• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA

G. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan adalah semua benda dan materi yang mempengaruhi hidup manusia seperti kesehatan jasmani dan kesehatan rohani, ketenangan lahir dan batin.

Lingkungan sosial adalah berupa lingkungan rumah tangga, sekolah, dan lingkungan luar sehari-hari, lingkungan sosial dan lingkungan masyarakat.

Suatu rumah tangga adalah merupakan kelompok lingkungan yang terkecil tapi pengaruhnya terhadap jiwa dan kelakuan si anak. Karena awal pendidikannya di dapat dari lingkungan ini.

Lingkungan alam yang teduh damai di daerah-daerah pedesaan dan pegunungan yang mana memberikan pengaruh yang menyenangkan, sedangkan daerah kota dan industri yang penuh dan padat, bising, penuh hiruk pikuk yang memuakkan, mencekam dan menstimulir penduduknya untuk menjadi kanibal (kejam, bengis, mendekati kebiadapan).17

Oleh karena adanya tekanan dari masyarakat atau faktor eksternal yang merobek-robek keseimbangan batinnya, dengan demikian seseorang dapat melakukan perbuatan kriminal yang mana karena adanya tekanan atau paksaan.

Pada prinsipnya perilaku seseorang dapat berubah dan bergeser bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti halnya dalam kasus pencurian dan penjarahan yang dilakukan pada saat terjadi bencana alam itu merupakan suatu kriminal situasional atau kriminal primer yang dilakukan oleh orang-orang biasa (non-kriminal) atau yang bukan penjahat, dan individu-individu yang pada umumnya patut terhadap hukum.

17

Seseorang bertindak atau berbuat kejahatan adalah didasarkan pada proses antara lain :

1) Tingkah laku itu dipelajari

Secara negatif dikatakan bahwa tingkah laku kriminal itu tidak diwarisi sehingga atas dasar itu tidak ada seseorang menjadi jahat secara mekanis.

2) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam hubungan komunikasi.

3) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam kelompok pergaulan yang intim.

Selain faktor-faktor tersebut di atas ada satu faktor yang menyebabkan orang melakukan kejahatan yaitu faktor kesombongan moral, yang mana dalam faktor ini seseorang melakukan kejahatan tanpa memperhatikan disekelilingnya, yang mana dia mau melakukan suatu kejahatan tanpa memperhatikan keadaan disekelilingnya, asalkan dia mendapatkan apa yang diinginkannya, baik dengan cara baik atau dengan cara jahat dan baik itu dalam keadaan gempa maupun dalam keadaan yang lain. Maka faktor ini merupakan salah satu dari jenis faktor-faktor yang lain, yang mempengaruhi orang melakukan kejahatan.

BAB III

LANGKAH-LANGKAH YANG DILAKUKAN UNTUK

MELINDUNGI HARTA BENDA PADA

SAAT BENCANA ALAM

Ada 3 (tiga) cara yang dapat digunakan dalam melindungi harta benda pada saat terjadi bencana alam dari tindakan pencurian yakni :

A. Cara Preventif

Preventif adalah semua urusan atau kebijaksanaan yang diambil jauh sebelum timbulnya tindakan pencurian, yang bertujuan agar tindakan pencurian itu jangan sampai terjadi.

Secara garis besarnya usaha preventif dapat dilakukan dengan menciptakan keluarga dan lingkungan yang taat pada agama, harmonis dan adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dengan aparat penegak hukum.

Secara preventif usaha penanggulangan dari tindakan pencurian dapat dilakukan antara lain dengan :

a. Secara Moralistik adalah dengan cara menyebar dan memberikan keterangan

yang sifatnya meluas tentang ajaran-ajaran agama dan norma-norma hukum yang mana akan mengekang maksud dan tujuan seseorang untuk berbuat kejahatan. Dalam hal ini dibutuhkan peranan anggota masyarakat dan peranan pemerintah.

b. Cara Abolistik adalah dengan cara mengatasi atau mengurangi setiap perilaku

kejahatan, seperti dengan memperbaiki perekonomian masyarakat dan mempercepat bantuan makanan dan obat-obatan bagi masyarakat.

B. Cara Kuratif

Cara kuratif adalah tindakan yang diambil sesudah timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan agar kejahatan atau tindakan pencurian itu jangan sampai terjadi lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membasmi tindakan kejahatan dengan kekuasaan dan sanksi, dan juga dapat dicegah dengan melalui atau mengikuti kegiatan-kegiatan seperti kegiatan agama, diskusi, penyuluhan yang dilakukan oleh para petugas dari pihak pemerintah yang dapat menggugah pikiran seseorang yang melakukan tindakan kejahatan.

