• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERIAN OTAGO HOME EXERCISE PROGRAMME LEBIH BAIK DALAM MENGURANGI RISIKO JATUH DARIPADA BALANCE STRATEGY EXERCISE PADA LANSIA DI TABANAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBERIAN OTAGO HOME EXERCISE PROGRAMME LEBIH BAIK DALAM MENGURANGI RISIKO JATUH DARIPADA BALANCE STRATEGY EXERCISE PADA LANSIA DI TABANAN."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

LEBIH BAIK DALAM MENGURANGI RISIKO JATUH

DARIPADA BALANCE STRATEGY EXERCISE PADA LANSIA

DI TABANAN

011

I GEDE PUTU WAHYU MAHENDRA

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

SKRIPSI

PEMBERIAN OTAGO HOME EXERCISE PROGRAMME

LEBIH BAIK DALAM MENGURANGI RISIKO JATUH

DARIPADA BALANCE STRATEGY EXERCISE PADA LANSIA

DI TABANAN

Oleh:

I GEDE PUTU WAHYU MAHENDRA

1202305010

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)
(4)
(5)
(6)

PEMBERIAN OTAGO HOME EXERCISE PROGRAMME LEBIH BAIK

DALAM MENGURANGI RISIKO JATUH DARIPADA BALANCE STRATEGY

EXERCISE PADA LANSIA DI TABANAN

ABSTRAK

Seiring dengan meningkatkanya kesejahteraan dan kesehatan penduduk, Umur Harapan Hidup (UHH) juga mengalami peningkatan. Peningkatan UHH ini berarti meningkatnya populasi lanjut usia (lansia) dengan menurunya angka kematian. Lansia erat kaitannya dengan proses penuaan, dimana karena proses penuaan tersebut terjadi penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan timbulnya berbagai gangguan pada lansia. Salah satu gangguan fisik yang sering terjadi pada lansia adalah jatuh, karena itu di perlukan dilakukan upaya untuk menganalisis risiko jatuh dengan menggunakan Timed Up And GO Test (TUGT). Selain upaya untuk menganalisis risiko jatuh, juga diperlukan upaya untuk mengurangi risiko jatuh salah satunya dengan pelatihan Otago Home Exercise Programme dan

Balance Strategy Exercsise.

Telah dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan Randomized Pre Test dan Post Test Control Group Desain. Teknik pengambilan sampel adalah

simple random sampling. Sampel berjumlah 30 orang lansia yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang mendapat pelatihan Otago Home Exercise Programme berjumlah 15 orang dan kelompok kontrol yang mendapat pelatihan Balance Strategy Exercsise berjumlah 15 orang.

Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan risiko jatuh kelompok perlakuan 3,933 dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan risiko jatuh sebesar 2,0007 . Hasil uji paired sample t-test didapatkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,000 (p<0,05) pada kelompok perlakuan dan nilai p=0,000 (p<0,05) pada kelompok kontrol. Uji beda selisih dengan independent t-test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dimana p=0,000 (p<0,05) dengan persentase sebesar 25,16% pada kelompok perlakuan dan 12,80% pada kelompok kontrol.

Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan Otago Home Exercise Programme

menghasilkan penurunan risiko jatuh pada lansia lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan pelatihan Balance Strategy Exercsise

(7)

ABSTRACT

Along with the increasing of wellfare and welfare in population, life exepectancy also increasing. This mean increasing in elderly population with decreasing of mortality rates. Elderly closely associated with the aging process, where due to the aging process body function are impaired and induced many disorder in elderly population. One physical disorder that often occurs in the elderly is falling, because of that effort to analyze falling risk using the Timed and Go Test (TUGT) is needed. Besides effort to analyze falling risk, it is also necessary to reduce it by training with Otago Home Execise Programme and Balance Strategy Exercise.

This experimental research has been done with Randomized Pre and Post Test Control Group Design. The sampling technique is simple random sampling. The samples included 30 elderly who divided into 2 groups with 15 people in each group. The treatment group received Otago Home Execise Programme and the control group receive Balance Strategy Exercise.

The result showed a decrease of falling risk 3,933 in the treatment group and 2,0007 in the control group. Paired samples test resuled a significant difference with p = 0,000 (0 <0,05) for treatment group and p = 0,000 (0 <0,05) for the control group. Mean difference is tested with independent t-test showed a significant difference between the treatment group and control group in which p = 0,000 (0 <0,05) with the percentage of 25,16% for control group and 12,80% for control group.

This indicate that training with Otago Home Execise Programme resulted of decreased of falling risk in elderly are significantly larger than training with Balance Strategy Exercise.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pemberian Otago Home Exercise Programme Lebih Baik dalam Mengurangi Risiko Jatuh daripada Balance Strategy Exercise pada Lansia di Tabanan”.

Tugas ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana

Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi

penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk

itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi

ini, yaitu kepada :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT., M.Kes selaku dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana

2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, PFK. selaku ketua Program Studi

Fisioterapi Universitas Udayana.

3. Ni Luh Nopi Andayani, SSt.FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus

pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam

penyusunan ini.

4. dr. I Made Krisna Dinata, M.Erg selaku pembimbing sekaligus pengajar

yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan

skripsi ini.

5. Seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan sehingga dapat

(9)

dan pendidikan Sarjana Fisioterapi.

7. Orang yang saya sayangi yang sudah menemani saya belakangan ini,

Komang Eni Pradnyanaputri yang telah banyak memberi motivasi dan

semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

8. Seluruh teman-teman saya di Axoplasmic, angkatan 2012 Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, tidak mungkin penulis sebutkan satu

persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh teman-teman di grup Bianglala dan Evidancebased yang tidak

mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini.

10.Seluruh kerabat dan sejawat fisioterapi yang tidak mungkin penulis

sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi

ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak sangat

diharapkan.

