• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) dan Keluhan Musculoskeletal 2 Faktor-faktor risiko musculoskeletal disorders terkait dengan aktivitas manual

LANDASAN TEOR

3.2. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) dan Keluhan Musculoskeletal 2 Faktor-faktor risiko musculoskeletal disorders terkait dengan aktivitas manual

handling meliputi beberapa faktor berikut: faktor risiko yang terkait dengan karakteristik pekerjaan (task characteristic), karakteristik objek (material/object characteristic), karakteristik lingkungan kerja (workplace characteristic), dan karakteristik individu (Exxon Chemical, 1994).

a. Karakteristik Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan yang menjadi faktor risiko musculoskeletal disorders (MSDs) antara lain:

1. Postur Kerja

Postur kerja adalah posisi tubuh pekerja pada saat melakukan aktivitas kerja yang biasanya terkait dengan desain area kerja dan task requirements yang janggal (awkward posture). Postur janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan. Bekerja dengan posisi janggal meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk bekerja. Posisi janggal menyebabkan kondisi dimana perpindahan tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak efisien sehingga mudah menimbulkan lelah. Termasuk ke dalam postur janggal adalah pengulangan atau waktu lama dalam posisi menggapai, berputar (twisting), memiringkan badan, berlutut, jongkok, memegang dalam kondisi statis, dan menjepit dengan tangan. Postur ini melibatkan beberapa area tubuh seperti bahu, punggung dan lutut, karena bagian inilah yang paling sering mengalami cidera. 2. Frekuensi

Frekuensi merupakan banyaknya frekuensi aktivitas (mengangkut atau memindahkan) dalam satuan waktu (menit) yang dilakukan oleh pekerja dalam satu hari. Frekuensi gerakan postur kerja ≥ 2 kali/menit merupakan faktor risiko terhadap pinggang. Pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang dapat menyebabkan rasa lelah bahkan nyeri/sakit pada otot, oleh karena adanya

akumulasi produk sisa berupa asam laktat pada jaringan. 3. Durasi

Durasi adalah jumlah waktu terpapar faktor risiko. Durasi dapat dilihat sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpapar risiko. Durasi juga dapat dilihat sebagai paparan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan berdasarkan faktor risikonya. Secara umum, semakin besar paparan durasi pada faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya.

4. Vibrasi

Vibrasi dapat menyebabkan perubahan fungsi aliran darah pada ekstremitas yang terpapar bahaya vibrasi. Gangguan ini dikenal dengan Reynaud’s disease. Penyakit ini menyebabkan kerusakan saraf tepi.

b. Karakteristik individu.

Karakteristik individu yang menjadi faktor risiko MSDs antara lain : 1. Usia

Usia seseorang berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Pada umur 50-60 tahun kekuatan otot akan menurun sebesar 25 %, kemampuan sensoris motoris menurun sebanyak 60 %. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berumur > 60 tahun tinggal mencapai 50 % dari umur orang yang berusia 25 tahun. Bertambahnya umur akan diikuti dengan penurunan VO2 max, tajam penglihatan, pendengaran, kecepatan membedakan sesuatu, membuat keputusan, dan kemampuan mengingat jangka pendek. Oleh karena itu, pengaruh umur harus selalu dijadikan

pertimbangan dalam memberikan pekerjaan bagi seseorang. 2. Kebiasaan olahraga

Aerobic fitness meningkatkan kemampuan kontraksi otot. Delapan puluh persen (80 %) kasus nyeri tulang punggung disebabkan karena buruknya tingkat kelenturan (tonus) otot atau kurang berolah raga. Otot yang lemah terutama pada daerah perut tidak mampu menyokong punggung secara maksimal.

3. Masa kerja

Merupakan faktor risiko dari suatu pekerjaan yang terkait dengan lama bekerja. Dapat berupa masa kerja dalam suatu perusahaan dan masa kerja dalam suatu unit produksi. Masa kerja merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi seseorang pekerja untuk meningkatkan risiko terjadinya MSDs, terutama untuk jenis pekerjaan yang menggunakan kekuatan yang tinggi.

