-praktek

peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam (Ancok dan Suroso, 1995).

b. Religious Practice (The Ritual Dimension)

Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Unsur yang

ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih

menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya. Wujud dari

dimensi ini adalah prilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam

menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam

agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji

ataupun praktek muamalah lainnya (Ancok dan Suroso, 1995)

c. Religious Feeling (The Experiental Dimension)

Religious Feeling (The Experiental Dimension) atau bisa disebut dimensi pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan

dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa,

merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. Ancok dan

(50)

perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri dalam

hal yang positif) kepada Allah. Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau

berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al Qur’an,

perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan

dari Allah.

d. Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)

Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui

tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau

dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh

seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di

dalam kitab suci manapun yang lainnya. paling tidak seseorang yang beragama

harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab

suci dan tradisi. Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat

pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama

mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam kitab

sucinya (Ancok dan Suroso, 1995)

e. Religious Effect (The Consequential Dimension)

(51)

kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong

orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya.

Dari dua pakar yang mengemukakan tentang dimensi religiusitas, maka dalam

penelitian ini peneliti menggunakan dua belas dimensi religiusitas yang dipaparkan oleh

Fetzer Institute (1999) dikarenakan teori yang dikemukakan oleh Fetzer lebih mendekati

dan lebih banyak dimensi-dimensinya dalam mengulas pengaruh religiusitas terhadap

penerimaan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

2.2.3. Sumber-sumber munculnya sikap religiusitas

Melalui teori The Four Wishes yang dikutip oleh Jalaludin (dalam Nurhayati, 2009) mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam

keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia yaitu :

a. Keinginan untuk keselamatan

Keinginan untuk memperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik secara

fisik maupun psikis

b. Keinginan untuk mendapat penghargaan

Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan

adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain.

(52)

Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencintai dan dicintai dalam pergaulan.

d. Keinginan akan pengetahuan dan pengalaman baru

Keinginan ini menyebabkan manusia mengeksplorasi dirinya, serta selalu ingin

mencari pengetahuan dan pengalaman baru yang belum diketahui.

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas

Thouless (1992), membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan

menjadi empat macam, yaitu :

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan itu,

termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan

social untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang

disepakati oleh lingkungan itu.

b. Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan.

Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman

emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang

(53)

c. Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu : (a).

kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, (b). kebutuhan akan cinta kasih, (c).

kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d). kebutuhan yang timbul karena

adanya ancaman kematian.

d. Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa setiap individu

berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi oleh dua macam faktor secara garis

besarnya yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi

religiusitas seperti adanya pengalaman-pengalaman emosional keagamaan, kebutuhan

individu yang mendesak untuk dipenuhi seperti kebutuhan akan rasa aman, harga diri,

cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan pengaruh eksternalnya seperti pendidikan

formal, pendidikan agama dalam keluarga, tradisi-tradisi social yang berlandaskan

(54)

2.3 Kerangka Berfikir

Penerimaan orang tua adalah awal dimana adanya penanganan terhadap anak,

khususnya jika anak mengalami kelainan atau kebutuhan khusus (autis). Semakin cepat

orang tua dapat menerima anak mereka yang autis, semakin cepat pula penanganan anak

mereka. Orang tua anak autis dituntut mengerti dan paham apa itu autis,

gejala-gejalanya sampai kebutuhannya. Oleh karena itu orang tua selain dituntut cepat

menerima anak mereka juga harus segera membawa atau memikirkan cara

penangannannya.

Sebesar apapun upaya yang dilakukan dokter atau pisikiater tidak akan berdampak

banyak pada perubahan anak jika orang tua tetap saja tidak menerima anak mereka.

Sebagian besar orang tua yang pertama kali mendengar diagnosa dokter pasti terkejut

atau bahkan menolak. Hal ini dianggap wajar karena apa yang dibayangkan dan diharap

orang tua terhadap anak mereka tidak seperti yang diharapkan.

