• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Diameter Die, Bahan Pengikat, dan Kadar Air Bahan Baku Terhadap Kualitas Pelet yang Dihasilkan pada Produksi Pelet Pakan Ternak Ruminansia Berbasis Biomassa Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Diameter Die, Bahan Pengikat, dan Kadar Air Bahan Baku Terhadap Kualitas Pelet yang Dihasilkan pada Produksi Pelet Pakan Ternak Ruminansia Berbasis Biomassa Kelapa Sawit"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

BERBASIS BIOMASSA KELAPA SAWIT

TESIS

OLEH

G I Y A N T O 097022005/TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PENGARUH DIAMETER

DIE

, BAHAN PENGIKAT, DAN

KADAR AIR BAHAN BAKU TERHADAP KUALITAS PELET

YANG DIHASILKAN

PADA PRODUKSI PELET PAKAN TERNAK RUMINANSIA

BERBASIS BIOMASSA KELAPA SAWIT

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Magister Teknik Kimia Pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

OLEH

G I Y A N T O 097022005/TK

F A K U L T A S T E K N I K

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

BERBASIS BIOMASSA KELAPA SAWIT NAMA MAHASISWA : GIYANTO

NOMOR INDUK

MAHASISWA : 097022005

PROGRAM STUDI : MAGISTER TEKNIK KIMIA

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Donald Siahaan Dr. Zuhrina Masyithah, ST., M.Sc. NIP : 197109051995122001 Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Dr. Ir. Taslim, M.Si. Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME. NIP. 196501151990031002 NIP : 19571001198501005

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Donald Siahaan

Anggota : 1. Dr. Zuhrina Masyithah, ST., M.Sc. 2. Dr. Ir. Iriany, M.Si.

(5)

Tempat/tanggal lahir : Magelang, 17 Mei 1974

Alamat : Jl. Alfaka I No. 78, Tanjung Mulia Hilir, Medan Deli, Medan, Sumatera Utara

Pendidikan

1. Tamatan MI Negeri Tirto, Salam, Magelang Tahun 1981-1987 2. Tamatan SMP Negeri Gulon, Salam, Magelang Tahun 1987-1990 3. Tamatan SMA Negeri Muntilan, Magelang Tahun 1990-1993

4. Tamat Sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 1993-1999

Penulis bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis Perkebunan (STIPAP) Medan sebagai dosen tetap pada Program Studi Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan (TPHP) dengan spesialisasi di bidang pengolahan kelapa sawit dan karet alam.

(6)

i

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membuat pelet pakan ruminansia yang bahan bakunya dominan berasal dari biomassa kelapa sawit berupa rajangan pelepah kelapa sawit dan bungkil inti sawit. Luasan kebun dan karakteristik tanaman kelapa sawit menjamin ketersediaan pakan jenis ini sepanjang tahun. Pakan dalam bentuk pelet mempunyai kelebihan antara lain meningkatkan keambaan dan keawetannya sehingga sangat mendukung ketika harus didistribusikan ke luar daerah ataupun luar pulau. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap 4 faktorial. Empat faktor yang dipelajari yaitu (1). diameter die: 8 mm tebal 40 mm (rasio L:D=5) dan 10 mm tebal 30 mm (rasio L:D=3), (2) bahan pengikat: tanpa bahan pengikat, tepung gaplek 7%, tepung industri 7%, (3) penambahan air panas: 24%, 32%, 40%, (4) jenis rajangan pelepah diayak 9 mesh dan tidak diayak. Parameter yang dipakai untuk mengukur kualitas pelet adalah indeks ketahanan pelet (PDI), hardness, dan efisiensi pembuatan pelet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan bahan die dengan diameter lubang 8 mm tebal 40 mm (rasio L:D=5) menghasilkan pelet dengan kualitas lebih baik dari pada die yang berdiameter lubang 10 mm tebal 30 mm (rasio L:D=3). Bahan pengikat sangat berpengaruh terhadap kualitas pelet. Tepung industri 7% menghasilkan pelet dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan tepung gaplek 7% namun harga tepung industri lebih mahal. Penambahan air panas 100˚C menghasilkan pelet dengan kualitas lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan air panas. Jumlah air panas yang efektif ditambahkan adalah 32% untuk hardness dan 40% untuk efisiensi pembuatan, sedangkan untuk indeks ketahanan pelet tidak berbeda nyata. Perlakuan pengayakan terhadap rajangan pelepah tidak mempengaruhi kualitas pelet yang dihasilkan.

Kata kunci : Biomassa kelapa sawit, rajangan pelepah kelapa sawit, bungkil inti

(7)

ii

dominant ingredients come from oil palm biomass which consists of sliced oil palm fronds and oil palm cakes. The area of the plantation and the characteristics of oil palm guarantee the availability all year long. Feed in the form of pellet has its own superiority such as the increase in its bulk density and durability so that they provide support for its distribution to the other regions or islands. The experimental design was four factorial of complete randomized designs such as 1) diameter die: 8 mm with 40 mm thick (ratio of L:D = 5) and 10 mm with 30 mm thick (ratio of L:D = 3), 2) binder: no binder, 7% of cassava flour and 7% of wheat flour, 3) hot water: 24%, 32%, and 40%, and 4) frond slices were sifted in 9 mesh and not sifted. The parameter for measuring the quality of the feed was PDI (Pellet Durability Index), hardness, and the efficiency in making pellet.The result of the research showed that supplementing die ingredient with 8 mm in diameter with 40 mm thick (ratio of L:D = 5) would yield better quality of pellet than die with 10 mm hole in diameter with 30 mm thick (ratio of L:D = 3). Binder was very influential on the quality of pellet. 7% of wheat flour would yield better quality of pellet than 7% of cassava flour although

wheat flour was more expensive. Supplementing 100oC hot water would yield better

quality of pellet than that which was not supplemented. Effective amount of hot water was 32% for hardness and 40% for efficient production, but there was no significant different for its durability. Sifted treatment on sliced fronds did nit have any influence on the quality of pellet.

Keywords: Oil Palm Biomass, Sliced Oil Palm Frond, Oil Palm Cake, Complete

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan Judul: Pengaruh

Diameter Die, Bahan Pengikat, dan Kadar Air Bahan Baku Terhadap Kualitas Pelet

yang Dihasilkan pada Produksi Pelet Pakan Lengkap Ternak Ruminansia Berbasis

Biomassa Kelapa Sawit ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tesis ini disusun setelah melalui bimbingan dan konsultasi dengan dosen pembimbing Dr. Ir. Donald Siahaan dan Dr. Zuhrina Masyithah, ST., M.Sc., sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Magister Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

(9)

iv

Serdang, (10) Seluruh staf pengajar, karyawan administratif, dan teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, (11) Para teknisi, laboran dan karyawan administrasi di Kelompok Peneliti Pengolahan Hasil dan Mutu Pusat Penelitian Kelapa Sawit, (12) Pimpinan dan karyawan Unit Kebun Aek Pancur Pusat Penelitian Kelapa Sawit, dan khususnya karyawan pada

Pilot Project Peletisasi Pakan Ternak, (13) Pimpinan, staf, karyawan dan mahasiswa

Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis Perkebunan (STIPAP) yang tidak pernah bosan untuk memberikan dukungan baik materi maupun motivasi, (14)Khusus untuk istri, anak-anak, dan orang tua, penulis haturkan beribu terimakasih karena kesabarannya dalam memberikan dukungan dan doa.

Penulis sadar bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan guna melengkapi tesis ini.

Medan, April 2015

(10)

v

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK/ABSTRACT... i

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 6

(11)

vi

2.1. Biomassa Kelapa Sawit... 8

2.2. Pakan Ternak Ruminansia... 9

2.2.1. Pakan Konsenrat... 9

2.2.2. Pakan Lengkap... 10

2.2.3. Pakan Berbasis Biomassa Kelapa Sawit... 12

2.3. Pelet Pakan Ternak... 15

2.3.1. Proses Produksi Pelet... 17

2.3.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Pelet... 24

2.3.3. Parameter Mutu Pelet... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 38

3.1. Tempat dan Waktu... 38

3.2. Bahan dan Peralatan Penelitian... 38

3.2.1. Bahan Penelitian ... 38

(12)

vii

3.3. Prosedur Penelitian... 43

3.3.1. Rancangan Percobaan... 43

3.3.2. Pelaksanaan Kegiatan Penelitian... 44

3.4. Prosedur Analisa Mutu Pelet... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 49

4.1. Hasil... 49

4.1.1. Indeks Ketahanan Pelet... 49

4.1.2. Hardness ... 50

4.1.3. Efisiensi Pembuatan Pelet ... 53

4.2. Pembahasan ... 55

4.2.1. Pengaruh Diameter Die Terhadap Kualitas Pelet... 55

4.2.2. Pengaruh Bahan Pengikat Terhadap Kualitas Pelet... 57

4.2.3. Pengaruh Penambahan Air Panas Terhadap Kualitas Pelet... 60

4.2.4. Pengaruh Rajangan Pelepah Terhadap Kualitas Pelet... 63

4.3. Kombinasi Perlakuan Terbaik ... 65

(13)

viii

DAFTAR PUSTAKA... 71

(14)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

3.1. Mesin pencacah pelepah kelapa sawit (a) dan mesin pencampur pakan

lengkap (b) ...39

3.2. Mesin pengayak rajangan pelepah ...40

3.3. Mesin pelleting, roller die dan flat die... 40

3.4. Holmen pellet tester...42

3.5. Stokes hardness tester...42

3.6. Diagram alir proses pembuatan ransum pakan lengkap ruminansia berbasis biomasa kelapa sawit ...45

3.7. Diagram alir proses pembuatan pelet pakan ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit...46

4.1. Indeks ketahanan pelet dari pelet pakan ternak berbasis biomassa kelapa sawit pada variabel yang diamati... 50

4.2. Pengaruh variasi bahan pengikat dan penambahan air panas pada variasi diameter die dan jenis rajangan pelepah terhadap hardness...52

