• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Menjadi Penghambat Upaya Perlindungan Hukum Penanaman Modal Asing Melalui Arbitrase

Pada prinsipnya hanya ada tiga hal yang dapat menghalangi putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, yaitu:

1. putusan arbitrase internasional tersebut belum final;

2. putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum;dan

3. putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan sengketa perdagangan. Artinya, selama putusan internasiona dapat memenuhi ketiga hal di atas, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan/atau Mahkamah Agung harus memberikan pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional.11

Namun contoh kasus Amco Vs Pemerintah Indonesia diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum bagi para pihak dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing di Indonesia, antara lain baik oleh pihak Amco maupun Indonesia. Melihat keputusan ICSID tersebut, Pemerintah Indonesia dapat mengajukan pembatalan berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Konvensi Washington, dimana Dewan arbitrase secara tegas telah melampaui kewenangannya dengan tidak menggunakan hukum nasional Indonesia sebagai dasar keputusannya.

Seperti pada laporan United Nations Conferences on Trade and Development : “In Amco v. Indonesia, the ad hoc Committee annulled the first Award subject to broad qualifications. In addition, it identified certain specific findings of the first Tribunal to which the annulment did or did not apply.62 The new Tribunal in the resubmitted case undertook a careful stocktaking of findings

11Ibid

10Ibid.

of the first Tribunal that had been annulled or had not been annulled by the ad hoc Committee.63 It identified a list of points on which the ad hoc Committee had explicitly refused to annul the first Tribunal’s findings or had specifically confirmed the holdings in the original Award. In addition, the new Tribunal gave a list of specific annulment findings of the ad hoc Committee.64 It was clear that points on which the Award was annulled fell to be relitigated.65 It was equally clear that matters sought by a party to be annulled but which had expressly not been annulled or had been expressly confirmed were res judicata. 66 Holdings by the first Tribunal that had not been challenged in the annulment proceedings and on which the ad hoc Committee, consequently, had not made a pronouncement were also held to be res judicata”.12

Alasan tidak digunakannya hukum nasional dalam pengambilan keputusan ICSID sangat terbatas yang pada Undang-Undang No 30 Tahun 1999 hanya diatur di dalam satu pasal saja yaitu Pasal 66 ayat (e) serta bisa saja didasari oleh Konvensi New York 1958 serta menurut ketentuan Hukum Indonesia sendiri yang harus dipergunakan, maka suatu pihak yang hendak mengambil-alih manajemen ini harus terlebih dahulu meminta bantuan dari Pengadilan. Jadi dengan lain perkataan, tidak dibenarkan untuk menjadi hakim sendiri. Walaupun benar kemudian telah diajukan persoalannya kepada Pengadilan Negeri untuk diperoleh penguatan daripada pengambilan oper manajemen ini, tetapi mengambil operan manajemen itu sendiri secara tanpa bantuan pengadilan, dipandang tidak legal.

Maka mengenai hal inilah dipertahankan keputusan semula daripada Dewan Arbitrase dengan dikemukakan adanya pelanggaran terhadap Pasal 53 ayat (1) Konvensi New York, dimana terhadap pelanggaran ini Investor dapat melakukan gugatan terhadap negara tuan rumah pada tingkatan diplomatik dan menyampaikan sengketa tentang putusan arbitrase yang tidak dapat dilaksanakan

12United Nations Conference on Trade and Development.

https://unctad.org/system/files/official-document/edmmisc232add7_en.pdf.,diakses pada 29 April 2021.

kepada Mahkamah Internasional yang memiliki yurisdiksi yang berhubungan dengan sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi.13

Namun Pemerintah Indonesia juga harus memperhatikan pentingnya konsistensi Pemerintah Indonesia dalam membuat peraturan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal asing dapat terimplementasi dengan semestinya khususnya dalam penegakan hukumnya agar menjaga kepercayaan Investor dan menghindari kerugian kepada Republik Indonesia sendiri di kemudian hari.

Dengan kata lain, pada arbitrase dalam praktik di Indonesia pun diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur-unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), di mana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (Pasal 59 dan Pasal 4 dan Pasal 5 UU No.

30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anggota Konvensi New York.

Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah yaitu apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya ICC menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia.

Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase nasional/domestik

13Tria Setiadi,Peran Arbitrase ICSID Dalam Kerangka Penanaman Modal di Indonesia

dengan segala akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaannya. Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang menimbulkan masalah yang berlarut-larut. Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law.

Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa." Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar. Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law, di samping itu diharapkan bahwa hakim Pengadilan Negeri Indonesia serta semua pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakikat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang bersifat praktis, non konfrontatif, efisien, dan efektif.

Dalam era bisnis tanpa batas dewasa ini, arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang sangat populer digunakan oleh kalangan pelaku bisnis antarnegara. Namun demikian, tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara dihinggapi kefrustrasian apabila dihadapkan pada eksekusi putusan arbitrase internasional yang melibatkan pengadilan. Setelah pemeriksaan sengketa diputuskan, pihak yang dikalahkan, apabila tidak mau melaksanakan isi keputusan, paling tidak mempunyai upaya hukum berupa pengajuan permohonan pembatalan putusan, atau jika cukup adanya pelanggaran-pelanggaran mengajukan permohonan agar eksekusi putusan tidak dapat dilaksanakan.

"Penolakan putusan arbitrase" merupakan upaya hukum berupa menolak pelaksanaan atau eksekusi (enforcement) atas putusan arbitrase internasional kepada pengadilan di mana aset atau barang berada. Ini terjadi mengingat putusan arbitrase dibuat di suatu negara tetapi pelaksanaannya dilakukan di negara lain.

Putusan arbitrase internasional pada umumnya memiliki karakter demikian.

Pelaksanaan putusan akan sangat bergantung pada di mana aset atau barang yang hendak dieksekusi berada. Keterlibatan pengadilan tidak dapat dihindarı mengingat eksekusi atas putusan hanya bisa dilakukan oleh pengadilan dalam bentuk penetapan eksekusi. Adapun upaya hukum "membatalkan putusan arbitrase adalah pihak yang dikalahkan dapat mempermasalahkan putusan arbitrase internasional yang telah dibuat. Upaya hukum ini pada dasarnya upaya hukum untuk membatalkan putusan arbitrase. Dalam upaya ini, sama seperti

upaya hukum pertama, memerlukan keterlibatan hukum pengadilan. Pengadilan dianggap sebagai otoritas yang dianggap sebagai otoritas yang berwenang.

Dasar Hukum Pembatalan dan Penolakan Putusan menurut ketentuan Pasal 52 ayat (1) ICSID kepada para pihak diberi hak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase. Pembatalan salah satu putusan arbitrase merupakan salah satu kewenangan dari arbitrase Secretary General. Ada beberapa syarat formil yang diatur dalam 1 Pasal 52 ayat (1) ICSID:

a) Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis. Permohonan pembatalan yang diajukan secara lisan tidak dapat diterima

b) Permohonan yang dialamatkan kepada sekretaris jenderal ICSID, (Either party of the award may request annulment by an application in writing addressed to the Secretary-General.) Jika putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya putusan yang tunduk kepada Rules ICSID, permohonan pembatalan dialamatkan kepada sekretaris jenderal ICSID yang berkedudukan di Washington, permohonan tidak disampaikan kepada Pengadilan Negeri.Sekiranya ada putusan arbitrase yang diambil di Indonesia,namun dasar-dasar penyelesaian dan putusan tunduk kepada ICSID, maka pemeriksaan dan penyelesaian pembatalannya bukan menjadi fungsi dan kewenangan Pengadilan Negeri tetapi fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaiannya berada di bawah lembaga ICSID sendiri. Maka permohonan pembatalan harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal ICSID, bukan Pengadilan Negeri. Seperti halnya putusan arbitrase yang menundukkan diri kepada ketentuan hukum

Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999), maka permohonan pembatalannya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan menyelesaikan permohonan pembatalannya.

c) Permohonan diajukan dalam tempo 120 hari setelah putusan diserahkan atau diterima (the application shall be made within 120 days after the date of which the award was rendered) Jika permohonan pembatalan yang diajukan melampaui batas tenggang waktu, berarti tidak memenuhi syarat formil, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima. Namun terhadap ketentuan ada kecualinya. Khusus untuk permohonan pembatalan yang didasarkan atas alasan adanya kecurangan atau corruption perhitungan batas tenggang waktu, bukan 120 hari penerimaan putusan, tetapi dapat diajukan permohonan pembatalan dalam tenggang waktu 120 hari dari hari ditemukannya kecurangan (application shall be within 120 days after discovery of the corruption), dan hal ini berlaku sampai batas tiga tahun sejak tanggal putusan diserahkan dan diterima para pihak.

