• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENANAMAN MODAL ASING. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PENANAMAN MODAL ASING. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB II

PENANAMAN MODAL ASING

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM), Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UUPM, Penanaman Modal diselenggarakan berdasarkan asas :

a. kepastian hukum;

b. keterbukaan;

c. akuntabilitas;

d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;

e. kebersamaan;

f. efisiensi berkeadilan;

g. berkelanjutan;

h. berwawasan lingkungan;

i. kemandirian; dan

j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(3)

Serta tujuan penyelenggaraan penanaman modal yang dimuat di Pasal 3 ayat 2 UUPM, tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:

a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;

b. menciptakan lapangan kerja;

c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;

e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;

f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan

h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

A. HAK, KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB PENANAM MODAL Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Penanam Modal diatur di Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UUPM, dimana berdasarkan Pasal 14 UUPM, Setiap penanam modal berhak mendapat:

a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan;

b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;

c. hak pelayanan; dan

d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4)

Adapun Pasal 15 yang juga mengatur mengenai kewajiban penanam modal, Setiap penanam modal berkewajiban:

a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;

b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;

d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan

e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Serta Pasal 16 UUPM dimana setiap penanam modal bertanggung jawab:

a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;

d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;

e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan

f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

Dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 5 UUPM: Ayat (1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; Ayat (2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; Ayat (3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan:

a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;

b. membeli saham; dan

c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. MANFAAT PENANAMAN MODAL ASING BAGI INDONESIA

Ada banyak manfaat yang bisa kita peroleh dengan masuknya investasi asing ke Indonesia. Salah satunya adalah masuknya modal baru untuk membantu mendanai berbagai sektor yang kekurangan dana. Investasi asing ini juga banyak membuka lapangan kerja baru sehingga angka pengangguran dapat berkurang.

Selain itu, masuknya investasi asing biasanya disertai dengan transfer teknologi. Mereka membawa pengetahuan teknologi baru ke Indonesia yang lama-kelamaan akan dikembangkan pula di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan pula para investor asing akan bekerjasama dengan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Keterlibatan UMKM ini tentunya akan mendorong

(6)

pertumbuhan perekonomian masyarakat. UMKM atau perusahaan dalam negeri juga berpeluang untuk memasarkan produknya ke pasar internasional.

Manfaat yang paling nyata dari masuknya investasi asing adalah meningkatkan pendapatan negara melalui pajak. Selain itu, menciptakan hubungan yang lebih stabil dalam lingkup perekonomian dua negara.

Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang peserta Infrastructure Summit di Jakarta pada pertengahan bulan Januari 2005 yang lalu, bahwa ia cukup menghargai adanya upaya pemerintah Indonesia untuk memperbaiki iklim investasi, dengan cara menerbitkan peraturan perundang-undangan yang pro kepada investor.

Bahkan salah seorang calon investor dari Amerika Serikat mengatakan, adanya upaya pemerintah Indonesia untuk menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan yang akan menjamin kepastian hukum bagi para investor, hanya saja, dia mempertanyakan kualitas para hakim Indonesia dalam memutus perkara, termasuk perkara yang berkaitan dengan investasi. Tampaknya apa yang dirasakan oleh calon investor asing tersebut juga diakui oleh disadari sepenuhnya oleh Pemerintah. Melalui Menteri Koordinator Perekonomian, dikemukakan masih banyak aparat pemerintah yang justru menghambat proses masuknya investasi asing di Indonesia dengan memberikan penjelasan yang berbeda dengan peraturan yang ada.

Adanya kegalauan dari calon investor tersebut dapat dimaklumi, karena investor dalam menanamkan modalnya selain mengharapkan ada hasil atau keuntungan dalam menjalankan bisnisnya,juga berharap modal yang ditanamkan

(7)

tetap aman, dalam arti ada perlindungan hukum (legal protection). Dengan kata lain, bila investor mengalami kerugian dalam menjalankan perusahaannya, karena salah urus (mismanagement) bagi investor tentunya hal ini merupakan risiko bisnis yang harus ditanggung. Seperti yang dikemukakan oleh: Ralph E Badger (et. al), berikut ini:

“An individual who invests funds in any type of security or business undertaking, or who even holds his assets in cash form, assumes the possibility of loss, or conversely, has an opportunity for gain. Four major risks or uncertainties for investor's maybe distinguished, these are: 1. business risk; 2. interest rate risk;

3. marked risk; 4.purchasing power risk. In selecting an investment, an investor has to decide what degree of business risk he wishes to assume. He has a choice."

Untuk itu, tidaklah mengherankan jika calon investor sebelum memutuskan menanamkan modalnya, terlebih dahulu ia melakukan studi kelayakan (feasibility study) tentang prospek bisnis yang akan ia jalankan.

Termasuk yang diteliti di sini adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan investasi yang akan ia jalankan.

Yang menjadi masalah bagi investor adalah jika kerugian yang dialami bukan karena salah mengelola perusahaan, akan tetapi karena tidak ada perlindungan hukum, baik terhadap modal yang ia tanamkan maupun terhadap barang yang akan diproduksi.

Apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas, tampaknya pembentuk undang-undang dapat menangkap kenyataan dalam masyarakat. Hal ini terlihat bahwa untuk badan usaha yang berstatus sebagai penanaman modal dalam negeri, bentuk usahanya tidak harus dalam bentuk badan hukum. Seperti diketahui, berbagai wadah kegiatan bisnis yang dilakukan oleh masyarakat tidak semuanya berbadan hukum dan bahkan hanya dikelola oleh perorangan. Dengan demikian,

(8)

berbagai potensi badan usaha yang ada mendapatkan kesempatan dalam menjalankan kegiatan usaha lewat pranata hukum penanaman modal.

Lain halnya untuk badan usaha yang berstatus sebagai penanaman modal asing, pembentuk undang-undang mensyaratkan badan usahanya berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT), apa alasan mengapa harus berbentuk PT tidak dijelaskan dalam UUPM.

Hanya saja, bila dicermati lebih dalam apa alasannya berbentuk PT, tampaknya hal ini ada kaitannya dengan eksistensi PT sebagai subjek hukum yang mandiri. artinya, PT dapat menggugat dan digugat di Pengadilan. Berkaitan dengan pranata hukum PT, dalam kepustakaan hukum perusahaan disebutkan, PT sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai ciri tersendiri jika dibandingkan dengan badan usaha lainnya yakni PT mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari pemilik (pemegang sahamnya); berhak menuntut dan dituntut di pengadilan.

Secara normatif badan usaha yang berbentuk PT diatur dalam undang-undang tersendiri yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Dalam undang-undang ini disebutkan PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian.1

1 Ibid.

(9)

BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING MELALUI ARBITRASE

A. Pengertian dan Studi Kasus Penanaman Modal Melalui Arbitrase

Salah satu bentuk dari penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan masuk dalam jajaran The Binding Adjudicative Procedure yaitu arbitrase. Di mana arbitrase merupakan bentuk alternatif paling formil untuk menyelesaikan menyelesaikan sengketa sebelum ber litigasi. Dalam proses ini pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral, dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan. Pandangan pragmatis serta pertimbangan kebijakan membawa peradilan untuk menyetujui arbitrase sebagai proses yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai konsekuensinya, maka saat ini arbitrase telah menjadi bagian dari peradilan yang lebih tidak formil.

Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar institusi pengadilan. Keadaan seperti ini mengharuskan kita mencari pilihan lain dalam menyelesaikan suatu sengketa. Masyarakat bisnis utamanya, menginginkan adanya penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan murah serta tepat. Penyelesaian sengketa yang lambat akan dapat mengganggu kinerja pebisnis dalam menggerakkan roda perekonomian serta memerlukan biaya yang relatif besar. Untuk itu dibutuhkan institusi baru yang lebih efisien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa bisnis.

(10)

Kemudian lahirlah lembaga arbitrase yang mengakomodasi kelemahan-kelemahan litigasi yang merupakan siklus kedua sistem penyelesaian sengketa.