Denpasar, Juni 2016

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...……… i

PERNYATAAN PERSETUJUAN………. ii

LEMBAR PENGESAHAN………... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR………...………... vii

DAFTAR ISI………...………...……….. ix

DAFTAR GAMBAR………...……...………. xiii DAFTAR TABEL………..………...…...……… xv

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 4

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 4

1.3.1 Tujuan Umum………. 4

1.3.2 Tujuan Khusus……… 5

1.4 Manfaat Penelitian…..………... 5

1.4.1 Manfaat Teoritis………. 5

1.4.2 Manfaat Praktis……….. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….... 7

(11)

2.1.3 Dampak Jatuh Pada Lansia……… 26

2.1.4 Pencegahan Jatuh Pada Lansia.………. 27

2.2 Otago Home Exercise Programme………... 28

2.2.1 Pengertian……...………... 28

2.2.2 Jenis Latihan Otago Home Exercise Programme.……….. 29

2.3 Balance Strategy Exercise..……… 44

2.3.1 Ankle Strategy Exercise………... 44

2.3.2 Hip Strategy Exercise ...……….. 45

2.3.3 Stepping Strategy Exercise... 46

2.4Mekanisme Penurunan Risiko Jatuh Setelah Latihan………….………….. 47

2.5 Perbedaan Otago Home Execise Programme dengan Balance Strategy Exercise………...……….………… 50

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN HIPOTESIS……….……... 52

3.1 Kerangka Berpikir……….………… 52

3.2 Konsep Penelitian……….………… 54

3.3 Hipotesis……….……….. 55

BAB IV METODE PENELITIAN……….………... 56

4.1 Desain Penelitian……….…...…….. 56

(12)

4.3 Populasi dan Sampel……….………… 57

4.3.1 Populasi………..….………….. 57

4.3.2 Sampel………..………….…………..….. 57

4.3.3 Besar sampel………..……….……….. 58

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel………..……….…………...….. 59

4.4 Variabel Penelitian………..…….……… 60

4.5 Definisi Operasional Variable………..….…….……….. 60

4.6 Instrumen Penelitian……….….…….……..………62

4.7 Prosedur Penelitian………..……….………62

4.7.1 Prosedur Pendahuluan……….………..………62

4.7.2 Prosedur Pelaksanaan………...………….63

4.8 Alur Penelitian………...………...…………81

4.9 Teknik Analisis Data………...…….…82

BAB V METODE PENELITIAN……..………..…….... 84

5.1 Data Karakteristik Sampel ... 84

5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 86

(13)

Dinamis Sebelum dan Sesudah Pelatihan

Pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan ... 88

BAB VI PEMBAHASAN ... 90

6.1 Karakteristik Sampel ... 90

6.2 Penurunan Risiko Jatuh pada Kelompok Pelatihan Otago Home Exercise Programme... 91

6.3Penurunan Risiko Jatuh pada Kelompok Balance Strategy Exercise... 94

6.4Pelatihan Otago Home Exercise Programme Lebih Baik dalam Mengurangi Risiko Jatuh daripada Balance Strategy Exercise... 97

BAB VII PENUTUP... 101

7.1 Simpulan ... 101

7.2 Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Centre of Gravity…...………... 21

Gambar 2.2 Line of Gravity……...………. 21

Gambar 2.3 Base of Support…...………. 22

Gambar 2.4 Ankle Strategy Exercise……….. 45

Gambar 2.5 Hip Strategy Exercise………...……….. 46

Gambar 2.6 Stepping Strategy Exercise………... 47

Gambar 3.1 Kerangka Konsep……….. .54

Gambar 4.1 DisainPenelitian…….……….56

Gambar 4.2 Sit to Stand………...……… 64

Gambar 4.3 Walk 3 meter….………...……… 64

Gambar 4.4 Turn Around………….………...………. 65

Gambar 4.5 Approach Chair and Stand to Sit….………...………….….… 64

Gambar 4.6 Head Movement..………...………..… 66

Gambar 4.7 Neck Movement………...……… 66 Gambar 4.8 Back Extebsion.………...……… 67

Gambar 4.9 Trunk Movement..………...……… 67

Gambar 4.10 Ankle Movement………...……… 68

Gambar 4.11 Calf Stretch... ...74

Gambar 4.12 Back of Thigh Stretch ...75

Gambar 4.13 Ankle Strategy Exercise ...76

(15)
(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perubahan Morfologi Otot pada Proses Penuaan…...…….. 10

Tabel 2.2 Pemanasan Otago Home Exercise Programme....………. 29

Tabel 2.3 Latihan Penguatan Otago Home Exercise Programme...32

Tabel 2.4 Latihan Keseimbanan Otago Home Exercise Programme...35

Tabel 2.5 Pendinginan Otago Home Exercise Programme...43

Tabel 4.1 Latihan Penguatan... 68

Tabel 4.2 Latihan Keseimbangan dan Latihan Jalan... 70

Tabel 4.3 Jadwal Penelitian………...…84

Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ...85

Tabel 5.2 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Usia dan IMT...85

Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Penurunan Risiko Jatuh Sebelum dan Sesudah Pelatihan...86

Tabel 5.4 Rerata Penurunan Risiko Jatuh Sebelum dan Sesudah Pelatihan....87

Tabel 5.5 Selisih Penurunan Risiko Jatuh Sebelum dan Sesudah Pelatihan Pada Kedua Kelompok ...88

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan meningkatkanya kesejahteraan dan kesehatan penduduk,

Umur Harapan Hidup (UHH) juga mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan

Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia terjadi peningkatan UHH. Pada tahun

2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia

adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan

persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun

(dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%). Peningkatan UHH ini berarti

meningkatnya populasi lanjut usia (lansia) dengan menurunya angka kematian

(Kemenkes, 2013). Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012 jumlah lansia di Bali

9,78% dari total seluruh lansia di Indonesia.

Lanjut usia atau lansia adalah individu yang mengalami proses penuaan

secara terus menerus yang mengakibatkan turunnya daya tahan fisik sehingga

rentan mengalami gangguan fungsi tubuh dan rentan terserang penyakit yang dapat

menyebabkan kematian. Lanjut usia digolongkan menjadi 4 yaitu : Usia

pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (WHO, 1989).

Pada lansia banyak sekali masalah fisik yang terjadi salah satunya yaitu jatuh

(18)

2

jatuh adalah penyebab utama kematian dini, cedera fisik, dan keterbatasan gerak.

Cedera fisik yang sering terjadi karena jatuh adalah fraktur collum femur yang dapat mengakibatkan keterbatasan gerak bahkan kematian pada lansia (Columbia, 2004).