Maksud Pasal 52 ayat 1 huruf c sepanjang sebagai dasar pembatalan yaitu adanya kecurangan( there was a corruption on the part of the member of the Tribunal), maka jangka waktu 3 tahun terhitung sejak putusan disampaikan para pihak. Jika adanya kecurangan baru ditemukan sesudah lewat jangka waktu sejak putusan disampaikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat lagi diajukan sebagai dasar alasan permohonan pembatalan. Hal ini dimaksudkan sebagai penegakan kepastian hukum.

Adapun alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dibenarkan ICSID adalah:

a) Pembentukan arbitrase yang tidak tepat.

The Tribunal was not properly constituted Maksudnya, pembentukan majelis arbitrase yang memutus sengketa tidak dilakukan menurut tata cara yang tepat.

Pembentukannya mengandung pelanggaran terhadap ketentuan yang dibenarkan.

Misalnya penunjukan arbiter yang duduk di dalam majelis arbitrase yang memutus sengketa, bertentangan dengan penggarisan tata cara pembentukan yang ditentukan dalam Pasal 37-40 ICSID. Oleh karena pembentukannya sendiri tidak menurut ketentuan, dengan sendirinya putusan yang diambilnya tidak sah. Dengan demikian, layak untuk membatalkan putusan atas permintaan salah satu pihak.

Akan tetapi selama tidak ada permintaan pembatalan meskipun pembentukan majelisnya tidak sah, putusan tetap dianggap sah. Keabsahan putusan tetap bertahan sampai ada permintaan permohonan pembatalan dari pihak yang berkepentingan. Hanya saja cacat yang terkandung dalam pembentukan majelis dapat dijadikan alasan untuk menolak pelaksanaan eksekusi. Misalnya putusan telah dijatuhkan oleh suatu majelis yang pembentukannya menyalahi ketentuan, namun terhadap hal itu jika tidak diajukan permohonan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan berarti putusan tetap dianggap sah final terhadap para pihak.

Namun demikian, keputusan itu dapat mengalami kesulitan dalam pelaksanaan eksekusinya. sekiranya pada saat eksekusi dijalankan, Ketua Pengadilan Negeri menemukan cacat tersebut, sehingga cukup alasan untuk menolak permintaan eksekusi atas putusan dianggap sah,final dan mengikat kepada para pihak. Namun

pada saat eksekusi, bisa ditimbulkan kesulitan. Permohonan exequatur bisa ditolak oleh Pengadilan Negeri atas alasan putusan mengandung cacat bahwa majelis arbitrase yang memutus secara nyata melampaui batas kewenangannya.

c) Salah satu arbiter melakukan kecurangan

Salah seorang anggota arbiter melakukan kecurangan(There uas corruption on the part of a member of the Tribunal) salah seorang anggota arbiter yang duduk dalam mahkamah pemutus melakukan korupsi. Pengertian korupsi disini bisa diartikan adanya suap,kecurangan atau iktikad jahat. Dengan adanya tindakan yang seperti itu, putusan arbitrase dianggap mengandung cacat, dan itu dapat đijadikan sebagai dasar alasan untuk meminta pembatalan putusan.

d) Penyimpangan yang serius pada tata cara pemeriksaan

Menurut Pasal 52 ayat (1) huruf d: Putusan mengandung penyimpangan yang serius yang serius dan fundamental dari tata cara yang dibenarkan hukum. There has been a departure from a fundamental rule of procedure. Yang dimaksud dengan putusan yang mengandung penyimpangan yang serius dan fundamentil, apabila proses pemeriksaan melanggar ketentuan tata tertib beracara yang ditentukan hukum. Aturan tata tertib beracara yang dilanggar mengandung ancaman batal. Misalkan dengan merujuk ketentuan Pasal 48 ayat (1) ICSID, tata pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak (the tribunal shall decide questions by a majority of the votes of all its members). Ternyata putusan yang dijatuhkan didasarkan atas suara minoritas, dalam kasus yang seperti ini telah terjadi penyimpangan yang serius dan fundamental. Telah dilanggar ketentuan tata tertib yang bersifat imperatif. Pelanggaran yang seperti ini cukup dijadikan dasar

alasan permintaan pembatalan putusan. Contoh lain, putusan tidak mencantumkan atau melampirkan pendapat masing-masing anggota arbiter. Padahal, menurut Pasal 48 ayat (1) ICSID, tata tertib atau sistem pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak( the tribunal shall decide question by a majority of the votes of all its members). Ternyata putusan yang dijatuhkan didasarkan atas suara minoritas.