C. Pembinaan Bagi Masyarakat

Pembinaan bagi masyarakat yang dalam keadaan tidak stabil atau masih dalam masa trauma pada saat bencana alam. Hal ini dapat dilakukan untuk pembinaan kepribadian, yang menyangkut kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara dan juga disertai oleh pihak pemerintah untuk mempercepat kedatangan bantuan makanan dan obat-obatan yang dibutuhkan bagi masyarakat.

Adapun strategi yang dilakukan dewan PBB dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya kejahatan antara lain :18

1. Meniadakan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya

kejahatan.

2. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus ditempuh dengan kebijakan

integral/sistematik.

3. Kejahatan-kejahatan yang mendapat perhatian kongres PBB untuk

ditanggulangi.

18

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 77.

4. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas institusi dan sistem manajemen organisasi/manajemen data.

5. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum.

6. Disusun beberapa “Guines”, “Basic Principles”, “Rules”, “Standart Minimum

Rules” (SMR).

7. Ditingkatkan kerjasama Internasional “International Cooperation” dan

bantuan teknis “Technical Assitance” dalam rangka memperkokoh “The Rule

of Low” dan “Management of Criminal Justice System”.

Dalam melakukan penanggulangan dan pencegahan kejahatan harus memperhatikan hal-hal pokok sebagai berikut :19

1. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan

“goal”, “Social Walfare” dan “Social Defence”. Aspek “Social Walfare” dan “Social Defence” sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan.

2. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan

integral ada keseimbangan sarana “penal” dan “non-penal”.

Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana “non-penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan “penal” mempunyai keterbatasan/kelemahan (yaitu bersifat fragmentaris, simplistis, tidak structural fungsional; simptomatik atau tidak eliminatif individualistic atau “offender oriented tidak victim oriented” lebih bersifat represif atau tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya yang tinggi.

19

3. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsional dan opersionalnya melalui beberapa tahap, antara lain :

a. Formulasi (kebijakan legislatif)

b. Aplikasi (kebijakan yudikatif/yidicial) c. Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif)

Dengan adanya tahap “formulasi” maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aprat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui “penal policy”. Oleh karena itu, kesalahan dan kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Agar peegakan hukum dapat terlaksana dengan baik dalam masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan berjalan dengan baik maka hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, sehingga penegakan hukum tersebut dapat berjalan dengan baik, antara lain :20

1. Pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para penegak hukum

2. Sikap yang lugas (zakelijk) dari penegak hukum

3. Penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan teknologi mutakhir

4. Penerangan dan penyuluhan mengenai peraturan yang berlaku terhadap masyarakat

5. Memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami peraturan

yang baru dibuat.

20

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 46.

Meskipun studi yang baru dilakukan oleh Soerjono Soekanto tersebut

mengambil objek studi bidang penegakan hukum lalu lintas jalan raya, tetapi kesimpulan yang ditariknya cukup relevan bagi penegakan hukum di bidang-bidang lainnya juga. Lebih tegasnya lagi, masih menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah

sebagai berikut :

1. Faktor hukumnya sendiri (termasuk faktor undang-undang)

2. Faktor penegak hukum (dimasukkan disini, baik para pembantu maupun

penerapan hukum)

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Adapun penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum di negara kita saat sekarang ini adalah sebagai berikut :

1. Rendahnya kualitas dari Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat

2. Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right pleace

3. Rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum

4. Tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang baik dan modern

5. Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia

6. Dan yang sangat memperihatinkan adalah kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antara anggota caturwangsa tersebut berupa tuduhan “mafia peradilan”.

BAB IV

TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN TERHADAP

PARA PELAKU

Aliran kriminologi baru lahir dari pemikrian yang bertolak pada anggapan bahwa perilaku yang menyimpang dan disebut dengan kejahatan, harus dijelaskan dengan melihat kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat dan menempatkan perilaku menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik sosial masyarakat.

Maka pandangan kriminologi terhadap pencurian adalah sesuatu perbuatan yang menyimpang. Sedangkan pengertian dari pencurian adalah Pasal 352 KUHP adalah : barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Maka penerapan hukum terhadap para pelaku yang melakukan kejahatan pencurian pada saat gempa bumi sesuai dengan bunyi Pasal 363 KUHP huruf 2e yang berbunyi : Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum pencurian pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, letusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan di masa perang.

Dari bunyi pasal di atas maka hukuman yang dikenakan bagi para pelaku adalah lebih berat karena pada waktu semacam di atas orang semua ribut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga, sehingga memudahkan orang untuk melakukan kejahatan tersebut. Maka orang tersebut memanfaatkan kesempatan itu untuk mencuri. Sehingga penerapan hukumnya diperberat karena orang yang memiliki barang tersebut tidak mengawasi dan menjaga barangnya jauh dari kontrollannya. Karena dalam keadaan ini orang lebih mementingkan keselamatan jiwa dan keluarga dibandingkan dengan keselamatan harta bendanya.

