• Tidak ada hasil yang ditemukan

c. Diharapkan remaja dapat lebih menyadari pentingnya kecerdasan emosional dalam kaitannya dengan perbuatan mereka. BAB II KERANGKA TEORI A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "c. Diharapkan remaja dapat lebih menyadari pentingnya kecerdasan emosional dalam kaitannya dengan perbuatan mereka. BAB II KERANGKA TEORI A."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

c. Diharapkan remaja dapat lebih menyadari pentingnya kecerdasan emosional dalam kaitannya dengan perbuatan mereka.

BAB II

KERANGKA TEORI A. Remaja 1. Pengertian remaja

Masa remaja sering disebut adolesensi yang berasal dari bahasa Latin yaitu adolescere dan adulutus yang berarti menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Monks, 1999). Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (dalam Hurlock, 1997).

Menurut Piaget (dalam hurlock, 1999) secara psikologis masa remaja adalah masa individu beritegrasi dengan masyarakat dewasa, masa pada individu tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan

(2)

ini. Lazimnya masa remaja dianggap dimulai pada saat secara seksual menjadi matang dan berakhir sampai ia menjadi matang secara hukum.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan masa remaja merupakan masa dimana individu mulai berada dalam perkembangan menjadi dewasa, ditandai dengan kematangan secara seksual dan matang secara hukum. Serta usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkatan orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, Hurlock (1997) mengatakan bahwa ciri- ciri masa remaja yaitu:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologisnya.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan.

(3)

c. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh laki-laki maupun perempuan.

d. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan prilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga.

e. Masa remaja sebagai masa dalam mencari identitas

Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak-anak laki-laki dan anak perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal seperti sebelumnya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapuh, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak, menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap prilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

(4)

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin dekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah masa remaja sebagai periode penting, peralihan, perubahan, usia bermasalah, masa dalam mencari identitas, usia yang menimbulkan ketakutan, masa yang tidak realistik dan ambang masa dewasa.

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja

Menurut Hurlock (1997) ada beberapa aspek yang meliputi perkembangan pada remaja. Aspek-aspek tersebut adalah:

a. Fisik

Perubahan fisik pada masa remaja belum sempurna. Terdapat penurunan dalam laju pertumbuhan dan perkembangan internal lebih menonjol daripada perkembangan eksternal. Perkembangan internal meliputi tinggi badan, berat, proporsi tubuh, organ sex dan ciri-ciri sekunder. Perkembangan eksternal meliputi

(5)

sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sisitem pernafasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh.

Variasi dalam perubahan fisik terdapat pula perbedaan individu yang dipengaruhi oleh usia kematangan. Pada masa remaja terkadang muncul keprihatinan akan perubahan fisik mereka. hanya sedikit remaja yang mengalami kateksis-tubuh atau merasa puas dengan tubuhnya. Ketidakpuasan lebih banyak dialami di beberapa bagian tubuh tertentu. Keprihatinan timbul karena adanya kesadaran bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial dan pemeliharaan pemimpin.

b. Emosi

Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru.

Pola emosi masa remaja sama dengan pola emosi masa kanak-kanak.

Perbedaannya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. seseorang remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila reaksi emosional mereka stabil, tidak berubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajat memperoleh gambaran tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.

(6)

c. Sosial

Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan daripada sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku soial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.

Remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman- teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Namun dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku soial, yang paling menonjol terjadi dari bagian hubungan heteroseksual.

d. Moral

Perubahan pokok dalam moralitas selama remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip- prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.

(7)

Menurut Mitchell (dalam Hurlock, 1997) meringkaskan perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja. Perubahan fundamental dan moralitas selama masa remaja adalah :

1) Pandangan moral individu semakin lama menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.

2) Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.

3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ini mendorong remaja lebih berani menganalisis kode sosial dan kode peribadi daripada masa kanak- kanak dan berani mengambil keputusan terhadap perlbagai masalah moral yang dihadapinya.

4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.

5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.

e. Kepribadian

Pada masa remaja mereka mulai menyadari akan peran kepribadian dalam hubungan sosial dan oleh karenanya terdorong untuk memperbaiki kepribadian mereka. perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan status mereka di dalam kelompok sosial. Banyak remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian “ideal” terhadap mana mereka menilai kepribadian mereka sendiri. Tidak banyak yang merasa dapat mencapai gambaran yang ideal ini dan mereka yang tidak berhasil ingin merubah kepribadian mereka.

(8)

Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri. beberapa diantaranya sama dengan kondisi pada masa kanak-kanak, tetapi banyak yang merupakan akibat dari perubahan-perubahan fisik psikologis yang terjadi selama masa remaja.

4. Pembagian Usia Remaja

Menurut Monks (2001) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia ini dalam tiga fase, yaitu:

a. Fase remaja awal : usia 12 tahun sampai 15 tahun b. Fase remaja pertengahan : usia 15 tahun sampai 18 tahun c. Fase remaja akhir : usia 18 tahun sampai 21 tahun

Batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesiaadalah antara usia 11-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan bahwa usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologis, dan individu yang sudah menikah, dianggap dan diperlakukan sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja (Sarwono, 2003).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, kiranya peneliti mengambil batasan rentang usia remaja untuk penelitian ini antara 12 - 15 tahun, atau usia remaja awal menurut Monks.

(9)

5. Perkembangan Emosi Remaja

Menurut Ali dan Asrori (2004) masa remaja merupakan masa peraliha antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial dan emosional.

Umumnya, masa ini berlangsung pada masa individu duduk di bangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja sendiri maupun bagi keluarga atau lingkungannya. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian.

Perkembangan emosi individu pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya. Perkembangan emosi remaja juga demikian. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat flektuasi emosi yang ada pada individu tersebut. Sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja, yaitu:

a. Perubahan jasmani

Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Tidak setiap remaja dapat menerima perubahan kondisi tubuh yang seperti itu. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja dan sering sekali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.