Secara sederhana Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara bagaimana untuk menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Prasyarat yang utama bagi suatu perjanjian arbitrase (arbitration clause atau arbitration agreement) yaitu kewajiban bagi para pihak untuk tulis atau kejadian arbitrase, dan kemudian menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaian sengketanya.

Menurut pendapat para ahli diungkapkan batasan arbitrase, diantaranya:

A. Gary Goodpaster, mengemukakan sebagai berikut : “Arbitration is the private education of the spear parties, experts anticipating possible disputes or experiencing an actual dispute agree to submit their dispute to the decision maker they in some fashion select.”

B. Priatna Aburrasid mengemukakan, bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yuridis sial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti bukti yang diajukan oleh para pihak.

C. Abdulkadir Muhammad memberi batasan yang lebih perinci, bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak pihak pengusaha.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian

(11)

tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.

D. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut : Arbitration is the reference of a dispute to an impartial third person chosen by parties to the dispute who agreed in advance to abide arbiter’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be head. An arrangement for taking an abiding by the judgment of selected person in some disputed matter, instead of carrying tribunal justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, expense and taxation of ordinary ligation”.

Berdasarkan pengertian tersebut, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur unsur arbitrase sebagai berikut:

a. cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;

b. atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;

c. untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau sudah terjadi;

d. dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan

e. sifat putusannya final dan mengikat.

Berdasarkan rumusan pasal satu angka satu di atas, ada tiga hal yang dapat dikemukakan undang undang nomor 30 tahun 1999 tersebut:

a. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian.

b. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis.

(12)

c. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menentukan adanya dua sumber perikatan, arbitrase ini merupakan perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.

Jika dikaitkan dengan rumusan Pasal 1 angka 3 ,dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu kesepakatan berupa:

a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian sebelum timbul sengketa; atau

b. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.

Dengan demikian perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase. Dalam kesepakatan dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan digunakan untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak. Klausula atau perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau dalam pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri setelah timbul sengketa.

Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjian. Dan sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase juga digantungkan pada syarat syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(13)

Salah satu bentuk dari penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan masuk dalam jajaran The Binding Adjudicative Procedure yaitu arbitrase. Di mana arbitrase merupakan bentuk alternatif paling formil untuk menyelesaikan menyelesaikan sengketa sebelum ber litigasi. Dalam proses ini pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral, dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan.

Pandangan pragmatis serta pertimbangan kebijakan membawa peradilan untuk menyetujui arbitrase sebagai proses yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai konsekuensinya, maka saat ini arbitrase telah menjadi bagian dari peradilan yang lebih tidak formil. Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar institusi pengadilan. Keadaan seperti ini mengharuskan kita mencari pilihan lain dalam menyelesaikan suatu sengketa.

Masyarakat bisnis utamanya, menginginkan adanya penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan murah serta tepat. Penyelesaian sengketa yang lambat akan dapat mengganggu kinerja pebisnis dalam menggerakkan roda perekonomian serta memerlukan biaya yang relatif besar. Untuk itu dibutuhkan institusi baru yang lebih efisien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa bisnis.

Kemudian lahirlah lembaga arbitrase yang mengakomodasi kelemahan-kelemahan litigasi yang merupakan siklus kedua sistem penyelesaian sengketa.

(14)

Ada beberapa alasan mengapa arbitrase menarik bagi kaum pengusaha, investor, pedagang, yaitu:

a. Arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang luas bagi mereka.

b. Rasa aman terhadap ketidakpastian karena sistem hukum yang berbeda.

c. Perlindungan terhadap keputusan hakim yang berat sebelah.

d.Kepercayaan yang lebih besar terhadap kemampuan arbiter (expertise).

e.Cepat dan hemat biaya.

f. Bersifat rahasia.

g. Bersifat non preseden.

h. Sensibilitas dari para arbiter terhadap perkara.

1. Perundangan modern karena memberikan otonomi, kebebasan,dan fleksibilitas secara maksimal dalam menyelesaikan sengketa.

Secara sederhana, arbitrase sebenarnya adalah persetujuan para pihak yang berjanji sebelumnya apabila terjadi pertikaian di antara mereka, maka mereka setuju untuk menyelesaikannya dengan jalan arbitrase di mana pihak ketiga yang netral diberikan wewenang menyelesaikan pertikaian tersebut.

Dengan kata lain, ciri-ciri dari arbitrase yaitu:

a. Arbitrase adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa.

b. Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak netral atau arbiter yang secara khusus ditunjuk.

c. Para arbiter mempunyai wewenang yang diberikan para pihak.

d. Para arbiter diharapkan memutuskan sengketa menurut hukum.

(15)

e. Arbitrase merupakan sistem pengadilan perdata, artinya bahwa para pihak lah dan bukan negara yang mengawasi kewenangan dan kewajiban para pihak.

f. Keputusan yang dikeluarkan oleh badan ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan para pihak.

g. Keputusan para arbiter mengikat para pihak berdasarkan persetujuan di antara mereka untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase bahwa mereka akan menerima dan secara sukarela memberikan kekuatan kepada keputusan arbitrase tersebut.

h. Pada pokoknya proses berperkara melalui badan arbitrase dan putusannya terlepas dan bebas dari campur tangan negara.

Apabila dikatakan arbitrase, maka pengertian yang ada akan selalu merujuk pada suatu prosedur yang telah memiliki standar keberlakuan secara internasional dan diakui hampir seluruh negara di dunia.

Perjanjian arbitrase menimbulkan kewenangan absolut bagi lembaga arbitrase untuk memeriksa sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian yang disepakati, dan sekaligus menghilangkan kewenangan lembaga peradilan untuk memeriksa sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian tersebut.

Arbitrase memberikan beberapa keuntungan kepada yang menggunakannya, yaitu kerahasiaan berperkara, waktu yang cepat, tidak mahal, efisien, proses tertutup dan memberikan keleluasaan ketika berproses. Para pihak diberikan wewenang untuk menentukan dan berpartisipasi langsung dalam proses, dan para arbiter yang berpartisipasi umumnya memiliki pengetahuan yang lebih

(16)

luas mengenai permasalahannya dibanding para hakim. Arbiter juga tidak diwajibkan untuk mengikuti keputusan arbiter sebelumnya (legal precedent), tetapi dapat memberikan pertimbangannya sendiri. Malahan arbiter diberikan kesempatan seluasnya untuk memberikan keputusan sendiri. Di samping itu, faktor kerahasiaan juga ada, karena tidak ada kewajiban.

Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa:

1. Segi Positif Penggunaan Arbitrase

sebagai Penyelesaian Sengketa Arbitrase biasa dipilih para pengusaha untuk penyelesaian seng keta dalam lapangan perdagangan, karena ternyata memiliki beberapa kelebihan dan kemudahan, yakni:

a. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sen diri dan untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujuran, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya yang disengketakan (dan sama sekali tidak mewakili pihak yang memilihnya).

b. Pelaksanaan majelis arbitrase konfidensial, dan oleh karena itu dapat menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki. Sifat arbitrase sangat konfidensial dan mampu menghilangkan rasa khawatir para pihak seperti kalau bersengketa di pengadilan, dan dapat dihindari ekspose dari putusannya. Putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak c. merupakan putusan final dan mengikat para pihak terhadap sengketanya, tidak seperti putusan pengadilan yang terbuka bagi upaya banding, kasasi dan peninjauan yang memakan waktu lama.

(17)

d. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya bisa cepat, tidak mahal serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan. Bahwa arbitrase itu lebih murah dan cepat disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya jangka waktu pemeriksaan arbitrase sampai kepada putusan dibatasi oleh UU No. 30 Tahun 1999, yang memberi waktu penyelesaian perkara sampai pada putusan akhir dan final selama 6 bulan.

