• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

1.2 Kualitas Tidur Penderita Hipertensi

1.3.2. Faktor Lingkungan

Pada tabel 6 menunjukkan hasil penelitian tentang faktor gangguan tidur yang diakibatkan kondisi lingkungan pada penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Teladan Medan, yaitu terdapat 76% responden megalami tidur dengan ventilasi yang tidak baik, saat tidur 73% responden mengalami suara bising, 59% responden mengalami tidur diruangan tidur yang tidak nyaman dan kotor, 32% responden mengalami tidur dengan cahaya lampu yang terlalu terang, 41% responden mengalami tidur dengan suhu yang terlalu panas, dan 32% responden mengalami tidur di lingkungan rumah yang bau.

Tabel 6. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan faktor gangguan tidur secara lingkungan pada penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Teladan Medan (N=37)

Faktor Gangguan

Tidur

Pengalaman Tingkat Gangguan Tidur Ya n Tidak n (%) Ggn ringan n (%) Ggn sedang n (%) Ggn berat n (%) Faktor Lingkungan Suara Bising 27 7 (19%) 10 (27%) 3 (8%) 7 (19%) Ventilasi Tidak Baik 28 15 (41%) 13 (35 %) - - Ruang Tidur Tidak Nyaman 22 10 (27%) 12 (32%) - -

Tabel 6. (Lanjutan)

Faktor Gangguan Tidur

Pengalaman Tingkat Gangguan Tidur

Ya n Tidak n (%) Ggn ringan n (%) Ggn sedang n (%) Ggn berat n (%) Cahaya Lampu 12 4 11%) 8 (22%) - - Suhu Ruangan 15 5 (14%) 7 (19%) 3 (8%) - Bau Ruangan 12 3 (8%) 7 (19%) 2 (5%) - 2. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk membahas hasil dari kualitas tidur dan faktor-faktor gangguan tidur pada penderita hipertensi di Puskesmas Teladan Medan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan responden 37 orang. 2.1 Kualitas Tidur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berusia antara 51-60 tahun (41%) dan memiliki total waktu tidur yang tidak normal yaitu hanya sekitar 5-6 jam (43%), sedangkan kebutuhan waktu tidur normal pada orang dewasa adalah 7-8 jam dalam sehari (Patlak, 2005). Secara umum kebutuhan tidur yang tidak normal tentunya akan mempengaruhi peningkatan tekanan darah pada hipertensi (Gangwisch, 2006) , bahkan apabila terjadi dalam waktu yang lama

2003). Hal tersebut diseababkan karena saat tidur tekanan darah dan denyut jantung akan menurun sebanyak 10-20% (Gotlieb, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki waktu yang lama untuk mulai tertidur yaitu 31-60 menit (35%). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa penderita hipertensi memiliki kebiasaan memerlukan waktu lebih lama untuk mulai tertidur (Mansoor, 2002) sehingga akan berdampak pada total jam tidur yang berkurang dan tidak seperti orang normal yang biasanya tertidur dalam waktu 20 menit (Schachter, 2008). Hal ini juga berkaitan dengan mayoritas responden yang mengkonsumsi tembakau (47%) dan teh (32%), adapun kandungan nikotin yang terdapat dalam tembakau dan kandungan kafein yang terdapat dalam teh akan menyebabkan seseorang sulit untuk memulai tertidur (Mukhlidah, 2011).

Selain itu, kondisi klinis yang biasa dialami penderita hipertensi dapat membangunkan penderita dari tidurnya sehingga penderita tidak mendapatkan tidur yang cukup (Potter & Perry, 2005). Hal tersebut dapat dilihat pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa mayoritas responden dapat terbangun 3-4 kali saat tidur di malam hari (38%), sehingga mayoritas responden sebentar-bentar dapat terbangun saat tidur (41%). Dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa mengantuk saat bangun tidur (32%), lemah (41%) dan lelah saat beraktivitas di pagi hari (38%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa seseorang yang tidak mendapatkan tidur yang cukup akan merasa kelelahan saat beraktivitas keesokan harinya (Bastaman, 1988).