(10)

b. Perubahan pola interaksi dengan orangtua

Pola asuh orangtua terhadap anak termasuk remaja sangat bervariasi.

Perbedaan pola asuh orangtua dapat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja.

c. Perubahan interaksi dengan teman sebaya

Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebaya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Pada masa ini para anggotanya biasanya membutuhkan teman- teman untuk melawan otoritaas atau melakukan perbuatan yang tidak baik atau bahkan kejahatan bersama.

d. Perubahan pandangan luar

Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten. Terkadang mereka dianggap dewasa dan terkadang dianggap sebagai anak kecil sehingga menimbulkan kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan ini dapat berubah menjadi tingakah laku emosional. Selain itu, pihak luar yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan kekosongan remaja dengan melibatkan remaja ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak diri seperti penggunaan obat terlarang, minum minuman keras, serta bertindak kriminal dan kekerasan.

e. Perubahan interaksi dengan sekolah

Guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan remaja karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didikannya. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa dengan figur sebagai tokoh tersebut, guru memberikan ancaman-ancaman tertentu kepada

(11)

peserta didikannya. Peristiwa semacam ini sering tidak disadari oleh para guru.

Hal seperti ini akan memberikan stimulus negatif bagi perkembangan emosi remaja.

B. Komunitas 1. Pengertian Komunitas

Istilah Community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, istilah mana menunjuk pada warga-warga sebuah desa, sebuah kota atau suatu bangsa. Rasa ke”masyarakat”an tersebut kemudian di sebut dengan sense of community.

Ferdinand tonnies (dalam Soekanto, 1987) menyatakan bahwa, komunitas saat ini sudah bergeser artinya, dari yang dahulu komunitas merupakan sekelompok orang-orang yang berdekatan tempat tinggalnya sehingga dapat saling tolong menolong. Namun saat ini komunitas adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tidak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan fikiran yang sama, karena ideologi yang sama. Hal ini sejalan dengan kebutuhan hidup manusia yang harus saling berinteraksi dan bersosialisasi.

Teori ini didukung oleh Charles P. Loomis yang menyatakan bahwa, komunitas merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya

(12)

diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal.

Dan ia menambahkan, bahwa dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Dan ia juga berpendapat bahwa komunitas itu bersifat nyata dan organis.

Selanjutnya menurut Soenarno (dalam www.untukku.com/artikel- untukku/pengertian-komunitas-untukku.html) menjelaskan bahwa komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional.

Menurut Kertajaya (2008) komunitas merupakan sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values,

Berdasarakan uraian diatas disimpulkan bahwa komunitas merupakan bahwa komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional.

2. Pentingnya Sense of Community

Pentingnya sense of community secara umum adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan derajat kemampuan seseorang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain, dan secara khusus adalah komitmen pada organisasi (Rice, 1984).

Commitment can be defined as an unwillingness to change identity as a member of a group or organization (Herek and Glunt, 1995).

(13)

Komitmen yang ada di dalam sense of community membuat individu dari komunitas memiliki identitas social sebagai anggota dari sebuah kelompok atau organisasi (Herek dan Glunt, 1995).

Dalam tataran geografis dan hubungan, sebuah sense of community yang kuat berkaitan dengan keluaran positif dari individu maupun dari komunitasnya.

Dalam level kehidupan bertetangga, orang-orang yang memiliki sense of community yang kuat cenderung memiliki perasaan aman yang lebih mendalam, dan lebih banyak berpartisipasi di dalam acara-acara yang diadakan komunitas (Schweitzer, 1996).

Memiliki sense of community yang kuat meningkatkan kesejahteraan individu, dalam hal kebahagiaan, pengurangan rasa cemas, dan rasa self efficacy yang tinggi (Davidson dan Cotter, 1991).

Namun demikian, penting diketahui bahwa sense of community yang kuat tidak selalu menguntungkan. Studi dari Brodsky (1996) dalam pertahanan orang tua tunggal yang hidup di lingkungan yang perumahan yang tidak aman, memberikan argument bahwa sense of community bisa berdampak positif, netral atau negatif. Brodsky mengatakan bahwa memiliki sense of community yang rendah di dalam lingkungan perumahan yang tidak aman memberikan dampak keuntungan untuk si orangtua, dalam hal ini si ibu dan si anak. Hal ini dilakukan dengan cara menjaga jarak dengan tetangga dan tidak terlibat dalam kelompok manapun. Sebaliknya, dengan bergabung dengan salah satu kelompok di dalam kehidupan bertetangga di mana lingkungannya tidak memberikan rasa aman, bagi si ibu sama saja dengan mengorbankan nilai prinsip yang dimilikinya sekaligus

(14)

membahayakan keluarganya sendiri. Hal ini adalah satu-satunya studi yang mengemukakan keluaran negatif dari sebuah sense of community.

3. Definisi Komunitas Face to Face

Ada tiga konsep komunitas, yang pertama adalah kesadaran untuk merefleksikan hubungan sesama anggota dan perasaan berbeda dari mereka yang tidak termasuk di dalam komunitas. Kedua, terdapat sebuah ritual dan tradisi yang merefleksikan norma dan nilai dari perilaku komunitas. Yang ketiga adalah tanggung jawab moral yang merefleksikan rasa kewajiban pada komunitas dan kewajiban pada sesama anggota di dalam komunitas.

Nahapiet & Goshal, 1998 menjelaskan, “social capital provide the basis for trust, cooperation, and collective action in social aggregates such as an organization.” Teori sosial capital yang banyak berhubungan dengan teori komunitas menjadi tempat bagi tumbuhnya kepercayaan, kerja sama, dan aksi kolektif di dalam sebuah organisasi.

Dholakia, Bagozzi, and Pearo, 2004 menjelaskan, “relational dimension refers to the norms, obligations, and social identification that provide networking motivations.” Dimensi hubungan dalam sebuah komunitas berpegang pada norma, kewajiban, dan identifikasi sosial yang menumbuhkan motivasi untuk berhubungan.