Adapun Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), misalnya, 3 bulan dengan kesempatan perpanjangan sampai 3 bulan tambahan sedangkan pemeriksaan perkara di pengadilan bisa memakan waktu sampai 5-8 tahun atau lebih. Apalagi kalau kebetulan ditangani oleh pengacara yang kurang bertanggung jawab, sehingga masalahnya akan diperpanjang selama mungkin. Arbitrase dikenal sebagai suatu cara penyelesaian melalui fast track dan juga standard track.

Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, serta proses atau tempat arbitrase diselenggarakan.

f. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable) memberikan kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para. hak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketanya.

g. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, ahli, dan profesional berpengalaman serta

(18)

mempunyai latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.

h. Arbiter juga tidak diwajibkan untuk mengikuti keputusan arbiter sebelumnya (legal precedent), tetapi dapat memberikan pertimbangannya sendiri.

i. Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.

Seperti dikemukakan di atas, bahwa arbitrase memang memberikan beberapa keuntungan kepada yang menggunakannya, antara kerahasiaan berperkara, waktu yang cepat, tidak mahal, efisien, proses tertutup, dan memberikan keleluasaan berproses, karena para diberikan wewenang untuk menentukan dan berpartisipasi langsung dalam proses, dan para arbiter yang berpartisipasi umumnya memiliki pengetahuan yang lebih luas mengenai permasalahannya para hakim. Malahan arbiter diberikan kesempatan seluasnya memberikan keputusan sendiri. Di samping itu, faktor kerahasiaan juga ada karena tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan keputusan arbitrase, sehingga dengan adanya kerahasiaan nama baik dan marwah para pihak yang berperkara akan terlindungi, tetapi arbitrase:

juga memiliki kekurangan atau kelemahan.2

Segi Kelemahan Arbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa

Meskipun arbitrase menyandang berbagai keuntungan, namun di dalam praktiknya memiliki kelemahan-kelemahannya. Jadwal menjadi panjang yang mengakibatkan biaya dan membuat jadwal terlambat. Juga kadang-kadang

2Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya. Kencana Prenamedia Group, Jakarta,2015. Hal.316

(19)

kualitas keputusan karena tidak adanya keharusan akan adanya preseden hukum (legal precedent) atau keterikatan kepada putusan arbitrase sebelumnya.

a. Terkadang proses arbitrase akan membuat proses menjadi sangat formil dan kaku. Kesulitan untuk menyatukan para pihak dalam memilih peraturan arbitrase yang akan digunakan panel yang beranggotakan beberapa arbiter. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang

bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah,karena umumnya para pihak yang merupakan perusahaan-perusahaan yang bonafide.

b. Sering kali untuk dapat mencapai kesepakatan atau forum arbitrase mana yang akan dipilih: Arbitrase International Chamber Of Commerce (ICC) di Perancis; American Arbitration Association di Amerika Serikat;

Arbitrase ICSID London; Court of Arbitration,atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia, juga tidak mudah.

c. Telah dimaklumi dalam arbitrase tidak selalu ada keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, keputusan setiap sengketa yang telah diambil sepertinya dibuang begitu saja, meskipun di dalam putusan tersebut mengandung argumentasi para ahli hukum kenamaan atau terkemuka. Karena tidak berlakunya preseden ini, maka logis kemungkinan timbulnya keputusan yang saling berlawanan. Artinya, fleksibilitas di dalam mengeluarkan keputusan sulit dicapai.

d. Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya

(20)

konsep dan sistem hukum yang berbeda dengan yang ada di setiap negara.

Konsep arbitrase di negara-negara Anglo Saxon akan berbeda dengan yang ada di negara-negara kontinental. Kedua konsep ini pun saling berbeda dengan konsep yang ada di negara-negara sosialis. Lagi pula sistem arbitrase di tiap negara berbeda yang masing-masing dipengaruhi oleh hukum dan struktur hukum masing-masing.

e. Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu tergantung kepada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.

f. Dewasa ini di banyak negara, masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi soal yang sulit. (Lihat: New York Convention, 1958)

g. Memang untuk eksekusi putusan arbitrase kadang-kadang perlu bantuan pengadilan, akan tetapi hanya ada pada taraf eksekusi. Dalam praktiknya, keadaan ini kadang-kadang merupakan kelemahan arbitrase. Akan tetapi selama para pihak berlaku sportif dan jujur, tidak masalah.

h. Adakalanya terjadi bahwa yang merasa dikalahkan melakukan upaya hukum di pengadilan untuk menganulir atau membatalkan atau mengadili kembali putusan yang sudah diputuskan oleh majelis arbitrase.

i. Kadang-kadang ada juga yang menuntut para arbiter anggota majelis, walaupun salah satu arbiter merupakan pilihannya sendiri. Oleh karena itu, dikatakan bahwa arbitrase itu baik hanya untuk para pengusaha yang bonafide dan beritikad baik dan bukan mereka yang sering kali

(21)

menggunakan pengadilan sebagai usaha untuk mengelak kewajiban, atau mengulur waktu pemenuhan kewajiban, tentunya dengan bantuan pengacara yang tidak bertanggung jawab.3

Kedudukan dan kewenangan ICSID

Kewenangan Yurisdiksi ICSID secara legal hanya meliputi sengketa yang timbul dari penanaman modal antar negara negara peserta konvensi. Perluasan Yurisdiksi dapat terjadi asalkan masih merupakan perselisihan yang secara langsung dari permasalahan investasi antara suatu negara dengan orang asing atau negara asing. Tempat kedudukan ICSID, sesuai dengan pasal dua konvensi, yaitu di kantor pusat International Bank for Reconstruction and Development.

Pemindahan tempat kedudukan ini tempat lain hanya dapat terjadi kalau administrative council nya menghendaki dengan suara mayoritas( dua pertiga dari anggota dewan).

ICSID memiliki susunan organisasi yang terdiri dari dewan administrasi (administrative council) dan sekretariat. Keanggotaan dewan administrasi terdiri dari setiap negara anggota konvensi. Ketua dewan ini dijabat secara “ex officio”

oleh presiden bank dunia. Dengan administrasi ini memiliki kekuasaan dan fungsi sebagai berikut:

-Mengatur administrasi dan keuangan.

-Mengatur ketentuan (rule) dan procedure proses perdamaian dan arbitrase.

-Menetapkan syarat syarat pelayanan sekretaris jenderal -Menetapkan anggaran biaya tahunan ICSID.

Sekretariat ICSID terdiri dari seorang pejabat sekretaris jenderal yang dibantu seorang atau lebih deputi sekretaris jenderal serta beberapa orang staf.

3Ibid.

(22)

Penyelesaian sengketa dilakukan dengan pembentukan panel, yaitu orang yang memenuhi sarat syarat untuk ditunjuk sebagai konsiliator atau sebagai arbiter dengan masa bakti enam tahun.

Permohonan penyelesaian sengketa diajukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administrasi Centre secara tertulis dengan membuat penjelasan tentang pokok pokok perselisihan, identitas para pihak, dan mengenai adanya persetujuan mereka untuk mengajukan perselisihan menurut ketentuan ICSID. Jika permohonan memenuhi syarat, center kemudian membentuk majelis arbitrase (tribunal arbitral). Tribunal ini memiliki kewenangan sesuai dengan yurisdiksi seperti yang dipaparkan di atas, antara lain memutus perkara sengketa menurut hukum, memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat, serta memberikan putusan provisi (pemeriksaan pendahuluan).

Peran pengadilan sebelum berlangsungnya proses penyelesaian sengketa melalui ICSID tidak Dicantumkan dalam pasal pasal pada ICSID. Seperti pada saat pembentukan majelis arbitrase yang tercantum dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 ICSID dapat dilihat adanya kan para arbiter. Para pihak dapat menyetujui Arbiter yang ditunjuk ICSID. Para pihak sebaliknya dapat menolak apabila Arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian pengangkatan anggota arbiter sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan para pihak untuk mengangkat masing masing seorang Arbiter. Adapun pengangkatan atau penunjukan Arbiter ketiga harus atas persetujuan bersama semua pihak.