2.2 Faktor Gangguan Tidur 2.2.1 Faktor Fisik

Secara umum penderita hipertensi mengalami gangguan tidur karena beberapa kondisi klinis yang dialaminya sehingga berdampak pada kualitas tidur yang buruk (Cortelli, 2004). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 81% responden mengalami pusing karena tekanan darahnya meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari hasil penelitan Cortelli (2006) yang menunjukkan bahwa 46% penderita hipertensi sering mengalami pusing yang berdampak pada kualitas tidur yang buruk, dan apabila pusing tidak diatasi dan semakin parah maka akan semakin meningkat juga tingkat gangguan tidurnya (Albertie, 2006). Selain itu pusing pada penderita hipertensi dapat membangunkan penderita dari tidurnya sehingga penderita tidak mendapatkan tidur yang cukup yang nantinya akan berdampak pada aktivitas di keesokan harinya (Potter & Perry, 2005).

Mayoritas responden menunjukkan bahwa 65% responden, dan diantaranya 35% responden mengalami gangguan tidur akibat nokturia atau sering buang air kecil pada malam hari. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Khuswardhani (2006) yang menujukkan bahwa 68% gejala tersering pada penderita hipertensi adalah nokturia. Selain itu Rains (2006) juga menambahkan bahwa nokturia pada penderita hipertensi dapat menyebabkan seseorang terbangun berulang kali dari tidurnya (Mansoor, 2002)

saat tidur (Louis, 2005) dan mengalami gangguan tidur yang disebabkan sulit bernafas (Dart, 2003).

2.2.2 Faktor Lingkungan

Gangguan tidur juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, di antaranya adalah suara bising, ventilasi yang tidak baik, dan ruang tidur yang tidak nyaman (Potter & Perry, 2005). Dari hasil penelitian 76% mayoritas responden melaporkan bahwa responden mengalami gangguan tidur bila tidak berada diruangan yang memilliki ventilasi baik. Ventilasi yang baik akan menghasilkan jumlah dan kualitas udara yang segar ke seluruh ruangan yang dapat berfungsi mengurangi dan membebaskan udara dari bau maupun udara, selain itu ventilasi juga akan memperngaruhi suhu dalam ruangan (Septi, 2011). Seseorang juga akan mengalami gangguan tidur apabila tidur di ruangan yang terlalu panas ataupun terlalu dingin (Lee, 1997). Hal ini disebabkan karena saat tidur suhu ruangan akan mempengaruhi suhu tubuh dan tekanan darah seseorang saat tidur, jika suhu ruangan meningkat maka hypothalamus akan merangsang pembesaran pori-pori kulit, percepatan peredaran darah, pengeluaran keringat, dan reaksi-reaksi tubuh lainnya yang bertujuan untuk mengurangi panas tubuh yang berlebihan (LPMP, 2012).

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 73% responden yang mengalami gangguan tidur bila berada pada lingkungan yang menimbulkan suara bising. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa, kebisingan dapat menyebabkan tertundanya tidur karena terganggunya konsentrasi seserorang untuk memulai tidur (Mukhlidah, 2011) dan juga dapat membangunkan seseorang dari tidur

(Hanning, 2009). Hasil penelitian oleh Robert Koch (2003) menunjukkan bahwa orang yang hidup di lingkungan pemukiman yang padat cenderung mengalami suara bising, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan berdampak buruk bagi kesehatan jangka panjang penderita hipertensi.

Hasil penelitian menunjukkan 59% mayoritas respoden menunjukkan bahwa responden tidak bisa tertidur jika berada di ruangan dan tempat tidur yang tidak nyaman. Ruangan tidur yang tidak nyaman juga dapat memicu stres oleh ketidakstabilan emosi dan akan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Hal tersebut disebabkan karena ruang tidur merupakan tempat dimana seseorang melepaskan pikiran-pikiran yang penat / lelah setelah seharian melakukan aktifitas. Apabila ruang tidur kotor ataupun bau maka bisa dikatakan itulah faktor utama dari susahnya tidur (Septiyadi, 2005).

Adapun faktor cahaya lampu pada saat tidur juga memberikan pengaruh pada kulaitas tidur seseorang. Cahaya lampu terlalu terang saat tidur dapat menghambat sekresi melatonin pada tubuh yang akan menyebabkan seseorang tidak mengantuk (Mukhlidah, 2011). Hal ini tentunya dapat menyebabkan terjadinya pergeseran sistem sirkadian, dimana jadwal tidur maju secara bertahap dan mengakibatkan seseorang mengalami total jam tidur yang kurang (Sack et al, 2007).