4. Kebiasaan merokok

Penelitian telah membuktikan bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan keluhan otot rangka. Semakin lama dan sering frekuensi rokok, maka keluhan otot rangka yang dirasakan akan semakin tinggi. Boshuizen (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot.

5. Kesegaran jasmani

yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga yang besar dan memiliki waktu istirahat yang kurang, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot.

6. Ukuran antropometri tubuh

Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot. Vessy et all (1990) menyatakan bahwa wanita yang lebih gemuk mempunyai risiko dua kali lipat dibandingkan dengan wanita kurus. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tangan. c. Karakteristik material

Karakteristik material yang menjadi faktor risiko MSDs antara lain : 1. Berat objek

Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg. mengangkat beban yang terlalu berat akan mengakibatkan tekanan pada discus pada tulang belakang (deformitas discus). Deformitas discus menyebabkan derajat kurvatur lumbar lordisis berkurang sehingga pada akhirnya mengakibatkan tekanan pada jaringan

lunak. Selain itu, beban yang berat juga dapat menyebabkan kelelahan karena dipicu peningkatan tekanan pada discus intervertebra.

2. Besar dan bentuk objek

Ukuran dan bentuk objek juga ikut mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedikit mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar dapat membebani otot pundak atau bahu lebih dari 300-400 mm, panjang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin/panas saat diangkat. Mengangkat objek tidak hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari. d. Karakteristik lingkungan kerja.

Karakteristik lingkungan kerja yang menjadi faktor risiko MSDs antara lain :

1. Cuaca kerja dan konsentrasi oksigen

Cuaca kerja merupakan kombinasi dari komponen suhu udara, kecepatan gerakan udara, dan kelembaban udara. Komponen-komponen tersebut dapat mempengaruhi persepsi kualitas udara dalam ruangan kerja, sehingga harus selalu dijaga agar berada pada kisaran yang dapat diterima untuk kenyamanan penghuninya.

2. Desain lingkungan kerja

Suatu lingkungan kerja ergonomis apabila secara antropometris, faal, biomekanik, dan psikologis kompatibel dengan pemakainya. Di dalam

mendesain stasiun kerja maka harus berorientasi pada kebutuhan pemakainya.

3.3. REBA (Rapid Entire Body Assesment) 3

Menurut Mc Atamney dan Hignett (2000), rapid entire body assessment (REBA) adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan risiko yang diakibatkan postur kerja operator.

Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor

coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang–ulang. Penilaian

postur kerja dengan metode ini dengan cara pemberian skor risiko antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level yang mengakibatkan risiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang berisiko dan melakukan perbaikan segera. REBA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa biaya peralatan tambahan. Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang terbatas

3

tanpa menggangu pekerja. Pengembangan REBA terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto, tahap kedua adalah penentuan sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja, tahap ketiga adalah penentuan berat benda yang diangkat, penentuan coupling, dan penentuan aktivitas pekerja. Dan yang terakhir, tahap keempat adalah perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. Dengan didapatnya nilai REBA tersebut dapat diketahui level risiko dan kebutuhan akan tindakan yang perlu dilakukan untuk perbaikan kerja.

Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA melalui tahapan–tahapan sebagai berikut:

1. Tahap 1: Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto

Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya. 2. Tahap 2: Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja.

Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan besar sudut dari masing – masing segmen tubuh yang meliputi punggung (batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. Pada metode REBA segmen – segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher dan

kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing–masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing–masing tabel. Penilaian masing-masing segmen tubuh dengan metode REBA dapat dilihat pada gambar dan tabel berikut ini:

Grup A

1. Batang Tubuh (trunk)

Gambar 3.1. Postur Tubuh Bagian Batang Tubuh

Tabel.3.1. Skor Pergerakan Punggung (Batang Tubuh)

Pergerakan Skor Perubahan Skor

Tegak 1

+1 jika memutar atau kesamping 0o – 20o Flexion 2 0o – 20o Extension 20o – 60o Flexion 3 > 20o Flexion