Anggota yang ketiga ini bertindak sebagai ketua dari majelis arbitrase. Sehingga

(23)

secara singkat dapat dirumuskan bahwa kewenangan menunjuk Arbiter oleh ketua dewan administratif, apabila telah ada permohonan dari salah satu pihak, dan sudah empat mungkin telah berkonsultasi dengan para pihak. Disamping itu kewenangan penunjukan Arbiter tidak boleh diambil dari negara negara konvensi yang sedang berselisih. Jadi ICSID tidak mengatur peran pengadilan dalam proses pengangkatan Arbiter. Adapun mengenai keputusan yang diambil dari perselisihan yang timbul, diambil dengan suara terbanyak dan dituangkan secara tertulis serta ditandatangani anggota arbiter yang menyetujui putusan. Putusan ini tidak boleh dipublikasi tanpa persetujuan para pihak. Salinan dikirimkan oleh sekretaris jenderal kepada para pihak dan memiliki daya mengikat terhitung tanggal pengiriman salinan.

Jika putusan itu menimbulkan perselisihan, maka mengenai makna maupun jangkauan putusan para pihak memiliki hak untuk melakukan interpretasi yang ditujukan kepada sekretaris jenderal. Penyelesaian perbedaan itu diserahkan kepada tribunal yang semula mengurusnya. Jika ditemukan fakta fakta yang mempengaruhi putusan, para pihak boleh mengajukan permintaan revisi atas putusan dalam jangka waktu 90 hari dari tanggal pengiriman salinan putusan.

Penilaian nya atas hal ini juga dilakukan oleh tribuna semula. Selanjutnya para pihak juga dapat mengajukan permohonan pembatalan dalam jangka waktu 120 dari tanggal pengiriman salinan putusan yang alasannya ditetapkan secara limitatif, yaitu:

-Pembentukan Tribunal tidak tepat;

-Tribunal melampaui batas kewenangannya;

-Adanya kecurangan dari anggota Arbiter;

(24)

-Adanya penyimpangan yang sangat serius dari aturan acara;

-Putusan nggak akan mencantumkan alasan yang menjadi urusan putusan.4

Dapat dilihat dari kasus sengketa penanaman modal sebelumnya antara Amco Asia Corporation Vs Pemerintah Indonesia, dimana pada tanggal 16 Mei 1986 Panitia Arbitrase Ad Hoc dari ICSID (International Centre for the Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington, Lembaga Arbitrase yang diciptakan oleh Bank Dunia, telah mengambil suatu keputusan yang penting. Keputusan ini menggembirakan bagi kita karena telah membatalkan keputusan Dewan Arbitrase ICSID tertanggal 20 November 1984 mengenai sengketa Hotel Kartika Plaza, Jakarta, yang merugikan pihak kita. Dengan adanya kepu tu san pembatalan dari Panitia Ad Hoc ini telah berakhir suatu proses yang telah memakan waktu hampir 6 tahun. Pemeriksaan perkara ini telah dilakukan dengan seksama dan mendalam.5

Dari pihak kita, dalam rangka pembelaan, telah mengajukan tidak kurang dari 5.000 halaman kesimpulan-kesimpulan berikut lampiran-lampiran dan pendapat-pendapat dari para ahli hukum terkenal dan guru besar kenamaan dari berbagai negara. Keputusan-keputusan dalam perkara ini menurut hemat kami, akan disitir sana-sini oleh para sarjana hukum di kelak kemudian hari, apabila mempersalahkan soal perlindungan penanaman modal asing, karena merupakan landmark decisions. Pemeriksaan telah dilakukan oleh Dewan Arbitrase ICSID di berbagai tempat, antara lain di Washington, Paris, dan Kopenhagen, sedangkan

5Prof. Mr. Dr. S. Gautama,”Pembatalan Keputusan Dewan Arbitrase Bank Dunia Mengenai Pencabutan Penanaman Modal di Indonesia” (Perkara Hotel Kartika Plaza).hal.244.

4Ibid.

(25)

Panitia Arbitrase ad hoc ICSID yang memeriksa permohonan pembatalan (annulment) yang telah diajukan oleh pihak RI telah melakukan sidangnya di Frankfurt dan Wina (yang terakhir dalam bulan Februari 1986).

Kemudian para arbitrator sendiri, dalam rangka mempersiapkan keputusan arbitrase ini, telah mengadakan pertemuan-pertemuan pula, di Roma dan di Paris.

Hasilnya ialah sebuah keputusan, terdiri dari 47 halaman, yang isinya secara mantap dan padat mengemukakan banyak teori-teori sekitar masalah penyelesaian sengketa tentang penanaman modal asing. Keputusan ini bukan saja penting bagi negara kita, tetapi juga untuk negara-negara berkembang lainnya yang hendak memupuk suatu iklim yang favourable untuk penanaman modal. Seperti diketahui, negara kita telah menjadi anggota peserta Konvensi ICSID tentang Penyelesaian sengketa tentang penanaman modal antara negara dan warga negara dari negara lain yang juga merupakan anggota Konvensi ICSID mengenai Penanaman Modal ini. Undang-undang No. 5 Tahun 1968 yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat telah membuka kemungkinan bagi Pihak Penanaman Modal Asing swasta, yang menanam modalnya di Indonesia untuk apabila menganggap telah diperlakukan kurang wajar oleh pihak pemerintah RI, mengajukan sengketa tentang Penanaman Modal yang merupakan dispute hukum ini (legal dispute) kepada Dewan Arbitrase Bank Dunia yang berkedudukan di Washington (International Centre for the Settlement of Investment Disputes disingkat umumnya dengan "ICSID" tersebut di atas).6

6Ibid, Hlm.245.

(26)

Bagi pihak negara RI keputusan ini penting adanya. Karena untuk pertama kali pemerintah kita, sejak berlakunya Undang-undang Penanaman Modal 1967 No. I, telah dihadapkan ke muka forum arbitrase internasional. Berhubung negara kita terikat pada konvensi ini, maka sesuai dengan kewajiban yang timbul sebagai akibat keikutsertaan pada konvensi Bank Dunia ini, maka telah dilayani permintaan pihak investor asing yang merasakan dirugikan karena pencabutan lisensi Penanaman Modal mereka oleh pihak pejabat BKPM waktu itu dan, mengajukan persoalannya kepada Dewan Arbitrase Bank Dunia. Seperti diketahui dalam tingkat pertama negara kita telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan Hukum Internasional maupun Hukum Indonesia sendiri dengan melakukan pencabutan lisensi Penanaman Modal para investor asing bersangkutan, yaitu Amco Asia Corporation, Pan American Development Limited dan PT. Amco Indonesia. Ketiga badan hukum ini telah mengajukan permintaan arbitrase terhadap negara Republik Indonesia di hadapan Dewan ICSID dan hasilnya ialah keputusan pada tanggal 20 November 1984. Setelah pemeriksaan lebih dari 4 tahun lamanya, telah dianggap pencabutan Izin Penanaman Modal bersangkutan bertentangan dengan Hukum. Karenanya, pihak Indonesia dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum (tort, onrechtmatige daad) yang membawa tanggung jawab secara internasional (international liability ). Pihak RI telah dihukum untuk membayar ganti kerugian yang waktu itu ditentukan US$

4.200.000,- (berikut bunga), pembayaran mana harus dilakukan di luar Indonesia.