(15)

x

Nomo Halaman

2.1. Komposisi pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit

untuk penggemukan dan pembiakan sapi...12

2.2. Kandungan nutrisi pelepah kelapa sawit...13

2.3. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit...13

2.4. Kandungan nutrisi pakan lengkap berbasis biomassa kelapa sawit...14

2.5. Karakteristik beberapa jenis pati ...20

2.6. Kualitas pelet dan karakteristik analisanya...34

2.7. Pengaruh kondisi proses terhadap durabilitas dan hardness pelet barley ...37

3.1. Komposisi ransum pakan lengkap...39

3.2. Spesifikasi mesin pelleting“Kaliber”... 41

3.3. Faktor dan level perlakuan penelitian...43

4.1. Indeks ketahanan pelet (%) dari pelet pakan ternak berbasis biomassa Kelapa sawit pada variabel yang diamati ...49

4.2. Hardness pelet (kg) dari biomassa kelapa sawit pada variasi bahan pengikat, penambahan air panas, diameter die dan jenis rajangan pelepah...51

(16)

xi

(17)

xii

Nomor Halaman

1. Analisis varian indeks ketahanan pelet...75

2. Uji duncan kombinasi perlakuanterhadap indeks ketahana pelet...76

3. Perhitungan rata-rata indeks ketahanan pelet (%) akibat tidak berpengaruhnya varibel penambahan air panas ………77

4. Analisis varian hardness...78

5. Uji duncan terhadap hardness...79

6. Analisis varian efisiensi pembuatan pelet ...80

(18)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

PSDSK 2014 = Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau yang akan dicapai pada Tahun 2014

OPF = Oil palm frond (pelepah kelapa sawit)

EFB = Empty fruit bunches (tandan kosong kelapa sawit)

SD = Solid decanter (lumpur sawit)

PKC = Palm kernel cake (bungkil inti sawit) PPKS = Pusat Penelitian Kelapa Sawit ISSE = Integrasi Sawit, Sapi, dan Energi

SPSS 18 = Statistical Product and Service Solution Seri ke-18

TDN = Total Digestible Nutrient (jumlah nutrient yang dapat dicerna)

BETN = Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen

ADF = Acid Detergent Fiber (serat yang hanya larut dalam detergen asam) Rasio L:D = Perbandingan antara ketebalan dengan diameter lubang cetakan ASAE = American Society of Agricultural Engineers

PDI = Pellet Durability Index (Indeks Ketahanan Pelet)

DMRT = Duncan Multiple Range Test

EPP = Efisiensi Pembuatan Pelet KW = Kilowatt

(19)

i

bakunya dominan berasal dari biomassa kelapa sawit berupa rajangan pelepah kelapa sawit dan bungkil inti sawit. Luasan kebun dan karakteristik tanaman kelapa sawit menjamin ketersediaan pakan jenis ini sepanjang tahun. Pakan dalam bentuk pelet mempunyai kelebihan antara lain meningkatkan keambaan dan keawetannya sehingga sangat mendukung ketika harus didistribusikan ke luar daerah ataupun luar pulau. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap 4 faktorial. Empat faktor yang dipelajari yaitu (1). diameter die: 8 mm tebal 40 mm (rasio L:D=5) dan 10 mm tebal 30 mm (rasio L:D=3), (2) bahan pengikat: tanpa bahan pengikat, tepung gaplek 7%, tepung industri 7%, (3) penambahan air panas: 24%, 32%, 40%, (4) jenis rajangan pelepah diayak 9 mesh dan tidak diayak. Parameter yang dipakai untuk mengukur kualitas pelet adalah indeks ketahanan pelet (PDI), hardness, dan efisiensi pembuatan pelet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan bahan die dengan diameter lubang 8 mm tebal 40 mm (rasio L:D=5) menghasilkan pelet dengan kualitas lebih baik dari pada die yang berdiameter lubang 10 mm tebal 30 mm (rasio L:D=3). Bahan pengikat sangat berpengaruh terhadap kualitas pelet. Tepung industri 7% menghasilkan pelet dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan tepung gaplek 7% namun harga tepung industri lebih mahal. Penambahan air panas 100˚C menghasilkan pelet dengan kualitas lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan air panas. Jumlah air panas yang efektif ditambahkan adalah 32% untuk hardness dan 40% untuk efisiensi pembuatan, sedangkan untuk indeks ketahanan pelet tidak berbeda nyata. Perlakuan pengayakan terhadap rajangan pelepah tidak mempengaruhi kualitas pelet yang dihasilkan.

Kata kunci : Biomassa kelapa sawit, rajangan pelepah kelapa sawit, bungkil inti

sawit, pakan lengkap, pelet, indeks ketahanan pelet, hardness, efisiensi pembuatan pelet

(20)

ii

ABSTRACT

The objective of the research was to make feed ruminants in which its dominant ingredients come from oil palm biomass which consists of sliced oil palm fronds and oil palm cakes. The area of the plantation and the characteristics of oil palm guarantee the availability all year long. Feed in the form of pellet has its own superiority such as the increase in its bulk density and durability so that they provide support for its distribution to the other regions or islands. The experimental design was four factorial of complete randomized designs such as 1) diameter die: 8 mm with 40 mm thick (ratio of L:D = 5) and 10 mm with 30 mm thick (ratio of L:D = 3), 2) binder: no binder, 7% of cassava flour and 7% of wheat flour, 3) hot water: 24%, 32%, and 40%, and 4) frond slices were sifted in 9 mesh and not sifted. The parameter for measuring the quality of the feed was PDI (Pellet Durability Index), hardness, and the efficiency in making pellet.The result of the research showed that supplementing die ingredient with 8 mm in diameter with 40 mm thick (ratio of L:D = 5) would yield better quality of pellet than die with 10 mm hole in diameter with 30 mm thick (ratio of L:D = 3). Binder was very influential on the quality of pellet. 7% of wheat flour would yield better quality of pellet than 7% of cassava flour although

wheat flour was more expensive. Supplementing 100oC hot water would yield better

quality of pellet than that which was not supplemented. Effective amount of hot water was 32% for hardness and 40% for efficient production, but there was no significant different for its durability. Sifted treatment on sliced fronds did nit have any influence on the quality of pellet.

Keywords: Oil Palm Biomass, Sliced Oil Palm Frond, Oil Palm Cake, Complete

Feed, Pellet, Pellet Durability Index, Hardness, Pellet Production Efficiency

(21)

1

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris sudah sewajarnya jika mampu berswasembada produk-produk yang berbasis pertanian. Namun sayangnya swasembada tersebut belum tercapai termasuk pada produk-produk utama pertanian seperti misalnya daging. Selama ini untuk mencukupi kekurangan kebutuhan daging dalam negeri, pemerintah mengimpor terutama dari Australia baik berupa daging maupun sapi bakalan.

Menyikapi kondisi tersebut di atas, Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian membuat program bernama Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau yang akan dicapai pada tahun 2014 (PSDSK 2014). Program ini mentargetkan bahwa pada tahun 2014 kebutuhan daging sapi Indonesia, akan dipenuhi 90% dari produksi domestik dan 10% dari impor. Salah satu tujuan penting PSDSK 2014 adalah perkembangan populasi dan perbaikan produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang terjamin aman, sehat, utuh, dan halal secara berkesinambungan (Rahutomo dkk., 2012).

(22)

2

perputaran modalnya cepat dengan resiko yang lebih kecil. Sementara di sektor hulu yang berupa aktivitas pembibitan dan budidaya sapi oleh peternak belum berjalan maksimal. Salah satu penyebabnya adalah ketersediaan pakan yang berkualitas dan terjamin ada sepanjang tahun. Pakan sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan populasi dan produktivitas sapi (Rahutomo dkk., 2012).