Dalam kasus yang seperti ini telah terjadi penyimpangan yang serius dan fundamental. Telah dilanggar tata tertib yang bersifat imperatif. Pelanggaran yang seperti ini cukup dijadikan alasan permintaan pembelaan putusan.

Contoh lain, putusan tidak mencantumkan atau melampirkan pendapat masing-masing anggota arbiter. Padahal, menurut Pasal 48 ayat (4) ICSID, menegaskan any member of the tribunal individual opinion to the award. Berarti putusan telah menyimpang dari ketentuan hukum.

Namun pelanggaran dan penyimpangan tata tertib ini tidak boleh dinilai secara generalis. Tidak semua penyimpangan berbobot serius dan fundamental.

Patokan penilaiannya tergantung pada sifat hukum acara yang dilanggar. Kalau acara yang dilanggar merupakan acara yang bersifat imperatif, baru dapat

dikategorikan sebagai penyimpangan yang serius dan fundamental. Sebaliknya, kalau yang dilanggar adalah acara yang bersifat fakultatif tidak dapat dikategori penyimpangan yang serius dan fundamental. Lazimnya dalam praktik,

pelanggaran atas aturan yang bersifat fakultatif dan dapat ditoleransi atau dimaafkan.

e). Tidak cukup dasar pertimbnagan putusan

Alasan terakhir yang dibenarkan sebagai dasar permintaan pembatalan putusan, bahwa majelis arbitrase gagal atau tidak mampu mengungkapkan dan menjelaskan dasar-dasar alasan pertimbangan hukum dalam putusan. (that the award has failed to state the reason on which it is based). Motivasi pertimbangan putusan tidak ada atau tidak cukup. Putusan hanya berisi kesimpulan yang tidak jelas dasar alasannya, dari mana kesimpulan itu ditarik. Putusan yang seperti itu digolongkan sebagai putusan yang gagal mengemukakan dasar-dasar alasan pertimbangan atau has failed to state the reason on which it is based.

Namun tidak selamanya keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk meminta pembatalan putusan. Ketentuan ini baru berlaku sebagai dasar alasan, apabila para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian. Jika para pihak sepakat, putusan tidak perlu menguraikan penjelasan dasar-dasar alasan pertimbangan, maka majelis arbitrase bebas untuk memilih. Majelis arbitrase boleh menguraikan dasar-dasar alasan pertimbangan, atau boleh pula tidak perlu menguraikannya.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 52 ayat (3) ICSID segera setelah diterima permohonan pembatalan putusan, Chairman of the Administrative Council membentuk ad hoc Committee. (On receipt of the request, the Chairman shall forth with appoint from the Panel of Arbitration and ad hoc Committee) yang anggota ad hoc Committee terdiri tiga orang, yang diambil dari Panel of Arbitration, yang terdiri dari mereka yang berasal dari contracting state (negara peserta ICSID). Setiap negara peserta, dapat menunjuk seorang panel dengan syarat orang tersebut memiliki kualitas dan bermoral tinggi serta memiliki reputasi di bidang hukum, komersial, industri, dan keuangan. Yang bukan anggota

Panel of Arbitration tidak boleh ditunjuk sebagai anggota ad hoc Committee, dan juga tidak boleh ditunjuk bekas anggota arbiter sebagai ad hoc Committee.

Meskipun penunjukan anggota ad hoc Committee diambil dari kalangan Panel of Arbitration, tidak boleh ditunjuk mereka yang telah ditunjuk sebagai anggota arbiter pada majelis arbitrase, yang memutus putusan yang diminta pembatalan, (None of the members of the Committee shall have been member of the tribunal which rendered the award)14.

Ada kemungkinan permohonan pembatalan ditolak atau tidak dapat diterima karena tidak dipenuhinya syarat formil,maka putusan arbitrase yang bersangkutan tetap sah, final, dan mengikat, tidak dapat diajukan banding.