Berdasarkan survei di masyarakat AS, terdapat sekitar 30% lansia berumur

lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami

jatuh berulang, lima persen dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau

memerlukan perawatan di rumah sakit. Selain patah tulang jatuh juga menimbulkan

luka berat, dimana luka berat merupakan penyebab kematian nomor lima pada

lansia (Probosuseno, 2009)

Dengan melihat dampak dan komplikasi jatuh yang dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas maka dikembangkanlah metode untuk menilai risiko

jatuh pada lansia. Salah satu metode yang digunakan untuk menilai risiko jatuh pada

lansia adalah Timed Up and Go (TUG) Test (Cook et al, 2000). TUG adalah alat ukur keseimbangan untuk mengukur mobilitas sejauh 3 meter. Pengukuran

keseimbangan dengan TUG dilakukan karena keseimbangan merupakan faktor

utama terjadinya jatuh dan penelitian lain yang menyebutkan 51% orang dengan

gangguan keseimbangan umur 65 – 74 tahun dilaporkan mengalami jatuh.

Pengkajian validitas dan reabilitas TUG dilakukan dari segi sensitivitas dan

spesifisitasnya, dengan hasil sensitivitas sebesar 80% dan spesifisitas sebesar 56%.

Dari hasil tesebut dibuat kesimpulan bahwa TUG dapat digunakan sebagai alat ukur

kesimbangan dan dapat membantu mengidentifikasi risiko jatuh pada lansia. Dalam

artikel STEADI (Stopping Elderly Accident, Death and Injury) disebutkan bahwa

(19)

nilai TUG ≥ 14 detik memiliki risiko tinggi untuk jatuh sebesar 87% (Cook et al, 2000). Dalam penelitian yang dilakukan Ryan Arianda (2014) juga didapatkan hasil

lansia dengan riwayat jatuh berulang memiliki nilai TUG lebih dari 14 detik.

Untuk mengurangi risiko jatuh pada lansia harus dilakukan latihan atau

program latihan untuk meningkatkan keseimbangan pada lansia (WHO, 2007). Ada

beberapa program latihan untuk meningkatkan keseimbangan salah satunya adalah

Otago Home Exercise Programme. Otago Home Exercise Programme adalah program latihan yang mengkombinasikan latihan penguatan (strengthing), latihan keseimbangan (balance) dan program jalan. Program latihan ini didesain khusus untuk mengurangi kejadian jatuh, dengan cara meningkatkan kekuatan anggota

gerak bawah, meningkatkan keseimbangan serta memberikan latihan jalan

(Campbell et al, 1997). Latihan dalam Otago Home Exercise Programme

menyesuaikan dengan gerakan fungsional sehari – hari sehingga juga dapat mengoptimalkan kemampuan lansia dalam melakukan gerakan fungsionalnya.

Selain itu juga ada Balance Strategy Exercise yang merupakan kombinasi dari

Ankle strategy exercise, Hip strategyexercise dan Stepping strategy exercise yang mebertujuan untuk meningkatkan keseimbangan dengan memanfaatkan kontrol

postural dalam melakukan suatu gerakan (Yuliana, 2014).

Kedua jenis program latihan tersebut dapat meningkatkan keseimbangan

sehingga dapat mengurangi risiko jatuh pada lansia yang diukur dengan Timed Up

(20)

4

awalnya 14,50 detik turun menjadi 11,80 detik yang disertai dengan peningkatan

pada aspek keseimbangan, kecepatan berjalan dan panjang langkahnya. Balance Strategy Exercise berdasarkan penelitian Jennifer Nitz & Nancy Low juga menurunkan risiko jatuh dimana dari nilai awal TUG Test sebesar 12,2 detik turun

menjadi 10,2 detik, selain itu juga terjadi peningkatan keseimbangan.

Berdasarkan hasil dari penelitan sebelumnya kedua latihan sama-sama dapat

menurunkan risiko jatuh namun pada Otago Home Exercise Programme juga terjadi peningkatan pada aspek – aspek lain yang juga penting bagi lansia. Karena hal itulah peneliti mengatakan Otago Home Exercise Programme lebih baik daripada Balance Strategy Exercise. Karena kurangnya data penelitian yang membandingkan kedua jenis program tersebut sehingga penulis tertarik untuk

menganalisa dan mengangkat judul ini dengan mengambil tempat penelitian di

daerah Tabanan. Dengan lama penelitian selama 4 minggu karena latihan fisik baru

akan menunjukan peningkatan pada tubuh setalah mendapatkan pelatihan lebih dari

3 minggu dengan intensitas latihan 3 kali seminggu (Nala,2002)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti

adalah :

1. Apakah pemberian Otago Home Exercise Programme dapat mengurangi risiko jatuh pada lansia di Tabanan.

(21)

3. Apakah pemberian Otago Home Exercise Programme lebih baik dalam mengurangi risiko jatuh daripada Balance Strategy Exercise pada lansia di Tabanan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas

pemberian Otago Home Exercise Programme dan Balance Strategy Exercise dalam mengurangi risiko jatuh lansia.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penenelitian ini adalah :

1. Untuk membuktikan pemberian Otago Home Exercise Programme dapat mengurangi risiko jatuh pada lansia di daerah Tabanan.

2. Untuk membuktikan pemberian Balance Strategy Exercise dapat mengurangi risiko jatuh pada lansia di daerah Tabanan.

3. Untuk membuktikan pemberian Otago Home Exercise Programme lebih baik dalam mengurangi risiko jatuh daripada Balance Strategy Exercise

pada lansia di Tabanan

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca

(mahasiswa) tentang pengaruh Otago Home Exercise Programme dan

(22)

6

2. Digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya

yang akan membahas tentang hal ini.

3. Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya dan

fisioterapi pada khususnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan tindakan fisioterapi dalam

mengurangi risiko jatuh pada lansia.

2. Dapat dijadikan salah satu pilihan latihan sebagai langkah preventif dalam

(23)

2.1 Risiko Jatuh

2.1.1 Pengertian

Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan berdasarkan

North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), yang didefinisikan

sebagai peningkatan kemungkinan terjadinya jatuh yang dapat menyebabkan

cedera fisik (Wilkinson, 2005).

Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di

lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut tidak termasuk orang yang

sengaja berpindah posisi ketika tidur (WHO, 2007).

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Risiko Jatuh

Risiko jatuh dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan faktor

eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri orang tersebut misalnya dari

lingkungan sekitar.

1). Faktor Intrinsik

a. Usia

Usia mempengaruhi risiko jatuh dari seseorang, dimana usia atau umur

erat kaitannya dengan proses pertumbuhan dan proses penuaan. Pada lansia

yang telah mengalami proses penuaan, terjadi penurunan fisiologis pada

(24)

8

Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada

lansia. Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem muskuloskeletal, saraf,

kardio-vaskuler-respirasi, indra dan integumen. Perubahan - perubahan

fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi

1. Sistem muskuloskeletal

Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi perubahan pada

jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi.

a). Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,

kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan dan penurunan

hubungan tarikan linear sehingga terjadi penurunan mobilitas pada jaringan

tubuh karena penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan kualitatif dan

kuantitatif pada kolagen sehingga terjadi penurunan daya mekanik, daya

elastik dan timbul kekakuan (Timiras & Navazio, 2008). Perubahan pada

kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga

menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan

kemampuan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, serta

terjadi hambatan dalam melakukan aktivitas setiap hari (Lewis & Bernstein,

1996). Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi aktivitas sehari – hari

pada lansia.

b). Kartilago

Karena penuaan jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan

(25)

berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif.

Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago di persendian mengalami kalsifikasi,

sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang

berpelumas menurun, sehingga kartilago pada persendian rentan terhadap

gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat

badan. Akibat perubahan tersebut sendi mudah mengalami peradangan,

kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas setiap hari

(Sri Surini & Utomo, 2002).

c). Tulang

Secara fisiologis penuaan berdampak pada menurunnya kepadatan

tulang. Trabecula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal

terabsorbsi kembali, sehingga jumlah spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa penurunan estrogen

sehingga produksi osteoklast tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium

di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya

jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhannya menyebabkan kekakuan

dan penurunan kekuatan tulang sehingga berdampak munculnya osteoporosis

yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Timiras

& Navazio, 2008). Kondisi tersebut dapat membatasi kemampuan dari lansia

dan menyebabkan lansia mengalami gangguan dalam aktivitas fisiknya sehari

(26)

10

d). Otot

Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi pada masing –

masing orang. Perubahan tersebut meliputi penurunan jumlah dan ukuran

serabut otot, atropi pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa

serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung

dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah penurunan

kekuatan, otot penurunan fleksibilitas otot, perlambatan waktu reaksi dan

penurunan kemampuan fungsional (Bonder & Wagner, 1994). Perubahan

morfologi otot seperti pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan (Sumber : Bonder & Wagner, 1994)

Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan

1. Penurunan jumlah serabut otot

2. Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan

hipertrofi pada beberapa serabut otot yang lainnya.

3. Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch) 4. Penumpukan lipofusin.

5. Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung.

6. Adanya ringbinden. 7. Adanya badan sitoplasma

8. Degenerasi miofibril

(27)

e). Sendi

Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia pada

lansia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan

partikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi

degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga

sendi kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak pada penurunan luas gerak

sendi dan menimbulkan kekakuan sendi.

2. Sistem Saraf

Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons

motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif, hal

ini menyebabkan terjadinya gangguan koordinasi dan kemampuan dalam

beraktivitas pada lansia. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia

mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Akson, dendrit dan badan sel

saraf banyak yang mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami

perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel saraf

mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan hubungan dengan

sel saraf lain. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10 % sehingga gerakan

menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37 % (Timiras &

Maletta, 2008). Kondisi tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif,

koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleksi, proprioseptif, perubahan

postur dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian

latihan koordinasi dan keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas

(28)

12

mengoptimalkan kebugaran lansia juga harus diberikan untuk

memaksimalkan kondisi sistem saraf lansia.

3. Sistem kardiovakuler

Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan

kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan

ikat katup jantung mengalami fibrosis. Sinoatrial node (SA node) dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam

menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler

mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan

fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan

peningkatan takanan sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras &

Navazio, 2008). Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi untuk

mencegah terjadinya penumpukan darah (poling of bload) menurun, sehingga respon terhadap hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat

maksimal (VO2 maksimum) berkurang, sehingga kapasitas vital paru

menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan VO2 maksimum,

mengurangi tekanan darah dan berat badan (Timiras & Navazio, 2008 ).

4. Sistem Indera

Semua sistem indera yang berhubungan dengan keseimbangan statik

dan dinamik akan menurun bersamaan dengan menurunnya usia, seperti

(29)

ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang-gelap menurun,

ketajaman penglihatan serta jarak pandang menurun. Penurunan tajam

penglihatan pada lansia disebabkan oleh katarak, degenerasi makuler dan

penglihatan perifer yang menghilang. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam makula dan sel saraf. Karena kondisi tersebut

lansia akan kesulitan memperkirakan jarak dan memposisikan kepala pada

garis keseimbangan sehingga sering terjadi gangguan keseimbangan

fungsional pada lansia (Sri Surini & Utomo, 2002 ).

b. Kekuatan Otot

Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot yang

dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang maksimum.

Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas. Semua gerakan yang

dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot

sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan

otot menahan beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf

mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak

serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang

dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012).

Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat agar bisa

menggerakan anggota gerak bawah untuk melakukan gerakan fungsionalnya

(30)

14

kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya

yang secara berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot

untuk mempertahankan posisi tegak dan stabil merupakan bentuk dari

aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun dinamis

saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot

memiliki kekuatan dengan besaran tertentu.

Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional

otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas

otot, kecepatan waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah

melewati usia 30 tahun, manusia akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot total per dekade. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan

mengakibatkan yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan

keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3)

peningkatan risiko jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada kemampuan

gerak dan fungsi lansia berhubungan erat dengan kekuatan otot yang bersifat

individual. Lansia dengan kekuatan otot quadrisep yang baik dapat

melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk dan berjalan 6 meter dengan

lebih cepat (Bonder & Wagner, 1994). Penelitian lain menunjukkan bahwa

kelemahan otot abduktor sendi panggul dapat mengurangi kemampuan lansia

mempertahankan keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan timbulnya

gangguan postural. Penurunan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat

(31)

(Bonder & Wagner, 1994). Penurunan terhadap respon keseimbangan

meyebabkan timbulnya ganngguan dalam mengontrol keseimbangan.

c. Keseimbangan

1). Definisi

Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol pusat

gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity)

adalah suatu titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan

tarikan gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut

bagian bawah dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga

keseimbangan, pusat gravitasi tersebut berpindah untuk memberikan

kompensasi agar tidak terjadi gangguan yang dapat menyebabkan orang

kehilangan keseimbangannya (Barnedh et al, 2006).

Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan

didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh

mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan

gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa

tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan

bagian tubuh yang lain saat melakukan suatu gerakan (Irfan, 2012).

Kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara massa tubuh dengan

bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara

(32)

16

2). Fisiologi Keseimbangan

Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor

di mata menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima

masukan kulit, reseptor di sendi dan otot menerima masukan proprioseptif

dan reseptor di kanalis semikularis menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang diterima di salurkan ke nukleus vertibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan kembali ke

nukleus vertibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang

diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata eksternal berupa kontrol

gerakan mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi.

Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan

keseimbangan statis yang optimal (Yuliana, 2014)

Kontrol keseimbangan dipengaruhi oleh sistem informasi sensoris

meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.

a). Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Penglihatan memberikan informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada,

penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan

mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan

terjadi ketika mata menerima sinar yang dipantulkan oleh benda sesuai

jarak pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat melakukan

(33)

aktivitas sehingga otot dapat bekerja secara sinergis untuk

mempertahankan keseimbangan tubuh (Irfan, 2010). Gangguan pada

mata seperti presbiopi, kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang), kekeruhan pada lensa mata (katarak), tekanan dalam mata

yang meningkat (glaukoma) dan peradangan saraf mata akan

menimbulkan gangguan penglihatan, semua perubahan tersebut akan

mempengaruhi keseimbangan (Nugroho, 2000). Bila mata ditutup akan

lebih sulit mengatur keseimbangan badan dibandingkan dengan mata

terbuka (faktor visual). Jika mata ditujukan pada satu titik di depan ketika berjalan maka akan lebih stabil dibandingkan dengan mata

melihat ke tempat lain. Pusat keseimbangan juga menerima pancaran

rangsangan dari saraf aferen mata, sehingga apa yang dilihat oleh mata

juga akan merangsang pusat keseimbangan yang ada di otak. Terdapat

kerjasama yang amat erat antara mata dan pusat keseimbangan dalam

mengatur keseimbangan tubuh (Nala, 2002). Karena itulah mata

menjadi salah satu faktor penting dalam pengaturan keseimbangan

tubuh baik saat diam maupun bergerak.

b). Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata.

Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta

sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem

(34)

18

dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang

bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke

nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, talamus dan korteks serebri (Canan, 2015) . Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular

menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot - otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular

bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan

keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Canan,

2015)

c). Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui

kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke

korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus (Irfan, 2010). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian

bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar

sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi

(35)

reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot diproses di korteks

menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Irfan, 2010).

Selain sistem sensoris, pengaturan keseimbangan juga dipengaruhi

oleh komponen lainya yaitu respon otot-otot postural yang sinergis,

kekuatan otot, adaptive system dan lingkup gerak sendi. Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas

kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan

kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun

bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur

keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan tubuh dalam

berbagai posisi terjadi jika respon dari otot-otot postural bekerja secara

sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan

aligment tubuh (Nugroho, 2011).

Komponen lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah adaptive systems dan lingkup gerak sendi. Kemampuan adaptasi akan memodifikasi

input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan. Sementara lingkup gerak

sendi (joint range of motion), membantu tubuh dalam melakukan suatu gerakan dan mengarahkan gerakan tersebut terutama saat gerakan yang

(36)

20

3). Faktor – Fator yang Mempengaruhi Keseimbangan a). Pusat Gravitasi (Centre of Gravity-COG)

Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang

mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu

ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang.

Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan

postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada

manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan

berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas

pinggang di antara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua.

Kemampuan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan dalam

berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh kemampuan

tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam 27 area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya

perubahan tumpuan (Irfan, 2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan

(37)

Gambar 2.1 Centre of Gravity Sumber : Irfan, 2012 b). Garis Gravitasi (Line of Gravity-LOG)

Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui

pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi,

pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat

stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri

berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada tulang temporal, bagian

anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan anterior knee

dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.2.

(38)

22

c). Bidang Tumpu (Base of Support-BOS)

Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan

permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang

tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk

dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu,

semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan

lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu.

Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas

tubuh makin tinggi (Wen Chang, 2009). Bidang tumpu dijabarkan

melalui Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Base of Support Sumber : (William & Whiting, 2015)

4). Penurunan Keseimbangan pada Lansia

Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai

(39)

gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada

sistem muskuloskeletal. Informasi mengenai posisi tubuh terhadap

lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem

saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik

sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang

berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem

visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013).

Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena

proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa

dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta

perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual

tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta

informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol

postural (Barnedh, 2006).

Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem

vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular

seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan

serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi

terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam

menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu

terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan

(40)

24

rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis

(Barnedh, 2006).

Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan

kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor

sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor

penting dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan

gerakan. Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya

masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk

berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang

penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013).

Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal

ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular,

perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal

berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi

otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas

bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek,

jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung

mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini

mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati

dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi

faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara

(41)

Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya

neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009).

d. Indeks Massa Tubuh ( IMT )

Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan karena

penumpukan lemak di dalam otot sementara sel otot sendiri berkurang jumlah

dan volumenya, sehingga ada kecenderungan untuk mengurangi aktifitas fisik

karena obesitas. Hal ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat membatasi

mobilitas yang berpengaruh terhadap keseimbangan karena menjadi lamban

di dalam bergerak dan kurangnya reaksi antisipasi terhadap perubahan Centre Of Gravity (COG) serta secara umum akan menurunkan kualitas hidup lansia. 2). Faktor Ekstrinsik

a). Lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah penerangan

yang tidak baik, lantai yang licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak

kuat/tidak mudah dipegang, dan alat – alat atau perlengkapan rumah yang tidak stabil

b). Latihan atau Aktivitas Fisik

Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa digunakan untuk

memperbaiki faktor fisiologis yang menyebabkan kejadian jatuh adalah

program latihan fisik. Latihan fisik dapat didefinisikan sebagai sebuah tipe

aktivitas yang direncanakan, terstruktur dan berupa gerakan tubuh yang

(42)

26

2.1.3 Dampak Jatuh Pada Lansia

Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan

psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah fraktur

collum femur. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak

psikologis yang terjadi antara lain syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi

dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri,

pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh meskipun

kejadian jatuh yang dialami tidak menimbulkan cedera fisik (Stanley & Beare,

2006).

Selain dampak diatas, kejadian jatuh pada lansia juga bisa mennyebabkan

komplikasi antara lain

a). Perlukaan (injury)

Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang

atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.

b). Disabilitas

Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan

perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan

diri dan pembatasan gerak.

(43)

2.1.4 Pencegahan Jatuh Pada Lansia

Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari (Darmojo, 2004), ada 3 usaha

pokok untuk pencegahan jatuh yaitu :

a). Identifikasi faktor risiko

Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya

faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh.

Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus

dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai

rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan

rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya

diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak

mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin

sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC

sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.

b). Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)

Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam

melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Evaluasi yang dapat dilakukan

salah satunya dengan TUG Test untuk menilai mobilitas, keseimbanan dan risiko

jatuh. Bila badan tidak stabil saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan

bantuan latihan oleh rehabilitasi medis, latihan yang bias di lakukan antara lain

(44)

28

menitikberatkan pada mengaturan postur selama melakukan gerakan. Penilaian

gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak

dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar

pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk

berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat

kelainan/penurunan.

c). Mengatur/ mengatasi faktor situasional.

Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat

dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor

situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan

lingkungan , faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai

dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui

batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka

di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau

berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.

2.2 Otago Home Exercise Programme

2.2.1 Pengertian

Otago Home Exercise Programme merupakan program latihan yang telah diuji dalam 4 penelitian yang dilakukan oleh University of Otago Medical School,

New Zealand yang dipimpin oleh Profesor John Campbell. Otago Home Exercise Programme adalah program latihan untuk lansia yang didesain khusus untuk mengurangi kejadian jatuh, dengan cara meningkatkan kekuatan anggota gerak

(45)

al, 1997). Pelatihan Otago Home Exercise Programme dibagi menjadi latihan penguatan (strengthing) dan latihan keseimbangan (balance) dan program berjalan

yang didesain untuk lansia dimana sebelum dan setelah latihan terdapat peregangan

untuk persiapan sebelum latihan dan untuk mengurangi efek pegal dan cedera

selama latihan Eunjung Chung et al, 2013)

2.2.2 Jenis Latihan Otago Home Exercise Programme

Otago Home Exercise Programme adalah program latihan yang terdiri dari komponen penguatan otot (strengthing), peningkatan keseimbangan (balance) dan

latihan berjalan. Komponen – komponen tersebut digabung menjadi satu rangkaian

latihan yang diawali dengan pemanasan dan diakhiri dengan pendinginan. Latihan

– latihan dalam Otago Home Exercise Proggrame terdiri dari

1. Pemanasan

Pemanasan dilakukan untuk mempersiapkan tubuh agar tidak mengalami

cedera selama latihan. Gerakan dalam pemanasan ini juga bertujuan untuk

memelihara fleksibilitas dari lansia (Campbell & Robertson, 2003). Pemanasan

terdiri dari 5 bentuk gerakan yaitu

Tabel 2.2 Pemanasan Otago Home Exercise Programme

(Sumber : Campbell & Robertson, 2003)

No Jenis Latihan Deskripsi

1 Head Movements Berdiri tegak dengan kaki dibuka

selebar bahu dan pandangan lurus ke

(46)

30

kanan dan ke kiri secara perlahan,

ulangi gerakan sebanyak 5 kali

2 Neck Movements Berdiri tegak dengan kaki dibuka

selebar bahu dan pandangan lurus ke

depan, letakan salah satu tangan di

dagu dan tekan dagu ke arah

belakang, ulangi sebanyak 5 kali

3 Back Extension Berdiri tegak dengan kaki dibuka

selebar bahu, letakan kedua tangan

dibelakang pinggang kemudian

lengkungkan punggung ke depan,

ulangi sebanyak 5 kali

4 Trunk Movements Berdiri tegak dengan kaki terbuka

selebar bahu dan letakann kedua

tangan di pinggang, gerakkan kepala

dan bahu ke kanan dan ke kiri namun

pinggang tidak ikut bergerak, ulangi

sebanyak 5 kali

5 Ankle Movements Duduk bersandar di kursi, kemudian

angkat salah satu kaki lurus ke depan,

kemudian tekuk dan luruskan

pergelangan kaki, ulangi 10 kali

(47)

2. Latihan Penguatan (Strength Exercise)

Latihan penguatan bertujuan untuk memelihara kesehatan tulang dan otot

agar dapat berjalan dan melakukan aktivitas sehari – hari secara mandiri.

Latihan penguatan pada Otago Home Exercise Programme menggunakan beban pada pergelangan kaki dan latihan penguatan dilakukan 3 kali seminggu

dengan diselingi istirahat diantara hari latihan (Campbell & Robertson, 2003).

Ada lima jenis latihan penguatan dalam Otago Home Exercise Programme, dimana tiga jenis latihan menggunakan penambahan beban. Beban yang digunakan mulai dari 0,5 kg sampai 2 kg dengan repetisi 8 – 10 kali tiap 1 gerakan, dimana fokus utama dari latihan penguatan adalah pada

otot – otot ekstremitas bawah (Nelson et al, 2007). Fleksor knee, ekstensor knee, dan abduktor hip adalah bagian penting dalam gerakan fungsional dan

berjalan. Selain itu otot dorsofleksi ankle dan plantar fleksi ankle adalah bagian

penting dalam perbaikan keseimbangan.