Salah satu strategi untuk menjawab tantangan tersebut adalah mengintegrasikan pemeliharaan sapi dengan sektor agribisnis lainya dengan pendekatan zero waste dan bila memungkinkan zero cost sehingga mampu menghasilkan berbagai jenis produk (food, feed, fertilizer, & fuel). Salah satu sektor agribisnis lain yang berpotensi besar untuk diintegrasikan dengan PSDSK 2014 adalah agribisnis kelapa sawit. Sumberdaya yang dimiliki perkebunan kelapa sawit berpotensi mampu menyediakan pakan yang melimpah dan berkualitas tanpa mengganggu produktivitas kebun itu sendiri. Sumber daya dimaksud adalah pelepah kelapa sawit dan bungkil inti sawit yang merupakan produk samping dari perkebunan kelapa sawit (Rahutomo dkk., 2012).

(23)

kelapa sawit (dalam kg/ha/tahun) adalah bahan kering bungkil inti sawit 470,58 kg, lumpur sawit 264,88 kg, dan serat perasan 2457,84 kg (Siahaan dkk., 2009).

Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang merupakan salah satu komponen penting dalam industri perkelapasawitan Indonesia, terpanggil untuk ikut berkontribusi mensukseskan program PSDSK 2014. PPKS menyusun program yang diberi nama Integrasi Sawit, Sapi, dan Energi (ISSE). Program ini merupakan sebuah paket teknologi pengandangan ternak sapi yang mengandalkan hasil samping dari agrobisnis kelapa sawit berupa pelepah dan bungkil inti sawit sebagai sumber pakan serta pemanfaatan limbah dari pengandangan menjadi sumber energi dan pupuk organik yang dikembalikan ke kebun. Salah satu hasil dari program ini berupa formulasi pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit berbentuk curah. Target dari program ini selanjutnya adalah dihasilkannya pakan ruminansia besar dan kecil dengan kadar protein 20% dan dikemas dalam bentuk pelet (Rahutomo dkk., 2012).

(24)

4

Berkaitan dengan dukungannya terhadap agroindustri sapi secara nasional, pakan jenis ini diharapkan dapat didistribusikan ke daerah-daerah sentra peternakan sapi di Pulau Jawa, Bali, atau daerah lain yang ketersediaan pakan hijauannya tidak terjamin sepanjang tahun seperti daerah Nusa Tenggara (Mariyono dan Romjali, 2007). Pendistribusian pakan ini menimbulkan konsekuensi bahwa pakan yang dikirimkan harus awet/tahan lama disimpan, ringkas, dan mudah penanganannya. Keadaan tersebut hanya bisa dipenuhi jika pakan yang didistibusikan dalam bentuk pelet, bukan dalam bentuk curah.

Ilmu peletisasi pakan ternak sebenarnya sudah muncul sejak awal abad ke-20. Di wilayah Eropa peletisasi pakan mulai dikenal sekitar tahun 1920 sedangkan di Amerika Serikat mulai tahun 1920-an (Schoeff, 1994 dalam Behnke, 2001). Popularitasnya semakin meluas sehingga sekitar 80% industri pakan di Amerika Serikat sudah berupa pakan pelet. Sekarang peletisasi pakan sudah semakin luas digunakan karena keuntungan baik secara fisik maupun nutrisi. Keuntungan secara fisik diantaranya memudahkan penanganan, mengurangi kehilangan nutrisi, mengurangi jumlah pakan yang tersisa, dan meningkatkan bulk density. Keuntungan secara nutrisi diukur melalui percobaan kepada hewan ternak (Falk, 1985 dalam Behnke 2001). Menurut Behnke (2001) pemberian pakan dalam bentuk pelet akan meningkatkan performa ternak dan konversi pakan bila dibandingkan dengan pakan dalam bentuk tepung.

(25)

unggas maupun ikan. Bahan baku pelet untuk unggas maupun ikan pada umumnya berbasis tepung, teksturnya halus, dan mengandung pati sehingga mudah dipeletkan. Sedangkan karakteristik bahan yang akan dipeletkan pada penelitian ini kebalikan dari karakteristik bahan baku pelet di atas, yaitu: berbasis biomasa, teksturnya kasar, dan tidak starchy. Oleh karenanya sangat dimungkinkan menemui kesulitan dan memerlukan perlakuan yang berbeda bila dibandingkan dengan proses pelleting untuk pakan unggas maupun ikan. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka penelitian ini akan mempelajari pembuatan pelet dari pakan lengkap ternak ruminansia yang berbasis biomassa kelapa sawit.

1.2. Perumusan Masalah

(26)

6

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kombinasi perlakuan terbaik antara diameter die, bahan pengikat, penambahan air panas dan jenis rajangan pelepah yang menghasilkan pelet berkualitas menurut parameter mutu indeks ketahanan pelet, hardness dan efisiensi pembuatan.

1.4. Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1. Variabel penelitian:

1.1. Variabel tetap:

a. Ransum pakan terdiri atas rajangan pelepah 33% (b/b), bungkil inti sawit 45% (b/b), dedak padi halus 15% (b/b), molasses 4% (b/b), garam 1% (b/b), mineral 1% (b/b), urea 1% (b/b).

b. Konsentrasi bahan pengikat: 7% (b/b)

c. Temperatur air panas yang ditambahkan: 100 ˚C

1.2. Variabel tidak tetap:

a. Jenis rajangan pelepah: diayak 9 mesh dan tidak diayak

b. Bahan pengikat: tanpa pengikat, tepung gaplek, tepung terigu industri c. Penambahan air panas: 24 %, 32%, 40 % (b/b)

d. Diameter die:

(27)

2. Rancangan percobaan dan analisa data: Rancangan acak lengkap 4 faktorial, analisa data menggunakan SPSS 18

3. Kualitas pelet diukur berdasarkan parameter: indeks ketahanan pelet,

hardness, dan efisiensi pembuatan pelet

4. Mesin pelleting yang digunakan berkapasitas 1000 kg/jam dengan die rata, dibuat oleh PT. Kaliber Mitra Sakti, Sidoarjo, Jawa Timur.

5. Penelitian dilakukan di Pilot Project Peletisasi Pakan Ternak di Kebun Aek Pancur milik PPKS, Tanjung Morawa, Deli Serdang.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan di bidang peternakan sapi terutama dalam hal penyediaan pakan lengkap awetan berbasis kelapa sawit dalam bentuk pelet beserta teknologinya.

(28)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomassa Kelapa Sawit

Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya 30%. Diantara faktor lingkungan, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar mencapai 60%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas, maka produktivitas yang tinggi tidak akan tercapai. Disamping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan mencapai 60-80% biaya produksi (Mariyono dan Romjali, 2007),

Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70%. Namun demikian karena ketersediaannya sangat terbatas maka pengembangan peternakan dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian. Strategi penyediaan pakan ternak dapat dilakukan dengan pemanfaatan limbah pertanian dan limbah agroindustri pertanian (Mariyono dan Romjali, 2007).

(29)

frond/OPF), daun, tandan kosong (empty fruit bunches/EFB), serat perasan (fiber), lumpur sawit (solid decanter/SD), dan bungkil inti sawit (palm kernel cake/PKC).

Ranjhnan (2001) mengemukakan bahwa produk samping industri kelapa sawit seperti ampas press, serat, lumpur sawit, bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan. Lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan sampai dengan 10% dari total pakan untuk ternak sapi dan babi. Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai sumber protein maupun energi. Menurut Siahaan dkk. (2009) daya dukung produk samping kelapa sawit menjadi bahan baku pakan adalah bahan kering pelepah mencapai 37,52 juta ton/tahun dari total tanaman kelapa sawit produktif. Sedangkan produk samping industri kelapa sawit (dalam kg/ha/tahun) adalah bahan kering bungkil inti sawit 470,58 kg, lumpur sawit 264,88 kg, dan serat perasan 2457,84 kg.

2.2. Pakan Ternak Ruminansia

2.2.1. Pakan Konsentrat

Konsentrat adalah pakan yang mengandung kepadatan nutrien tinggi, biasanya kadar serat kasarnya rendah (kandungan serat kasar kurang dari 18% bahan kering) dan kadar Total Digestible Nutrient (TDN) nya tinggi. Konsentrat dapat diberikan sebagai pakan tunggal atau dicampur dalam ransum seimbang untuk tujuan produksi tertentu. Ada dua macam pakan konsentrat, yaitu carbonaceous concentrate

(30)

10

adalah jenis pakan dengan kandungan TDN yang sangat tinggi tetapi rendah protein (8 – 11%), contohnya adalah biji-bijian sereal (jagung, oat, barley, gandum).

Proteinaceous concentrate atau bahan pakan sumber protein adalah jenis pakan yang

kandungan proteinnya tinggi (lebih dari 15%) misalnya bungkil kedelai, bungkil kacang, canola, biji bunga matahari, bungkil kelapa, tepung ikan (FAO, 1983).

