• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri

3.2.1 Pengalaman masa lalu

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri (Potter & Perry,

2005). Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu

tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan

datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian

episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka

ansietas atau rasa takut dapat muncul (Brunner & Suddarth, 2001).

Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama

dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk

menginterpretasikan sensasi nyeri akibatnya ia akan lebih siap untuk

melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

Jadi pengalaman masa lalu akan keberhasilan penanganan nyeri pada

seseorang akan memberi pengaruh yang sangat besar dalam cara berespons

orang tersebut terhadap nyeri yang dialaminya di kemudian hari.

Apabila seseorang tidak pernah mengalami nyeri, maka persepsi

pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri pada orang

tersebut (Potter & Perry, 2005). Misalnya, setelah bedah abdomen adalah

hal umum bagi klien untuk mengalami nyeri insisi yang berat selama

beberapa hari. Apabila klien tidak menyadari hal ini, ia akan memandang

awitan nyeri sebagai komplikasi yang serius sehingga klien tersebut

kemudian berbaring di tempat tidur dan bernapas dengan dangkal karena

ia merasa takut akan terjadi sesuatu yang tidak baik, padahal sebenarnya

klien dapat berpartisipasi aktif dalam latihan pernapasan pascaoperasi.

3.2.2 Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang

ditemukan di anatara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana

anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005)

Pada anak-anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami

nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata

mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan (Branner

& Feist, 2007). Pada lansia, persepsi nyeri mungkin berkurang sebagai

akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit (mis,

diabetes), tetapi pada lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak

berubah. Meskipun banyak lansia yang mencari perawatan kesehatan

karena nyeri, tetapi ada juga lansia yang enggan untuk mencari bantuan

bahkan ketika mengalami nyeri hebat karena mereka menganggap nyeri

menjadi bagian dari penuaan normal. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa

tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat

menyebabkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).

3.2.3 Jenis kelamin

Gill (1990) mengemukakan bahwa secara umum pria dan wanita

tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri, yang lebih

mempengaruhi adalah budaya. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi

jenis kelamin, misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus

berani dan tidak boleh menangis sedangkan anak perempuan boleh

menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005). Robinson dan

koleganya (2003, dalam Brannon & Feist, 2007) mengatakan bahwa ada

perbedaan persepsi nyeri antara pria dan wanita yaitu bahwa wanita lebih

sensitif terhadap nyeri daripada pria.

3.2.4 Budaya

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu

dan sosial mempengaruhi pengalaman dan penanganan nyeri (Gureje, Von

Korff, Simon, & Gater, 1996 dalam Brannon & Feist, 2007).

Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima

oleh kebudayaan mereka. Zborowski (1969 dalam Niven, 1994)

melaporkan bahwa ekspresi perilaku nyeri berbeda antara satu kelompok

etnik pasien dengan kelompok lain di satu lingkungan rumah sakit.

Perbedaan tersebut dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh

kelompok etnik.

Sejak tahun 1950, mulai banyak dilakukan studi untuk melihat

perbedaan ekspresi nyeri atau cara menyatakan nyeri dari berbagai

latarbelakang budaya (Streltzer, 1997, Ondeck, 2003 dalam Brannon &

feist, 2007). Beberapa studi menunjukkan ada pengaruh stereotip tetapi

ada juga yang tidak tetapi tetap perlu kritis melihat pengaruh stereotip.

sebagai contoh generasi ketiga di Amerika cenderung untuk memberi

respons terhadap nyeri dengan cara biasa-biasa saja. Orang Italia merasa

bahwa nyeri adalah sesuatu yang harus dihindarkan dengan cara apapun

dan ekspresi mereka ditujukan untuk menghilangkan nyeri sehingga orang

italia meminta obat nyeri lebih bayak dibandingkan orang amerika (Niven,

1994).

3.2.5 Makna Nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi

pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri

belakang budaya individu tersebut. Setiap individu akan mempersepsikan

nyeri dengan cara berbeda-beda (Potter & Perry, 2005).

3.2.6 Perhatian

Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990, dalam Potter & Perry,

2005) perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang

meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri

yang menurun.

3.2.7 Ansietas

Ansietas atau cemas menyebabkan rasa nyeri yang semakin

meningkat sedangkan peningkatan rasa nyeri akan menyebabkan individu

tersebut semakin cemas lagi sehingga kedua hal ini saling mempengaruhi

seperti lingkaran yang terus berputar (Niven, 1994). Menurut

McWiliialms, Goodwin, & Cox (2004, dalam Brannen & Feist, 2007)

Pasien dengan nyeri kronis yang hebat memiliki potensi yang besar

mengalami cemas atau depresi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh nyeri

yang tidak kunjung reda.

3.2.8 Pola koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri

mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka

dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter &

Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal,

perawat, sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap suatu hasil

akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan

mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki

lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987, dalam Potter & Perry, 2005).

3.2.9 Dukungan keluarga dan sosial

Pasien kanker ketika pertama sekali mengetahui dirinya mengidap

kanker respon yang biasanya terjadi ,yaitu penolakan terhadap diagnosa,

kecemasan dan depresi (Taylor, 1988 dalam Lubis & Hasnida, 2009).

Pasien kanker umumnya mengalami banyak kecemasan, terutama

kecemasan dalam menghadapi pengobatan yang dilakukan seperti

pembedahan, kemoterapi dan radiasi (Shea, 2008).

Hubungan antara nyeri dengan ansietas bersifat kompleks. Ansietas

sering sekali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan suatu perasaan ansietas (Potter & Perry, 2005). Nyeri yang

dialami pasien kanker membuat pasien takut akan terjadi keadaan yang

semakin buruk dan tidak terkontrol (Dimatteo, 1991).

Pasien kanker sering mengalami masalah psikologi seperti pasien

sering merasa tidak berharaga dan ingin mengakhiri hidup jadi dukungan

orang-orang di sekitarnya sangat diperlukan misalnya teman, anak-anak

maupun pasangan hidup dalam memberikan motivasi kepada klien (Wall

& Mervyn, 1991). Kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana

perlakuan mereka terhadap klien mempengaruhi respon nyeri klien.

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan

perlindungan (Potter dan Perry, 2005).

Dokumen terkait