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Secara keseluruhan mayoritas responden memiliki kualitas tidur buruk yang dapat dilihat dari 43% responden memiliki total waktu tidur pada malam hari 5-6 jam, 41% responden memiliki kedalaman tidur, dan 38% responden memiliki frekuensi terbangun 3-4 kali.

Faktor-faktor gangguan tidur pada penderita hipertensi dapat terjadi karena faktor fisik di antaranya adalah pusing 81%, nokturia 65%, dan 51% responden yang perasaan lelah.. Selain itu ada juga faktor lingkungan yang dapat mengganggu tidur di antaranya adalah ventilasi yang tidak baik 76%, suara bising 73%, dan 59% ruang dan tempat tidur yang tidak nyaman.

2. Saran

2.1. Saran bagi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelayanan kesehatan untuk memberikan promosi kesehatan tentang kualitas tidur dan faktor-faktor gangguan tidur pada penderita hipertensi dan bagaimana cara mendapatkan kualitas tidur yang baik terkhusus ditujukan kepada penderita hipertensi.

2.2. Rekomendasi bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru bagi pendidikan keperawatan tentang gambaran kualitas tidur dan faktor-faktor gangguan tidur pada penderita hipertensi sehingga perawat-perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif kepada penderita hipertensi, terkhusus mengenai tidurnya.

2.3. Rekomendasi bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini hanya dilakukan pada 37 orang responden penderita hipertensi di Wilayah kerja Puskesmas Medan Teladan. Untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul penelitian ini sebaiknya mempunyai sampel yang lebih banyak yang mewakili dari beberapa Wilayah Kerja Puskesmas.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Fisiologi Tidur 1.1Definisi

Tidur merupakan keadaan seseorang saat berada pada keadaan bawah sadar yang dapat dibangunkan kembali apabila orang tersebut mengalami respon terhadap rangsangan dari luar seperti rangsangan sensorik ataupun rangsangan lainnya (Guyton & Hall, 1997). Selain itu tidur memiliki urutan siklus yang berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005).

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun.

Salah satu aktvitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. Pusat pengaturan kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.

Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan

batang otak tengah, yaitu bulbar synchronizing regional (BSR), sedangkan bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan system limbik. Dengan demikian, system pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2006).

1.2 Fungsi tidur

Siklus tidur-bangun akan mempengaruhi fungsi fisiologi, respons perilaku, dan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi membuat keputusan serta melakukan kegiatan sehari – harinya. (Potter & Perry, 2005). Saat sakit kebutuhan tidur seseorang penting, hal ini disebabkan karena tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang brfungsi untuk memulihkan kesehatan seseorang (Tarwoto, 2006) agar dapat kembali pada keadaan yang optimal (Priharjo, 1993). Selain itu tidur berfungsi untuk memulihkan keseimbangan alami di antara pusat-pusat neuron (Guyton, 2007).

1.3 Tahapan tidur

Tahapan tidur dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Tidur NREM terdiri dari empat tahapan. Kualitas tidur akan semakin menjadi dalam mulai dari tahap satu sampai tahap empat. Tidur yang dangkal terjadi pada tahap satu dan tahap dua, pada tahap ini seseorang akan lebih mudah terbangun. Sedangkan pada tahap tiga dan empat prroses melibatkan tidur yang dalam disebut tidur gelombang rendah, dan seseorang sulit terbangun.

Tahapan tidur memiliki karakteristik tertentu yang dianalisis dengan bantuan Electroencefalograph (EEG) yang menerima dan merekam gelombang otak, electrooculograph (EOG) yang merekam pergerakan mata dan electromyograph (EMG) yang merekam tonus otot (Lilis, 2001).

Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM). Tahapan tidur NREM dibagi menjadi 4 tahap :

Tahap satu NREM merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur dimana seseorang masih sadar dengan lingkungannya, merasa mengantuk, frekuensi nadi dan nafas sedikit menurun, dan berlangsung selama lima menit. Kualitas tidur tahap ini sangat ringan, seseorang dapat mudah terbangun karena stimulasi sensori seperti suara (Potter & Perry, 2003).