> 60o Flexion 4

2. Leher (neck)

Gambar 3.2. Postur Tubuh Bagian Leher

Tabel 3.2. Skor Leher REBA Pergerakan Skor Skor Perubahan

0-200 1

+1 jika leher berputar/bengkok >200-ekstensi 2

3. Kaki (legs)

Tabel 3.3. Skor Kaki (Legs)

Pergerakan Skor Skor Perubahan

Posisi normal/seimbang (berjalan/duduk) 1 +1 jika lutut antara 30-600 +2 jika lutut >600

Bertumpu pada satu kaki lurus 2

4. Beban (load)

Tabel 3.4. Skor Beban Pergerakan Skor Skor Pergerakan

<5 kg 0

+1 jika kekuatan cepat 5-10 kg 1

>10 kg 2

Grup B

Gambar 3.4. Postur Lengan Atas

Tabel 3.5. Skor Lengan Atas

Pergerakan Skor Skor Perubahan

200 (ke depan dan belakang) 1

+1 jika bahu naik

+1 jika lengan berputar/bengkok -1 miring, menyangga berat lengan >200 (ke belakang) atau 20-450 2

45-900 3

>900 4

2. Lengan bawah (lower arm)

Gambar 3.5. Postur Lengan Bawah REBA

Tabel 3.6. Skor Lengan Bawah REBA

Pergerakan Skor

60-1000 1

<600 atau >1000 2

Gambar 3.6. Postur Tubuh Bagian Pergelangan Tangan (Wrist)

Tabel 3.7. Skor Pergelangan Tangan REBA

Pergerakan Skor Skor Perubahan

0-150 (ke atas dan bawah) 1 +1 jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah

>150 (ke atas dan bawah) 2

4. Coupling

Tabel 3.8. Coupling

Coupling Skor Keterangan

Baik 0 Kekuatan pegangan baik

Sedang 1 Pegangan bagus tapi tidak ideal atau kopling cocok dengan bagian tubuh

Kurang baik 2 Pegangan tangan tidak sesuai walaupun mungkin

Tidak dapat diterima 3

Kaku, pegangan tangan tidak nyaman, tidak ada pegangan atau kopling tidak sesuai dengan bagian tubuh

Tabel 3.9. Skor Grup A Neck Leg Trunk 1 2 3 4 5 1 1 1 2 2 3 4 2 2 3 4 5 6 3 3 4 5 6 7 4 4 5 6 7 8 2 1 1 3 4 5 6 2 2 4 5 6 7 3 3 5 6 7 8 4 4 6 7 8 9 3 1 3 4 5 6 7 2 3 5 6 7 8 3 5 6 7 8 9 4 6 7 8 9 9

Nilai dari tabel A lalu ditambahkan dengan nilai pembebanan yang akan menghasilkan nilai skor A. Bagian tubuh yang dinilai berikutnya adalah pergelangan tangan, lengan bawah, dan lengan atas. Skor dari ketiga bagian tersebut lalu dimasukkan ke tabel B hingga diperoleh nilai dari tabel B.

Lower Arm Wrist Upper Arm 1 2 3 4 5 6 1 1 1 1 3 4 6 7 2 2 2 4 5 7 8 3 2 3 5 5 8 8 2 1 1 2 4 5 7 8 2 2 3 5 6 8 9 3 3 4 5 7 8 9

Nilai dari tabel B lalu dijumlahkan dengan nilai genggaman yang akan menghasilkan nilai skor B.

Tabel 3.11. Skor Akhir

Skor B Skor A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 1 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 2 1 2 3 4 4 6 7 8 9 10 11 12 3 1 2 3 4 4 6 7 8 9 10 11 12 4 2 3 3 4 5 7 8 9 10 11 11 12 5 3 4 4 5 6 8 9 10 10 11 12 12 6 3 4 5 6 7 8 9 10 10 11 12 12 7 4 5 6 7 8 9 9 10 11 11 12 12

8 5 6 7 8 8 9 10 10 11 12 12 12

9 6 6 7 8 9 10 10 10 11 12 12 12

10 7 7 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12

11 7 7 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12

12 7 8 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12

Skor yang didapat dari Tabel 3.11. ditambah dengan skor aktivitas yang akan menjadi skor akhir untuk REBA.