Dalam jumlah tersebut termasuk modal yang dianggap telah ditanam oleh pihak investor serta penggantian kerugian menurut perkiraan keuntungan dari

(27)

manajemen hotel yang akan mereka peroleh, bilamana dapat melanjutkan manajemen sampai tahun 1999, sesuai dengan Management Contract yang mereka telah buat dengan PT. Wisma Kartika.7

Karena adanya pencabutan izin Penanaman Modal ini, maka usaha mereka di Indonesia tidak dapat dilanjutkan dan Management Contract itupun tidak dapat direalisasikan lebih lanjut. Hingga mereka menuntut kerugian ± US$

12.000.000,-. Yang dikabulkan hanya sekitar US$ 3,4 juta ditambah bunga menjadi ± US$ 4,2 juta. Walaupun jumlah yang telah ditentukan harus dibayar pihak RI adalah jauh lebih rendah daripada tuntutan semula, sejumlah US$ 12 juta, dipandang perlu untuk mengajukan keberatan dan mahan pembatalan (annulment) daripada keputusan tersebut karena mengandung unsur-unsur yang merugikan pihak kita dan kiranya sukar untuk diterima. Bukankah dalam keputusan arbitrase ICSID tertanggal 20 November 1984 ini telah dinyatakan perbuatan pihak kita untuk melakukan pencabutan daripada lisensi Penanaman Modal adalah melanggar hukum adalah sudah nyata bahwa pihak investor sendiri tidak memenuhi kewajibannya.8

Hal ini menurut perhitungan daripada pihak Dewan Arbitrase ICSID bersangkutan itu (yang terdiri dari Prof. Berthold Goldman, Sarjana Perancis kenamaan, Prof. lsi Foighel, Sarjana Hukum Internasional terkenal dan Menteri Keuangan Denmark, yang telah dipilih oleh pihak kita serta Edward Rubin, Pengacara Kanada berpraktek di Hong Kong yang telah dipilih oleh pihak investor).9

9Idem,Hlm.247

8Ibid, Hlm.246.

7Ibid, Hlm.245.

(28)

Pihak kita menganggap bahwa Dewan Arbitrase tingkat pertama yang memenangkan pihak investor, telah tidak memakai hukum yang sebenarnya harus mereka pergunakan sesuai dengan ketentuan Konvensi ICSID. Mereka tidak memakai hukum Indonesia, tetapi langsung telah menitikberatkan kepada ketentuan-ketentuan Hukum Internasional. Padahal mereka harus memakai hukum Indonesia dan baru apabila hukum Indonesia ini memperlihatkan "kekosongan"

mengenai suatu masalah tertentu, dapat dibenarkan bahwa diperhatikan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional berkenaan dengan persoalan ini. Pihak kita beranggapan bahwa dalam menjatuhkan keputusan ini, Dewan Arbitrase pada taraf pertama, telah terlampau banyak Hukum dan Pembangunan dipengaruhi oleh pengertian-pengertian tentang apa yang mereka sendiri anggap sebagai adil dan tepat yaitu memberikan suatu keputusan ex aequo et bono dan bukan berdasarkan ketentuan hukum. Padahal mereka harus memakai hukum Indonesia. Oleh karena itu dianggap penting untuk mengusahakan pembatalan dari keputusan arbitrase ICSID bersangkutan itu.

Hukum Indonesia yang yarus dipakai dalam keputusan panitia Ad Hoc yang membatalkan keputusan pertama Dewan Arbitrase ICSID ini, suatu hal yang fundamental adalah ketentuan bahwa menurut Konvensi ICSID dalam pandangan Panitia Ad Hoc, Dewan Arbitrase memang diharuskan memakai hukum Indonesia, yaitu sebagai hukum daripada negara di mana Penanaman Modal telah dilakukan (law of the host state). Dewan Arbitrase. Ini telah tidak memakai hukum Indonesia untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak. Sesuai dengan pendapat yang telah kita ajukan, Panitia Ad Hoc sekarang telah mengemukakan

(29)

bahwa Dewan Arbitrase seharusnya memakai "Kaidah-kaidah Hukum Internasional", hanya untuk dapat memenuhi kekosongan (lacunae) dalam Hukum Domestik dan untuk menjamin adanya pengutamaan daripada hukum internasional di mana kaidah-kaidah domestik yang harus dipakai ini adalah bertentangan dengan kaidah kaidah internasional itu. (Paragraph 20 daripada keputusan Panitia Ad Hoc). Jika harus diperhatikan hukum Indonesia, maka penanaman modal hanya diakui apabila telah didaftarkan kepada Bank Indonesia sebagai Modal Asing yang telah dimasukan dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal luar negeri.

Menurut pandangan Dewan Arbitrase dalam keputusan taraf semula, kekurangan Penanaman Modal sejumlah ± US$ 600.000,- (menurut kalkulasi dari Dewan Arbitrase ICSID sendiri)tidak merupakan kriteria yang materiil untuk dapat melakukan pencabutan izin Penanaman Modal. Akan tetapi menurut Panitia Ad Hoc Dewan Arbitrase, tidak lagi dibenarkan untuk menganggap kekurangan itu " tidak materiil", apabila telah dilakukan kalkulasi sesuai dengan ketentuan Hukum Indonesia, yaitu bahwa hanya jumlah yang didaftarkan pada Bank Indonesia yakni US$ 983.000,- adalah yang harus diperhatikan, sedangkan keharusan investasi adalah untuk US$ 3 juta. Oleh karena itu, maka bagian daripada keputusan Dewan Arbitrase semula mengenai ketentuan bahwa BKPM tidak dibenarkan untuk mencabut lisensi PT. Amco, harus dibatalkan (paragraph 105). Apabila BKPM dapat dibenarkan untuk melakukan pencabutan izin Penanaman Modal ini, maka sudah jelas tidak perlu diberikan kompensasi.

(30)

Juga bilamana diperhatikan adanya ketentuan prosedur dari BKPM sendiri untuk sekurang-kurangnya memberikan 3 kali pemberitahuan (warnings) sebelum melakukan pencabutan lisensi. Pemberian ganti kerugian kepada pihak Amco dalam hal ini, telah dibatalkan pula oleh Panitia Ad Hoc (Paragraph 106). Akan tetapi ada satu hal yang ternyata tidak dibatalkan oleh Panitia Ad Hoc, yaitu mengenai kenyataan bahwa tindakan Tentara dan Polisi pada tanggal 31 Maret dan 1 April 1980, waktu hadir dan membantu PT. Wisma Kartika dalam mengambil oper manajemen hotel PT. Amco Indonesia, dipandang tetap suatu illegal self help.

Menurut ketentuan Hukum Indonesia sendiri yang harus dipergunakan, maka suatu pihak yang hendak mengambil-alih manajemen ini harus terlebih dahulu meminta bantuan dari Pengadilan. Jadi dengan lain perkataan, tidak dibenarkan untuk menjadi hakim sendiri. Walaupun benar kemudian telah diajukan persoalannya kepada Pengadilan Negeri untuk diperoleh penguatan daripada pengambilan oper manajemen ini, tetapi mengambil operan manajemen itu sendiri secara tanpa bantuan pengadilan, dipandang tidak legal. Maka mengenai hal inilah dipertahankan keputusan semula daripada Dewan Arbitrase.

Dan untuk hal ini kepada PT. Amco dapat diberikan penggantian kerugian yang telah dideritanya sejak diambil alihnya hotel itu yaitu 31 Maret - 1 April 1980 hingga sampai 9 Juli 1980, yaitu tanggal daripada pencabutan Iisensi mereka. Jadi karena pencabutan lisensi ini dianggap adalah sah, maka pengambilan oper manajemen oleh pihak PT. Wisma Kartika dianggap sejak pencabutan lisensi ini

(31)

juga tidak menyalahi hukum. Dengan demikian maka hanya sedikit saja jumlah ganti rugi yang dapat diminta oleh pihak PT. Amco berdasarkan keputusan ini.

Menurut perhitungan hanya sekitar US$ 50.000,-. Padahal mereka ini telah ditentukan untuk turut membayar pula ongkos daripada prosedur pembatalan (annulment) yang menurut perkiraan untuk mereka ini sudah merupakan US$

110.000,-. Mereka harus membayar separuh daripada biaya acara pembatalan ini.