Tahap dua merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun yang ditandai dengan penurunan tanda-tanda vital, metabolisme menurun dan tahap ini berlangsung selama 10-20 menit (Tartowo, 2004). Pada tahap ini seseorang masih relative mudah untuk terbangun, dan berlangsung selama 10-20 menit (Potter & Perry, 2003). Selain itu pada tahap ini, hubungan seseorang dengan lingkungan terputus secara aktif dan hampir seluruh menusia yang dibangunkan pada tahap ini mengatakan bahwa mereka benar – benar tertidur (Maas, 2002). Menurut Potter & Perry (2003), 50% total waktu tidur manusia dewasa normal dihabiskan pada tahap dua NREM.

Tahap tiga yaitu menunjukkan medium deep sleep yang merupakan tahap awal dari tidur yang dalam. Pada tahap ini seseorang akan sulit untuk dibangunkan dan jarang terjadi pergerakan tubuh dan mata, keadaan otot-otot

mengalami relaksasi penuh, adanya dominasi sistem saraf parasimpatis (Hidayat, 2006).

Tahap empat merupakan deep sleep yaitu tahap tidur terdalam yang biasanya diperlukan rangsangan lebih kuat untuk membangunkan, sehingga ketika bangun dari tidur yang dalam, seseorang tidak dapat langsung sadar sempurna dan memerlukan waktu beberapa saat untuk memulihkan dari rasa bingung dan disorientasi. Tahap ini mempunyai nilai dan fungsi perbaikan yang sangat penting untuk penyembuhan fisik kebanyakan hormon perkembangan manusia diproduksi malam hari dan puncaknya selama tidur pada tahap ini (White, 2003).

Tidur Rapid Eye Movement (REM). Tahap tidur REM terjadi setelah 90 – 110 menit setelah tertidur, pada tahap ini ditandai dengan peningkatan denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah, otot – otot relaksasi (Maas, 2002) serta peningkatan sekresi gaster (Potter & Perry, 2003).

Seseorang akan mengalami mimpi selama tidur NREM maupun REM, tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2003).

1.4 Mekanisme tidur

Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas

aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).

Sistem serotoninergik. Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino triptofan. Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalam triptofan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/ jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotoninergik ini terletak pada nucleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis dengan tidur REM.

Sistem adrenergik. Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan sel nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.

Sistem kolinergik. Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002) membuktikan dengan pemberian prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kolinergik ini, mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam kedaan jaga. Gangguan aktivitas kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran

kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

Sistem histaminergik. Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

Sistem hormon. Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

1.5 Faktor yang memepengaruhi tidur

Penyakit. Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Mukhlidah, 2011).

Latihan dan Kelelahan. Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan

Stres Psikologis. Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur (Mukhlidah, 2011)

Obat. Gangguan tidur dapat disebabkan oleh penggunaan stimulan yang kronik seperti kafein, amphetamin, nikotin. Ketika tidur, tubuh mulai memetabolisme alkohol dan hal ini mempengaruhi aktivitas otak. Alkohol bagi sebagian orang berhasil membuat tidur lebih cepat, namun di saat yang sama, alkohol membuat tubuh mengalami dehidrasi. Ketika tubuh terbangun untuk mencari air karena dehidrasi, tubuh tidak dapat kembali tidur tahap REM. Pecandu alkohol aktif mengalami gangguan tidur yang spesifik, yakni membutuhkan waktu lebih banyak untuk jatuh tertidur, sering terbangun, kekurangan tidur yang berkualitas, dan bahkan kelelahan di siang hari. Nikotin dari rokok bersifat neurostimultan yang justru membangkitkan semangat. Rokok meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut jantung, dan meningkatkan aktivitas otak, membuat orang yang mengisapnya justru tak bisa relaks, mendorong pelakunya tak bisa tidur. Kafein di dalam kopi membuat jantung dan otak kita menjadi siaga. Akibatnya, kafein menghalangi tubuh untuk melepaskan sebuah kimia alami tubuh yang dikenal sebagai adenosin merupakan senyawa kimia yang menimbulkan efek penenang (Mukhlidah, 2011). Selain itu beberapa golongan obat antihipertensi dapat menimbulkan gangguan tidur (Japardi, 2002) seperti diuretik, betablocker, antagonis kalsium dan ACEI (Gray, 2003).