Tabel 3.12. Skor Aktivitas

Aktivitas Skor Keterangan

Postur statik +1 1 atau lebih bagian tubuh statis/diam Pengulangan +1 Tindakan berulang-ulang

Ketidakstabilan

+1

Tindakan menyebabkan jarak yang besar dan cepat pada postur atau tubuh tidak stabil

Selain itu, penilaian postur kerja dengan menggunakan metode REBA dapat dilakukan dengan menilai tubuh bagian kiri dan kanan menggunakan tabel REBA seperti Tabel 3.13 berikut.

Grup A Grup B

Postur Skor Total Postur Skor Total

Batang Tubuh Lengan Atas Kiri Kanan

Normal 1 +1 jika batang tubuh berputar/ bengkok/ bungkuk 0-20o (ke depan atau belakang) 1

+1 jika bahu naik +1 jika lengan berputar/bengkok -1 miring,

menyangga berat lengan

+1 jika bahu naik +1 jika lengan berputar/bengkok -1 miring, menyangga berat lengan 0-20o (ke depan atau belakang) 2 >200 (ke belakang) atau 20-450 (ke depan) 2 20-60o (ke depan) atau >20o (ke belakang) 3 45-90 0 (ke depan) 3 >60(ke depan) 4 >90 0 (ke depan) 4

Leher Lengan Bawah Kiri Kanan

0-20o(ke depan) 1

+1 jika leher berputar/bengkok

60-1000 1

- -

>20o (ke depan atau ke belakang) 2

<600 atau >1000 2

Kaki Pergelangan Tangan Kiri Kanan Posisi normal/seimbang (berjalan/duduk) 1 +1 jika lutut antara 30-600 0-150 (ke atas atau bawah) 1

+1 jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah

+1 jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah Bertumpu pada

satu kaki lurus 2 +2 jika lutut >600 >150 (ke atas atau bawah) 2

Skor Tabel A Skor Tabel B Kiri Kanan

Beban Coupling Kiri Kanan

<5 kg 0 +1 jika kecepatan cepat Baik 0 - - 5-10 kg 1 Sedang 1 >10 kg 2 Kurang baik 2 Tidak diterima 3 Skor A = Skor Tabel A + Beban Skor A= + = Skor B = Skor Tabel B + Coupling

Skor B= + = Skor baik= + =

Skor C

= Sel perpotongan skor A (baris) Dan B (kolom)

Tabel 3.13. Penilaian REBA Kiri dan Kanan (Lanjutan)

Aktivitas

+ 1

Ada bagian tubuh yang statis > 1 menit

+ 1 Pengulangan gerakan jarak

dekat, > 4 kali/menit Skor Aktivitas + 1 Perubahan postur secara

cepat atau tidak stabil

Skor REBA = Skor C + Aktivitas

Adapun penilaian REBA bisa juga dihitung seperti pada Gambar 3.7 dan Gambar 3.8 di bawah ini.

+1 jika batang tubuh berputar/bengkok/bungkuk

+1 jika leher berputar/ bengkok

+ 1 jika bahu naik

+1 jika lengan berputar / bengkok Table A Table B

Table C Load/Force Coupling Trunk

Neck Lower Arm

Upper Arm

( Sudut : )

( Sudut : )

Gambar 3.7. Penilaian REBA Kiri

+1 jika batang tubuh berputar/bengkok/bungkuk

+1 jika leher berputar/ bengkok

+1 jika lutut antara 30-600 +2 jika lutut >600

+ 1 jika bahu naik

+1 jika lengan berputar / bengkok

+1 jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah Table A Table B Table C + Activity Load/Force Coupling Trunk Neck Legs Wrist Lower Arm Upper Arm REBA Score ( Sudut : ) ( Sudut : ) ( Sudut : ) ( Sudut : )

Gambar 3.8. Penilaian REBA Kanan

Berikut ini nilai level tindakan REBA yang skornya diperoleh dari skor akhir REBA.

