• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Risiko Jatuh .1Pengertian .1Pengertian

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Risiko Jatuh

Risiko jatuh dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri orang tersebut misalnya dari lingkungan sekitar.

1). Faktor Intrinsik a. Usia

Usia mempengaruhi risiko jatuh dari seseorang, dimana usia atau umur erat kaitannya dengan proses pertumbuhan dan proses penuaan. Pada lansia yang telah mengalami proses penuaan, terjadi penurunan fisiologis pada tubuhnya, dan proses penuaan tersebut berlangsung secara terus menerus.

8

Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada lansia. Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-respirasi, indra dan integumen. Perubahan - perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi

1. Sistem muskuloskeletal

Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi perubahan pada jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi.

a). Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan dan penurunan hubungan tarikan linear sehingga terjadi penurunan mobilitas pada jaringan tubuh karena penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada kolagen sehingga terjadi penurunan daya mekanik, daya elastik dan timbul kekakuan (Timiras & Navazio, 2008). Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, serta terjadi hambatan dalam melakukan aktivitas setiap hari (Lewis & Bernstein, 1996). Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi aktivitas sehari – hari pada lansia.

b). Kartilago

Karena penuaan jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan akhirnya menjadi rata, sehingga kemampuan kartilago untuk regenerasi

berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif.

Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago di persendian mengalami kalsifikasi, sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang berpelumas menurun, sehingga kartilago pada persendian rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan tersebut sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas setiap hari (Sri Surini & Utomo, 2002).

c). Tulang

Secara fisiologis penuaan berdampak pada menurunnya kepadatan tulang. Trabecula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal

terabsorbsi kembali, sehingga jumlah spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa penurunan estrogen sehingga produksi osteoklast tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhannya menyebabkan kekakuan dan penurunan kekuatan tulang sehingga berdampak munculnya osteoporosis yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Timiras & Navazio, 2008). Kondisi tersebut dapat membatasi kemampuan dari lansia dan menyebabkan lansia mengalami gangguan dalam aktivitas fisiknya sehari – hari.

10

d). Otot

Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi pada masing – masing orang. Perubahan tersebut meliputi penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan, otot penurunan fleksibilitas otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional (Bonder & Wagner, 1994). Perubahan morfologi otot seperti pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan (Sumber : Bonder & Wagner, 1994)

Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan 1. Penurunan jumlah serabut otot

2. Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan hipertrofi pada beberapa serabut otot yang lainnya.

3. Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch) 4. Penumpukan lipofusin.

5. Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung. 6. Adanya ringbinden.

7. Adanya badan sitoplasma 8. Degenerasi miofibril

e). Sendi

Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia pada lansia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan partikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga sendi kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak pada penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan kekakuan sendi.

2. Sistem Saraf

Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif, hal ini menyebabkan terjadinya gangguan koordinasi dan kemampuan dalam beraktivitas pada lansia. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak yang mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel saraf mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan hubungan dengan sel saraf lain. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10 % sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37 % (Timiras & Maletta, 2008). Kondisi tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleksi, proprioseptif, perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian latihan koordinasi dan keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas dan postur (Sri Surini & Utomo, 2002). Latihan untuk menjaga dan

12

mengoptimalkan kebugaran lansia juga harus diberikan untuk

memaksimalkan kondisi sistem saraf lansia. 3. Sistem kardiovakuler

Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat katup jantung mengalami fibrosis. Sinoatrial node (SA node) dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan takanan sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras & Navazio, 2008). Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya penumpukan darah (poling of bload) menurun, sehingga respon terhadap hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal (VO2 maksimum) berkurang, sehingga kapasitas vital paru menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan VO2 maksimum, mengurangi tekanan darah dan berat badan (Timiras & Navazio, 2008 ). 4. Sistem Indera

Semua sistem indera yang berhubungan dengan keseimbangan statik dan dinamik akan menurun bersamaan dengan menurunnya usia, seperti penglihatan (visual) dan vestibular. Perubahan pada sistem penglihatan (visual) menyebabkan cahaya yang dihantar ke retina berkurang sehingga

ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang-gelap menurun, ketajaman penglihatan serta jarak pandang menurun. Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan oleh katarak, degenerasi makuler dan penglihatan perifer yang menghilang. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam makula dan sel saraf. Karena kondisi tersebut lansia akan kesulitan memperkirakan jarak dan memposisikan kepala pada garis keseimbangan sehingga sering terjadi gangguan keseimbangan fungsional pada lansia (Sri Surini & Utomo, 2002 ).

b. Kekuatan Otot

Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot yang dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang maksimum. Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012).

Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat agar bisa menggerakan anggota gerak bawah untuk melakukan gerakan fungsionalnya (Nugroho, 2011). Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan

14

kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk mempertahankan posisi tegak dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun dinamis saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu.

Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah melewati usia 30 tahun, manusia akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot total per dekade. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3) peningkatan risiko jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi lansia berhubungan erat dengan kekuatan otot yang bersifat individual. Lansia dengan kekuatan otot quadrisep yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk dan berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder & Wagner, 1994). Penelitian lain menunjukkan bahwa kelemahan otot abduktor sendi panggul dapat mengurangi kemampuan lansia mempertahankan keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan timbulnya gangguan postural. Penurunan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons terhadap keseimbangan

(Bonder & Wagner, 1994). Penurunan terhadap respon keseimbangan meyebabkan timbulnya ganngguan dalam mengontrol keseimbangan.

c. Keseimbangan 1). Definisi

Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity)

adalah suatu titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut berpindah untuk memberikan kompensasi agar tidak terjadi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh et al, 2006).

Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh yang lain saat melakukan suatu gerakan (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014)

16

2). Fisiologi Keseimbangan

Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor di sendi dan otot menerima masukan proprioseptif dan reseptor di kanalis semikularis menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang diterima di salurkan ke nukleus vertibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan kembali ke

nukleus vertibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata eksternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan statis yang optimal (Yuliana, 2014)

Kontrol keseimbangan dipengaruhi oleh sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.

a). Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Penglihatan memberikan informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan terjadi ketika mata menerima sinar yang dipantulkan oleh benda sesuai jarak pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat melakukan penyesuaian atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan

aktivitas sehingga otot dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh (Irfan, 2010). Gangguan pada mata seperti presbiopi, kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang), kekeruhan pada lensa mata (katarak), tekanan dalam mata yang meningkat (glaukoma) dan peradangan saraf mata akan menimbulkan gangguan penglihatan, semua perubahan tersebut akan mempengaruhi keseimbangan (Nugroho, 2000). Bila mata ditutup akan lebih sulit mengatur keseimbangan badan dibandingkan dengan mata terbuka (faktor visual). Jika mata ditujukan pada satu titik di depan ketika berjalan maka akan lebih stabil dibandingkan dengan mata melihat ke tempat lain. Pusat keseimbangan juga menerima pancaran rangsangan dari saraf aferen mata, sehingga apa yang dilihat oleh mata juga akan merangsang pusat keseimbangan yang ada di otak. Terdapat kerjasama yang amat erat antara mata dan pusat keseimbangan dalam mengatur keseimbangan tubuh (Nala, 2002). Karena itulah mata menjadi salah satu faktor penting dalam pengaturan keseimbangan tubuh baik saat diam maupun bergerak.

b). Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta

sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem

18

dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke

nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, talamus dan korteks serebri (Canan, 2015) . Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular

menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot - otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular

bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Canan, 2015)

c). Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui

kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus (Irfan, 2010). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari

reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot diproses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Irfan, 2010).

Selain sistem sensoris, pengaturan keseimbangan juga dipengaruhi oleh komponen lainya yaitu respon otot-otot postural yang sinergis, kekuatan otot, adaptive system dan lingkup gerak sendi. Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan tubuh dalam berbagai posisi terjadi jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Nugroho, 2011).

Komponen lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah adaptive systems dan lingkup gerak sendi. Kemampuan adaptasi akan memodifikasi

input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan. Sementara lingkup gerak sendi (joint range of motion), membantu tubuh dalam melakukan suatu gerakan dan mengarahkan gerakan tersebut terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi (Nugroho, 2011).

20

3). Faktor – Fator yang Mempengaruhi Keseimbangan a). Pusat Gravitasi (Centre of Gravity-COG)

Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam 27 area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan, 2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Centre of Gravity Sumber : Irfan, 2012 b). Garis Gravitasi (Line of Gravity-LOG)

Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada tulang temporal, bagian

anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan anterior knee

dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.2.

Gambar : 2.2 Line of Gravity Sumber : Army, 2012

22

c). Bidang Tumpu (Base of Support-BOS)

Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Base of Support Sumber : (William & Whiting, 2015) 4). Penurunan Keseimbangan pada Lansia

Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik,

gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013).

Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006).

Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel

24

rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006).

Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).

Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus.

Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009).

d. Indeks Massa Tubuh ( IMT )

Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan karena penumpukan lemak di dalam otot sementara sel otot sendiri berkurang jumlah dan volumenya, sehingga ada kecenderungan untuk mengurangi aktifitas fisik karena obesitas. Hal ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat membatasi mobilitas yang berpengaruh terhadap keseimbangan karena menjadi lamban di dalam bergerak dan kurangnya reaksi antisipasi terhadap perubahan Centre Of Gravity (COG) serta secara umum akan menurunkan kualitas hidup lansia. 2). Faktor Ekstrinsik

a). Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah penerangan yang tidak baik, lantai yang licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang, dan alat – alat atau perlengkapan rumah yang tidak stabil

b). Latihan atau Aktivitas Fisik

Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa digunakan untuk memperbaiki faktor fisiologis yang menyebabkan kejadian jatuh adalah program latihan fisik. Latihan fisik dapat didefinisikan sebagai sebuah tipe aktivitas yang direncanakan, terstruktur dan berupa gerakan tubuh yang berulang – ulang yang dilakukan untuk meningkatkan atau mempertahankan satu atau lebih komponen kebugaran fisik.

Dokumen terkait