(15)

4. Definisi Sense of Community

Seymour Sarason (1974) menerangkan the perception of similarity to others, and acknowledged interdependence with others, a willingness to maintain this interdependence, . . . a feeling that one is part of a larger dependable and stable structure.Yaitu adanya rasa kesamaan antar anggota, kebergantungan satu dengan lainnya dan keinginan untuk mempertahankan kebergantungan ini, lebih jauh lagi sense of community didefinisikan dengan seorang anggota merupakan bagian dari sebuah struktur besar yang stabil.

Mc Millan & Chavis (1986) menjelaskan sense of community sebagai “a feeling that members have of belonging, a feeling that members matter to one another and to the group, and a shared faith that members’ needs will be met through their commitment to be together”. Yaitu perasaan yang dimiliki anggota dalam sebuah komunitas yang meliputi rasa saling memiliki, rasa pentingnya keberadaan anggota di dalam komunitas dan terhadap anggota lainnya, dan kepercayaan bahwa kebutuhan anggota akan terpenuhi di dalam komunitas melalui adanya komitmen untuk terus bersama.

Pada tahun 1993, Westheimer & Kahne menjelaskan “result of interaction and deliberation by people brought together by similar interests and common goals.”

Sense of community didefinisikan sebagai sebuah hasil dari interaksi dan perundingan dari beberapa individu yang memiliki interes dan tujuan yang sama.

Selain dari definisi yang tersebut di atas, Zaff dan Devlin (1998) menemukan

(16)

bahwa banyaknya interaksi diantara member di dalam komunitas dan komponen lingkungan fisik turut mempengaruhi tingginya indeks Sense of Community.

Garcia (1999) dalam studi kualitatifnya menyebutkan bahwa sejarah komunitas merupakan faktor penting untuk pembentukan Sense of Community.

5. Definisi Komunitas Anak Band

Salah satu komunitas anak muda atau remaja dengan perilaku kolektif dan budaya penolakannya di kota Medan adalah komunitas musik indie. Musik indie bukan merupakan suatu genre musik, melainkan musik indie adalah jalur bagi band-band yang menuangkan hasil karyanya secara independent (mandiri) baik dalam menentukan genre music, lagu dan album musik. Bayu (2003) mengatakan bahwa: ”Indie label atau independent label adalah non major label. Jalur ini merupakan salah satu opsi bagi band-band yang ingin menuangkan hasil karya mereka dalam bentuk album.

Konsep indie label yang mengusung independensi, membebaskan setiap band menciptakan kreasi musik sesuai idealisme mereka masing-masing. Ini dimungkinkan karena tidak adanya campur tangan industri musik komersial yang cenderung mengubah jenis dan warna musik mereka sesuai tuntutan pasar.”

Umumnya, label indie dibangun atas dasar komunitas. Satu dekade terakhir, label indie bermunculan. Namun, mereka tidak bersaing satu sama lain. Sebaliknya, mereka justru bergandengan tangan meluaskan pengaruh musik alternatif. Inilah

(17)

kekuatan label indie atau sering juga disebut label nonmainstream (Kompas, 9 Mei 2010).

Irwansyah Harahap, musikolog Medan dalam majalah Kover (Edisi Mei 2010) mengatakan bahwa: ”Sebuah band indie bisa dikatakan berhasil apabila ia berhasil membentuk pasarnya sendiri dan tidak lagi harus didikte label mainstream. Namun masih banyak orang yang berpikir salah kaprah. Orang masih berpikir dan berangan-angan bagaimana caranya agar bisa menembus label mainstream. Padahal, sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah band indie ialah apabila ia mampu mengisi ruang kosong yang belum diisi oleh label mainstream.”

Sebagai komunitas yang terlepas dari ’kungkungan’ major label, komunitas ini pun memiliki suatu cara yang khas dalam mengemas setiap pertunjukan-pertunjukan musik (event atau gigs) sebagai ajang mengekspresikan karya-karya mereka kepada peminatnya yang pada umumnya berasal dari kalangan anak muda atau remaja pula.

6. Tipologi Komunitas

Menurut Gusfield (1975), tipologi komunitas dapat dibedakan dari segi teritorial dan relasional. Dimensi relasional di dalam komunitas mencakup aspek kualitas hubungan antar anggota di dalam sebuah komunitas. Seringkali, sebuah komunitas tidak memiliki batas demarkasi yang jelas. Misalnya saja sebuah komunitas yang terdiri dari professional yang bergerak pada suatu bidang tertentu, dalam hal ini bidang musik. dan berdomisili di tempat yang berbeda-beda, bahkan tersebar di seluruh dunia. Komunitas lainnya dapat dibedakan menurut daerah

(18)

teritorialnya, misalnya komunitas warga sebuah perumahan. Senada dengan Gusfield, Riger & Lavrakas menyatakan bahwa komunitas dapat dikelompokkan menurut ‘social bonding’ dan ‘physical rootness’-nya, yaitu sesuatu yang erat bertalian dengan segi relasional dan teritorial.

7. Unsur-unsur Community

Adapun Unsur-unsur komunitas menurut R. M. Mac Iver dan Charles H.

(dalam Soekanto, 1987) adalah : a. Seperasaan

Unsur seperasaan akibat bahwa seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut. Sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai “kelompok kami”, “perasaan kami” dan lain sebagainya. Perasaan demikian terutama timbul, apabila orang-orang tersebut memiliki kepentingan-kepentingan yang sama di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Unsur seperasaan tersebut harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan dengan ‘altruism’, yang lebih menekankan pada perasaan solider dengan orang lain. Pada unsur seperasaan, kepentingan-kepentingan si individu diselaraskan dengan kepentingan- kepentingan kelompoknya, sehingga dia merasakan kelompoknya sebagai struktur sosial masyarakatnya.

b. Sepenanggungan

(19)

Setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan bahwa peranannya tadi dijalankan, sehingga dia mempunyai kedudukan pasti dalam darah dagingnya sendiri.

c. Saling memerlukan

Individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada “community”nya yang meliputi kebutuhan fisik maupun kebutuhan-kebutuhan psikologisnya. Kelompok yang tergabung dalam masyarakat setempat tadi, memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik seseorang, misalnya atas makanan dan perumahan. Secara psikologis, individu akan mencari perlindungan pada kelompoknya. Apabila dia berada dalam ketakutan, dan lain sebagainya. Perwujudan yang nyata daripada individu terhadap kelompoknya yaitu masyarakat setempat adalah pelbagai kebiasaan masyarakat, perilaku- perilaku tertentu yang secara khas merupakan ciri masyarakat itu.