Tabel 3.14. Nilai Level Tindakan REBA

Skor REBA Level Resiko Level Tindakan Tindakan

1 Dapat diabaikan 0 Tidak diperlukan

2-3 Kecil 1 Mungkin diperlukan

4-7 Sedang 2 Perlu

8-10 Tinggi 3 Segera

11-15 Sangat tinggi 4 Sekarang juga

3.4. Produktivitas 4

Produktivitas dipandang dari dua sisi yaitu sisi input dan sisi output. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produktivitas berkaitan dengan efisiensi penggunaan input dalam memproduksi output (barang atau jasa). Produktivitas

4

tidak sama dengan produksi, tetapi produksi, performansi kualitas, hasil-hasil, merupakan komponen dari usaha produktivitas.

Pada dasarnya konsep siklus produktivitas terdiri dari empat tahap utama yaitu:

1. Pengukuran produktivitas 2. Evaluasi produktivitas 3. Perencanaan produktivitas 4. Peningkatan produktivitas

Secara formal, program peningkatan produktivitas harus dimulai melalui pengukuran produktivitas dari sistem itu sendiri. Apabila produktivitas dari sistem industri itu telah dapat diukur, langkah berikutnya adalah mengevaluasi tingkat produktivitas untuk diperbandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan. Berdasarkan evaluasi ini, selanjutnya dapat direncanakan kembali target produktivitas yang akan dicapai baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Untuk mencapai target produktivitas yang telah direncanakan itu, berbagai program formal dapat dilakukan untuk meningkatakan produktivitas secara terus- menerus. Tahap-tahap ini terus berulang secara kontinu untuk mencapai peningkatan produktivitas terus-menerus dalam sistem industri.

Konsep peningkatan produktivitas ini dapat dikaitkan secara langsung dengan profitabilitas perusahaan. Landasan untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitas perusahaan adalah membangun suatu sistem industri yang memperhatikan secara terfokus dan bersama-sama sekaligus pada aspek-aspek

kualitas, efektivitas pencapaian tujuan, dan efisiensi penggunaan sumber daya. Selanjutnya indikator keberhasilan sistem industri itu dipantau melalui pengukuran produktivitas dan profitabilitas terus-menerus, dimana pengukuran produktivitas memberikan informasi tentang masalah-masalah internal dari sistem industri itu, sedangkan pengukuran profitabilitas memberikan informasi tentang masalah-masalah eksternal dari sistem indusri itu.

Produktivitas pada dasarnya akan berkaitan erat pengertiannya dengan sistem produksi, yaitu sistem dimana faktor-faktor semacam:

1. Tenaga kerja (direct atau indirect labor)

2. Modal / kapital berupa mesin, peralatan kerja, bahan baku, bangunan pabrik, dan lain-lain.

Bertitik tolak dari hal tesebut, maka selalu berupaya memanfaatkan semua sumber daya untuk mewujudkan sesuatu secara maksimal dengan memadukan sumber dan hasil dalam bentuk yang optimal. Tenaga kerja manusia, disamping modal dan sumber produksi lainnya adalah sumber daya yang harus dimanfaatkan secara penuh dan terarah. Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas memang tidak bisa dikatakan bahwa faktor manusia ini adalah satu-satunya faktor yang harus diamati, diteliti, dianalisa, dan diperbaiki.

Proses produksi dapat dinyatakan sebagai serangkaian aktivitas yang diperlukan untuk mengolah ataupun merubah sekumpulan masukan (input) menjadi sejumlah keluaran (output) yamg memiliki nilai tambah

(added value). Pengolahan ataupun perubahan yang terjadi disini bisa secara fisik ataupun non-fisik, dimana

perubahan tersebut bisa terjadi terhadap bentuk, dimensi maupun sifat-sifatnya. Mengenai nilai tambah yang dimaksudkan disini adalah nilai dari keluaran yang “bertambah” dalam pengertian nilai fungsional (kegunaan) dan/atau nilai ekonomisnya.

