Faktor internal petani responden yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: usia, pendidikan, luas lahan yang berada dalam kawasan calon PLP2B dan status kepemilikan lahannya, pengalaman, rumah tangga petani. Berikut faktor internal dari responden yang lahannya merupakan calon PLP2B.
1. Usia
Usia merupakan identitas yang dapat menggambarkan pengalaman dalam diri responden sehingga terdapat keragaman perilaku berdasarkan usia. Penelitian ini mengelompokkan usia menjadi tiga kelompok berdasarkan definisi dari BPS, yaitu kelompok muda/ belum produktif (< 15), usia kerja/ produktif (15-64), dan tidak produktif (≥65) seperti disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Usia produktif mendominasi petani dalam penelitian ini (69 %). Sedangkan petani yang berusia tidak produktif memiliki prosentase sebanyak 31 persen. Bila dilihat dari faktor usia, maka sektor pertanian merupakan potensi yang baik untuk mengembangkan sektor pertanian di Kota Sukabumi, karena tenaga kerjanya masih dalam kelompok usia produktif. Usia produktif memungkinkan petani untuk dapat mengelola usahataninya dengan baik. (Rahayu dan Riptanti, 2010). Sedangkan bila dikelompokkan menurut UU No. 13 tahun 1998 usia tua di atas 60 tahun, petani di Kota Sukabumi berada pada kelompok usia muda (di bawah 60 tahun), yaitu 56.8 persen dan sisanya berusia tua. 0% 69% 31% < 15 15-64 >64
44 16% 8% 25% 3% 48% Tdk tamat SD/sekolah SD SMP SMA Diploma/Sarjana 2. Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan hal yang esensial dalam membentuk pola pikir dan persepsi individu. Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan dikelompokkan berdasarkan lamanya menempuh pendidikan, untuk kemudian dikelompokkan lagi berdasarkan strata pendidikan. Pada petani yang tidak tamat/ tidak bersekolah, rentang waktu pendidikannya 1- 5 tahun, strata pendidikan SD, rentang waktu pendidikan yang ditempuh petani ialah 6 tahun, SMP selama 9 tahun, SMA selama 12 tahun, dan pada strata Diploma/Sarjana memiliki rentang waktu menempuh pendidikan selama lebih dari 13 tahun. Tingkat pendidikan petani responden, dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Karakter Responden Berdasarkan Pendidikan
Tingkat pendidikan responden secara berurutan dari yang paling banyak yaitu tamat Sekolah Dasar (48 persen), kemudian tamat Sekolah Menengah Atas (25 persen), tidak tamat Sekolah Dasar (16 persen), Sekolah Menengah Pertama (8 persen) dan Diploma/ Sarjana (3 persen). Bila dilihat dari karakteristik petani berdasarkan pendidikan, maka petani yang berada pada wilayah calon PLP2B di Kota Sukabumi berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan akan membentuk pola pikir dan persepsi petani, terkait juga dengan kemampuan petani dalam menerima dan keinginan untuk mencari informasi mengenai teknologi-teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung usahataninya. Isgin et al. (2008), keputusan petani untuk mengadopsi dan tidak mengadopsi suatu inovasi sangat dipengaruhi pendidikan formal yang dimiliki petani.
3. Luas Lahan dan Status Kepemilikannya
Luas lahan garapan merupakan variabel yang dapat menunjukkan skala usahatani yang dijalankan oleh responden. Dalam penelitian ini, luas lahan hanya lahan dalam wilayah calon PLP2B. Lahan dikategorikan berdasarkan hasil kajian M Nazam, et.al, yaitu 0.73 hektar merupakan luas lahan minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani. Kategori lahan sempit luas lahan < 0.73 hektar, lahan sedang 0.73 – 1 hektar dan lahan luas > 1 hektar. Luasan lahan garapan dan status kepemilikan lahan dari petani yang menjadi responden dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 20.