C. Perilaku Delinkuen

1. Pengertian Perilaku Delinkuen

Menurut Kartono, (2006) delinkuen mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang yang merugikan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil. Menurut Santrock (1998) perilaku delinkuen merupakan masalah perilaku yang luas mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial

(20)

(acting out in school), status offenses (running away), sampai pada perbuatan kriminal (pencurian).

Secara legal dapat dibedakan antara index offenses dan status offenses.

a. Index offenses, adalah perbuatan kriminal yang dilakukan oleh remaja ataupun orang dewasa, seperti pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.

b. Status offensesI, perbuatan sendiri lari dari rumah (running away), bolos, meminum minuman keras, pelacuran dan perbuatan yang tidak terkontrol yang merupakan masalah yanng tidak terlalu serius. Perbuatan ini dilakukan oleh prilaku di bawah umur, yang dikategorikan sebagai remaja.

Menurut Bynum & Thompson (1996) dilenkuen dapat dibagi dalam tiga kategori:

a. The Legal Defenition

Secara legal definisi delinkuen adalah segala perilaku yang dapat menjadi kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa atau perilaku yang dianggap tidak sesuai oleh pengadilan anak dan anak tersebut dapat dianggap melakukan perilaku delinkuen berdasarkan larangan yang diberlakukan dalam undang-undang status perilaku kriminal dari pemerintah pusat, negara dan pemerintah daerah. Untuk remaja, perilaku delinkuen didefinisikan sebagai perilaku yang melanggar peraturan yang diberlakukan bagi individu seusianya, seperti bolos sekolah, atau mengkonsumsi alkohol di mana perilaku tersebut ilegal.

b. The Role Defenition

(21)

Definisi perilaku delinkuen berdasarkan peran lebih berfokus pada pelaku tindakan antisosial daripada perilaku antisosial. Definisi ini mengacu pada individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuen dalam periode waktu yang cukup panjang, dan kehidupan serta identitasnya terbentuk dari perilaku menyimpang. Konsep sosiologis yang berhubungan dengan role definition dalam mendefinisikan perilaku delinkuen yaitu status sosial dan peran sosial. Status sosial merupakan pengaruh posisi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial merupakan perilaku yang memiliki status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.

c. The Societal Response Defenition

Definisi sosial response menekankan kepada kosekuensi sebagai akibat kelanjutan dari suatu tindakan seorang pelaku yang merupakan suatu bentuk menyimpang atau delinkuen, di mana audience mengamati dan memberi penilaian terhadap perilaku menjadi anggotanya atau ingin menjadi anggota.

Berdasarkan tiga kategori definisi tersebut, maka Bynum & Thompson (1996) mendefinisikan perilaku delinkuen dengan mengkombinasikan tiga definisi tersebut.

Perilaku delinkuen merupakan tindakan ilegal yang merefleksikan adanya peran delinkuen (role delinquent) dan berakibat pada anggapan masyarakat bahwa pelaku (offender) sebagai penyimpangan (deviant) yang serius.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuen adalah suatu bentuk perilaku yang menyimpang dan ilegal yang melanggar norma dan hukum yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa

(22)

(remaja) dan merupakan perilaku yang dianggap tidak pantas, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan peran dan status sosial pada usia pelaku.

2. Aspek-aspek Perilaku Delinkuen

Sejumlah ahli telah mengklasifikasikan perilaku delinkuen ke dalam berbagai macam bentuk. Hurlock (1973) membaginya dalam empat macam, yaitu:

a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain seperti menyerang orang lain dan merusak diri sendiri.

b. Perilaku yang membahayakan milik orang lain seperti merampas, mencuri.

c. Perilaku yang tidak terkendali seperti tidak mematuhi peraturan orangtua dan sekolah, seperti membolos, kabur dari rumah, mengendarai kendaraan tanpa surat ijin.

d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain seperti mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi, menggunakan narkotika, memperkosa dan membawa senjata atau menggunakan senjata.

Jensen (Dalam Sarwono, 1994) membagi perilaku delinkuen menjadi empat jenis, antara lain:

a. Perilaku delinkuen yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti perkelahian, pemerkosaan, penganiayaan dan lain-lain.

b. Perilaku delinkuen yang menimbulkan korban materi bagi orang lain seperti mencuri, mencopet, melakukan pengrusakan barang milik orang lain dan lain- lain.

(23)

c. Perilaku delinkuen yang melanggar status seperti membolos, melawan orang tua, lari dari rumah dan lain-lain.

d. Perilaku delinkuen yang tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain dan hanya merugikan diri sendiri seperti penyalahgunaan obat, pelacuran, hubungan seksual sebelum nikah dan lain-lain.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perilaku delinkuen terdiri dari empat kategori yaitu : a), perilaku yang melanggar status, b). perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain, c). perilaku yang menimbulkan korban materi dan d). perilaku yang menimbulkan korban fisik.