Selanjutnya berbicara tentang produktivitas, maka hal ini secara sederhana dapat didefenisikan sebagai perbandingan (rasio) antara output dan inputnya. Dengan diketahuinya nilai produktivitas maka akan diketahui pula

seberapa efektif proses produksi telah didayagunakan untuk meningkatkan output dan seberapa efisien pula

sumber-sumber input telah berhasil dihemat. Upaya peningkatan produktivitas secara terus menerus dan

menyeluruh merupakan satu hal yang penting tidak saja berlaku bagi setiap individu pekerja melainkan untuk perusahaan/industri.

Dengan peningkatan produktivitas maka tanggung jawab manajemen akan terpusat pada segala upaya dan daya untuk melaksanakan fungsi dan peran dalam kegiatan produksi, khususnya yang bersangkut paut dengan

efisiensi penggunaan sumber-sumber input. Berkaitan dengan maksud dan tujuan ini, maka analisa ergonomi, studi

gerak dan waktu akan memainkan peran yang penting dalam upaya peningkatan produktivitas kerja. Agar produktivitas kerja bisa meningkat, perlu diupayakan proses produksi bisa memberikan kontribusi sepenuhnya terhadap kegiatan produktif yang berkaitan dengan nilai tambah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi usaha peningkatan produktivitas ada dua yaitu:

1. Faktor teknis, yaitu faktor yang berhubungan dengan pemakaian dan penerapan fasilitas produksi secara lebih baik, metode penerapan kerja yang lebih baik, penerapan kerja yang lebih efisien dan efektif, dan atau penggunaan bahan baku yang lebih ekonomis.

2. Faktor manusia, yaitu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap usaha-usaha yang dilakukan manusia di dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Disini ada dua hal pokok yang menentukan, yaitu kemampuan kerja dari pekerja tesebut dan yang lain adalah motivasi kerja yang merupakan pendorong ke arah kemajuan dan peningkatan prestasi kerja seseorang.

Banyak yang dilakukan manusia dalam usahanya untuk meningkatakan produktivitas. Kemajuan teknologi akhirnya banyak mengakibatkan tergesernya tenaga manusia untuk diganti menjadi tenaga mesin. Perbaikan dan kemajuan teknologi memang akan banyak mendorong usaha peningkatan produktivitas, meskipun pada saat lain hal ini justru berakibat buruk pada segi manusia sebagai pelaksana kerjanya. Produktivitas yang diharapkan naik justeru turun.

Mekanisasi atau otomatisasi adalah suatu ancaman yang harus dipertimbangkan baik-baik sebab dengan ini pekerja akan selalu dibayangi ketakutan akan kehilangan pekerjaannya untuk kemudian digantikan oleh mesin. Jelas disadari bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas tidaklah selalu harus dilaksanakan lewat pengembangan ataupun dari perbaikan teknologi daripaada mesin atau fasilitas produksi lainnya. Banyak usaha telah dikembangkan justru ke arah yang lain, yaitu ke arah manusia sebagai pelaksana kerja.

Penekanan pada faktor manusia sebagai sumber penentu untuk kenaikan produktivitas dalam kondisi tertentu haruslah mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dibandingkan faktor-faktor teknis. Disini haruslah diusahakan untuk mengeliminir pemakaian dan penerapan teknologi yang lebih berorientasi pada proses mekanisasi dan otomatisasi.

Manusia bukanlah barang mati seperti halnya mesin atau fasilitas produksi lainnya. Kerja dari mesin dapat program sesuai dengan spesifikasi dan kemampuan teknis yang dimiliki. Manusia bukanlah mesin yang dapat diatur dan diprogram. Dalam diri manusia akan dapat dijumpai variabel baik yang nyata

terlihat atau tidak yang mempengaruhi segala bentuk kerja dan aktivitasnya yang akan membuat salah duga terhadap apa-apa yang diprogramkan untuknya dan harus dilaksanakan. Untuk itu didalam mengelola sumber daya manusia yang ada dan dimiliki, maka pendekatan yang lebih bersifat manusiawi perlu diperhatikan agar lebih bisa diharapkan adanya tingkat produktivitas yang lebih tinggi lagi.