Menurut Mariyono dan Romjali (2007), konsentrat sapi potong tidak selalu berbentuk konsentrat buatan pabrik (komersial), namun dapat berupa bahan pakan tunggal atau campuran beberapa bahan pakan. Introduksi penggunaan konsentrat sapi potong banyak digunakan untuk usaha penggemukan dan pada sapi induk dianjurkan sebesar 1-1,5% bobot badan. Kandungan gizi konsentrat sapi potong yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor bekerjasama dengan perusahaan pakan “Yellow Feed” adalah: kadar air maks 13%, protein kasar min

12%, lemak kasar maks 5%, serat kasar maks 15%, abu maks 10%, TDN min 63%, Ca 0,9% dan P 0,5% (Mariyono dan Romjali, 2007).

2.2.2. Pakan Lengkap

Complete feed (pakan lengkap) adalah kombinasi konsentrat dan pakan kasar

(roughages) dalam satu ransum (Sunarso et al., 2011). Pakan lengkap adalah

(31)

atau mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami (jerami padi, jerami jagung), dedak padi, bekatul, dapat juga menggunakan limbah industri pertanian seperti bungkil kelapa, bungkil sawit, bungkil kapuk, bungkil kacang, bungkil kedelai, onggok dan sebagainya. Bahan-bahan tersebut memiliki nilai nutrisi yang cukup untuk diolah sebagai bahan penyusun ransum pakan lengkap yang berkualitas (Soeharsono, 2004).

Keuntungan pemberian pakan lengkap yaitu peternak lebih bisa mengontrol program pemberian pakan, menghemat tenaga dan keseluruhan biaya produksi. Semua hijauan, biji-bijian, suplemen protein, mineral dan vitamin telah dicampur menjadi satu dan ternak akan mengonsumsi semuanya karena tidak bisa memilih bahan pakan yang disukai. Nutrien pakan lengkap telah disesuaikan menurut periode produksi, fisiologis ternak dan produksi yang ingin dicapai sehingga tidak berlebih maupun tidak kurang. Pemberian pakan lengkap lebih praktis saat diaplikasikan pada ternak ruminansia karena sudah mengandung hijauan dan konsentrat, sehingga tidak perlu ada interval waktu pemberian konsentrat dan hijauan. Kelemahan pakan lengkap yaitu lebih rumit dalam penyiapannya, ternak harus dikelompokkan berdasarkan produksinya (terutama untuk ternak perah) karena kebutuhan nutriennya berbeda-beda, diperlukan peralatan yang memiliki kapabilitas untuk mencampur seluruh komponen pakan secara akurat (Schroeder and Park, 2010).

(32)

12

dikembangkan tersebut adalah: kadar air maks 15%, protein kasar 9-12%, lemak kasar maks 4%, serat kasar 20%, abu maks 10%, TDN min 60%, Kalsium 1,0% dan P 0,5%. Pakan tersebut banyak digunakan untuk penggemukan dan pembibitan sapi di wilayah yang tidak tersedia pakan hijauan sepanjang tahun seperti di daerah Nusa Tenggara.

2.2.3. Pakan Berbasis Biomassa Kelapa Sawit

Bahan pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit hasil formulasi PPKS terdiri atas rajangan pelepah kelapa sawit, bungkil inti sawit, dedak padi halus, molasses, garam, mineral, dan urea (Rahutomo dkk, 2012). Komposisi bahan pakannya bervariasi tergantung peruntukannya, untuk penggemukan berbeda dengan untuk pembiakan seperti terlihat pada Tabel 2.1. berikut ini.

Tabel 2.1. Komposisi pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit untuk penggemukan dan pembiakan sapi

No Komponen Penggemukan Pembiakan

1 Rajangan pelepah (%) 50 78

(33)

Tabel 2.2. Kandungan nutrisi pelepah kelapa sawit

(34)

14

Tabel 2.4. Kandungan nutrisi pakan lengkap berbasis biomassa kelapa sawit

No Nutrisi Besaran Satuan

Penelitian formulasi pakan ternak oleh PPKS ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2006. Sampai dengan tahun 2012 sudah berhasil ditemukan beberapa hal sebagai berikut :

a. Hasil samping industri kelapa sawit yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan adalah pelepah kelapa sawit mulai dari pangkal sampai ujung daun, dan bungkil inti sawit.

b. Mesin pencacah pelepah kelapa sawit generasi ke-5 (G5-700-PPKS) yang mampu mencacah pelepah kelapa sawit segar dari pangkal pelepah hingga ujung daun.

(35)

d. Formulasi pakan yang tepat dan berbeda untuk pembibitan dan penggemukan.

e. Teknologi biogas dari kotoran sapi

f. Teknologi pupuk organik cair maupun padat dari kotoran sapi

Sedangkan target penelitian selanjutnya adalah dihasilkannya pakan ruminansia besar dan kecil dengan kadar protein 20% dan dikemas dalam bentuk pelet (Rahutomo dkk, 2012).

2.3. Pelet Pakan Ternak

Menurut Pathak (1997), peletisasi adalah proses pengolahan pakan tunggal, konsentrat ataupun pakan lengkap menjadi bentuk silindris dan pakan yang dihasilkan disebut pelet. Caranya bahan pakan dimasukan ke dalam mesin pelleting kemudian melalui proses ekstrusi bahan pakan tersebut ditekan masuk melalui lubang die dengan diameter yang diinginkan dan hasilnya berupa pakan berbentuk pelet/silinder. Proses pembuatan pelet dapat dilakukan dengan ataupun tanpa perlakuan temperatur maupun pengikat (binder).

(36)

16

Selain dibentuk silindris, pelet pakan juga dibuat dalam bentuk lain misalnya oval, segitiga, bujur sangkar dan persegi panjang. Yang berbentuk segitiga disebut prisma sedangkan yang bersegi empat berukuran kecil diagonal sekitar 35 mm disebut wafers, sedangkan yang berukuran lebih besar disebut block dan briket. Peletisasi pakan ternak bertujuan untuk:

1. Meminimalkan terbentuknya debu dan partikel-partikel halus lainnya yang akan menyulitkan bagi pekerja pada saat pengolahan maupun pada hewan ketika akan memakannya.

2. Memastikan konsumsi nutrisi tertentu yang kurang disukai atau bahkan tidak disukai sama sekali oleh hewan tertentu.

3. Mengurangi jumlah pakan yang tidak termakan/tersisa, karena dengan berbentuk pelet maka sisa pakan mudah dikumpulkan dan bisa diberikan kembali kepada hewan ketika sudah dicampur dengan pelet yang baru. 4. Menjamin keseragaman distribusi dan konsumsi zat gizi dalam campuran

pakan.

5. Mengurangi volume sehingga menghemat tempat untuk penyimpanan, sedangkan densitasnya meningkat sehingga meningkatkan efisiensi konsumsi pakan.

6. Relatif tidak akan ada zat gizi pakan yang hilang jika dibuat dalam bentuk pelet dibandingkan dalam bentuk curah.

(37)

Berdasarkan ada tidaknya molasses sebagai pengikat, pelet dibedakan menjadi dua yaitu pelet keras dan pelet lunak. Pelet keras adalah pelet yang tidak menggunakan pengikat (berupa molasses) ataupun kalau ada jumlahnya tidak lebih dari 10%. Sedangkan pelet lunak menggunakan molasses sebagai pengikat jumlahnya berkisar antara 30-40%. Selain itu, bentonit, kalsium oksida dan kalsium karbonat dapat juga digunakan sebagai pengikat pada pelet lunak (Pathak, 1997).

2.3.1. Proses Produksi Pelet

(38)

18

banyak yang pecah atau kualitas pelet menjadi terkoreksi (Krisnan dan Ginting, 2009).

Berdasarkan karakteristik bahan bakunya, pembuatan pakan pelet dari biomassa kelapa sawit memerlukan penambahan tahapan proses yaitu:

a. Penambahan bahan pengikat (binder)

Binder merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pelleting. Fungsi

dari bahan pengikat dalam pelleting adalah untuk meningkatkan kekompakan bahan yang hendak dibuat pelet. Pemilihan dan penggunaan jumlah bahan pengikat dalam pembuatan pelet perlu diperhatikan. Jika terlalu sedikit digunakan, pelet yang dihasilkan tidak sempurna atau mudah pecah. Sebaliknya, jika terlalu banyak digunakan maka pori-pori bahan pelet akan tertutup.

(39)

Menurut Mardiana (2011) bahan pengikat yang umum digunakan berupa: gula dan polimer, polimer alam: starch (amilum) dan gum (acacia, tragacanth, gelatin), dan polimer sintetik: metil selulosa, etil selulosa, dan hidroksi propil selulosa.