3. Wujud Perilaku Delinkuen

Menurut Bynum & Thompson (1996) yang termasuk dalam status offenses meliputi :

a. School truancy

Membolos dari jam pelajaran, membolos dari sekolah, berkeliaran ditempat bermain atau di tempat-tempat umum, keinginan berada di sekolah yang rendah, tidak betah berada di ruang kelas untuk mengikuti pelajaran atau mendengarkan guru.

b. Alcoholic beverages

Mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.

c. Running away

Keinginan untuk berada di rumah yang rendah, tidak betah berlama-lama berada di rumah, pergi keluar rumah tanpa pamit, lebih banyak menghabiskan

(24)

waktu di luar rumah, pergi keluar rumah tanpa batas waktu yang wajar untuk seusianya.

d. Ungovernability

Tidak dapat dikontrol oleh tata tertib, peraturan atau perintah baik di sekolah, rumah maupun di lingkungan masyarakat dan Negara. Seperti tidak patuh atau melawan orang tua, guru dan tokoh masyarakat (polisi, pengawas, satpam, dan sebagainya), tidak berpakaian seragam lengkap, tidak rapi, telat sekolah, dan sebagainya.

e. Curfew violation

Kategori ini meliputi pelanggaran jam malam, yaitu keluyuran pada malam hari tidak bersama orang tua

f. Crimes

Bergaul dengan penjahat dan terlibat, melakukan tindakan kriminal seperti penyerangan dan mencuri.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa wujud perilaku delinkuen terdiri dari 6 bagian yaitu school truancy, alcoholic beverages, running away, ungovernability, curfew violation, dan crimes.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Delikuen

Perbedaan antara delinkuensi dan non delinkuen tidak terletak pada inteligensi atau kesehatannya atau kemampuan sosialnya, melainkan terletak pada

(25)

adanya infantilisme (sifat seperti anak bayi), ketergantungan, tak mampu menerima realitas, frustasi, tak dapat menguasai dorongan-dorongan nafsunya dan mempunyai sikap bermusuhan terhadap dunia sekitarnya. Kebanyakan delinkuen mempunyai perkembangan emosi yang tidak matang (immature). Kadang-kadang emosinya tidak stabil dan amat peka terhadap ketegangan emosional, misalnya sering menjadi agresif, bermusuhan, curiga, cemburu, suka bertengkar serta menimpakan kekurangmampuannya sendiri kepada kesalahan orang lain (ada kecenderungan proyeksi). Seseorang yang melakukan perbuatan delinkuen/nakal tentu tidak terjadi dengan sendirinya/bersifat spontan. Akan tetapi perbuatan delinkuen yang dilakukan oleh seseorang pasti ada penyebabnya atau ada faktor- faktor yang mempengaruhinya.

Menurut Murdaningsih (dalam www.e-psikologi.com) ada 3 faktor yang melatarbelakangi terjadinya delinkuensi remaja:

a. Lingkungan keluarga

1. Status ekonomi orang tua rendah, keluarga besar, rumah kotor.

2. Memiliki kebiasaan yang kurang baik

3. Tidak mampu mengembangkan ketenangan emosional 4. Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tua 5. Anak asuh

6. Tidak ada persekutusan antara anggota keluarga 7. Orang tua kurang memberi pengawasan pada anaknya 8. Broken home (karena kematian, perceraian, hukuman, dan

lainlainnya)

(26)

b. Lingkungan sekolah

1. Sekolah yang berusaha memandaikan anak-anak yang sebenarnya kurang mampu

2. Guru bersikap reject (menolak)

3. Sekolah atau guru yang mendisiplinkan anak dengan cara yang kaku, tanpa menghiraukan perasaan anak

4. Suasana sekolah buruk. Hal ini menimbulkan anak suka

membolos, segan/malas belajar, melawan peraturan sekolah atau melawan guru, anak meninggalkan sekolah (drop out) dan lain- lainnya.

c. Lingkungan masyarakat

1. Tak menghiraukan kepentingan anak dan tidak melindunginya 2. Tidak memberi kesempatan pada anak untuk melaksanakan

kehidupan sosial, dan tidak mampu menyalurkan emosi anak 3. Adanya contoh tingkah laku dan tempat-tempat tercela serta

melawan norma (misal: pelacuran, perjudian, kriminalitas, hasut- menghasut dan lain-lainnya) (Kartono, 1985).

Apabila ketiga unsur di atas ini mempengaruhi seorang anak ‘lemah’ pada waktu yang sama, maka mudahlah anak menjadi seorang delinkuen. Hal ini juga bisa ditunjang oleh adanya surat kabar, majalah, radio, bioskop, TV yang seolah- olah memuji kejahatan, sehingga anak mencontoh kepahlawanan para penjahat dan kelihaiannya yang unik (Kartono, 1985).

(27)

Di samping faktor-faktor di atas, menurut Nurulinaya (dalam http://libary.walisongo.ac.id) faktor-faktor lainnya yang menentukan kepribadian dan watak remaja dapat dikelompokkan menjadi empat bagian yaitu:

a. Faktor organobiologik

Perkembangan mental intelektual (taraf kecerdasan) dan mental emosional (taraf kesehatan jiwa) banyak ditentukan sejauhmana perkembangan susunan syaraf pusat (otak) dan kondisi fisik organ tubuh lainnya. Perkembangan anak secara fisik sehat memerlukan gizi makanan yang baik dan bermutu. Sedangkan perkembangan organ otak sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 4 – 5 tahun (usia balita). Sebab pada saat inilah struktur otak, baik dalam jumlah sel-sel otak maupun ukuran besarnya sel-sel itu sudah terbentuk sempurna dengan catatan bahan baku utama (gizi protein) mencukupi dan tidak ada gangguan penyakit yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak itu (Hawari, 1999).

b. Faktor Psiko-Edukatif

Tumbuh kembang anak secara kejiwaan (mental intelektual) dan mental emosional, yaitu IQ dan EQ amat dipengaruhi oleh sikap, cara kepribadian orang tua dalam mendidik anak anaknya. Dalam tumbuh kembang anak itu terjadi proses imitasi dan identifikasi anak terhadap kedua orang tua. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang tua mengetahui beberapa aspek pengetahuan dasar yang

(28)

penting sehubungan dengan pribadi anak (Hawari, 1999). Kecedasan emosi merupakan serangkaian kemampuan dan kecakapan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan dari lingkungan (Stain dan Book, 2002).