Penambahan pemberat pada ankle bertujuan untuk memperikan tahanan

pada otot fleksor knee, ekstensor knee, dan abduktor hip. Untuk penguatan otot

dorsofleksi dan plantar fleksi ankle menggunakan berat badan tanpa bantuan

(48)

32

Tabel 2.3 Latihan Penguatan Otago Home Exercise Programme

(Sumber : Campbell & Robertson, 2003)

No Jenis Latihan Deskripsi

1 Front Knee Strengthening

Exercise

Posisi duduk bersandar dikursi dan

pergelangan kaki dipasangi pemberat,

kemudian angkat dan luruskan lutut

ke depan, ulangi sebanyak 10 kali

pada kaki kanan dan kiri.

2 Back Knee Strengthening

Exercise

Posisi berdiri dengan tangan

berpegangan pada sandaran kursi dan

pergelangan kaki dipasangi pemberat,

kemudian tekuk lutut ke belakang lalu

luruskan kembali, ulangi gerakan

tersebut 10 kali pada kaki kanan dan

kiri.

3 Side Hip Strengtehening

Exercise

Berdiri tegak di samping kursi atau

meja dangan pergelangan kaki

dipasangi pemberat, salah satu tangan

berpegangan di meja dan kaki

(49)

ulangi sebanyak 10 kali pada kaki

kanan dan kiri.

4 Calf Raise – Hold Support Posisi berdiri tegak dengan kaki

dibuka selebar bahu dan tangan

berpegangan dikursi atau meja,

kemudian lakukan gerakan berjinjit

dan ulangi sebanyak 10 kali.

5 Calf Raise – No Support Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu, kemudian

lakukan gerakan berjinjit dan ulangi

sebanyak 10 kali.

6 Toe Raise – Hold

Support

Posisi berdiri tegak dengan kaki

dibuka selebar bahu dan tangan

berpegangan dikursi atau meja,

kemudian angkat jari kaki sehingga

(50)

34

tumit. Ulangi gerakan tersebut

sebanyak 10 kali.

7 Toe Raise – No Support Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu, kemudian

angkat jari kaki sehingga saat berdiri

hanya bertumpu dengan tumit.

Ulangi gerakan tersebut sebanyak 10

kali.

3. Latihan Keseimbangan (Balance Execise) dan Latihan Jalan

Latihan keseimbangan dalam Otago Home Exercise Programme

merupakan latihan mengajarkan kembali pada tubuh bagaimana menjaga

keseimbangan (Gardner et al, 2001). Latihan ini bertujuan untuk mengoptimalkan dan meningkatkan keseimbangan, sehingga mempermudah

dalam melakukan gerakan – gerakan fungsional dan agar tidak mudah jatuh saat bergerak. Latihan keseimbangan dalam Otago Home Exercise Programme

terdiri dari 12 bentuk latihan yang dibedakan menjadi 4 tingkatan dengan

mengurangi bantuan dari tangan saat melakukan gerakan dimasing – masing tingkatan. Pada tingkat awal semua latihan keseimbangan menggunakan

bantuan tangan. Bantuan gerakan dengan tangan tidak dilakukan lagi jika sudah

masuk tingkatan ketiga dimana pasien sudah mampu untuk melakukan gerakan

tanpa bantuan. (Elizabeth & Taylor, 2011). Penggunaan bantuan tangan pada

(51)

baik dalam bentuk memegang, memberikan dukungan mekanis atau sentuhan

ringan dan dapat memberikan masukan (input) persepsi yang dangkal (Slijper

& Latash, 2000).

Latihan jalan bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan berjalan dan

untuk mempertahankan kebugaran fisik dari lansia. Latihan berjalan juga bisa

dilakukan mandiri secara rutin minimal 30 menit setiap minggu. Sebagai

awalan dapat memulai dengan berjalan selama 5-10 menit dan terus

ditingkatkan hingga mencapai 30 menit. Saat latihan jalan secara mandiri

lakukan gerakan jalan cepat dan lambat secara bergantian untuk meningkatkan

suhu tubuh dan meningkatkan pernapasan (Gawler & Hanna, 2011). Latihan

keseimbangan dan berjalan terdiri dari

Tabel 2.4 Latihan Keseimbangan Otago Home Exercise Programme

(Sumber : Campbell & Robertson, 2003)

No Jenis Latihan Deskrips

1 Knee Bends – Hold Support Berdiri tegak menghadap kursi atau

meja dengan kaki di buka selebar

bahu dan kedua tangan berpegangan

di kursi, lakukan gerakan berjongkok

dengan cara menekuk lutut, saat tumit

mulai terasa terangkat luruskan kaki

kembali, ulangi sebanyak 10 kali

(52)

36

bahu, lakukan gerakan berjongkok

dengan cara menekuk lutut, saat tumit

mulai terasa terangkat luruskan kaki

kembali, ulangi sebanyak 10 kali

3 Backwards Walking – Hold

Support

Berdiri tegak dengan berpegangan

pada meja, kemudian berjalan

mundur sebanyak 10 langkah

kemudian berputar arah dengan posisi

tengan tetap berpegangan pada meja,

lalu berjalan mundur 10 langkah

kembali ke tempat start.

4 Backwards Walking – No Support

Berdiri tegak, kemudian berjalan

mundur sebanyak 10 langkah

kemudian berputar arah , lalu berjalan

mundur 10 langkah kembali ke

(53)

5 Walking and Turning

Around

Berjalan dengan lintasan membentuk

angka 8, ulangi sebanyak 2 kali

6 Sideways Walking Berdiri tegak dengan kedua tangan

berada di pinggang, kumudian

berjalan miring 10 langkah ke kanan

dan 10 langkah ke kiri

7 Heel Toe Standing – Hold

Support

Berdiri tegak di samping meja dengan

salah satu tangan berpegangan di

meja dan pandangan lurus ke depan,

kemudian posisikan salah satu kaki di

depan kaki yang lainnya dalam satu

garis lurus (ujung jadi kaki bertemu

dengan tumit kaki di depannya) tahan

(54)

38

kemudian tukar posisi kaki, dan tahan

10 detik.