Dari bahan-bahan di atas, amilum merupakan salah jenis perekat alami yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Amilum (C6H10O5)n, merupakan

cadangan makanan utama bagi tumbuhan dan dua per tiga bagian dari kalori karbohidrat yang dibutuhkan oleh kebanyakan manusia. Ketersediaannya yang banyak di pasaran (meliputi gandum, jagung, beras, kentang, dan lain-lainnya), kemudahan dalam penggunaannya, serta daya rekatnya yang telah terbukti (sebagai perekat pada pelet pakan ternak, amplop, perangko, dan lain sebagainya) membuat penggunaan amilum kian diminati. Akan tetapi, amilum juga memiliki kekurangan berupa sifat alir dan kompresibilitasnya yang kurang baik sehingga dibuat amilum pregelatinasi (Bolhuis dan Chouhan, 1996 dalam Mardiana (2011).

Amilum pregelatinasi merupakan pati amilum yang dibuat menjadi pati pregelatinasi dengan cara memanaskan suspensi pati hingga suhu gelatinasi kemudian didinginkan. Pada umumnya amilum yang normal memiliki dua tipe polimer D-glucopyranose, yakni amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer dari unit α-D-glucopyranosyl yang sebagian besar terdiri atas rantai lurus.

Amilosa ini bersifat tidak larut dalam air dingin, mengembang pada suhu tinggi, dan kurang lekat. Adapun amilopektin merupakan polimer berantai cabang dari unit α

(40)

20

mempengaruhi sifat dari pati itu sendiri. Tabel 2.5menunjukkan kandungan amilosa dan amilopektin pada beberapa sumber pati.

Tabel 2.5. Karakteristik beberapa jenis pati Jenis Pati Bentuk Granula Ukuran Sumber: Knight (1969) dalam Mardiana (2011)

(41)

Bahan-bahan yang sering digunakan sebagai perekat pelet antara lain: a.1. Tepung gaplek

Tepung gaplek merupakan hasil olahan ubi kayu yang diperoleh dari menumbuk atau menggiling gaplek sehingga diperoleh tepung dengan ukuran maksimum 100 mesh. Di masa lalu, umbi ubi kayu diekspor ke Eropa untuk bahan baku wiski kelas rendahan. Selain itu, ubi kayu juga diproses menjadi produk tapioka olahan, seperti paarl, seeds, vlokken, dan shifting. Amerika Serikat (AS), mengolah tepung tapioka untuk berbagai keperluan, antara lain industri kayu, tekstil, sampai industri bahan perekat. Saat ini ubi kayu banyak diekspor ke AS dan Eropa dalam bentuk tapioka. Negara-negara tersebut, memanfaatkan ubikayu sebagai bahan baku industri pembuatan tepung tapioka dan tepung gaplek serta bahan pembuatan alkohol, etanol, dan gasohol. Tepung tapioka juga digunakan dalam industri lem, industri kimia, dan tekstil (Khudori, 2003).

(42)

22

Syamsu (2007) melakukan penelitian pembuatan pakan pelet untuk itik dengan perlakuan pemberian bahan perekat berupa tepung tapioka dan tepung gaplek dan lama waktu penyimpanan pengaruhnya terhadap sifat fisik pakan. Penambahan 5% tepung gaplek menghasilkan sifat fisik terbaik yaitu sudut tumpukan 33.31˚ dan

daya ambang 6.15 m/detik. Sedangkan penambahan 5% tepung tapioka dalam ransum pelet menghasilkan sifat fisik terbaik yaitu kerapatan tumpukan sebesar 549 kg/m3 dan kerapatan pemadatan tumpukan sebesar 746 kg/m3. Sara (2003), menyatakan bahwa dengan penambahan 6% tepung gaplek sebagai bahan perekat pada ransum bentuk pelet menghasilkan sifat fisik yang terbaik.

a.2. Tepung terigu industri

Tepung terigu industri diperoleh dari pengolahan biji gandum. Kualitasnya di bawah tepung terigu untuk pangan. Sifat gandum banyak ditentukan oleh protein yang dikandungnya. Jenis protein yang terdapat pada gandum adalah albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam garam netral), gliadin (larut dalam etanol 70%), dan glutenin (tidak larut dalam alkohol tetapi larut dalam basa atau asam encer). Kandungan protein dapat berbeda-beda tergantung jenis dan tempat gandum tersebut tumbuh. Selain protein, gandum juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang terdapat dalam gandum sebagian besar adalah pati, dan pati merupakan senyawa yang tidak larut dalam air (Makfoel, 1982).

(43)

tepung terigu adalah pati dengan kandungan amilosa 20 – 26% dan amilopektin 70-75%. Sedangkan suhu gelatinisasinya sekitar 56–62˚C. Yang harus dipertimbangkan

dalam tepung terigu adalah terutama kadar proteinnya karena berkaitan erat dengan kadar glutein. Bila dicampur dengan air, partikel-partikel glutein terhidrasi dan bila dikocok atau diaduk terjadi kecenderungan memanjang atau membentuk serabut-serabut (Winarno, 1991).

Utomo dkk, (2013) melakukan penelitian pembuatan briket bioarang dari limbah furnitur enceng gondok dengan perekat tepung tapioka dan tepung terigu. Briket dengan perekat tepung terigu mempunyai nilai kalor yang lebih tinggi dari briket yang perekatnya tepung tapioka.

b. Penambahan air panas

Penambahan air panas merupakan modifikasi proses conditioning untuk produksi pelet skala kecil. Pada umumnya proses peletisasi skala kecil menggunakan mesin yang tidak dilengkapi dengan instrument injeksi uap. Uap dipakai sebagai media conditioning untuk menaikan suhu dan kadar air, dimana keduanya berperan pada proses gelatinisasi pati.

Zalizar dkk, (2012) melakukan penelitian pembuatan pelet pakan kambing dengan perlakuan penambahan air sebanyak 1/6 dan 1/4 dari berat bahan pakan.

Perlakuan yang diberi air sebanyak 1/6, warna peletnya kehitaman, bentuknya tidak

kompak (mudah hancur), konsistensinya kurang padat dan palatabilitas kambing

(44)

24

bentuknya kompak (tidak mudah hancur), konsistensi padat dan palatablitas kambing

terhadap pakan tersebut tinggi.

Retnani dkk, (2010) melakukan penelitian uji sifat fisik ransum ayam broiler bentuk pelet yang ditambahkan perekat onggok/ampas ubi kayu (0,2,4,6%) melalui proses penyemprotan air 0, 5, 10, 15, 20%. Hasilnya pelet dengan penambahan perekat onggok sebanyak 4% dengan penyemprotan air 5% dapat dikatakan mempunyai sifat fisik yang baik dilihat dari kadar air, berat jenis, aktivitas air, kadar kehalusan, ketahanan benturan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, dan sudut tumpukan.

2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Pelet

A. Adhesi pelet

(45)

Terjadinya perekatan bahan pada proses peletisasi melalui mekanisme:

mechanical interlocking, difusi, dan adsorpsi. Kinlock (1987) dalam Behnke (2001)

menjelaskan mechanical interlocking terbentuk ketika bahan perekat mengenai permukaan bahan kasar, mengeras dan kemudian mengikat masing-masing bahan menjadi satu. Teori difusi didasarkan oleh difusi polimer pada lapisan antarmuka pada permukaan bahan. Difusi terjadi ketika bahan dipanaskan kemudian menyebar melewati lapisan antarmuka diantara dua bahan. Peristiwa ini dapat terjadi hanya ketika suhu polimer di bawah suhu transisi gelas dari polimer tersebut. Adsorpsi terjadi oleh adanya gaya interatomik maupun inter molekuler antara permukaan bahan perekat dan bahan pakan. Gaya yang berperan adalah gaya ionik, kovalen, interaksi ikatan hidrogen dipol dan gaya Van der Waal.

B. Rheologi Bahan Pakan

(46)

26

daerah amorph polimer mulai menunjukkan relaksasi ataupun menjadi labil disebut sebagai suhu transisi gelas. Suhu transisi gelas dari beberapa bahan telah dilaporkan oleh para peneliti yaitu: pati oleh Zelesnak & Hoseney (1986), wheat gluten oleh Slade (1984); Hoseney (1986), gluten jagung oleh Lawton (1982) dalam Behnke (2001).

Suhu transisi gelas suatu bahan berbanding terbalik dengan kadar airnya. Jika kadar air pada suatu bahan meningkat maka suhu transisi gelasnya menurun. Ramuan bahan pakan mempunyai suhu transisi gelas lebih rendah dari suhu normalnya dihubungkan dengan kondisi proses (70-90˚C) ketika kadar air bahan antara 15 dan

18%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pakan mulai mengalir selama proses

conditioning maupun pelleting. Jumlah dan lokasi bahan pakan yang mengalir

tergantung kepada suhu dan lokasi air (di permukaan ataupun di dalam partikel). Jumlah pati yang tergelatinisasi maupun yang rusak telah diteliti dan hasilnya menunujukkan tidak ada pengaruh terhadap kualitas pelet (Stevens (1987) dan Lopez (1993) dalam Behnke (2001)). Pati yang rusak lebih banyak ditemukan di luar permukaan pelet pada perlakuan temperature lebih rendah. Walaupun begitu ditemukan juga pati yang rusak menurun ketika perlakuan temperature meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerusakan pati lebih disebabkan oleh gesekan mekanis antara permukaan die dengan pati dan bukan karena tingginya perlakuan hydrothermal saja.