Yang penting dari keputusan arbitrase inilah bahwa pihak Republik Indonesia dianggap tidak melakukan suatu International Wrong dan tidak menyalahi asas perjanjian-perjanjian mengikat (pacta sunt servanda) dengan mencabut lisensi dari pihak Penanam Modal dalam hotel Kartika Plaza. Kemudian perlu diperhatikan bahwa tindakan-tindakan sepihak dalam menghadapi sengketa berkenaan dengan Penanam Modal Asing, sebaiknya dihindarkan di kemudian hari, untuk tidak dicap sebagai main hakim sendiri (illegal self help), yang membawa kewajiban untuk memberikan ganti kerugian. Mengenai masalah apakah kepada pihak Penanam Modal harus diberikan perlindungan yang lebih daripada warga negara biasa untuk melindungi Penanaman Modal mereka, pihak Panitia Ad Hoc ICSID tidak memberikan keputusan, karena dianggap tidak perlu lagi. Berhubung menurut hukum Indonesia sendiri dapat ditentukan bahwa "main hakim sendiri" adalah tidak dibenarkan,sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 BW di mana untuk pembatalan kontrak, harus diminta bantuan dari Pengadilan.

Keputusan dari ICSID ini, baik dalam taraf pertama maupun dalam acara pembatalan, akan sangat diperhatikan dan menarik bagi para sarjana dalam bidang

(32)

hukum internasional , khususnya berkenaan dengan arbitrase di bidang Penanaman Modal.10

B. Faktor yang Menjadi Penghambat Upaya Perlindungan Hukum Penanaman Modal Asing Melalui Arbitrase

Pada prinsipnya hanya ada tiga hal yang dapat menghalangi putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, yaitu:

1. putusan arbitrase internasional tersebut belum final;

2. putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum;dan

3. putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan sengketa perdagangan. Artinya, selama putusan internasiona dapat memenuhi ketiga hal di atas, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan/atau Mahkamah Agung harus memberikan pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional.11

Namun contoh kasus Amco Vs Pemerintah Indonesia diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum bagi para pihak dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing di Indonesia, antara lain baik oleh pihak Amco maupun Indonesia. Melihat keputusan ICSID tersebut, Pemerintah Indonesia dapat mengajukan pembatalan berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Konvensi Washington, dimana Dewan arbitrase secara tegas telah melampaui kewenangannya dengan tidak menggunakan hukum nasional Indonesia sebagai dasar keputusannya.

Seperti pada laporan United Nations Conferences on Trade and Development : “In Amco v. Indonesia, the ad hoc Committee annulled the first Award subject to broad qualifications. In addition, it identified certain specific findings of the first Tribunal to which the annulment did or did not apply.62 The new Tribunal in the resubmitted case undertook a careful stocktaking of findings

11Ibid

10Ibid.

(33)

of the first Tribunal that had been annulled or had not been annulled by the ad hoc Committee.63 It identified a list of points on which the ad hoc Committee had explicitly refused to annul the first Tribunal’s findings or had specifically confirmed the holdings in the original Award. In addition, the new Tribunal gave a list of specific annulment findings of the ad hoc Committee.64 It was clear that points on which the Award was annulled fell to be relitigated.65 It was equally clear that matters sought by a party to be annulled but which had expressly not been annulled or had been expressly confirmed were res judicata. 66 Holdings by the first Tribunal that had not been challenged in the annulment proceedings and on which the ad hoc Committee, consequently, had not made a pronouncement were also held to be res judicata”.12

Alasan tidak digunakannya hukum nasional dalam pengambilan keputusan ICSID sangat terbatas yang pada Undang-Undang No 30 Tahun 1999 hanya diatur di dalam satu pasal saja yaitu Pasal 66 ayat (e) serta bisa saja didasari oleh Konvensi New York 1958 serta menurut ketentuan Hukum Indonesia sendiri yang harus dipergunakan, maka suatu pihak yang hendak mengambil-alih manajemen ini harus terlebih dahulu meminta bantuan dari Pengadilan. Jadi dengan lain perkataan, tidak dibenarkan untuk menjadi hakim sendiri. Walaupun benar kemudian telah diajukan persoalannya kepada Pengadilan Negeri untuk diperoleh penguatan daripada pengambilan oper manajemen ini, tetapi mengambil operan manajemen itu sendiri secara tanpa bantuan pengadilan, dipandang tidak legal.

Maka mengenai hal inilah dipertahankan keputusan semula daripada Dewan Arbitrase dengan dikemukakan adanya pelanggaran terhadap Pasal 53 ayat (1) Konvensi New York, dimana terhadap pelanggaran ini Investor dapat melakukan gugatan terhadap negara tuan rumah pada tingkatan diplomatik dan menyampaikan sengketa tentang putusan arbitrase yang tidak dapat dilaksanakan

12United Nations Conference on Trade and Development.

https://unctad.org/system/files/official-document/edmmisc232add7_en.pdf.,diakses pada 29 April 2021.

(34)

kepada Mahkamah Internasional yang memiliki yurisdiksi yang berhubungan dengan sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi.13

Namun Pemerintah Indonesia juga harus memperhatikan pentingnya konsistensi Pemerintah Indonesia dalam membuat peraturan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal asing dapat terimplementasi dengan semestinya khususnya dalam penegakan hukumnya agar menjaga kepercayaan Investor dan menghindari kerugian kepada Republik Indonesia sendiri di kemudian hari.

Dengan kata lain, pada arbitrase dalam praktik di Indonesia pun diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur-unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), di mana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (Pasal 59 dan Pasal 4 dan Pasal 5 UU No.

30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anggota Konvensi New York.

Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah yaitu apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya ICC menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia.

Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase nasional/domestik

13Tria Setiadi,Peran Arbitrase ICSID Dalam Kerangka Penanaman Modal di Indonesia

(35)

dengan segala akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaannya. Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang menimbulkan masalah yang berlarut-larut. Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law.

Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa." Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar. Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law, di samping itu diharapkan bahwa hakim Pengadilan Negeri Indonesia serta semua pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakikat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang bersifat praktis, non konfrontatif, efisien, dan efektif.

(36)

Dalam era bisnis tanpa batas dewasa ini, arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang sangat populer digunakan oleh kalangan pelaku bisnis antarnegara. Namun demikian, tidak jarang para pelaku bisnis, terutama mereka yang memenangkan perkara dihinggapi kefrustrasian apabila dihadapkan pada eksekusi putusan arbitrase internasional yang melibatkan pengadilan. Setelah pemeriksaan sengketa diputuskan, pihak yang dikalahkan, apabila tidak mau melaksanakan isi keputusan, paling tidak mempunyai upaya hukum berupa pengajuan permohonan pembatalan putusan, atau jika cukup adanya pelanggaran-pelanggaran mengajukan permohonan agar eksekusi putusan tidak dapat dilaksanakan.

"Penolakan putusan arbitrase" merupakan upaya hukum berupa menolak pelaksanaan atau eksekusi (enforcement) atas putusan arbitrase internasional kepada pengadilan di mana aset atau barang berada. Ini terjadi mengingat putusan arbitrase dibuat di suatu negara tetapi pelaksanaannya dilakukan di negara lain.

Putusan arbitrase internasional pada umumnya memiliki karakter demikian.

Pelaksanaan putusan akan sangat bergantung pada di mana aset atau barang yang hendak dieksekusi berada. Keterlibatan pengadilan tidak dapat dihindarı mengingat eksekusi atas putusan hanya bisa dilakukan oleh pengadilan dalam bentuk penetapan eksekusi. Adapun upaya hukum "membatalkan putusan arbitrase adalah pihak yang dikalahkan dapat mempermasalahkan putusan arbitrase internasional yang telah dibuat. Upaya hukum ini pada dasarnya upaya hukum untuk membatalkan putusan arbitrase. Dalam upaya ini, sama seperti

(37)

upaya hukum pertama, memerlukan keterlibatan hukum pengadilan. Pengadilan dianggap sebagai otoritas yang dianggap sebagai otoritas yang berwenang.