Lingkungan. Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur. Suara yang terlalu keras, cahaya yang terlalu terang, tempat yang kondusif, suhu, dan kebiasaan sebelum tidur yang dapat mengganggu konsentrasi tidur tentunya kana mempengaruhi proses tidur (Mukhlidah, 2011).

Motivasi. Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur. (Brandon, 2006).

1.6 Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap mengahadapi hidup baru setelah bangun tidur. Kualitas tidur bersifat subjektifitas yang hanya dapat dinilai berdasarkan indikator kondisi tubuh saat bangun tidur (Mukhlidah, 2011). Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu yang diperlukan untuk memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, lama tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Eser, 2007). Kualitas tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu seberapa menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif yang dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan, gerakan kepala dan mata (Mac Arthur, 1997; Nisrina, 2008).

Data subjektif. Dapat dievaluasi dengan persepsi para penderita penyakit tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan

para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan apakah mereka mendapatkan tidur yang baik atau buruk. Jika para penderita penyakit puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005).

Data objektif. Dapat dilihat melalui pengkajian fisik penderita penyakit yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon yang lamban, ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi. Selain itu, data objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter & Perry, 2005).

2. Faktor-faktor gangguan tidur pada hipertensi 2.1 Faktor fisik

Keadaan sakit menjadikan seseorang kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik, atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi dapat menyebabkan masalah tidur. Penderita hipertensi pada umumnya mengalami sakit kepala selain itu penderita juga mudah lelah, sulit bernafas, sukar tidur (Dalimartha, 2008). Gejala-gejala tersebut dapat mengganggu tidur seseorang.

Pusing. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan hipertensi. (Guyton & Hall, 1997). Pada pasien hipertensi, pusing biasanya dikarenakan oleh manifestasi

klinis yang dialami pasien. Hal ini sejalan dengan Albertie (2006) yang menyatakan bahwa pusing akan menyebabkan gangguan tidur dan apabila pusing semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya. Selain itu Rains (2006) juga menambahkan bahwa pusing dapat menyebabkan seseorang terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang.

Batuk. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan adanya efek samping dari terapi pengobatan hipertensi dengan menggunakan penghambat renin angiotensin (ACEI) yang diberikan pada penderita hipertensi.

Sesak nafas atau sulit bernafas. Menurut Boynton (2003), kesulitan bernafas dapat menyebabkan seseorang sering terbangun dari tidurnya di malam hari. Japardi (2002) menambahkan, kadang-kadang ada kesulitan untuk jatuh tertidur lagi ketika sudah terbangun akibat kesulitan bernafas dan ini dapat menyebabkan nyeri kepala dan perasaan tidak enak ketika bangun di pagi hari.

Gelisah. Martin (2000) menyatakan bahwa kesulitan tidur dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur dan ia juga menambahkan bahwa orang yang kesulitan tidur biasanya tidak mendapatkan tidur yang cukup sehingga akan mempengaruhi aktivitasnya di pagi hari.

Perasaan lelah. Kelelahan dapat menyebabkan gangguan tidur, dimana biasanya seseorang yang kelelahan akan merasa seolah-olah mereka bangun ketika tidur dan biasanya tidak mendapatkan tidur yang dalam (Shapiro et al, 1993).

(Mansoor, 2002) dan memerlukan waktu yang lama untuk mulai tertidur sehingga akan berdampak pada total jam tidur yang berkurang dan tidak seperti orang normal yang biasanya tertidur dalam waktu, 20 menit (Schachter, 2008)

2.2 Faktor lingkungan

Menurut Potter & Perry (2005) keadaan lingkungan dapat mempengaruhi kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur di antaranya adalah suara/ kebisingan, suhu ruangan, dan pencahayaan. Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses tidur.

Suara bising. Kebisingan dapat menyebabkan tertundanya tidur dan juga dapat membangunkan seseorang dari tidur (Hanning, 2009). WHO (2004) juga menyatakan hal yang sama namun WHO menambahkan bahwa sebagian besar orang tidak mengeluhkan kurang tidur karena kebisingan tetapi memiliki tidur

Dokumen terkait