(47)

kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk tepung terdenaturasi. Pada penambahan pati dalam keadaan pregelatinisasi akan meningkatkan kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk normalnya. Wood menyimpulkan bahwa protein berpengaruh lebih besar terhadap kualitas pelet dari pada pati. Penemuan ini telah diperkuat oleh Briggs et al, (1999). Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat gelatinisasi pati kemungkinan tidak sepenting dengan lokasi terjadinya gelatinisasi. Gelatinisasi pati yang terjadi pada permukaan bahan pakan merupakan titik kritis pembentukan ikatan intra partikel yang berperan penting pada pembentukan kekuatan, durabilitas pelet. Gelatinisasi pati yang terjadi pada antarmuka partikel dirangkai dengan plastisisasi protein akan menghasilkan difusi polimer antara granula pati dan molekul protein yang akan menghasilkan perekatan partikel.

C. Pengaruh Formulasi Pakan

(48)

28

(1989) melaporkan peningkatan durabilitas pellet pakan babi pada peningkatan pemberian gandum yang meningkat dari 0-45%. McKee (1988) dalam Behnke (2001) terjadi peningkatan kualitas pelet dan stabilitas air pada pakan ikan patin dengan meningkatkan penambahan wheat gluten dari 0-10%. Lopez (1993) dalam Behnke (2001) juga melaporkan penambahan wheat gluten menghasilkan pengaruh positif pada kualitas pelet dan stabilitas air, akan tetapi dengan penambahan tepung ubi kayu berpengaruh negatif.

D. Pengaruh Ukuran Partikel

Pengecilan ukuran partikel bahan pakan menghasilkan pertambahan luas permukaan persatuan volume. Partikel yang lebih kecil akan mempunyai titik kontak yang lebih banyak dibandingkan dengan partikel yang lebih besar. Anand (1970) dalam Behnke (2001) menunjukkan titik kontak antar butiran polystyrene meningkat sebanyak 3 atau 4 atau 7 kali pada pengurangan ukuran butiran sebanyak 3 atau 4 atau 7 kali partikel persatuan luas.

(49)

Industri pakan pelet ikan melakukan penggilingan bahan pakan sehingga ukuran partikelnya kurang dari 250µ untuk mendapatkan pelet dengan stabilitas air yang tingi. Dengan mengkombinasikan ukuran partikel kecil dan waktu, perlakuan suhu tinggi menghasilkan pelet yang mempunyai stabilitas air paling baik.

E. Conditioning

Pentingnya perlakuan uap telah dihitung oleh Skoch dkk, (1981) dengan membandingkan peletisasi cara kering dengan peletisasi menggunakan perlakuan uap. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa perlakuan uap memperbaiki durabilitas pelet, rata-rata produksi dan menurunkan jumlah partikel halus sisa pakan serta menurunkan konsumsi energi. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa uap berperan sebagai “pelumas” untuk mengurangi gesekan selama peletisasi.

Menurut Reimer (1992) dalam Behnke (2001), kualitas pelet secara proporsional dipengaruhi oleh faktor: formulasi pakan (40%), ukuran partikel (20%),

conditioning (20%), spesifikasi die (15%), pendinginan dan pengeringan (5%). Jika

ini benar maka kualitas pelet 60% ditentukan oleh bahan sebelum masuk conditioner dan akan meningkat menjadi 80% setelah keluar dari conditioner sebelum masuk ke dalam ruang die pada mesin pelet.

(50)

30

pelet dari bahan rumput-rumputan yaitu jerami pohon gandum, barley (jewawut), tongkol jagung dan switchgrass dengan variasi tekanan proses sebesar 1000, 2000, 3000, 4000 & 4400 N. Hasilnya pada tekanan yang rendah, pelet dari tongkol jagung mempunyai densitas paling tinggi. Tekanan proses, kadar air dan ukuran partikel berpengaruh nyata terhadap densitas pelet dari jerami barley, tongkol jagung dan switchgrass.

Telah ada beberapa penelitian untuk mempelajari pengaruh 2 faktor pertama yaitu formulasi pakan dan ukuran partikel terhadap kualitas pelet. Stevens (1987) dan Winowiski (1998) membandingkan durabilitas pelet dari bahan pakan yang mengandung jagung dengan bahan pakan yang sebagian ataupun seluruh komponen jagung diganti dengan gandum. Pada kedua hal di atas durabilitas pelet yang lebih tinggi berasal dari bahan pakan yang mengandung gandum. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan protein kasar pada gandum (13%) sedangkan pada jagung (9%). Penemuan ini didukung oleh Briggs et al, (1999) yang menemukan peningkatan kadar protein pakan ayam dari 16,3 ke 21% akan meningkatkan rata-rata durabilitas pelet dari 75,8 ke 88,8%.

(51)

seragam. Steven (1987) melakukan penelitian peletisasi bahan pakan yang mengandung jagung ataupun gandum, menemukan fakta bahwa ukuran partikel tidak berpengaruh terhadap durabilitas pelet.

Mani et al, (2006) melakukan penelitian pembuatan pelet dari bahan rumput-rumputan yaitu jerami pohon gandum, barley (jewawut), tongkol jagung dan

switchgrass dengan ukuran partikel 3,2; 1,6; 0,8 mm. Hasilnya ukuran partikel sangat

berpengaruh terhadap densitas pelet terutama pada bahan baku yang berasal dari jerami barley, tongkol jagung dan switchgrass.

Carone et al, (2011) melakukan penelitian pembuatan pelet yang bahan bakunya berasal dari pelepah pohon Olea europaea L. dengan ukuran partikel sebesar 1, 2, 4 mm. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran partikel menjadi salah satu faktor penting pada terbentuknya pelet yang baik. Perlakuan dengan temperatur tinggi, kadar air rendah dan ukuran partikel yang semakin kecil merupakan kondisi yang ideal untuk menghasilkan pelet yang baik.

F. Spesifikasi Die

(52)

32

menyampaikan bahwa dengan memakai die yang lebih tipis akan menurunkan kualitas pelet dan mengurangi konsumsi energi pada produksi pelet dari ransum rendah lemak.

Menurut Pathak (1997), diameter pelet ditentukan oleh jenis hewan yang akan mengkonsumsinya. Pelet yang berasal dari pakan jenis konsentrat diameternya antara 5 – 15 mm dengan panjang antara 7 – 20 mm pada umumnya untuk ikan dan unggas. Sedangkan pelet yang berasal dari jenis pakan yang berbasis biomassa diameternya lebih besar yaitu antara 10 – 20 mm dengan ukuran panjang yang hampir sama biasanya untuk hewan mamalia sedang maupun besar seperti kambing/domba dan sapi.

Selain karena alasan di atas, besarnya ukuran die untuk pelet yang berasal dari bahan berbasis biomassa disebabkan oleh karakteristik bahan baku tersebut. Bahan pakan yang berbasis biomassa pada umumnya mempunyai ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan bahan pakan yang berbasis tepung, sehingga akan relatif lebih sulit untuk dibuat pelet jika ukuran lubang die-nya kecil (฀ 8 mm).

2.3.3. Parameter Mutu Pelet

(53)

Pelet harus tahan terhadap benturan selama penanganan mulai dari proses pembuatan sampai ketika pelet akan diberikan kepada ternak.

Kualitas pelet sulit untuk diukur karena merupakan kombinasi dari banyak faktor, diantaranya adalah pengalaman petugas analisa. Beberapa faktor yang sering dihubungkan dengan istilah kualitas pelet dapat dilihat pada Tabel 2.6. Subjektif artinya bahwa pengukuran faktor tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh pendapat pribadi dan sulit untuk distandarkan. Seperti misalnya menentukan warna pelet memang mudah, tetapi memastikan jenis warna yang mana yang menandakan kualitas pelet tertentu adalah sangat dipengaruhi pendapat pribadi. Demikian juga dengan menentukan textur pelet. Parameter mutu yang secara objektif dapat diukur adalah indeks ketahanan pelet dan hardness.