Menurut Goleman kerugian akibat dari rendahnya kecerdasan emosional adalah: mudah cemas, mengacau dan terjebak dalam kesulitan kendati kemampuan intelektual mereka tinggi, mereka sering mengalami kesulitan tinggi seperti kegagalan akademis, kecanduan alkohol dan tindak kejahatan. Penyakit lainnya adalah: Depresi, frustasi, tindak kekerasan. Jadi sebenarnya kecerdasan emosional akan mengantarkan pergaulan yang humanis, dalam mencapai hidup yang bermakna (Muntoliah, 2003). Faktor psiko-edukatif ini prosesnya akan mengalami gangguan apabila dalam suatu keluarga akan mengalami apa yang dinamakan dengan disfungsi keluarga. Suatu keluarga dikatakan mengalami disfungsi manakala keluarga itu terjadi gangguan dalam keutuhannya, peran orang tua, hubungan interpersonal antara anggota keluarga, dan hal-hal yang terkait (Hawari, 1999). Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi ini mempunyai resiko lebih besar untuk terganggu kepribadiannya daripada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis dan utuh (keluarga sakinah).

Unsur utama dalam psiko-edukatif ini adalah kasih sayang yang memiliki peran penting dalam diri anak dalam keluarga.

c. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya sangat penting perannya dalam proses pembentukan kepribadian anak di kemudian hari. Perubahan sosial yang serba cepat adalah

(29)

sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan ilmu pengetahuan (IPTEK) yang telah mengakibatkan perubahan-perubahan pada nilai- nilai moral, etik, kaidah agama dalam pendidikan anak dan pergaulan. Perubahan- perubahan nilai sosial budaya ini terjadi karena pergeseran pola hidup dari yang semula bercorak sosial religius kepada pola individual materialis dan sekuler (Hawari, 1999). Kenyataan di atas, menunjukkan keterkaitan seseorang, baik fungsi dan peranannya di masyarakat yang selalu mempunyai nilai-nilai, prinsip- prinsip, moral, cara-cara hidup yang dihayati oleh semua anggota masyarakat itu.

Jika nilai-nilai itu bersifat universal, seperti menghormati orang tua, maka setiap manusia menghormati orang tuanya, pengalaman umum inilah yang menjadi bagian dari seseorang yang sama dengan banyak orang lain di sekitarnya. Artinya semua orang yang ada dalam masyarakat, sedikit banyak mempengaruhi pribadi seorang anak. Mau tidak mau seseorang harus mengikuti aturan dan norma yang ada dalam masyarakat sekitarnya yang memiliki kondisi sosial budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya.

d. Agama

Bagaimanapun perubahan-perubahan sosial budaya terjadi maka agama hendaklah tetap diutamakan, sebab darinya terkandung nilai-nilai moral etik, dan pedoman hidup sehat yanguniversal serta abadi sifatnya. Erich From menilai bahwa kepribadian terdiri dari watakdan karakter. Watak termasuk unsur yang tetap (tidak berubah), sedangkan karakter terbentuk dari asimilasi dan sosialisasi.

Asimilasi menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan bendawi, sedangkan

(30)

sosialisasi menyangkut hubungan dengan antar manusia. Dari kedua unsur inilah karakter terbentuk (Jalaluddin, 1998).

Dari faktor-faktor tersebut di atas, maka remaja dalam kehidupan sehari- harinya hidup dalam tiga kutub keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi masing-masing kutub dan interaksi antara ketiga kutub itu akan menghasilkan dampak positif misalnya sekolah baik dan tidak menunjukkan perilaku anti sosial.

Sedangkan dampak negatif misalnya, prestasi sekolah merosot dan menunjukkan perilaku menyimpang anti sosial. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana keterkaitan dari ketiga kutub tersebut, maka dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

Bila terjadi perilaku menyimpang di kalangan remaja, maka yang sering terjadi adalah masing-masing kutub saling salah menyalahkan, misalnya orang tua di rumah (keluarga) menyalahkan pihak sekolah (guru) atau menyalahkan masyarakat. Bila diteliti lebih lanjut, maka kesalahan yang terjadi adalah pada ketiga kutub tersebut, sebab masing-masing kutub tidak berdiri sendiri, namun memiliki keterkaitan yang erat dan saling melengkapi (Hawari, 1999).

Keluarga

Sekolah Masyarakat

Remaja

Perilaku Menyimpang

(31)

Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja maupun penyimpangan adalah meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor yang ada pada anak itu sendiri, seperti biologis, psikis, emosi dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar sekolah, meliputi faktor keluarga, sekolah dan masyarakat.

Selanjutnya Santrock (1998), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen pada remaja, yaitu:

b. Identitas negatif

Erikson yaitu bahwa perilaku delinkuen muncul karena remaja gagal menemukan suatu identitas peran. Remaja yang mempunyai pengalaman masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peran sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan bagi mereka,mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan. Maka, Erikson berpendapat kenakalan (delinkuensi) adalah suatu usaha untuk membangun suatu identitas, walaupun identitas tersebut adalah negatif.

c. Pengendalian diri rendah

Perilaku delinkuen yang dilakukan para remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa remaja gagal dalam mengembangkan pengendalian diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah

(32)

laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Para remaja tersebut mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara kebudayaan namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam mengembangkan perbedaan itu untuk membimbingk tingkah laku mereka. Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri mempunyai peranan penting dalam perilaku delinkuen.

Pengasuhan yang efektif pada masa kanak-kanak (penerapan strategis yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya kemahiran dalam pengaturan diri (self regulatory) oleh anak.

