• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.3. Pelet Pakan Ternak

2.3.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Pelet

A. Adhesi pelet

Adhesi adalah proses ketika material saling terikat satu sama lain oleh ikatan fisika maupun kimia bahan. Hal ini dapat terjadi oleh karena bergabungnya permukaan masing-masing bahan atau karena melelehnya masing-masing bahan atau karena penggunaan bahan perekat. Bahan perekat adalah bahan yang ketika digunakan pada permukaan bahan pakan dapat menyebabkan rekat satu sama lain dan tidak mudah dipisahkan (Wake, (1976) dalam Behnke, (2001). Ada baiknya bahan perekat digunakan dalam industri pelet. Meskipun begitu bahan perekat yang sudah built in di dalam bahan pakan perlu dioptimalkan melalui perlakuan panas dan air.

Terjadinya perekatan bahan pada proses peletisasi melalui mekanisme:

mechanical interlocking, difusi, dan adsorpsi. Kinlock (1987) dalam Behnke (2001)

menjelaskan mechanical interlocking terbentuk ketika bahan perekat mengenai permukaan bahan kasar, mengeras dan kemudian mengikat masing-masing bahan menjadi satu. Teori difusi didasarkan oleh difusi polimer pada lapisan antarmuka pada permukaan bahan. Difusi terjadi ketika bahan dipanaskan kemudian menyebar melewati lapisan antarmuka diantara dua bahan. Peristiwa ini dapat terjadi hanya ketika suhu polimer di bawah suhu transisi gelas dari polimer tersebut. Adsorpsi terjadi oleh adanya gaya interatomik maupun inter molekuler antara permukaan bahan perekat dan bahan pakan. Gaya yang berperan adalah gaya ionik, kovalen, interaksi ikatan hidrogen dipol dan gaya Van der Waal.

B. Rheologi Bahan Pakan

Rheologi dan fungsi bahan pakan sangat tergantung oleh struktur fisik (kristal, amorph) dan komposisi kimianya. Bahan pakan dipanaskan melewati orde pertama maupun kedua ataupun kombinasi keduanya dari suhu transisi gelasnya. Transisi orde pertama merupakan orde untuk melelehkan kristal, sedangkan orde kedua merupakan orde untuk relaksasi polimer. Bahan yang berbentuk kristal (misalnya gula), hanya melewati orde transisi pertama saja. Bahan yang berbentuk semi kristal (misalnya pati) melewati transisi orde kedua dahulu baru kemudian ke transisi orde pertama. Sedangkan bahan yang berbentuk amorph (misalnya selulosa ataupun lignin) hanya melewati transisi orde kedua saja. Suhu yang menunjukkan

26

daerah amorph polimer mulai menunjukkan relaksasi ataupun menjadi labil disebut sebagai suhu transisi gelas. Suhu transisi gelas dari beberapa bahan telah dilaporkan oleh para peneliti yaitu: pati oleh Zelesnak & Hoseney (1986), wheat gluten oleh Slade (1984); Hoseney (1986), gluten jagung oleh Lawton (1982) dalam Behnke (2001).

Suhu transisi gelas suatu bahan berbanding terbalik dengan kadar airnya. Jika kadar air pada suatu bahan meningkat maka suhu transisi gelasnya menurun. Ramuan bahan pakan mempunyai suhu transisi gelas lebih rendah dari suhu normalnya dihubungkan dengan kondisi proses (70-90˚C) ketika kadar air bahan antara 15 dan 18%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pakan mulai mengalir selama proses

conditioning maupun pelleting. Jumlah dan lokasi bahan pakan yang mengalir

tergantung kepada suhu dan lokasi air (di permukaan ataupun di dalam partikel). Jumlah pati yang tergelatinisasi maupun yang rusak telah diteliti dan hasilnya menunujukkan tidak ada pengaruh terhadap kualitas pelet (Stevens (1987) dan Lopez (1993) dalam Behnke (2001)). Pati yang rusak lebih banyak ditemukan di luar permukaan pelet pada perlakuan temperature lebih rendah. Walaupun begitu ditemukan juga pati yang rusak menurun ketika perlakuan temperature meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerusakan pati lebih disebabkan oleh gesekan mekanis antara permukaan die dengan pati dan bukan karena tingginya perlakuan hydrothermal saja.

