• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan antara delinkuensi dan non delinkuen tidak terletak pada inteligensi atau kesehatannya atau kemampuan sosialnya, melainkan terletak pada

adanya infantilisme (sifat seperti anak bayi), ketergantungan, tak mampu menerima realitas, frustasi, tak dapat menguasai dorongan-dorongan nafsunya dan mempunyai sikap bermusuhan terhadap dunia sekitarnya. Kebanyakan delinkuen mempunyai perkembangan emosi yang tidak matang (immature). Kadang-kadang emosinya tidak stabil dan amat peka terhadap ketegangan emosional, misalnya sering menjadi agresif, bermusuhan, curiga, cemburu, suka bertengkar serta menimpakan kekurangmampuannya sendiri kepada kesalahan orang lain (ada kecenderungan proyeksi). Seseorang yang melakukan perbuatan delinkuen/nakal tentu tidak terjadi dengan sendirinya/bersifat spontan. Akan tetapi perbuatan delinkuen yang dilakukan oleh seseorang pasti ada penyebabnya atau ada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Menurut Murdaningsih (dalam www.e-psikologi.com) ada 3 faktor yang melatarbelakangi terjadinya delinkuensi remaja:

a. Lingkungan keluarga

1. Status ekonomi orang tua rendah, keluarga besar, rumah kotor.

2. Memiliki kebiasaan yang kurang baik

3. Tidak mampu mengembangkan ketenangan emosional 4. Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua 5. Anak asuh

6. Tidak ada persekutusan antara anggota keluarga 7. Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya 8. Broken home (karena kematian, perceraian, hukuman, dan

lainlainnya)

b. Lingkungan sekolah

1. Sekolah yang berusaha memandaikan anak-anak yang sebenarnya kurang mampu

2. Guru bersikap reject (menolak)

3. Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak

4. Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka

membolos, segan/malas belajar, melawan peraturan sekolah atau melawan guru, anak meninggalkan sekolah (drop out) dan lain-lainnya.

c. Lingkungan masyarakat

1. Tak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya 2. Tidak memberi kesempatan pada anak untuk melaksanakan

kehidupan sosial, dan tidak mampu menyalurkan emosi anak 3. Adanya contoh tingkah laku dan tempat-tempat tercela serta

melawan norma (misal: pelacuran, perjudian, kriminalitas, hasut-menghasut dan lain-lainnya) (Kartono, 1985).

Apabila ketiga unsur di atas ini mempengaruhi seorang anak ‘lemah’ pada waktu yang sama, maka mudahlah anak menjadi seorang delinkuen. Hal ini juga bisa ditunjang oleh adanya surat kabar, majalah, radio, bioskop, TV yang seolah-olah memuji kejahatan, sehingga anak mencontoh kepahlawanan para penjahat dan kelihaiannya yang unik (Kartono, 1985).

Di samping faktor-faktor di atas, menurut Nurulinaya (dalam http://libary.walisongo.ac.id) faktor-faktor lainnya yang menentukan kepribadian dan watak remaja dapat dikelompokkan menjadi empat bagian yaitu:

a. Faktor organobiologik

Perkembangan mental intelektual (taraf kecerdasan) dan mental emosional (taraf kesehatan jiwa) banyak ditentukan sejauhmana perkembangan susunan syaraf pusat (otak) dan kondisi fisik organ tubuh lainnya. Perkembangan anak secara fisik sehat memerlukan gizi makanan yang baik dan bermutu. Sedangkan perkembangan organ otak sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 4 – 5 tahun (usia balita). Sebab pada saat inilah struktur otak, baik dalam jumlah sel-sel otak maupun ukuran besarnya sel-sel itu sudah terbentuk sempurna dengan catatan bahan baku utama (gizi protein) mencukupi dan tidak ada gangguan penyakit yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak itu (Hawari, 1999).

b. Faktor Psiko-Edukatif

Tumbuh kembang anak secara kejiwaan (mental intelektual) dan mental emosional, yaitu IQ dan EQ amat dipengaruhi oleh sikap, cara kepribadian orang tua dalam mendidik anak anaknya. Dalam tumbuh kembang anak itu terjadi proses imitasi dan identifikasi anak terhadap kedua orang tua. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang tua mengetahui beberapa aspek pengetahuan dasar yang

penting sehubungan dengan pribadi anak (Hawari, 1999). Kecedasan emosi merupakan serangkaian kemampuan dan kecakapan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan dari lingkungan (Stain dan Book, 2002).

Menurut Goleman kerugian akibat dari rendahnya kecerdasan emosional adalah: mudah cemas, mengacau dan terjebak dalam kesulitan kendati kemampuan intelektual mereka tinggi, mereka sering mengalami kesulitan tinggi seperti kegagalan akademis, kecanduan alkohol dan tindak kejahatan. Penyakit lainnya adalah: Depresi, frustasi, tindak kekerasan. Jadi sebenarnya kecerdasan emosional akan mengantarkan pergaulan yang humanis, dalam mencapai hidup yang bermakna (Muntoliah, 2003). Faktor psiko-edukatif ini prosesnya akan mengalami gangguan apabila dalam suatu keluarga akan mengalami apa yang dinamakan dengan disfungsi keluarga. Suatu keluarga dikatakan mengalami disfungsi manakala keluarga itu terjadi gangguan dalam keutuhannya, peran orang tua, hubungan interpersonal antara anggota keluarga, dan hal-hal yang terkait (Hawari, 1999). Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi ini mempunyai resiko lebih besar untuk terganggu kepribadiannya daripada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis dan utuh (keluarga sakinah).