Terdapatnya kemampuan ini yang merupakan atribut internal akan berpengaruh pada menurunya tingkah perilaku delinkuen yang dilakukan remaja (Santrock, 1998).

d. Usia

Tingkah laku antisosial di usia dini (anak-anak) berhubungan dengan perilaku delinkuen yang lebih serius di masa remaja. Namun, tidak semua anak bertingkah laku seperti itu nanatinya akan menjadi pelaku delinkuen e. Jenis kelamin

Anak laki-laki lebih banyak melakukan perilaku antisosial daripada anak perempuan. Kartono (2006), mengungkapkan perbandingan perilaku delinkuen anak laki-laki dengan perempuan diperkirakan 50 : 1. Berdasarkan data statistik, jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dan perilaku

(33)

delinkuen lebih banyak daripada perempuan, kecuali dalam hal lari dari rumah (Bynum & Thompson, 1996). Anak laki-laki pada umumnya melakukan perilaku delinkuen dengan jalan kekerasan, perkelahian, penyerangan, perusakan, pengacauan, perampasan, dan agresivitas. Hal ini didukung oleh Kelly et al, (1997) yang menyatakan anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku merusak (dalam gracia, et al.,2000).

f. Harapan dan nilai yang rendah terhadap pendidikan

Remaja pelaku delinkuen seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah.

g. Pengaruh orang tua dan keluarga

Pada pelaku delinkuen seringkali berasal dari keluarga di mana orangtua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberi sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anak mereka sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga.

h. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.

i. Status sosial ekonomi

Penyerangan lebih sering dilakukan oleh laki-laki dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.

(34)

j. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Terdapat di mana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk untuk berperilaku baik atau buruk.

Berdasarakan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen adalah identitas negatif, pengendalian diri rendah, usia, jenis kelamin, harapan dan nilai yang rendah terhadap pendidikan, pengaruh orang tua dan keluarga, pengaruh teman sebaya, status social ekonomi, kualitas lingkungan sekitar dan tempat tinggal.

D. Kecerdaan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseroang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (dalam Goleman, 2000).

Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional lebih kepada kemampuan mental daripada kompetensi sosial dalam arti luas. Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran, mengenal emosi dan maknanya, dan untuk mengarahkan emosi secara reflektif sehingga menuju pada perkembangan emosi dan intelektual (dalam Prawitasari, 1998).

(35)

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mencapai suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Cooper & Sawaf (1998), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk mengindera, memahami dan secara efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi (dalam Yudiana, 2005).

Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik serta untuk memimpin.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan atau mengelola emosi baik pada diri sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain, dan menggunakannya secara efektif untuk memotovasi diri dan bertahan pada tekanan, serta mengendalikan diri untuk mencapai hubungan yang produktif.

(36)

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Bar-On (dalam Goleman, 2000) menjabarkan kecerdasan emosional menjadi lima kemampuan pokok, yaitu:

a. Kemampuan interpersonal, meliputi : 1) Kesadaran diri emosional

Merupakan kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya.

2) Asertivitas

Merupakan kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, kemampuan mengungkapkan keyakinan dan gagasan secara terbuka dan kemampuan mempertahankan kebenaran dengan cara yang tidak destruktif.

3) Harga diri

Merupakan kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek positif dan kemampuan yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada pada diri dan tetap menyukai diri sendiri.

4) Aktualisasi diri

Merupakan kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki.

Aktualisasi diri adalah suatu proses dinamis dengan tunjuan mengembangkan kemampuan dan bakat secara maksimal.

5) Kemandirian

(37)

Merupakan kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara emosional.

b. Kemampuan intrapersonal, meliputi:

1) Empati

Merupakan kemampuan menyadari, memahami, menghargai perasaan orang lain dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain.

2) Hubungan interpersonal

Merupakan kemampuan menjalani dan mempertahankan hubungan yang saling memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan menerima kasih sayang.

3) Tanggung jawab sosial

Merupakan kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan berkerjasama, serta berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen-komponen kecerdasan emosional ini meliputi bertindak secara bertanggungjawab, meskipun tidak mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi.

c. Penyesuaian diri, meliputi:

1) Pemecahan masalah

Merupakan kemampuan mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah tetapi dapat menghadapi masalah dengan baik.

(38)

2) Uji realitas

Merupakan kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya bukan sebagaimana yang diinginkan atau diharapkan.

3) Fleksibilitas

Merupakan kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk mengubah situasi dan kondisi sikap fleksibilitas ini juga mencakup seluruh kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dinamis.

d. Penanganan stres, meliputi:

1) Ketahanan menanggung stres

Merupakan kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi stres dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stres tersebut. Ketahanan menanggung stres ini berkaitan dengan kemampuan untuk tetap tenang dan sabar.

2) Pengendalian impuls

Merupakan kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan untuk bertindak.

e. Suasana hati, meliputi:

1) Kebahagiaan

Merupakan kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupan, menikmati kebersamaan dengan orang lain dan bersenang-senang.

2) Optimisme

(39)

Merupakan kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap positif sekalipun dihadapkan dengan kesulitan.

Optimisme mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan.

Berdasarkan pendapat Goleman (2002) kecerdasan emosi dibagi dalam beberapa kemampuan atau aspek yaitu:

1. Mengenali Emosi Diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.

2. Mengelola Emosi.

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri.

3. Memotivasi Diri.

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut, cara mengendalikan dorongan hati, derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang, kekuatan berfikir positif, optimisme, dan keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek

(40)

4. Mengenali Emosi Orang Lain.

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain.

5. Membina Hubungan Dengan Orang Lain.

Membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.

Goleman (2001) membagi kecerdasan emosi atas 5 aspek, yang dapat menjadi pedoman untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

a. Kesadaran diri (kemampuan mengendalikan emosi)

Kesadaran diri adalah kemampuan dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kesadaran diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional.

Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri dikuasi oleh perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya dan akhirnya berakibat dalam pengambilan keputusan yang salah. Kesadaran diri terdiri atas tiga kecakapan yaitu kesadaran emosional, penilaian diri secara akurat, dan percaya diri.

b. Pengaturan diri

Pengaturan diri berarti pengolahan implus dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu

(41)

menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat semua itu. Sebailknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan melawan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri. Pengaturan diri terdiri atas lima kecakapan, yaitu pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.

c. Motivasi

Dengan kemampuan memotivasi diri sendiri yang dimilikinya, seseorang akan cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

d. Empati

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseroang terbuka pada emosi diri sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia terampil membaca emosi orang lain. Sebailiknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

e. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Keterampilan sosial yaitu mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.