Ukuran dari yang menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan bukan diketahui oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau kebiwaan, melainkan oleh besar kecilnya atau keparahan sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan atau kemakmuran dalam masyarakat. Perilaku menyimpang sebagai proses sosial dianggap terjadi sebagai reaksi terhadap kehidupan kelas seseorang. Disini yang menjadi nilai-nilai utama adalah keadilan dan hak-hak asasi manusia.

Rumusan kejahatan dalam kriminologi semakin diperluas. Sasaran perhatian terutama diarahkan kepada kejahatan-kejahatan yang secara politis, ekonomis, dan sosial amat merugikan yang berakibat jatuhnya korban-korban bukan hanya korban individual melainkan juga golongan-golongan dalam masyarakat. Pengendalian sosial dalam arti luas dipahami sebagai usaha untuk memperbaiki atau mengubah struktur politik, ekonomi dan sosial sebagai keseluruhan.

Robert F Meler mengungkapkan bahwa salah satu kewajiban dan kriminologi baru ini adalah untuk mengungkap tabir hukum pidana, baik sumber-sumber maupun penggunaan-penggunaannya, guna mempelajari kepentingan-kepentingan penguasa.

Suatu catatan kritis terhadap pemikiran ini diungkapkan oleh Paul Mudigdo dinyatakan bahwa kadar kebenaran dan nilai-nilai praktis dan teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkrit demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang terbelakang, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi, bahaya dari praktek pengalaman yang tak terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi yang terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai pada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku penyimpangan yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik adanya pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendaknya menyamaratakan orang-orang menjadi obyek-obyek peraturan oleh birokrasi ekonomi dan politik.

Prespektif teori kriminologi untuk membahas masalah kejahatan pada umumnya memiliki dimensi yang amat luas. Keleluasaan dimensi dimaksud sangat bergantung pada titik pandang yang hendak dipergunakan dalam melakukan analisis teoritis terhadap subjek pembahasan. Terdapat tiga titik pandang dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan, yaitu : pertama, yang disebut titik pandang secara makro atau macrotheories, kedua, yang disebut microtheories, dan ketiga disebut bridging theories.21

21

Ramli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Rafika Aditma, Bandung, 2005, hlm. 71.

Macrotheories adalah teori-teori yang menjelaskan kejahatan dipandang

dari segi struktur sosial dan dampaknya. Teori-teori ini menitikberatkan

rates of crime atau epidemiologi kejahatan dari pada atas pelaku kejahatan.

Sebagai contoh, teori anatomi dan teori konflik. Sementara itu microtheories adalah teori-teori yang menjelaskan mengapa seseorang atau kelompok orang dalam masyarakat terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan dan terdapat pula sekelompok orang atau orang-orang tertentu yang tidak melakukan kejahatan.

Teori ini menitikberatkan pada pendekatan psikologis atau sosiologis atau biologis. Sebagai contoh, teori kontrol dan social learning theory.

Bridging theories adalah teori-teori yang tidak atau sulit untuk dikategorikan

ke dalam, baik macrotheories maupun microtheories. Teori-teori yang termasuk ke dalam kategori ini menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana seseorang atau sekelompok orang menjadi penjahat. Sebagai contoh, teori subkultur dari teori differential opportunity.

Aliran-aliran atau sering disebut sebagai schools dalam kriminologi menunjuk kepada proses perkembangan pemikiran dasar dan konsep-konsep tentang kejahatan dan pelakunya.

Landasan pemikiran aliran klasik yang mengatakan bahwa manusia dapat melakukan kejahatan adalah sebagai berikut :

1. Individu dilahirkan dengan kehendak bebas untuk hidup menentukan

pilihannya sendiri.

2. Individu memiliki hak asasi diantaranya hak untuk hidup, kebebasan dan

3. Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut muncul sebagai hasil perjanjian sosial antara yang diperintah dan yang memerintah.

4. Setiap warga negara hanya menyerahkan sebagai dari hak asasinya kepada

negara sepanjang diperlukan oleh negara untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan sebagian terbesar dari masyarakat.

5. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial, oleh karena itu

kejahatan merupakan kejahatan moral.

6. Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu dijatuhkan untuk

memelihara perjanjian sosial. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencegah kejahatan dikemudian hari.

7. Setiap orang dianggap sama dimuka hukum, oleh karena itu seharusnya setiap

orang diperlakukan sama.