Table 2.6. Kualitas pelet dan karakteristik analisanya

NO KUALITAS PELET KARAKTERISTIK ANALISA

(54)

34

pelet mempertahankan bentuknya dari tekanan dan goncangan selama penanganan proses dan distribusi. Durabilitas pelet dapat diukur menggunakan dua metode yaitu

pneumatic/hembusan dan mekanis.

a.1. Pengukuran durabilitas pelet secara hembusan

Pengukuran dengan metode ini menggunakan alat yang disebut The

Borregaard LT Portable Pellet Tester. Caranya adalah dengan menimbang 100 gram

pelet yang sudah disaring kemudian dimasukkan ke dalam alat dan akan terbentur ke dinding oleh hembusan angin yang kuat. Kemudian pelet secara otomatis tersaring, pelet yang masih utuh ditimbang. Prosentase jumlah pelet yang masih utuh merupakan nilai durabilitas pelet. Metode ukur ini bersifat kompak, cepat, akurat, repeatable dan bebas debu (Payne et al, 2001).

a.2. Pengukuran durabilitas pelet secara mekanis

Pengukuran dengan metode ini menggunakan alat yang disebut Tumbling can

(ASAE) Method. Caranya dengan menimbang 500 gram pelet yang sudah disaring

kemudian dimasukkan ke dalam alat. Ketika alat dihidupkan maka pelet akan mengalami goncangan akibat jatuh bergulingan (tumbling) di dalam alat. Setelah selesai proses kemudian sampel disaring dan ditimbang. Prosentase jumlah pelet yang masih utuh merupakan nilai durabilitas pelet (Payne et al, 2001).

(55)

ke pendingin oleh bucket elevator dan conveyor serta ketika dimasukan ke dalam

holding bins. Pelet akan dikemas untuk dijual eceran atau dikapalkan yang tentu saja

akan mengalami goncangan lagi selama penanganan untuk sampai kepada peternak. Ketika pakan sampai pada ternak, jumlah pakan yang hancur dibandingkan dengan yang masih utuh meningkat.

Nilai durabilitas pelet yang baik telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Pelet bahan bakar dikatakan bermutu baik jika nilai durabilitasnya di atas 80%, sedang jika di antara 70-80%, dan rendah jika di bawah 70%, (Tabil (1996) dan Adapa et a,l (2003) dalam Fasina (2008)). Menurut Dozier (2001) kualitas pelet yang optimum harus mempunyai indeks ketahanan di atas 96%.

b. Hardness

Hardness pada umumnya diukur menggunakan Spring Hardness Tester yaitu

(56)

36

hardness penting untuk menghindari pecahnya pelet pada saat disimpan dalam bulk

silo.

Celma et al, (2012) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pelet yang dihasilkannya mempunyai nilai hardness paling tinggi (88 N) pada kadar air bahan 34%. Dia memvariasikan kadar air bahan baku pelet pada 20, 24, 28, 34, dan 37%. Thomas (1998) melaporkan durabilitas dan hardness pelet barley dipengaruhi oleh kondisi proses sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7. Pengaruh Kondisi Proses Terhadap Durabilitas dan Hardness Pelet Barley

(57)
(58)

38

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan utamanya di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) baik di kantor pusat Jl. Brigjen Katamso No.51, Medan maupun di Kebun Percobaan Aek Pancur, Tanjung Morawa, Deli Serdang. Namun untuk analisa tertentu yang tidak bisa dilakukan di PPKS akan dilakukan di:

1. Workshop PT. Kaliber Mitra Sakti, Sidoarjo, Jawa Timur untuk uji pertama pelleting sampel pakan.

2. Laboratorium Quality Control PT. Charoen Pokphand Indonesia, Medan untuk uji mutu pelet: indeks ketahanan peletdan hardness.

Sedangkan waktu penelitian berlangsung mulai Bulan November 2013 sampai dengan Januari 2014.

3.2. Bahan dan Peralatan Penelitian

3.2.1. Bahan-bahan penelitian

Bahan-bahan untuk penelitian ini terdiri atas:

(59)

Tabel 3.1. Komposisi ransum pakan lengkap

No Komponen Nilai Satuan Sumber

1 Rajangan pelepah 33 % (b/b) Kebun Aek Pancur, PPKS 2 Bungkil inti sawit 45 % (b/b)

CV. Dian Utama, Medan (Rekanan PPKS) 3 Dedak padi halus 15 % (b/b)

4 Molases 4 % (b/b)

5 Garam 1 % (b/b)

6 Mineral 1 % (b/b)

7 Urea 1 % (b/b)

2. Air panas 100˚C, diperoleh dengan cara memanaskan air hingga mendidih

menggunakan kompor gas.

3. Tepung gaplek dibeli di daerah Tanjung Morawa, Deli Serdang.

4. Tepung terigu industri dibeli dari PT. Agrifirst Indonesia, Kawasan Industri (KIM) II, Medan

3.2.2. Peralatan Penelitian

Peralatan untuk penelitian ini terdiri atas:

1. Mesin pencacah pelepah kelapa sawit G5-700 dan mesin pencampur pakan lengkap buatan PPKS apat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Mesin pencacah pelepah kelapa sawit (a) dan mesin pencampur pakan lengkap (b).

(60)

40

2. Mesin pengayak rajangan pelepah dengan ukuran ayakan 9 mesh buatan PPKS (Gambar 3.2.)

Gambar 3.2. Mesin pengayak rajangan pelepah

3. Mesin pelleting dibeli dari PT. Kaliber Mitra Sakti dengan jenis die rata (Gambar 3.3.) dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Gambar 3.3. Mesin Pelleting (a), Roller die (b) dan Flat die (c) (a)

(61)

Tabel 3.2. Spesifikasi Mesin Pelleting “Kaliber”

NO SPESIFIKASI NILAI SATUAN

1 Mesin pelet flat die "Kaliber"

a. Tipe K.360 2

b. Kapasitas 1000 kg/jam

c. Tenaga 22 - 30 KW - HP

d. Kecepatan putaran 1470 rpm

e. Voltase 380/660 V

a. Merk Alliance-Italy IEC 34-1

b. Tipe AY 180L-4

c. No 12273

d. Tenaga 22 - 30 KW - HP

e. Voltase 380/660 V

f. Kecepatan putaran 1470 rpm

6 Motor conveyor feeder :

a. Merk Alliance-Italy IEC 34-1

b. Tipe Y 80 L-4

c. No 252

d. Tenaga 1,5 - 2 KW - HP

e. Voltase 380 V

f. Kecepatan putaran 1440 rpm

7 Conveyor :

a. Merk YUEMA W Gear

b. Nomor seri 110509

(62)

42

4. Holmen Pellet Tester milik Laboratorium Quality Control PT. Charoen

Pokphand Indonesia(Gambar 3.4.)

Gambar 3.4. Holmen Pellet Tester

5. Stokes Hardness Tester milik Laboratorium Quality Control PT. Charoen

Pokphand Indonesia (Gambar 3.5.)

(63)

6. Timbangan merk ACS AD 3000H dengan tingkat ketelitian 2 desimal 7. Oven merk “Memmert”

3.3. Prosedur penelitian

3.3.1. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap 4 Faktorial dengan faktor: diameter die, bahan pengikat, penambahan air panas, dan jenis rajangan pelepah dalam level seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.3. Faktor dan level perlakuan penelitian

KODE FAKTOR LEVEL

A Diameter die A1: 8 mm, tebal 40 mm (rasio L:D = 5) A2: 10 mm, tebal 30 mm (rasio L:D = 3) B Bahan Pengikat B1: Tanpa bahan pengikat

B2: Tepung gaplek 7% (b/b) B3: Tepung industri 7% (b/b) C Penambahan air panas 100 C˚ C1: 24 % (b/b)

C2: 32% (b/b) C3: 40% (b/b) D Jenis rajangan pelepah D1: Diayak 9 mesh

D2: Tidak diayak

(64)

44

3.3.2. Pelaksanaan Kegiatan Penelitian

Pembuatan pelet pada penelitian ini dimulai dengan penyiapan ransum pakan lengkap curah (Gambar 3.6.). Pelepah kelapa sawit segar dirajang menggunakan mesin perajang G5-700 buatan PPKS. Rajangan pelepah kemudian dipersiapkan sebagai salah satu varibel penelitian dengan perlakuan tidak diayak (D2) dan diayak menggunakan saringan 9 mesh (D1). Kedua jenis rajangan pelepah kemudian dicampur dengan bahan-bahan konsentrat lainya menggunakan mesin pencampur buatan PPKS untuk menghasilkan ransum pakan lengkap curah dengan komposisi seperti pada Tabel 3.1. Kemudian sampel pakan lengkap curah sebanyak 15 kg dipersiapkan untuk dibuat pelet.

(65)
(66)

46

Gambar 3.7. Diagram alir proses pembuatan pelet pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomasa kelapa sawit

Pengeringan oven 105° C sampai berat konstan

(67)

3.4. Prosedur Analisa Mutu Pelet

Parameter mutu pelet yang dianalisa meliputi: pellet durability index/PDI,

hardness dan efisiensi pembuatan pelet. Adapun prosedur analisa dari ketiga

parameter mutu tersebut dijelaskan sebagai berkut.