45
(a) (b)
Luas lahan garapan petani berada di sekitar lahan sempit (86 %) dan lahan sedang (8 %) dan sisanya sebanyak 6 persen merupakan petani dengan lahan garapan luas. Dilihat dari luas lahan garapan di wilayah calon PLP2B maka skala usahatani petani merupakan petani berskala kecil. Dari luasan lahan yang dimiliki responden perolehan keuntungan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Rahayu dan Riptanti, 2010, faktor produksi yang paling berpengaruh pada usahatani adalah luas lahan dibandingkan dengan faktor produksi lain (pupuk kandang, pestisida padat dan pestisida cair).
Status kepemilikan lahan menggambarkan eksistensi pemilik lahan untuk tetap mempertahankan lahannya menjadi sawah atau dikonversikan menjadi lahan lain. Status kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: pemilik, pemilik dan penggarap, dan penggarap. Sebaran kepemilikan lahan dapat dilihat pada gambar di atas. Petani yang berusahatani di calon PLP2B status kepemilikannya mayoritas adalah penggarap (58 %), sedangkan yang pemilik dan juga penggarap di lahan sendiri sebanyak 35 persen, dan petani yang hanya sebagai pemilik lahan sebanyak 7 persen. Petani penggarap relatif terbatas dari segi pendidikan dan permodalan sehingga menggeluti pertanian dikarenakan tidak ada pilihan lain untuk sumber pendapatan rumahtangganya. 4. Pengalaman
Lamanya petani melakukan usahatani padi merupakan aspek yang dapat melihat pengalaman petani. Petani yang tergolong lama dalam berusahatani dinilai dapat lebih mudah menerima inovasi yang diberikan dan berani mengambil keputusan tanpa takut salah dikarenakan adanya proses pembelajaran dari pengalaman sebelumnya. Lama bertani disini dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan pada nilai tertinggi dan terendah dari responden yaitu rendah (< 10 tahun), sedang (10 – 20 tahun), dan tinggi (> 20 tahun). Sebaran petani berdasarkan lama bertani dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 20 Karakteristik Responden Berdasarkan: (a) Luas Lahan, (b) Status Kepemilikan Lahan 86% 8% 6% < 0.73 Ha 0.73-1 Ha > 1 7% 35% 58%
46
Gambar 21 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman
Dari gambar di atas dapat dilihat sebaran petani dengan jumlah terbanyak secara berurut adalah pengalaman tinggi (45 %), sedang (38 %), dan rendah (17 %). Jika dilihat dari jumlah petani yang mempunyai pengalaman tinggi dan dibandingkan dengan usia yang sedang/ produktif, maka usahatani padi memiliki potensi yang baik dari sisi sumber daya manusianya, terlepas dari faktor eksternal maupun faktor internal yang lain. Menurut Rahayu dan Riptanti (2010), pengalaman ini memungkinkan petani untuk mengelola usahatani dengan baik dan mengelola kendala, hambatan dan peluang yang ada.
5. Rumah Tangga Petani
Sebuah keluarga didalamnya terdapat kepala keluarga dan anggota keluarga, namun dalam penelitian ini yang dianggap anggota keluarga adalah seluruh keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan masih ditanggung biaya hidupnya. Keragaman anggota keluarga responden dapat menggambarkan pengeluaran dan pendapatan yang diterima oleh keluarga tersebut. Berikut sebaran anggota keluarga responden tersaji dalam Gambar 22.
Gambar 22 Jumlah Anggota Keluarga Petani
Dari hasil di atas menunjukkan bahwa petani mempunyai jumlah anggota keluarga yang cukup sedikit. Petani dengan jumlah anggota keluarga satu hingga dua orang terdapat 31 persen, kemudian secara berturut-turut petani dengan jumlah keluarga tiga hingga empat orang, lima hingga enam orang, dan lebih dari enam yaitu 40 persen, 35 persen, dan 10 persen.