Aliran ini mengakui bahwa manusia memiliki akalnya disertai kehendak untuk menentukan pilihannya. Akan tetapi, aliran ini berpendapat bahwa kehendak mereka itu tidak terlepas dari pengaruh lingkunganna. Secara singkat, aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa kehidupan seseorang dikuasai oleh hukum sebagai akibat.

Sedangkan pemikiran aliran positif adalah sebagai berikut :

1. Kehidupan manusia dikuasai oleh hukum sebab akibat.

2. Masalah-masalah sosal seperti kejahatan dapat diatasi dengan melakukan studi secara sistematis mengenai tingkah laku manusia.

3. Tingkah laku kriminologi adalah hasil dari kondisi abnormalitas.

Abnormalitas ini mungkin terletak pada diri individu atau juga pada lingkungannya.

4. Tanda-tanda abnormalitas tersebut dapat dibandingkan dengan tanda-tanda yang normal.

5. Abnormalitas tersebut dapat diperbaiki dan karenanya penjahat dapat

diperbaiki.

6. Treatment lebih menguntungkan bagi penyembuhan penjahat, sehingga tujuan

dari saksi bukanlah menghukum melainkan memperlakukan atau membina pelaku kejahatan.

Maka dari uraian di atas tindakan pidana tersebut mempunyai unsur-unsur yaitu antara lain :

A. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :22

1. Perbuatan;

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan di dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkonkrito orang yang melakukan perbuatan dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain pengertian pidana.

22

Menurut R. Tresna peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.

Dari rumusan R. Tresna di atas, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur :

1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

3. Diadakan tindakan penghukuman

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan penghukuman terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman, terdapat pengertian seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang selalu diikuti dengan penghukuman. Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana.

Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana antara lain :

1. Kelakuan manusia

2. Diancam dengan pidana

3. Dalam peraturan perundang-undangan

Dapat dilihat pada unsur yang ketiga penganut paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang, dan diancam dengan pidana bagi yang melakukan.

Dari unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pelaku, semata-mata mengenai pembuatannya.

Akan tetapi jika dibandingkan dengan penganut paham monoisme memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang di muka telah dikemukakan yaitu Jonkers dan Schrevandijk.

Dari batasan yang dibuat oleh Jonkers penganut paham monosime dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana antara lain :23

1. Perbuatan

2. Melawan hukum yang berhubungan dengan

3. Kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

4. Dipertanggungjawabkan

Sementara itu Schrevandijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kelakuan orang yang

2. Bertentangan dengan keinsyafan hukum

3. Diancam dengan hukuman

4. dilakukan dengan hukum

5. Dipersalahkan atas kesalahan

Walaupun rincian dari ketiga rumusan di atas tampak berbeda, namun pada hakekatnya ada persamaan yaitu tidak memisahkan antara unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

23

B. Unsur-unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang

Buku II KUH Pidana memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan buku ke III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur-unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan yaitu mengenai tingkah laku atau perbuatan wlaupun ada pengecualian seperti pada Pasal 351.24

1. Unsur tingkah laku

Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan sering kali jika tidak dicantumkan, sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur-unsur kemampuan bertanggungjawab. Di samping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar atau mengenai objek kejahatan atau perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUH Pidana itu, dapat diketahui adanya unsur tindak pidana yaitu :

2. Unsur melawan hukum

3. Unsur kesalahan

4. Unsur akibat konstitutif

5. Unsur keadaan menyertai

6. Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

8. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana

9. Unsur objek hukum tindak pidana

10.Unsur objek hukum tindak pidana

11.Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana

24

Dari sebelas unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan

melawan hukum yang termasuk unsur subjektif. Sedangkan sebaliknya berupa unsur objektif, unsur melawan hukum ada kalanya bersifat objektif.

Misalnya melawan hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (Pasal 362). Terletak bahwa dalam mengambil itu di luar persetujuan atau kehendak pemiliknya. Atau pada Pasal 251 pada kalimat tanpa izin perintah juga pada Pasal 253 pemerasan, pengancaman 369, dimana disebutkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan pada Pasal 372 yang besifat subjektif. Artinya terdapat kekerasan bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu merupakan celaan masyarakat.

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum objektif atau subjektif bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan objek tindak pidana.

Unsur subjektif adalah semua unsur yang mengenai atau melekat pada keadaan batin orangnya.

Pengetahuan tentang sifat melawan hukum yang subjektif ini relatif belum lama dan pertama timbul di Jerman. Menurut Mezger, hal adalah buah

usaha orang-orang seperti Von Weber Welel, Maurach dan Bush.25

Dokumen terkait