1. Pellet Durability Index (PDI) dengan alat Holment Pellet Tester (ASAE S269.4):

Prosedur analisa:

a. Sampel pelet diambil

b. Disaring untuk mendapatkan sampel pelet utuh c. Ditimbang sampel pelet utuh sebanyak 100 gram (P) d. Sampel dimasukan ke dalam Holmen Pellet Tester e. Hidupkan mesin selama 10 menit

f. Sampel dikeluarkan dari mesin dan kemudian disaring g. Ditimbang sampel pelet yang masih utuh (S)

... (3.1.)

2. Hardness dengan alat Stokes Hardness Tester (ASAE S269.4)

Prosedur analisa:

(68)

48

b. Sampel pelet diambil dan dimasukan pada ruang di ujung alat, kemudian pegas dikencangkan sehingga pelet terjepit antara piston dan penahan. Posisi tersebut merupakan titik 0 kg hardness pelet (A)

c. Pegas dikencangkan dengan cara menggerakan uliran as sampai pelet pecah (B)

...(3.2.)

3. Efisiensi Pembuatan Pelet Prosedur analisa:

a. Sampel ransum pakan yang akan dipeletkan ditimbang b. Ransum dipeletkan

c. Sampel ransum yang tercetak menjadi pelet ditimbang (X) d. Sampel ransum yang tidak tercetak menjadi pelet ditimbang (Y)

(69)

49

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Indeks Ketahanan Pelet

Nilai Indek Ketahanan Pelet (Pellet Durability Index/PDI) yang dihasilkan pada kombinasi perlakuan yang berbeda ditunjukkan pada Lampiran 1. Analisa statistik menunjukkan bahwa variabel penelitian berpengaruh nyata terhadap indeks ketahanan pelet, kecuali variabel penambahan air panas. Oleh karena itu tampilan data pada Tabel 4.1. berikut ini berbeda dengan Lampran 1 karena dilakukan penghitungan rata-rata nilai indeks ketahanan yang disebabkan oleh tidak berpengaruhnya faktor penambahan air panas tesebut (Lampiran 3). Grafik dari tampilan data Tabel 4.1. dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Tabel 4.1. Indeks ketahanan pelet (%) dari pelet pakan ternak berbasis biomassa kelapa sawit pada variabel yang diamati

Perlakuan

(70)

50

Keterangan :

A1: Diameter die 8 mm tebal 40 mm; A2: diameter die 10 mm tebal 30 mm; B1: tanpa pengikat; B2: Tepung gaplek 7%; B3:

tepung Industri 7%; D1: diayak 9 mesh; D2: tidak diayak

Gambar 4.1. Indeks ketahanan pelet dari pelet pakan ternak berbasis biomassa kelapasawit pada variabel yang diamati

4.1.2. Hardness

Pengaruh kombinasi perlakuan faktor terhadap hardness pelet dapat dilihat pada Gambar 4.2. Analisa statistik menunjukkan bahwa keempat variable penelitian berpengaruh nyata terhadap hardness. Diamter die dan bahan pengikat berpengaruh sangat nyata (p = 0,000), sedangkan penambahan air dan jenis rajangan pelepah berpengaruh nyata (p = 0,011) dan (p = 0,002).

Berdasarkan Tabel 4.2. menunjukkan hardness pelet yang dihasilkan pada penelitian ini, beragam mulai dari yang terendah 2,28 kg dan yang tertinggi 12,16 kg. Gambar 4.2. menunjukkan nilai hardness pelet yang dihasilkan dari penelitian,

0

Kombinasi Perlakuan Diamater Diedan Jenis Rajangan Pelepah

B1

B2

(71)

dibuat dengan mengelompokkan data berdasarkan variasi diameter die (A1 dan A2) dan jenis rajangan pelepah (D1 dan D2).

Tabel 4.2. Hardness pelet (kg) dari biomassa kelapa sawit pada variasi bahan

pengikat, penambahan air panas, diameter die dan jenis rajangan pelepah

Kombinasi

C3: Penambahan Air panas 40% (b/b)

(72)

52

Keterangan :

A1: Diameter die 8 mm tebal 40 mm; A2: diameter die 10 mm tebal 30 mm; B1: tanpa pengikat; B2: Tepung gaplek 7%; B3: tepung Industri 7%; D1: diayak 9 mesh; D2: tidak diayak

Gambar 4.2. Pengaruh variasi bahan pengikat dan penambahan air panas pada variasi diameter die dan jenis rajangan pelepah terhadap hardness pelet

(73)

4.1.3. Efisiensi Pembuatan Pelet/EPP

Berdasarkan Tabel 4.3. dan Gambar 4.3. dapat dilihat bahwa nilai EPP pelet yang dihasilkan pada penelitian ini beragam mulai dari yang terendah 32,05% dan yang tertinggi 94,50%. Efisiensi pembuatan pelet merupakan parameter keberhasilan proses peletisasi yang menggambarkan jumlah ransum pakan (%) yang berhasil dibuat menjadi pelet.

C3: Penambahan Air panas 40% (b/b)

(74)

54

Keterangan :

A1: Diameter die 8 mm tebal 40 mm; A2: diameter die 10 mm tebal 30 mm; B1: tanpa pengikat; B2: Tepung gaplek 7%; B3: tepung Industri 7%; D1: diayak 9 mesh; D2: tidak diayak

(75)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pengaruh diameter die terhadap kualitas pelet

Pengaruh variasi diameter die 8 mm ketebalan 40 mm (rasio L:D = 5) dan 10 mm ketebalan 30 mm (rasio L:D = 3) secara statistik berpengaruh sangat nyata terhadap PDI (p=0,00). Berdasarkan Tabel 4.1. dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan yang melibatkan kedua jenis die, menghasilkan pelet dengan PDI beragam mulai dari kelompok rendah (dibawah 70%) sampai dengan kelompok tinggi (di atas 89%) tergantung kombinasi dengan faktor lain. Berdasarkan rentang variabel yang dipelajari, die dengan rasio L:D = 5 menghasilkan pelet dengan nilai PDI tertinggi (97,13%), sedangkan die dengan rasio L:D = 3 menghasilkan pelet dengan nilai PDI di bawahnya yaitu 96,98%. Dengan dasar tersebut dapat dikatakan bahwa die dengan rasio L:D = 5 lebih baik daripada die dengan rasio L:D = 3 dalam menghasilkan pellet berdasarkan indek ketahanannya.

Namun demikian berdasarkan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT), kedelapan kombinasi perlakuan yang menghasilkan pelet dengan indeks ketahanan >

(76)

56

rasio L:D = 3 akan menghasilkan pelet dengan kualitas yang tidak berbeda dilihat dari indeks ketahanannya.

Pengaruh penggunaan die dengan rasio L:D = 5 dan die dengan rasio L:D = 3 secara statistik berpengaruh sangat nyata terhadap hardness (p=0,00). Berdasarkan Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa kombinasi perlakuan yang menggunakan kedua jenis die, menghasilkan pelet dengan hardness beragam mulai dari 2,28 - 12,16 kg. Namun diantara 14 kombinasi perlakuan yang menghasilkan pelet dengan hardness di atas 7 kg, 6 perlakuan menggunakan die dengan rasio L:D = 5 dan 8 lainnya menggunakan die dengan rasio L:D = 3. Dengan dasar tersebut dapat dikatakan bahwa pada rentang variabel penelitian yang diamati, die dengan rasio L:D = 3 lebih baik daripada die dengan rasio L:D = 5 dalam menghasilkan pelet dilihat dari parameter hardness.

Gambar

Tabel 2.1. Komposisi pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit untuk penggemukan dan pembiakan sapi
Tabel 2.3. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit
Tabel 2.4. Kandungan nutrisi pakan lengkap berbasis biomassa kelapa sawit
Tabel 2.5. Karakteristik beberapa jenis pati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan hasil dari proses biodegradasi pelepah sawit oleh kapang P.crhysosporium dapat meningkatkan pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan pakan ternak dengan

Berpijak pada kepentingan memanfaatkan limbah industri kopi untuk bahan pakan ternak, hasil kulit kopi dari penerapan teknologi yang pertama hambatannya tidak sekompleks seperti

Pada perlakuan C jumlah kombinasi dari pakan pelet dan maggot seimbang sehingga pertumbuhan pada benih ikan nila optimal, sedangkan pada perlakuan A dengan dosis

Kesompulan dari program ini kelompok tani Suka Maju dapat menerima inovasi ini dengan memanfaatkan DS sebagai pakan alternatif ternak sapi dan sudah diadakan pelatihan pembuatan

Limbah sumber serat dari tebu (pucuk, bagas dan pith ) dapat digunakan sebagai komponen pakan ternak bila disertai beberapa perlakuan untuk menaikkan kecernaan dan konsumsi

HASIL SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil

Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi karakteristik limbah sawit sebagai pakan ternak yang ditingkatkan kualitasnya melalui bioteknologi menggunakan mikroorganisme

Dengan asumsi bahwa setiap 1 satuan ternak (ST) ruminansia (1 ST setara dengan bobot hidup 250 kg) mendapat ransum sebanyak 3% yang tersusun dari 50% hijauan dan 50% pakan