Secara ekonomi, sektor pertanian seringkali dianggap bukan merupakan pekerjaan yang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Namun karena keterbatasan alternatif sumber nafkah dan kualitas sumberdaya manusia, pertanian menjadi satu-satunya pilihan nafkah bagi rumahtangga petani meskipun tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan hidupnnya. Ketidakcukupan pendapatan petani dari pertanian selain karena hasil pertanian tidak terlalu menjanjikan, namun juga disebabkan oleh tingginya beban tanggungan yang dihadapi rumahtangga. 17% 38% 45% < 10 tahun 10-20 tahun >20 tahun 31% 39% 30% ≤ 3 orang 4-5 orang ≥ 6 orang
47 Di bawah ini tergambar karakteristik petani dengan sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebanyak 59 persen petani mempunyai satu sumber pendapatan yaitu hanya usahatani. 26 persen memiliki dua sumber pendapatan dari pasangannya (istri/ suami) atau memiliki mata pencaharian utama lain (pegawai negeri sipil, pegawai swasta, berdagang, dan buruh kasar/ serabutan) dan pertanian sebagai sampingan. Responden dengan 3 sumber pendapatan terdapat 15 persen yaitu kombinasi dari responden dengan 2 sumber pendapatan. Dari wawancara di luar kuesioner didapat jawaban bahwa petani yang tidak mempunyai diversifikasi usaha (satu sumber pendapatan) karena faktor usia, modal dan kesempatan.
Sebaran jumlah sumber pendapatan dalam rumah tangga petani tergambar di Gambar 23.
(a) (b)
Analisis Usahatani
Analisis usahatani dilakukan untuk menganalisis apakah usahatani pada calon PLP2B layak untuk diusahakan, dilihat dari biaya usahatani, produktivitas dan produksi, kelayakan usahatani (R/C). Usahatani padi sawah yang dianalisis merupakan usahatani musim tanam pertama (MT-I) atau musim hujan tahun 2014/2015 pada lahan sawah irigasi ½ teknis. Jumlah responden sebanyak 88 petani. Benih yang digunakan petani merupakan benih tidak berlabel dan sangat jarang menggunakan varietas unggul baru (VUB) yang. Varietas benih padi sawah yang ditanam petani antara lain: IR-64, Ciherang dan Inpari-23. Rata-rata penggunaan benih pada petani sebanyak 49 kg/ha. Rata-rata harga benih padi sebesar Rp. 11,000,-/kg. Pemupukan yang dilakukan petani belum mengikuti rekomendasi pemupukan yang disusun oleh Kementerian Pertanian. Rata-rata penggunaan pupuk pada petani adalah pupuk urea 116 kg/ha, pupuk ZA 33 kg/ha, pupuk SP-36 50 kg/ha, pupuk KCL 3 kg/ha, pupuk NPK 274 kg/ha dan pupuk organik 1,24 ton/ha.
Dalam struktur biaya usahatani, komponen pembiayaannya meliputi biaya sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) dan biaya tenaga kerja (pengolahan tanah, tanam, pemupukan, penyemprotan, penyiangan, panen dan pasca panen). Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa porsi biaya sarana produksi mencapai 25.64 persen, sedangkan biaya tenaga kerja mencapai 74,36 persen. Biaya sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) sebesar Rp. 2,880,574. Biaya tenaga kerja Gambar 23 Karakteristik Rumah Tangga Petani Berdasarkan: (a) Jumlah Sumber
Pendapatan, (b) Mata Pencaharian Utama 59%
26%
15%
1 sum ber pendapatan 2 sum ber pendapatan >2 sum ber pendapatan
59% 30%
8% 2%
1%
48
sebesar Rp. 8,354,193,-. Porsi terbesar biaya sarana produksi digunakan untuk penyediaan pupuk 60-70 persen, sedangkan porsi biaya untuk benih sekitar 18 persen dan pestisida sekitar 18 persen. Porsi terbesar biaya tenaga kerja digunakan untuk pengolahan tanah dan panen dan pasca panen 23-24 persen. Total biaya usahatani padi sawah sebesar Rp. 11,234,767,-.