Dasar Hukum Pembatalan dan Penolakan Putusan menurut ketentuan Pasal 52 ayat (1) ICSID kepada para pihak diberi hak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase. Pembatalan salah satu putusan arbitrase merupakan salah satu kewenangan dari arbitrase Secretary General. Ada beberapa syarat formil yang diatur dalam 1 Pasal 52 ayat (1) ICSID:

a) Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis. Permohonan pembatalan yang diajukan secara lisan tidak dapat diterima

b) Permohonan yang dialamatkan kepada sekretaris jenderal ICSID, (Either party of the award may request annulment by an application in writing addressed to the Secretary-General.) Jika putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya putusan yang tunduk kepada Rules ICSID, permohonan pembatalan dialamatkan kepada sekretaris jenderal ICSID yang berkedudukan di Washington, permohonan tidak disampaikan kepada Pengadilan Negeri.Sekiranya ada putusan arbitrase yang diambil di Indonesia,namun dasar-dasar penyelesaian dan putusan tunduk kepada ICSID, maka pemeriksaan dan penyelesaian pembatalannya bukan menjadi fungsi dan kewenangan Pengadilan Negeri tetapi fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaiannya berada di bawah lembaga ICSID sendiri. Maka permohonan pembatalan harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal ICSID, bukan Pengadilan Negeri. Seperti halnya putusan arbitrase yang menundukkan diri kepada ketentuan hukum

(38)

Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999), maka permohonan pembatalannya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan menyelesaikan permohonan pembatalannya.

c) Permohonan diajukan dalam tempo 120 hari setelah putusan diserahkan atau diterima (the application shall be made within 120 days after the date of which the award was rendered) Jika permohonan pembatalan yang diajukan melampaui batas tenggang waktu, berarti tidak memenuhi syarat formil, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima. Namun terhadap ketentuan ada kecualinya. Khusus untuk permohonan pembatalan yang didasarkan atas alasan adanya kecurangan atau corruption perhitungan batas tenggang waktu, bukan 120 hari penerimaan putusan, tetapi dapat diajukan permohonan pembatalan dalam tenggang waktu 120 hari dari hari ditemukannya kecurangan (application shall be within 120 days after discovery of the corruption), dan hal ini berlaku sampai batas tiga tahun sejak tanggal putusan diserahkan dan diterima para pihak.

Maksud Pasal 52 ayat 1 huruf c sepanjang sebagai dasar pembatalan yaitu adanya kecurangan( there was a corruption on the part of the member of the Tribunal), maka jangka waktu 3 tahun terhitung sejak putusan disampaikan para pihak. Jika adanya kecurangan baru ditemukan sesudah lewat jangka waktu sejak putusan disampaikan, maka perbuatan tersebut tidak dapat lagi diajukan sebagai dasar alasan permohonan pembatalan. Hal ini dimaksudkan sebagai penegakan kepastian hukum.

(39)

Adapun alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dibenarkan ICSID adalah:

a) Pembentukan arbitrase yang tidak tepat.

The Tribunal was not properly constituted Maksudnya, pembentukan majelis arbitrase yang memutus sengketa tidak dilakukan menurut tata cara yang tepat.

Pembentukannya mengandung pelanggaran terhadap ketentuan yang dibenarkan.

Misalnya penunjukan arbiter yang duduk di dalam majelis arbitrase yang memutus sengketa, bertentangan dengan penggarisan tata cara pembentukan yang ditentukan dalam Pasal 37-40 ICSID. Oleh karena pembentukannya sendiri tidak menurut ketentuan, dengan sendirinya putusan yang diambilnya tidak sah. Dengan demikian, layak untuk membatalkan putusan atas permintaan salah satu pihak.

Akan tetapi selama tidak ada permintaan pembatalan meskipun pembentukan majelisnya tidak sah, putusan tetap dianggap sah. Keabsahan putusan tetap bertahan sampai ada permintaan permohonan pembatalan dari pihak yang berkepentingan. Hanya saja cacat yang terkandung dalam pembentukan majelis dapat dijadikan alasan untuk menolak pelaksanaan eksekusi. Misalnya putusan telah dijatuhkan oleh suatu majelis yang pembentukannya menyalahi ketentuan, namun terhadap hal itu jika tidak diajukan permohonan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan berarti putusan tetap dianggap sah final terhadap para pihak.

Namun demikian, keputusan itu dapat mengalami kesulitan dalam pelaksanaan eksekusinya. sekiranya pada saat eksekusi dijalankan, Ketua Pengadilan Negeri menemukan cacat tersebut, sehingga cukup alasan untuk menolak permintaan eksekusi atas putusan dianggap sah,final dan mengikat kepada para pihak. Namun

(40)

pada saat eksekusi, bisa ditimbulkan kesulitan. Permohonan exequatur bisa ditolak oleh Pengadilan Negeri atas alasan putusan mengandung cacat bahwa majelis arbitrase yang memutus secara nyata melampaui batas kewenangannya.

c) Salah satu arbiter melakukan kecurangan

Salah seorang anggota arbiter melakukan kecurangan(There uas corruption on the part of a member of the Tribunal) salah seorang anggota arbiter yang duduk dalam mahkamah pemutus melakukan korupsi. Pengertian korupsi disini bisa diartikan adanya suap,kecurangan atau iktikad jahat. Dengan adanya tindakan yang seperti itu, putusan arbitrase dianggap mengandung cacat, dan itu dapat đijadikan sebagai dasar alasan untuk meminta pembatalan putusan.

d) Penyimpangan yang serius pada tata cara pemeriksaan

Menurut Pasal 52 ayat (1) huruf d: Putusan mengandung penyimpangan yang serius yang serius dan fundamental dari tata cara yang dibenarkan hukum. There has been a departure from a fundamental rule of procedure. Yang dimaksud dengan putusan yang mengandung penyimpangan yang serius dan fundamentil, apabila proses pemeriksaan melanggar ketentuan tata tertib beracara yang ditentukan hukum. Aturan tata tertib beracara yang dilanggar mengandung ancaman batal. Misalkan dengan merujuk ketentuan Pasal 48 ayat (1) ICSID, tata pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak (the tribunal shall decide questions by a majority of the votes of all its members). Ternyata putusan yang dijatuhkan didasarkan atas suara minoritas, dalam kasus yang seperti ini telah terjadi penyimpangan yang serius dan fundamental. Telah dilanggar ketentuan tata tertib yang bersifat imperatif. Pelanggaran yang seperti ini cukup dijadikan dasar

(41)

alasan permintaan pembatalan putusan. Contoh lain, putusan tidak mencantumkan atau melampirkan pendapat masing-masing anggota arbiter. Padahal, menurut Pasal 48 ayat (1) ICSID, tata tertib atau sistem pengambilan putusan berdasarkan suara terbanyak( the tribunal shall decide question by a majority of the votes of all its members). Ternyata putusan yang dijatuhkan didasarkan atas suara minoritas.

Dalam kasus yang seperti ini telah terjadi penyimpangan yang serius dan fundamental. Telah dilanggar tata tertib yang bersifat imperatif. Pelanggaran yang seperti ini cukup dijadikan alasan permintaan pembelaan putusan.

Contoh lain, putusan tidak mencantumkan atau melampirkan pendapat masing-masing anggota arbiter. Padahal, menurut Pasal 48 ayat (4) ICSID, menegaskan any member of the tribunal individual opinion to the award. Berarti putusan telah menyimpang dari ketentuan hukum.

Namun pelanggaran dan penyimpangan tata tertib ini tidak boleh dinilai secara generalis. Tidak semua penyimpangan berbobot serius dan fundamental.

Patokan penilaiannya tergantung pada sifat hukum acara yang dilanggar. Kalau acara yang dilanggar merupakan acara yang bersifat imperatif, baru dapat

dikategorikan sebagai penyimpangan yang serius dan fundamental. Sebaliknya, kalau yang dilanggar adalah acara yang bersifat fakultatif tidak dapat dikategori penyimpangan yang serius dan fundamental. Lazimnya dalam praktik,

pelanggaran atas aturan yang bersifat fakultatif dan dapat ditoleransi atau dimaafkan.

e). Tidak cukup dasar pertimbnagan putusan

(42)

Alasan terakhir yang dibenarkan sebagai dasar permintaan pembatalan putusan, bahwa majelis arbitrase gagal atau tidak mampu mengungkapkan dan menjelaskan dasar-dasar alasan pertimbangan hukum dalam putusan. (that the award has failed to state the reason on which it is based). Motivasi pertimbangan putusan tidak ada atau tidak cukup. Putusan hanya berisi kesimpulan yang tidak jelas dasar alasannya, dari mana kesimpulan itu ditarik. Putusan yang seperti itu digolongkan sebagai putusan yang gagal mengemukakan dasar-dasar alasan pertimbangan atau has failed to state the reason on which it is based.