Unsur utama dalam psiko-edukatif ini adalah kasih sayang yang memiliki peran penting dalam diri anak dalam keluarga.

c. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya sangat penting perannya dalam proses pembentukan kepribadian anak di kemudian hari. Perubahan sosial yang serba cepat adalah

sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan ilmu pengetahuan (IPTEK) yang telah mengakibatkan perubahan-perubahan pada nilai-nilai moral, etik, kaidah agama dalam pendidikan anak dan pergaulan. Perubahan-perubahan nilai sosial budaya ini terjadi karena pergeseran pola hidup dari yang semula bercorak sosial religius kepada pola individual materialis dan sekuler (Hawari, 1999). Kenyataan di atas, menunjukkan keterkaitan seseorang, baik fungsi dan peranannya di masyarakat yang selalu mempunyai nilai-nilai, prinsip-prinsip, moral, cara-cara hidup yang dihayati oleh semua anggota masyarakat itu.

Jika nilai-nilai itu bersifat universal, seperti menghormati orang tua, maka setiap manusia menghormati orang tuanya, pengalaman umum inilah yang menjadi bagian dari seseorang yang sama dengan banyak orang lain di sekitarnya. Artinya semua orang yang ada dalam masyarakat, sedikit banyak mempengaruhi pribadi seorang anak. Mau tidak mau seseorang harus mengikuti aturan dan norma yang ada dalam masyarakat sekitarnya yang memiliki kondisi sosial budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya.

d. Agama

Bagaimanapun perubahan-perubahan sosial budaya terjadi maka agama hendaklah tetap diutamakan, sebab darinya terkandung nilai-nilai moral etik, dan pedoman hidup sehat yanguniversal serta abadi sifatnya. Erich From menilai bahwa kepribadian terdiri dari watakdan karakter. Watak termasuk unsur yang tetap (tidak berubah), sedangkan karakter terbentuk dari asimilasi dan sosialisasi.

Asimilasi menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan bendawi, sedangkan

sosialisasi menyangkut hubungan dengan antar manusia. Dari kedua unsur inilah karakter terbentuk (Jalaluddin, 1998).

Dari faktor-faktor tersebut di atas, maka remaja dalam kehidupan sehari-harinya hidup dalam tiga kutub keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi masing-masing kutub dan interaksi antara ketiga kutub itu akan menghasilkan dampak positif misalnya sekolah baik dan tidak menunjukkan perilaku anti sosial.

Sedangkan dampak negatif misalnya, prestasi sekolah merosot dan menunjukkan perilaku menyimpang anti sosial. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana keterkaitan dari ketiga kutub tersebut, maka dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

Bila terjadi perilaku menyimpang di kalangan remaja, maka yang sering terjadi adalah masing-masing kutub saling salah menyalahkan, misalnya orang tua di rumah (keluarga) menyalahkan pihak sekolah (guru) atau menyalahkan masyarakat. Bila diteliti lebih lanjut, maka kesalahan yang terjadi adalah pada ketiga kutub tersebut, sebab masing-masing kutub tidak berdiri sendiri, namun memiliki keterkaitan yang erat dan saling melengkapi (Hawari, 1999).

Keluarga

Sekolah Masyarakat

Remaja

Perilaku Menyimpang

Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja maupun penyimpangan adalah meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor yang ada pada anak itu sendiri, seperti biologis, psikis, emosi dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar sekolah, meliputi faktor keluarga, sekolah dan masyarakat.

Selanjutnya Santrock (1998), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen pada remaja, yaitu:

b. Identitas negatif

Erikson yaitu bahwa perilaku delinkuen muncul karena remaja gagal menemukan suatu identitas peran. Remaja yang mempunyai pengalaman masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peran sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan bagi mereka,mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan. Maka, Erikson berpendapat kenakalan (delinkuensi) adalah suatu usaha untuk membangun suatu identitas, walaupun identitas tersebut adalah negatif.

c. Pengendalian diri rendah

Perilaku delinkuen yang dilakukan para remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa remaja gagal dalam mengembangkan pengendalian diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah

laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Para remaja tersebut mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara kebudayaan namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam mengembangkan perbedaan itu untuk membimbingk tingkah laku mereka. Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri mempunyai peranan penting dalam perilaku delinkuen.

Pengasuhan yang efektif pada masa kanak-kanak (penerapan strategis yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya kemahiran dalam pengaturan diri (self regulatory) oleh anak.

Terdapatnya kemampuan ini yang merupakan atribut internal akan berpengaruh pada menurunya tingkah perilaku delinkuen yang dilakukan remaja (Santrock, 1998).

d. Usia

Tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak) berhubungan dengan perilaku delinkuen yang lebih serius di masa remaja. Namun, tidak semua anak bertingkah laku seperti itu nanatinya akan menjadi pelaku delinkuen e. Jenis kelamin

Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono (2006), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50 : 1. Berdasarkan data statistik, jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku

delinkuen lebih banyak daripada perempuan, kecuali dalam hal lari dari rumah (Bynum & Thompson, 1996). Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan, dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al, (1997) yang menyatakan anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak (dalam gracia, et al.,2000).

f. Harapan dan nilai yang rendah terhadap pendidikan

Remaja pelaku delinkuen seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah.

g. Pengaruh orang tua dan keluarga

Pada pelaku delinkuen seringkali berasal dari keluarga di mana orangtua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberi sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anak mereka sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga.

h. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.

i. Status sosial ekonomi

Penyerangan lebih sering dilakukan oleh laki-laki dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.

j. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Terdapat di mana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk untuk berperilaku baik atau buruk.

Berdasarakan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen adalah identitas negatif, pengendalian diri rendah, usia, jenis kelamin, harapan dan nilai yang rendah terhadap pendidikan, pengaruh orang tua dan keluarga, pengaruh teman sebaya, status social ekonomi, kualitas lingkungan sekitar dan tempat tinggal.

D. Kecerdaan Emosional

Dokumen terkait