Produksi padi sawah pada petani lahan sawah rata-rata adalah 6 ton/ha GKP. Rata-rata harga GKP Rp. 3,900,-, sedangkan jika dijual dalam bentuk beras Rp. 7,000,-. Harga GKP padi sawah tersebut sudah lebih tinggi dibandingkan harga pembelian pemerintah (HPP) yaitu Rp. 3,700,-. Harga pembelian pemerintah tersebut ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2015 tentang kebijakan pengadaan beras/gabah dan penyaluran beras oleh pemerintah. Penerimaan dari usahatani padi sawah sebesar Rp. 23,400,000,-. Keuntungan yang diperoleh dari usahatani padi sawah Rp. 12,165,233,-. Analisis usahatani padi sawah disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Analisis Usahatani Padi Sawah MT I 2014/2015 per Ha
Uraian Usahatani Padi Sawah
Jumlah Persen
Biaya Sarana Produksi (Rp) 2,880,574 25.64
Benih 534,489 4.76
Pupuk 1,810,115 16.11
Pestisida/Obat-obatan 535,970 4.77
Biaya Tenaga Kerja (Rp) 8,354,193 74.36
Pengolahan Tanah 1,947,685 17.34 Pesemaian 466,667 4.15 Tanam 1,662,566 14.80 Pemupukan 553,333 4.93 Penyemprotan 620,000 5.52 Penyiangan 1,164,524 10.37
Panen dan Pasca Panen 1,939,418 17.26
Jumlah Biaya Usahatani (Rp) 11,234,767 100.00
Produksi (kg/ha) 6,000
Harga (Rp/kg) 3,900
Penerimaan (Rp) 23,400,000
Keuntungan (Rp) 12,165,233
B/C 1.08
Dilihat dari nilai B/C > 1, maka usahatani sawah di Kota Sukabumi layak diusahakan. Nilai tersebut merupakan nilai keuntungan jika petani memiliki lahan satu hektar, lahan sawah merupakan milik sendiri. Pada kenyataannya petani memiliki lahan dibawah satu hektar dan berstatus sebagai penggarap lahan dengan sistem bagi hasil. Penghasilan per bulannya tidak menentu, karena ada penyakit, hama dan kondisi cuaca yang tidak menentu mengakibatkan terjadinya pengurangan hasil produksi bahkan hingga puso.
Pendapatan rumah tangga petani didapat dari penerimaan hasil usahatani dikurangi dengan pengeluaran usahatani per hamparan per bulan. Struktur pendapatan rumah tangga tani dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok
49 rendah (< 1 juta), sedang (1 – 1.5 juta), dan tinggi (>1.5 juta). Sebanyak 43 persen merupakan rumah tangga petani dengan pendapatan usahatani rendah, dan sisanya terbagi dalam rumah tangga petani dengan pendapatan sedang (36 %) dan tinggi (21 %). Karakteristik petani berdasarkan pendapatan, luas lahan garapan dan status kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Hubungan Pendapatan Terkait Luas Lahan dan Status Garap
No Karakteristik Responden
Status Garap Pemilik Pemilik-
Penggarap Penggarap Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) 1 Pendapatan (Rp.
juta/bulan)
< 1 1 17 14 45 34 67
1 – 1.5 1 17 4 13 4 9
> 1.5 4 66 13 42 13 24
2 Luas Lahan (ha)
< 0.3 1 17 11 35 18 35
0.3 – 1 5 83 18 58 24 47
> 1 0 0 2 7 9 18
Dari Tabel 18. hubungan pendapatan terkait dengan luas lahan dan status garap responden dapat terbaca bahwa sebanyak 66 persen petani pemilik lahan mempunyai pendapatan di atas satu juta lima ratus ribu rupiah sedangkan sisanya adalah di bawah satu juta lima ratus ribu rupiah, dengan karakteristik luas lahan sedang sebanyak 83 persen, kemudian sisanya sebanyak 17 persen memiliki luas lahan di bawah 0.3 hektar. Pendapatan petani pemilik-penggarap paling banyak (45%) memiliki pendapatan kurang dari satu juta, dan sebanyak 42 persen pendapatan di atas satu juta lima ratus ribu rupiah. Dibandingkan dengan luas lahan yang dimiliki dan digarap oleh responden, sebanyak 58 persen merupakan lahan diantara 0.3 – 1 hektar kemudian sebanyak 35 persen di bawah 0.3 hektar. Gambaran pendapatan usahatani responden sebagai petani penggarap yaitu sebanyak 67 persen memiliki