Woods (1987) mempelajari peranan pati dan protein dalam proses peletisasi. Penambahan kedelai dalam bentuk serpihan (flake) kasar akan lebih meningkatkan

kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk tepung terdenaturasi. Pada penambahan pati dalam keadaan pregelatinisasi akan meningkatkan kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk normalnya. Wood menyimpulkan bahwa protein berpengaruh lebih besar terhadap kualitas pelet dari pada pati. Penemuan ini telah diperkuat oleh Briggs et al, (1999). Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat gelatinisasi pati kemungkinan tidak sepenting dengan lokasi terjadinya gelatinisasi. Gelatinisasi pati yang terjadi pada permukaan bahan pakan merupakan titik kritis pembentukan ikatan intra partikel yang berperan penting pada pembentukan kekuatan, durabilitas pelet. Gelatinisasi pati yang terjadi pada antarmuka partikel dirangkai dengan plastisisasi protein akan menghasilkan difusi polimer antara granula pati dan molekul protein yang akan menghasilkan perekatan partikel.

C. Pengaruh Formulasi Pakan

Formulasi pakan berbiaya rendah didesain untuk menemukan parameter nutrisi yang dibutuhkan oleh hewan. Meskipun demikian pengaruh formulasi pakan pada proses pengolahan terutama peletisasi jarang dipikirkan oleh pada umumnya para ahli nutrisi. Bahan pakan yang sekarang ini dipakai oleh industri pakan telah menggunakan bahan perekat lebih dari 100 tahun. Penambahan lemak ke dalam bahan sebelum peletisasi biasanya menurunkan kualitas pelet (Richardson and Day (1976); Headly and Kershner (1968) dalam Behnke (2001)). Sementara itu penambahan protein dan bahan berserat meningkatkan kualitas pellet. Fahrenholz

28

(1989) melaporkan peningkatan durabilitas pellet pakan babi pada peningkatan pemberian gandum yang meningkat dari 0-45%. McKee (1988) dalam Behnke (2001) terjadi peningkatan kualitas pelet dan stabilitas air pada pakan ikan patin dengan meningkatkan penambahan wheat gluten dari 0-10%. Lopez (1993) dalam Behnke (2001) juga melaporkan penambahan wheat gluten menghasilkan pengaruh positif pada kualitas pelet dan stabilitas air, akan tetapi dengan penambahan tepung ubi kayu berpengaruh negatif.

D. Pengaruh Ukuran Partikel

Pengecilan ukuran partikel bahan pakan menghasilkan pertambahan luas permukaan persatuan volume. Partikel yang lebih kecil akan mempunyai titik kontak yang lebih banyak dibandingkan dengan partikel yang lebih besar. Anand (1970) dalam Behnke (2001) menunjukkan titik kontak antar butiran polystyrene meningkat sebanyak 3 atau 4 atau 7 kali pada pengurangan ukuran butiran sebanyak 3 atau 4 atau 7 kali partikel persatuan luas.

Penetrasi panas dan air ke dalam inti partikel dapat dicapai dalam waktu yang jauh lebih pendek oleh partikel kecil dengan luas permukaan per satuan berat yang besar. Stevens (1987) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas pelet yang dihasilkan dengan mengurangi ukuran partikel jagung dan gandum dari 1023 ke 551µ dan dari 802 ke 365µ. Martin (1983) dalam Behnke (2001) melaporkan hasil yang sama menggunakan jagung dan sorghum. Wondra et al, (1995) melaporkan peningkatan durabilitas pelet pada pengurangan ukuran partikel dari 1000 ke 400µ.

Industri pakan pelet ikan melakukan penggilingan bahan pakan sehingga ukuran partikelnya kurang dari 250µ untuk mendapatkan pelet dengan stabilitas air yang tingi. Dengan mengkombinasikan ukuran partikel kecil dan waktu, perlakuan suhu tinggi menghasilkan pelet yang mempunyai stabilitas air paling baik.

E. Conditioning

Pentingnya perlakuan uap telah dihitung oleh Skoch dkk, (1981) dengan membandingkan peletisasi cara kering dengan peletisasi menggunakan perlakuan uap. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa perlakuan uap memperbaiki durabilitas pelet, rata-rata produksi dan menurunkan jumlah partikel halus sisa pakan serta menurunkan konsumsi energi. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa uap berperan sebagai “pelumas” untuk mengurangi gesekan selama peletisasi.

Menurut Reimer (1992) dalam Behnke (2001), kualitas pelet secara proporsional dipengaruhi oleh faktor: formulasi pakan (40%), ukuran partikel (20%),

conditioning (20%), spesifikasi die (15%), pendinginan dan pengeringan (5%). Jika

ini benar maka kualitas pelet 60% ditentukan oleh bahan sebelum masuk conditioner dan akan meningkat menjadi 80% setelah keluar dari conditioner sebelum masuk ke dalam ruang die pada mesin pelet.