Salah satu faktor pengaruh yang menyebabkan orang tua dengan cepat menerima

anak mereka yang autis adalah religiusitas. Religiusitas atau peran kegamaan yang

dimiliki oleh orang tua anak autis yaitu dengan menyadari dan meyakini bahwa

sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

Dengan demikian orang tua harus menyadari dan meyakini bahwa memiliki anak

(55)

Pada umumnya tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya mengalami autis,

akan tetapi dengan keyakinan bahwa ini adalah kehendak Allah SWT maka mau atau

tidak mau, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, terpaksa atau tidak terpaksa,

rela atau tidak rela maka nikmat Allah berupa memiliki anak autis dapat diterima

dengan baik oleh orang tuanya. Dengan ini diharapkan melalui berjalannya waktu orang

tua dapat menerima anaknya yang mengalami sindrom autisme dengan sabar

menerimanya. Sehingga diharapkan anaknya yang mengalami autis dapat disayangi dan

dikasihi yang bisa melebihi kasih sayang terhadap anak-anaknya yang tidak mengalami

autis.

Melalui perilaku yang demikian inilah diharapkan anak yang mengalami sindrom

autis merasa dihargai sebagai modal utama kesembuhan terhadap penyakit yang

dideritanya yaitu sindrom autisme.

Religiusitas pada penelitian ini, peneliti mengambil religiusitas yang di cetuskan

oleh Fetzer (1999) yang terdiri dari dimensi : individu penganut agama merasakan

pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experience), kebermaknaan hidup dengan beragama (religion-meaning), ekspresi keagamaan sebagai sebuah nilai (value),

keyakinan (belief), memaafkan (forgiveness), melatih diri dalam beragama (private religious practice), penggunaan agama sebagai coping (religious/spiritual coping),

dukungan penganut sesama agama (religious support), sejarah keberagamaan

(56)

Kesebelas dimensi religiusitas ini dapat berdampak dalam proses penerimaan orang

tua terhadap anak mereka. Juga kesebelas religiusitas (keagamaan) diperaktekkan dalam

kehidupan sehari-hari, khususnya untuk mengelola emosi dengan baik sehingga bisa

memikirkan langkah-langkah atau penanganan terhadap anak mereka yang memiliki

sindrom autis.

Dalam hipotesis sementara, peneliti menyimpulkan: jika religiusitas yang dimiliki

orang tua anak autis tinggi maka pengaruh orang tua dalam menerima anak mereka

yang mengalami sindrom autis juga akan tinggi (cepat menerima), dan sebaliknya jika

religiusitas yang dimiliki orang tua anak autis rendah maka pengaruh orang tua dalam

menerima anak mereka yang mengalami sindrom autis juga ikut rendah (lambat

menerima). Dengan demikian skema kerangka berfikir dapat digambarkan sebagai

(57)

Gambar 2.1

Daily Spiritual Experiences

Meaning

Value & Belief

Forgiveness

Private Religious Practices

Penerimaan

Orang Tua

Anak Autis

Di Bekasi

Barat

Religiusitas

Religious Preference Religious/Spiritual

Coping

Religious Support

Religious/Spiritual History

Commitmen

Gambar

Tabel 4.5.  Coefficients (a)  Coefficients a Model  Unstandardized Coefficients  Standardized Coefficients  t  Sig

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Ta'ala karena atas izin-Nya, penulis telah diberikan kesempatan dan kekuatan untuk

 IP Security can protect any protocol that runs over IP and on any medium that IPs can use, so IPsec is a common method that can provide secure communications over

The result of this study found that some efforts that needed to be done to optimize the motor vehicle testing retribution acceptance of the Communication Department Palembang

Merak dasar selama tahun 2016 – 2020 maka dibutuhkan tempat tidur.. sebanyak 43 unit tempat tidur maka perlu dilakukan

General Policy Speech by Prime Minister Junichiro Koizumi to the 163'd Session of the

Scene 4 sudah berpedoman pada etika jurnalistik sesuai pada pasal 2 yang berisi tentang wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profeional dalam

Edward Sallis, bahwa pelanggan eksternal tersier adalah dunia kerja (perguruan tinggi), maka dari itu secara umum dapat dikatakan bahwa semua lembaga atau organisasi

Kesalahan penggunaan tanda koma (,) dalam surat resmi terdapat pada contoh berikut. (28) Dengan ini diberitahukan, bahwa STNK kenderaan Saudara berakhir