• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.7 Faktor Fisik Kimia Lingkungan

Faktor abiotik merupakan faktor yang penting untuk diketahui nilainya karena sangat mempengaruhi faktor biotik lainnya di suatu perairan. Faktor abiotik yang diukur meliputi faktor fisika-kimia lingkungan. Adapun hasil pengukuran faktor fisika-kimia lingkungan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti pada Tabel 4.10 berikut ini:

Tabel 4.10. Nilai Rata-Rata Parameter Lingkungan yang Diukur pada Masing Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Suhu 0C 26,250 20 25,567 2 pH - 7,230 6,873 6,333 3 TDS mg/l 30 65 41,333 4 DO mg/l 7,233 6,933 7,4 5 BOD5 mg/l 1,03 1,17 1,43 a. Suhu Air

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa temperatur air pada ketiga stasiun penelitian berkisar 20 – 26,25°C, dengan temperatur tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 26,25°C dan terendah pada stasiun 2. Rendahnya suhu pada stasiun 2 disebabakan adanya kanopi disepanjang badan sungai sehingga menutupi sinar matahari yang masuk ke badan air. Suhu pada ketiga stasiun penelitian tersebut masih dapat mendukung bagi kehidupan ikan pada perairan tersebut.

Suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang cocok untuk pertumbuhan

ikan di daerah tropis adalah berkisar antara 15 – 30oC dan perbedaan suhu antara siang

dan malam kurang dari 5

0

C (Cahyono, 2000). Menurut Sutisna dan Sutarman (1995), kisaran suhu yang baik bagi ikan adalah antara 250C – 350C. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pada dasarnya masih normal dan sesuai dengan baku mutu air dalam PP No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, yaitu Deviasi 3.

b. Total Dissolved Solid (TDS)

Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan terlarut pada perairan berkisar antara 30 – 65, dimana padatan terlarut tertinggi berada di stasiun 2, dan terendah di stasiun 1. Tingginya padatan terlarut pada stasiun 2 disebakan karena pada lokasi tersebut kondisi badan sungai sangat keruh dan kondisi sungai berarus kencang,

hal ini mengakibatkan adanya senyawa organik dan anorganik yang yang terlarut dalam air. Menurut Kristanto (2002), jumlah padatan terlarut pada perairan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya. Semakin tinggi padatan terlarut berarti akan semakin menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan. Hal ini secara langsung akan berakibat terhadap penurunan aktivitas dari fotosintesis oleh organisme berhijau daun yang terdapat pada perairan semisal hydrophita dan fitoplanktoan.

Menurut Rifai et al., (1983), cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan. Selanjutnya Cahyono, (2000) mengatakan air yang terlalu keruh dapat menyebabkan ikan mengalami gangguan pernapasan karena insangnya terganggu oleh kotoran. Selain itu dapat menurunkan atau melenyapkan selera makan karena daya penglihatan ikan terganggu. Berdasarkan PP No. 82 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, nilai Total Dissolved Solid ini masih sesuai dengan standart baku mutu air yaitu 1000 ml.

c. pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman atau kebasaan (pH) pada setiap stasiun penelitian berkisar 6,333 – 7,230. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 7,230 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 6,333. Rendahnya nilai pH pada stasiun 3 disebabkan karena stasiun ini merupakan pertemuan antara stasiun 1 dan stasiun 3, sehingga senyawa organik maupun anorganik yang cukup banyak terbawa arus sungai dari hulu. Secara keseluruhan kisaran nilai pH masih sesuai dengan baku mutu air dalam PP No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu 6-9. Sutrisno dan Suciastuti (1987), menyatakan pH optimum berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Michael (1994), menyatakan nilai pH di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kemampuan air untuk melepas atau mengikat sejumlah ion hidrogen yang menunjukkan larutan tersebut asam dan basa.

Nilai pH air sangat berpengaruh terhadap organisasi air, baik tumbuhan maupun hewan yang hidup di dalamnya. Nilai pH air dapat digunakan untuk menyatakan baik buruknya kondisi suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Adapun pH air yang dapat menjadikan ikan dapat tumbuh secara optimal yaitu berkisar antara 6,5-9,0 (Cahyono, 2000).

d. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Nilai oksigen terlarut (DO) yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 6,933 – 7,4 mg/l. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 7,4 dan terendah pada stasiun 2 sebesar 6,933. Rendahnya nilai oksigen terlarut pada stasiun 2 disebabkan karena kondisi perairan stasiun 2 yang sangat keruh, sehingga oksigen dibutuhkan lebih banyak untuk menguraikan senyawa organik dan anorganik yang terdapat di dalam air, hal ini juga ditunjukkan dengan tingginya niali TDS pada stasiun ini. namun secara keseluruhan kisaran kandungan oksigen terlarut pada lokasi penelitian masih berada pada kisaran normal dan sesuai dengan standart baku mutu air PP No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan batas minimum sebesar 6 ml/g.

Kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5 – 7 mg/l tidak mengubah jumlah toleransi konsumsi oksigen oleh ikan baik pada suhu rendah (20 – 250C) maupun tinggi (300C) sebagai batas optimum (Buwono, 1993). Menurut Jubaedah, (2006) perubahan kandungan oksigen terlarut di lingkungan sangat berpengaruh terhadap hewan air. Oksigen di dalam air berguna untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Kadar oksigen terlarut di perairan yang ideal bagi pertumbuhan ikan dewasa adalah > 5 mg/l. Pada kisaran 4 – 5 mg/l ikan masih dapat bertahan tetapi pertumbuhannya terhambat. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan.

e. Biologycal Oxygen Demand (BOD5 Nilai BOD

)

5 pada ketiga stasiun penelitian berkisar 1,03 - 1,43 mg/l, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 1,43 mg/l dan terendah pada stasiun 1 sebesar 1,03 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5 disetiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipakai oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Nilai BOD5 pada perairan ini masih sesuai dengan standart baku mutu air PP No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yaitu dengan nilai 2 mg/l.

Menurut Brower et al (1990), bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mg/l O2 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi. Selanjutnya Wardhana (1995), mengatakan bahwa peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

4.8. Analisis Korelasi Pearson antar Faktor Fisik Kimia Air Terhadap Indeks Preponderance (IP) Ikan Keperas

Analisis korelasi Pearson dilakukan terhadap kebiasaan makan ikan berdasarkan nilai Indeks Preponderance yang tertinggi di seluruh stasiun penelitian. Nilai analisis korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan kebiasaan makan ikan menggunakan metode komputerisasi SPSS ver. 20.00 dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut :

Tabel 4.11. Nilai Analisis Korelasi Faktor Fisik - Kimia Perairan dengan Indeks Preponderance (IP) Ikan Keperas

No. Parameter Satuan IP Bacillariophyceae IP Chlorohyceae

1 Suhu 0 -0,727 C +0,749 2 pH - +0,698 +0,651 3 TDS mg/l +0,557 -0,877 4 DO mg/l -0,958 +0,372 5 BOD5 mg/l -0,737 -0,607 Keterangan:

Nilai + = Korelasi Searah (Positif) Nilai - = Korelasi Berlawanan (Negatif)

Dari Tabel 4.11. dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan IP ikan. Nilai (+) menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan kebiasaan makan ikan (IP), artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia maka nilai IP akan semakin besar, sedangkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai IP, artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia maka nilai IP akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai IP akan semakin besar.

Dari hasil analisis korelasi pada Tabel 4.11, organisme makanan jenis Bacillariophyceae menunjukkan bahwa suhu, BOD5 dan DO berkolerasi negatif (berlawanan) terhadap IP, sedangkan pH dan TDS berkorelasi positif terhadap nilai IP. Nilai analisis korelasi untuk IP Chlorohyceae menunjukkan bahwa suhu, pH dan DO berkorelasi positif terhadap nilai IP, sementara TDS dan BOD5 berkorelasi negatif terhadap nilai IP.

Menurut Sugiyono (2005), tingkat hubungan nilai indeks korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 Sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 - 0,799 Kuat

Berdasarkan Tabel 4.11 dapat diketahui bahwa korelasi antara faktor fisik kimia dengan indeks Preponderance (IP) memiliki hubungan yang rendah, sedang, kuat dan sangat kuat. Tingkat hubungan untuk IP Bacillariophyceae terdiri dari sedang, kuat dan sangat kuat. Tingkat hubungan yang sedang adalah TDS (positif), tingkat hubungan yang kuat terdiri dari suhu (negatif), pH (positif), dan BOD5 (negatif), sedangkan tingkat hubungan yang sangat kuat adalah DO (negatif). Dari kriteria tersebut DO menunjukkan hubungan yang sangat kuat, dan arah korelasi negatif, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kandungan zat terlarut (TDS) di dalam air. Tingginya zat terlarut dalam air dapat menyebabkan konsumsi oksigen meningkat untuk menguraikan zat terlarut tersebut. Dari hasil korelasi diperoleh bahwa TDS berkorelasi positif, sementara DO berkorelasi negatif, hal ini menunjukkan bahwa TDS dan DO berbanding terbalik.

Tingkat hubungan untuk IP Chlorohyceae terdiri dari rendah, kuat dan sangat kuat. Tingkat hubungan yang rendah adalah DO (positif), tingkat hubungan yang kuat terdiri dari suhu (positif), pH (positif), dan BOD5 (negatif), sementara tingkat hubungan yang sangat kuat adalah TDS (negatif). Dari kriteria tersebut TDS menunjukkan hubungan yang sangat kuat dengan arah korelasi negatif, hal ini menunjukkan bahwa untuk organisme Chlorophyceae, TDS sangat berpengaruh. Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Berkurangnya cahaya matahari karena banyak faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi kotor/tidak jernih.

Hasil analisis korelasi terhadap kedua jenis makanan menunjukkan bahwa nilai pH memiliki tingkat hubungan yang kuat dengan arah korelasi positif terhadap jenis makanan ikan, sedangkan BOD5 berkorelasi negatif dengan tingkat hubungan yang kuat terhadap jenis makanan ikan. Menurut Sastrawidjaya (1991) nilai pH air turut mempengaruhi kehidupan dari ikan, pH air yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar

antara 6,5 – 7,5. Menurut Kristanto (2002), BOD5 menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan (limbah) di dalam air. Menurut Bahri (2002) nilai BOD5 di perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton dan keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik. Secara keseluruhan dari nilai faktor fisik kimia air di lokasi penelitian masih tergolong baik dan sesuai dengan standart baku mutu air PP No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, dan tergolong ke dalam kriteria mutu air kelas 1.

Dokumen terkait