Namun tidak selamanya keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk meminta pembatalan putusan. Ketentuan ini baru berlaku sebagai dasar alasan, apabila para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian. Jika para pihak sepakat, putusan tidak perlu menguraikan penjelasan dasar-dasar alasan pertimbangan, maka majelis arbitrase bebas untuk memilih. Majelis arbitrase boleh menguraikan dasar-dasar alasan pertimbangan, atau boleh pula tidak perlu menguraikannya.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 52 ayat (3) ICSID segera setelah diterima permohonan pembatalan putusan, Chairman of the Administrative Council membentuk ad hoc Committee. (On receipt of the request, the Chairman shall forth with appoint from the Panel of Arbitration and ad hoc Committee) yang anggota ad hoc Committee terdiri tiga orang, yang diambil dari Panel of Arbitration, yang terdiri dari mereka yang berasal dari contracting state (negara peserta ICSID). Setiap negara peserta, dapat menunjuk seorang panel dengan syarat orang tersebut memiliki kualitas dan bermoral tinggi serta memiliki reputasi di bidang hukum, komersial, industri, dan keuangan. Yang bukan anggota

(43)

Panel of Arbitration tidak boleh ditunjuk sebagai anggota ad hoc Committee, dan juga tidak boleh ditunjuk bekas anggota arbiter sebagai ad hoc Committee.

Meskipun penunjukan anggota ad hoc Committee diambil dari kalangan Panel of Arbitration, tidak boleh ditunjuk mereka yang telah ditunjuk sebagai anggota arbiter pada majelis arbitrase, yang memutus putusan yang diminta pembatalan, (None of the members of the Committee shall have been member of the tribunal which rendered the award)14.

Ada kemungkinan permohonan pembatalan ditolak atau tidak dapat diterima karena tidak dipenuhinya syarat formil,maka putusan arbitrase yang bersangkutan tetap sah, final, dan mengikat, tidak dapat diajukan banding.

Sebaliknya, jika permohonan pembatalan dikabulkan, maka sengketa kembali dalam keadaan semula. Ad hoc Committee tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili dan memutus sendiri. Apabila putusan dibatalkan oleh ad hoc Committee, sengketa dapat lagi diajukan kepada ICSID, untuk mendapat penyelesaian baru. Hal ini sejalan dengan akibat pembatalan, yakni sengketa kembali kepada keadaan semula. Penyelesaiannya tetap hanya dapat diajukan kepada badan arbitrase ICSID, sesuai kesepakatan semula dari para pihak. Untuk itu ICSID akan membentuk majelis arbitrase baru sesuai ketentuan Pasal 37, 38, 39, dan 40 ICSID. If the award in annulled, the dispute shall, at the request of either party, be submitted to a new tribunal constituted in accordance with section 2 of this chapter.

14Yahya Haraha, Arbitrase Ditinjau dari Rv.,I Rules, ICSID,UNCITRAL Arbitration Rules,New York Convention, PERMA No.1 Tahun 1990 hlm.378-382

(44)

Jika dilihat dalam PERMA No. 1 Tahun 1990, tampaknya hanya berbentuk sederhana hanya terdiri dari 6 bab dan 9 pasal. Asas-asas yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 1990 yang kemudian diadopsi dalam UU No. 30 Tahun 1999 yaitu:

a. Asas executorial kracht, yaitu putusan arbitrase asing disamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Asas resiprositas, yaitu pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing bersifat "timbal balik dengan negara lain secara seimbang dan sederajat, c. Asas pembatasan, yaitu hanya terbatas pada putusan yang menurut

ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.

d. Asas ketertiban umum, yaitu putusan arbitrase asing hanya diakui jika tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Jadi ada beberapa asas yang dijadikan landasan (fundamentum) dalam menjalankan eksekusi putusan arbitrase asing. Pada dasarnya asas-asas dimaksud juga sejajar dengan asas yang tercantum dalam Konvensi New York 1958. Untuk menentukan dan menilai apa suatu putusan arbitrase dapat dikualifikasikan sebagai putusan asing/internasional, harus diuji menurut ketentuan hukum asing itu tidak diperoleh dalam PERMA. Pasal 1 angka 9 UU No 30 Tahun 1999 memberi batasan arbitrase internasional adalah “ Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum RI, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau

(45)

arbiter perorangan menurut ketentuan RI dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.15

15Ibid.hal 412.

(46)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui Arbitrase pada umumnya ditempuh melalui Arbitrase Institusional seperti lembaga arbitrase internasional ICSID,UNCITRAL,ICC, atau BANI yang merupakan lembaga Arbitrase Nasional. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, pilihan jalur hukum yang akan ditempuh apabila terjadi sengketa harus dimuat dan disepakati pada saat melakukan perjanjian.

Mekanisme penyelesaian sengketa yaitu melalui Permohonan penyelesaian sengketa diajukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administrasi Centre secara tertulis dengan membuat penjelasan tentang pokok pokok perselisihan, identitas para pihak, dan mengenai adanya persetujuan mereka untuk mengajukan perselisihan menurut ketentuan ICSID. Jika permohonan memenuhi syarat, center kemudian membentuk majelis arbitrase (tribunal arbitral). Tribunal ini memiliki kewenangan sesuai dengan yurisdiksi seperti yang dipaparkan di atas, antara lain memutus perkara sengketa menurut hukum, memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat, serta memberikan putusan provisi (pemeriksaan pendahuluan).

2. Pada prinsipnya hanya ada tiga hal yang dapat menghalangi putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, yaitu: 1). putusan arbitrase internasional tersebut belum final; 2). putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan

(47)

ketertiban umum;dan 3). putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan sengketa perdagangan. Artinya, selama putusan internasional dapat memenuhi ketiga hal di atas, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan/atau Mahkamah Agung harus memberikan pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional.

B. Saran

1. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui jalur non litigasi seperti Arbitrase memang lebih efisien,praktis, non konfrontatif,dan efektif jika dibandingkan dengan Peradilan. Namun kembali lagi kepada pentingnya sinkronisasi antara Peraturan Perundangan-undangan dan implementasi atau penegakan hukumnya sehingga menjamin kepastian hukum baik terhadap Investor maupun Republik Indonesia. Konsistensi terhadap implementasi penegakan hukum seperti ketertiban umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase harus lebih diperhatikan agar kita tidak hanya dapat menarik the right investment atau investasi yang tepat sehingga dapat meningkatkan pembangunan serta perekonomian Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Hingga kuartal I 2012, total outstanding kredit konsumsi perseroan men- capai Rp 40,7 triliun, naik 27% dibandingkan periode yang sama tahun

Ayam pada grup perlakuan A yang dibatasi pakannya mulai umur 14 hari pada akhir minggu ke-tiga ternyata mempunyai pertumbuhan bobot badan dan konsumsi pakan

tif dan kuantitatif. Data kualitatif merupakan penilaian, tanggapan,saran-saran, dan angket yang diperoleh yang diperoleh dari reviu ahli desain pembelajaran, ahli

Instrumen moneter konvensional yang diwakili oleh suku bunga SBI dan instrumen moneter syariah yang diwakili oleh bonus SBIS secara signifikan berpengaruh terhadap

Untuk memudahkan dalam menganalisis data, maka variabel yang digunakan diukur dengan mempergunakan model skala 5 tingkat (likert) yang memungkinkan pemegang polis dapat

This permission does not extend to binding multiple chapters of the book, photocopying or producing copies for other than personal use of the person creating the copy, or

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa tindak tutur ilokusi pada aktor dalam pementasan drama

METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R&D) (Sugiyono, 2008). Secara