Rhen et al, dalam Carone et al, (2011) melaporkan pada pembuatan pelet dari sebuk gergaji pohon cemara dengan menaikkan suhu dari 26°C ke 144°C dan menurunkan kadar air menjadi 6,3 % pada saat proses peletisasi, akan meningkatkan densitas dan kekuatan pellet. Mani et al, (2006) melalukan penelitian pembuatan

30

pelet dari bahan rumput-rumputan yaitu jerami pohon gandum, barley (jewawut), tongkol jagung dan switchgrass dengan variasi tekanan proses sebesar 1000, 2000, 3000, 4000 & 4400 N. Hasilnya pada tekanan yang rendah, pelet dari tongkol jagung mempunyai densitas paling tinggi. Tekanan proses, kadar air dan ukuran partikel berpengaruh nyata terhadap densitas pelet dari jerami barley, tongkol jagung dan switchgrass.

Telah ada beberapa penelitian untuk mempelajari pengaruh 2 faktor pertama yaitu formulasi pakan dan ukuran partikel terhadap kualitas pelet. Stevens (1987) dan Winowiski (1998) membandingkan durabilitas pelet dari bahan pakan yang mengandung jagung dengan bahan pakan yang sebagian ataupun seluruh komponen jagung diganti dengan gandum. Pada kedua hal di atas durabilitas pelet yang lebih tinggi berasal dari bahan pakan yang mengandung gandum. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan protein kasar pada gandum (13%) sedangkan pada jagung (9%). Penemuan ini didukung oleh Briggs et al, (1999) yang menemukan peningkatan kadar protein pakan ayam dari 16,3 ke 21% akan meningkatkan rata-rata durabilitas pelet dari 75,8 ke 88,8%.

Ukuran partikel menurut Reimer (1992) dalam Behnke (2001) merupakan faktor kedua yang mempengaruhi kualitas pelet sebesar 20%. Penurunan ukuran partikel dari bahan kasar menjadi halus akan meningkatkan luas permukaan partikel persatuan volume untuk mengabsorpsi perlakuan uap dan ikatan antar partikel. MacBain (1966) dalam Behnke (2001) mengindikasikan bahwa variasi ukuran partikel menghasilkan pelet yang lebih baik dari pada pelet dari bahan yang ukuranya

seragam. Steven (1987) melakukan penelitian peletisasi bahan pakan yang mengandung jagung ataupun gandum, menemukan fakta bahwa ukuran partikel tidak berpengaruh terhadap durabilitas pelet.

Mani et al, (2006) melakukan penelitian pembuatan pelet dari bahan rumput- rumputan yaitu jerami pohon gandum, barley (jewawut), tongkol jagung dan

switchgrass dengan ukuran partikel 3,2; 1,6; 0,8 mm. Hasilnya ukuran partikel sangat

berpengaruh terhadap densitas pelet terutama pada bahan baku yang berasal dari jerami barley, tongkol jagung dan switchgrass.

Carone et al, (2011) melakukan penelitian pembuatan pelet yang bahan bakunya berasal dari pelepah pohon Olea europaea L. dengan ukuran partikel sebesar 1, 2, 4 mm. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran partikel menjadi salah satu faktor penting pada terbentuknya pelet yang baik. Perlakuan dengan temperatur tinggi, kadar air rendah dan ukuran partikel yang semakin kecil merupakan kondisi yang ideal untuk menghasilkan pelet yang baik.

F. Spesifikasi Die

Spesifikasi die akan mempengaruhi kualitas pelet dengan proporsi 15%. Fahrenholz (2012) mengatakan bahwa karakteristik die yang akan mempengaruhi kualitas pelet adalah ketebalannya yang berkaitan dengan diameter lubang cetakan yang dikenal dengan nama rasio L:D. Die dengan rasio L:D tinggi berarti die-nya lebih tebal yang akan meningkatkan kualitas pelet melalui mekanisme gesekan dan waktu tinggal pelet di dalam die. Pfost (1964) dalam Fahrenholz (2012)

32

menyampaikan bahwa dengan memakai die yang lebih tipis akan menurunkan kualitas pelet dan mengurangi konsumsi energi pada produksi pelet dari ransum rendah lemak.

Menurut Pathak (1997), diameter pelet ditentukan oleh jenis hewan yang akan mengkonsumsinya. Pelet yang berasal dari pakan jenis konsentrat diameternya antara 5 – 15 mm dengan panjang antara 7 – 20 mm pada umumnya untuk ikan dan unggas. Sedangkan pelet yang berasal dari jenis pakan yang berbasis biomassa diameternya lebih besar yaitu antara 10 – 20 mm dengan ukuran panjang yang hampir sama biasanya untuk hewan mamalia sedang maupun besar seperti kambing/domba dan sapi.

Selain karena alasan di atas, besarnya ukuran die untuk pelet yang berasal dari bahan berbasis biomassa disebabkan oleh karakteristik bahan baku tersebut. Bahan pakan yang berbasis biomassa pada umumnya mempunyai ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan bahan pakan yang berbasis tepung, sehingga akan relatif lebih sulit untuk dibuat pelet jika ukuran lubang die-nya kecil (฀ 8 mm).

Dokumen terkait