penghasilan di bawah 1 juta rupiah, kemudian yang memiliki pendapatan di atas satu juta lima ratus ribu rupiah sebanyak 24 persen. Bila dibandingkan dengan luas garapannya, petani sebagai penggarap memiliki luas lahan garapan seluas 0.3 – 1 ha sebanyak 47 persen kemudian yang menggarap lahan di bawah 0.3 hektar sebanyak 35 persen. Dilihat dari hubungan di atas, petani pemilik memiliki pendapatan yang cukup besar dengan lahan sedang hingga sempit. Petani pemilik penggarap mempunyai kondisi yang sama dengan petani pemilik, yaitu memiliki pendapatan yang besar hingga sedang dengan kepemilikan lahan yang digarap sendiri dengan luasan sedang hingga sempit. Gambaran kondisi petani penggarap yaitu memiliki pendapatan yang kecil dengan luas lahan garapan sedang hingga sempit. Maka usahatani di Kota Sukabumi dapat memberikan keuntungan yang cukup dengan lahan sedang hingga sempit namun dengan status kepemilikan sendiri. Bagi petani penggarap memiliki pendapatan rendah dengan luasan sedang hingga sempit tetap diusahakan karena
50
petani penggarap relatif terbatas dari segi permodalan dan tidak ada pilihan lain untuk sumber pendapatan rumah tangganya. Luas lahan berkaitan dengan penghasilan karena terkait dengan cost pada tenaga kerja, dan hasil produksi.
Land Rent dan Disparitas Pendapatan
Land Rent yang dihitung dalam penelitian ini fokus pada nilai Economic Land Rent yang secara operasional diukur sebagai pendapatan bersih yang diterima dari suatu bidang lahan setiap meter persegi per tahunnya dari aktivitas pertanian sawah dan bila lahan tersebut dijual. Land Rent sawah dapat dihitung menggunakan rumus, Rustiadi, 2011:
LR = Y(m-c) – Y.t.d Keterangan:
Y = Output per unit lahan m = harga per satuan output
c = biaya produksi per satuan output
t = biaya transportasi per satuan output per satuan jarak d = jarak dengan pusat pasar
Rata-rata Land Rent sawah di lokasi penelitian adalah Rp.5,779,273,- per tahun, dengan nilai minimal (Rp.312,000,-) dan nilai maksimum (Rp.39,970,000,-). Land Rent sawah dengan nilai rendah yaitu lahan yang memiliki kesuburan tanah rendah atau petani yang tidak produktif menggarap lahannya, lahan sempit dan lahannya jauh dari pusat pasar.
Sedangkan Rata-rata nilai harga lahan saat ini bila dijual, yaitu Rp. 58,119,318,- dengan nilai minimal Rp.20,000,000,- dan nilai maksimal Rp. 200,000,000,-. Harga jual lahan sawah yang bernilai kecil karena lahan berada jauh di pusat pasar/ kota dan lahan jauh dari jalan raya.
Perbandingan Land Rent sawah dengan harga jual lahannya adalah 1: 10.05. Jika dilihat dari perbandingan ini maka petani sebagai responden yang berada pada lahan yang mempunyai tekanan tinggi terhadap konversi lahan yaitu dengan lahan berproduktivitas rendah tetapi harga jual lahannya yang tinggi maka akan semakin besar potensi untuk mengkonversikan lahannya.
Analisis disparitas pendapatan dilakukan dengan membandingkan pendapatan usahatani sawah dan non usahatani sawah. Dari perbedaan pendapatan usahatani sawah dan non usahatani sawah selanjutnya dihitung tingkat ketergantungan petani terhadap usahatani sawah.
D= P1/ Ptotal x 100%
Keterangan:
D = rasio ketergantungan (d > 50% tergantung, d< 50% tidak) P1 = pendapatan usahatani sawah
Ptotal = pendapatan usahatani sawah + non usahatani sawah
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 77 persen petani bergantung hidupnya pada sektor pertanian (sawah) dan sebanyak 33 persen tidak bergantung. 33
51 persen petani merupakan petani pemilik dan petani yang memiliki pekerjaan lain selain bertani, dalam rumah tangga petani mempunyai lebih dari satu sumber pendapatan.