(42)

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari lima aspek yaitu kemampuan intrapersonal, kemampuan interpersonal, penyesuaian diri, penanganan stres dan suasana hati.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (dalam Ifham,2002) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:

1. Faktor internal, merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.

2. Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ada 2 yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara

(43)

perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara.

E. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Delinkuen pada Komunitas Anak Band di kota Medan

Perilaku pelanggaran atau perilaku menyimpang yang sering dibawa ke permukaan saat ini di media massa, banyak dilakoni oleh komunitas remaja. Yang paling santer terdengar adalah dari suatu wadah industri musik, yang biasa kita kenal dengan sebutan anak band. Komunitas anak band adalah suatu kumpulan anak remaja yang memilih jalur musik untuk berkreasi untuk menciptakan suatu karya di bidang seni dan tarik suara.

Komunitas anak band merupakan salah satu pilihan alternatif bagi para remaja saat ini di kota medan dalam memilih untuk melakukan proses pengambilan peran mereka di tengah-tengah masyarakat sebagai peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa sebagai bentuk pengakuan diri.

Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hurlock (1997) yang menyatakan ada beberapa aspek yang meliputi perkembangan pada remaja, yang harus mereka lewati. Dan salah satunya adalah aspek sosial. Dimana remaja dituntut untuk mampu melakukan hubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus mampu menyesuaikan diri dengan lawan jenis maupun sejeninya dalam hubungan menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.

Untuk mencapai tujuan daripada sosialisasi dewasa, remaja harus membuat

(44)

banyak penyesuaian baru. Terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin. Maka tak jarang jika kita temui perilaku pelanggaran atau menyimpang yang ternyata dilakukan oleh hampir seluruh anggota personil band tersebut.

Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa remaja yang terlibat dan membentuk suatu kelompok, dalam masa-masa keterlibatannya remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok. Maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga.

Oleh karena pengaruh yang besar dari lingkungan pergaulan dapat menyebabkan timbulnya delinkuen pada remaja. Delinkuen pada remaja dapat terjadi karena kegagalan untuk mengembangkan pengendalian diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Para remaja tersebut mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang tepat dalam perbuatan mereka.

(45)

Menurut Feldman & Weinberger (1994), pengendalian diri (self control) mempunyai peranan penting dalam perilaku delinkuen. Pengasuhan yang efektif pada masa kanak-kanak berhubungan dengan dicapainya kemahiran dalam pengaturan diri (self regulatory) oleh anak.

Dengan berpangkal pada uraian di atas dapat diasumsikan, bahwa dengan kecerdasan emosional, khususnya kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, ketrampilan sosial, maka akan mengarahkan individu yang melakukannya memperoleh ketrampilan emosi tersebut, sehingga ia mempunyai pemikiran yang positif terhadap suatu peristiwa yang pada akhirnya akan membentuk perilaku yang non delinkuen, bahkan dapat menurunkan delinkuensinya.

Terdapatnya kemampuan ini yang merupakan atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat perilaku delinkuen yang dilakukan remaja (Santrock, 1998). Selain itu, perilaku delinkuen tersebut merupakan hasil dari pergolakan emosi yang sangat labil (Kartono, 2006).

Menurut Aziz (1999), bahwa semakin baik taraf kecerdasan emosi anak, maka akan semakin rendah kecenderungan berperilaku delinkuen. Semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang, maka semakin tinggi pula kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Munculnya bentuk perilaku seperti yang telah disebutkan diatas menurut Goleman (2001) merupakan gambaran adanya emosi-emosi yang tidak terkendali, mencerminkan meningginya ketidakseimbangan emosi. Bila emosi berhasil dikelola maka individu akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali

(46)

dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, individu yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri (Goleman, 2001).

Sehingga dapat dikatakan bahwa diperlukan adanya suatu kemampuan dalam manajemen emosi. Dapat dikatakan bahwa dengan adanya kecerdasan emosional yang tinggi, individu lebih mudah mengendalikan diri dan dorongan-dorongan dalam diri individu tersebut dalam melakukan suatu tindakan.

F. Kerangka Konseptual

G. Hipotesa

Dari tinjauan teori di atas dan berdasarkan uraian permasalahan yang dikemukakan, maka dalam penelitian ini, hipotesa yang diajukan oleh peneliti adalah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan delinkuen. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi antara kecerdasan emosi maka semakin rendah dengan delinkuen dan sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin tinggi delinkuen.

KECERDASAN

EMOSIONAL DELINKUEN

Anak Band

Referensi

Dokumen terkait

perusahaan, yaitu rasio leverage perusahaan.Dengan demikian, hutang adalah unsur dari struktur modal perusahaan.Struktur modal merupakan kunci perbaikan produktivitas

(persero) Cabang Pekanbaru Kota tidak melakukan upaya apapun dalam hal tidak dilakukannya roya atau pencoretan terhadap jaminan fidusia, karena pada saat nasabah

Peneliti selanjutnya mampu berkontribusi dalam mengatasi perulaku agresif verbal yang dialami oleh siswa SMA Negeri 1 Rembang melalui konseling rational emotive

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kualitas mikrobiologik keju impor dengan judul: Kajian Tingkat Keamanan Keju Impor Ditinjau dari Pencemaran

Sesuai dengan teori yang dikemukakan karim 4 bahwa dalam produk giro, bank syariah menerapkan prinsip wadi’ah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai

P1=Tampilan aplikasi android menarik, P2=Media belajar pembelajaran berbasis android ini interaktif, P3= Materi yang ditampilkan dalam aplikasi android mudah dipahami,

Kunci tersebut akan digunakan untuk menentukan apakah client yang terhubung saat ini adalah client yang benar dan berhak untuk mengirim dan menerima informasi dalam

Sedangkan pada daging matang yang diberikan perlakuan penambahan dan pengganti secara signifikan menunjukan nilai expressible drip yang rendah atau memiliki daya ikat air