8 Heel Toe Standing – No

Support

Berdiri tegak dengan pandangan lurus

ke depan, kemudian posisikan salah

satu kaki di depan kaki yang lainnya

dalam satu garis lurus (ujung jadi kaki

bertemu dengan tumit kaki di

depannya) tahan posisi tersebut

selama 10 detik kemudian tukar

posisi kaki, dan tahan 10 detik.

9 Heel Toe Walking – Hold

Support

Berdiri berdiri tegak di samping meja

dengan salah satu tangan

berpegangan di meja dan pandangan

lurus ke depan, kemudian melangkah

ke depan dengan posisi kaki lurus

(jari kaki menyentuh tumit kaki di

depannya) lakukan bergantian kaki

kanan dan kiri, lakukan sebanyak 10

langkah kumidian berbalik dan

kembali ke arah start

10 Heel Toe Walking – No

Support

Berdiri berdiri tegak dan pandangan

lurus ke depan, kemudian melangkah

(55)

(jari kaki menyentuh tumit kaki di

depannya) lakukan bergantian kaki

kanan dan kiri, lakukan sebanyak 10

langkah kumidian berbalik dan

kembali ke arah start

11 One Leg Stand – Hold

Support

Berdiri tegak di samping meja dengan

salah satu tangan berpegangan di

meja dan pandangan lurus ke depan,

kemudian tekuk lutut kanan ke

belakang (berdiri dengan 1 kaki)

tahan posisi tersebut selama 10 detik

kemudian ganti dengan kaki yang

satunya.

12 One Leg Stand - No Support Berdiri tegak pandangan lurus ke

depan, kemudian tekuk lutut kanan ke

belakang (berdiri dengan 1 kaki)

tahan posisi tersebut selama 10 detik

kemudian ganti dengan kaki yang

satunya.( setelah terbiasa tambah

(56)

40

13 Heel Walking – Hold

Support

Berdiri tegak di samping meja dengan

salah satu tangan memegang meja

dan pandangan lurus ke depan,

kemudian berjalan ke depan dengan

bertumpu pada tumit sebanyak 10

langkah, kemudian berbalik arah

dengan kaki menapak ke lantai dan

lakukan langkah dengan tumit

sebanyak 10 langkah kembali ke

posisi start

14 Heel Walking – No Support Berdiri tegak dan pandangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan

dengan bertumpu pada tumit

sebanyak 10 langkah, kemudian

berbalik arah dengan kaki menapak

ke lantai dan lakukan langkah dengan

tumit sebanyak 10 langkah kembali

ke posisi start

(57)

meja dan pangangan lurus ke depan,

kemudian berjalan ke depan dengan

posisi berjinjit sebanyak 10 langkah,

lalu berbalik arah dengan posisi kaki

menapak ke lantai, kemudian ulangi

berjalan dengan tumit sebanyak 10

langkah kembali ke posisi start.

16 Toe Walking – No Support Berdiri tegak dan pangangan lurus ke

depan, kemudian berjalan ke depan

dengan posisi berjinjit sebanyak 10

langkah, lalu berbalik arah dengan

posisi kaki menapak ke lantai,

kemudian ulangi berjalan dengan

tumit sebanyak 10 langkah kembali

ke posisi start.

17 Heel Toe Walking

Backwards

Berdiri tegak dengan pandangan lurus

ke depan,kemudian berjalan ke

belakang dengan posisi ujung jari

kaki menyentuh tumit kaki di

belakangnya sebanyak 10 langkah,

laluu berbalik arah dan berjalan 10

langkah ke belakang kembali ke

(58)

42

18 Sit to Stand – Two Hand Duduk di kursi, posisikan kaki agak

di belakang lutut, kemudian

condongkan lutut ke depan dan

berdiri dengan bantuan kedua tangan.

19 Sit to Stand – One Hand Duduk di kursi, posisikan kaki agak

di belakang lutut, kemudian

condongkan lutut ke depan dan

berdiri dengan bantuan salah satu

tangan.

20 Sit to Stand – No Hand Duduk di kursi, posisikan kaki agak

di belakang lutut, kemudian

condongkan lutut ke depan dan

berdiri tanpa bantuan tangan.

21 Stair Walking Berjalan naik turun tangga dengan

(59)

4. Pendinginan

Pendinginan dilakukan setelah latihan untuk membantuk mengembalikan

denyut jantung dan pernafasan kembali normal, dan membantu mngurangi

penumpukan asam laktat di otot setelah latihan. Pendinginan yang dilakukan

antara lain

Tabel 2.5 Pendinginan Otago Home Exercise Programme

(Sumber : Campbell & Robertson, 2003)

No Jenis Latihan Deskripsi

1 Calf Stretch Posisi duduk di kursi dan posisi

duduk agak ke depan (tidak

menempel di sandaran kursi) tekuk

salah satu lutut dan lutut yang lain

dalam posisi lurus, kemudian tekan

(60)

44

regangan di betis tahan selama 10 – 15 detik, ulangi pada kaki yang lain

2 Back of Thigh Stretch Posisi duduk di kursi dengan posisi

agak maju ke depan (tidak bersandar

dengan sandaran kursi) tekuk salah

satu lutut dan luruskan lutut yang

satunya, kemudian taruh kedua

tangan di atas lutut yang di tekuk dan

condongkan badan ke depan sampai

terasa ada regangan di punggung,

tahan posisi tersebut selama 10 – 15 detik, ulangi pada kaki yang satunya

2.3 Balance Strategy Exercise

2.3.1. Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise)

Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari

ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap permukaan

penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk menstabilkan

sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan arah dan waktu

yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki. Pada goyangan ke

depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini mengaktifkan otot

Gambar

Gambar 2.1 Centre of Gravity
Gambar 2.3 Base of Support
Tabel 2.2 Pemanasan Otago Home Exercise Programme
Tabel 2.3 Latihan Penguatan Otago Home Exercise Programme
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa pemberian pelatihan balance strategy exercise lebih baik daripada pelatihan core stability exercise dalam meningkatkan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan dengan Balance Strategy Exercise lebih baik dalam meningkatkan keseimbangan dinamis daripada pelatihan