Sebaliknya, jika permohonan pembatalan dikabulkan, maka sengketa kembali dalam keadaan semula. Ad hoc Committee tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili dan memutus sendiri. Apabila putusan dibatalkan oleh ad hoc Committee, sengketa dapat lagi diajukan kepada ICSID, untuk mendapat penyelesaian baru. Hal ini sejalan dengan akibat pembatalan, yakni sengketa kembali kepada keadaan semula. Penyelesaiannya tetap hanya dapat diajukan kepada badan arbitrase ICSID, sesuai kesepakatan semula dari para pihak. Untuk itu ICSID akan membentuk majelis arbitrase baru sesuai ketentuan Pasal 37, 38, 39, dan 40 ICSID. If the award in annulled, the dispute shall, at the request of either party, be submitted to a new tribunal constituted in accordance with section 2 of this chapter.

14Yahya Haraha, Arbitrase Ditinjau dari Rv.,I Rules, ICSID,UNCITRAL Arbitration Rules,New York Convention, PERMA No.1 Tahun 1990 hlm.378-382

Jika dilihat dalam PERMA No. 1 Tahun 1990, tampaknya hanya berbentuk sederhana hanya terdiri dari 6 bab dan 9 pasal. Asas-asas yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 1990 yang kemudian diadopsi dalam UU No. 30 Tahun 1999 yaitu:

a. Asas executorial kracht, yaitu putusan arbitrase asing disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Asas resiprositas, yaitu pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing bersifat "timbal balik dengan negara lain secara seimbang dan sederajat, c. Asas pembatasan, yaitu hanya terbatas pada putusan yang menurut

ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.

d. Asas ketertiban umum, yaitu putusan arbitrase asing hanya diakui jika tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Jadi ada beberapa asas yang dijadikan landasan (fundamentum) dalam menjalankan eksekusi putusan arbitrase asing. Pada dasarnya asas-asas dimaksud juga sejajar dengan asas yang tercantum dalam Konvensi New York 1958. Untuk menentukan dan menilai apa suatu putusan arbitrase dapat dikualifikasikan sebagai putusan asing/internasional, harus diuji menurut ketentuan hukum asing itu tidak diperoleh dalam PERMA. Pasal 1 angka 9 UU No 30 Tahun 1999 memberi batasan arbitrase internasional adalah “ Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum RI, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau

arbiter perorangan menurut ketentuan RI dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.15

15Ibid.hal 412.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui Arbitrase pada umumnya ditempuh melalui Arbitrase Institusional seperti lembaga arbitrase internasional ICSID,UNCITRAL,ICC, atau BANI yang merupakan lembaga Arbitrase Nasional. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, pilihan jalur hukum yang akan ditempuh apabila terjadi sengketa harus dimuat dan disepakati pada saat melakukan perjanjian.

Mekanisme penyelesaian sengketa yaitu melalui Permohonan penyelesaian sengketa diajukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administrasi Centre secara tertulis dengan membuat penjelasan tentang pokok pokok perselisihan, identitas para pihak, dan mengenai adanya persetujuan mereka untuk mengajukan perselisihan menurut ketentuan ICSID. Jika permohonan memenuhi syarat, center kemudian membentuk majelis arbitrase (tribunal arbitral). Tribunal ini memiliki kewenangan sesuai dengan yurisdiksi seperti yang dipaparkan di atas, antara lain memutus perkara sengketa menurut hukum, memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat, serta memberikan putusan provisi (pemeriksaan pendahuluan).

2. Pada prinsipnya hanya ada tiga hal yang dapat menghalangi putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, yaitu: 1). putusan arbitrase internasional tersebut belum final; 2). putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan

ketertiban umum;dan 3). putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan sengketa perdagangan. Artinya, selama putusan internasional dapat memenuhi ketiga hal di atas, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan/atau Mahkamah Agung harus memberikan pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional.

B. Saran

1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui jalur non litigasi seperti Arbitrase memang lebih efisien,praktis, non konfrontatif,dan efektif jika dibandingkan dengan Peradilan. Namun kembali lagi kepada pentingnya sinkronisasi antara Peraturan Perundangan-undangan dan

1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui jalur non litigasi seperti Arbitrase memang lebih efisien,praktis, non konfrontatif,dan efektif jika dibandingkan dengan Peradilan. Namun kembali lagi kepada pentingnya sinkronisasi antara Peraturan Perundangan-undangan dan

Dokumen terkait