• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Sejarah Gereja dan Hasil Penelitian

3.5 Faktor Penyebab Hidup Membujang

Tidak sebatas memahami pandangan dan pemahaman Jemaat terkait kehidupan membujang yang ada di POUK TNI AL Sunter penulis juga mewawancarai orang-orang yang sampai saat ini menjalankan kehidupan membujang bagaimana sampai saat ini mereka menjalani kehidupan membujang dan memaknai hidup membujang itu sendiri.

Hidup membujang yang dijalani sampai saat ini bukan sebagai pilihan. Mereka tidak memilih untuk membujang dan juga tidak mencari pasangan hidup, mereka cenderung pasrah akan hidupnya. Baik membujang maupun tidak itu bukan hal yang perlu ditakuti.52 Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa hidup membujang juga bukan suatu kehendak dari Allah.53 Tidak bisa dipungkiri bahwa ada faktor yang membuat mereka sampai saat ini hidup dalam kesendirian. Dikarenakan sampai saat ini masih mengusahakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dengan kata lain masih memfokuskan diri untuk mengejar karir sehingga pasangan hidup tidak menjadi prioritas.54 Pernah dikecewakan oleh lawan jenis ketika menjalin hubungan kurang lebih 7 tahun akhirnya dikhianati dan dampaknya menjadi lebih waspada untuk mejalin hubungan tetapi tidak sampai pada trauma.55 Ada kecenderungan untuk takut berkomitmen, karena memiliki pemahaman bahwa pernikahan sekali dalam seumur hidup dan ketakutan dengan

50

Agustin Yokohoel (Jemaat), Wawancara, 6 Agustus 2019. 51

Astrich Antahari (Majelis), Wawancara, 3 Agustus 2019. 52 5 narasumber yang hidup membujang.

53

Fina Manipeni 41 tahun (Jemaat yang hidup membujang), Wawancara, 3 Agustus 2019. 54

Melanita Wulansari, 49 tahun (Jemaat yang membujang), Wawancara, 5 Agustus 2019. 55 Julietta Gultom, 45 tahun (Jemaat yang membujang), Wawancara, 7 Agustus 2019.

19

perceraian itu tinggi sehingga sampai saat ini yang dimiliki hanya teman dekat saja dalam artian mesra.56 Kemudian ada yang memiliki standard tinggi untuk calon pasangan sehingga terkesan pemilih dan menurut pribadi tersebut itulah salah satu faktor penyebab hidup membujang sampai saat ini57 dan yang terakhir ialah karir yang sangat menyita waktu dan disibukkan untuk merawat orang tua walaupun orang tua juga menutut anak untuk segera menikah.58

Di dalam kehidupan jemaat POUK TNI AL Sunter terdapat saudara bersaudara memiliki jalan hidup yang sama yaitu hidup dalam kesendirian dalam artian membujang, ketika ditelusuri mereka merasa bahwa hidup membujang di dalam keluarganya bisa dikatakan sebagai turunan karena jauh di atas mereka banyak keluarga mereka yang sampai akhir hayatnya hidup membujang sehingga membuat mereka cenderung santai menghadapi realitas hidup membujang.59

3.6 Makna hidup membujang

Ketika hidup membujang dijalani oleh setiap individu tentu mereka memiliki pengalaman hidup yang berbeda, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan sekalipun tetap mereka rasakan dalam setiap perjalanan hidupnya. Suka duka hidup membujang sudah menjadi pengalaman hidup.

Ketika hidup membujang seseorang dapat lebih bebas untuk melakukan apa saja untuk diri mereka sendiri, tidak ada orang-orang yang ikut campur dalam pengambilan keputusan.60 Waktu yang cenderung fleksibel untuk menghabiskan rutinitas dengan teman bahkan di dalam pelayanan sekalipun, fokus tidak terbagi ketika mereka sibuk dengan pelayanan tidak perlu memikirkan keluarga yang harus diurus.61 Menentukan sendiri masa depan mereka tanpa perlu pertimbangan

56

Bento Sinaga, 55 tahun (Jemaat yang membujang), Wawancara, 3 Agustus 2019. 57

Fina Manipeni, 41 tahun (Jemaat yang membujang), Wawancara, 3 Agustus 2019. 58 Tiur Sinaga, 48 tahun (Jemaat yang hidup membujang), Wawancara, 3 Agustus 2019. 59

Bento Sinaga, 55 tahun (Jemaat yang membujang), Wawancara, 3 Agustus 2019. 60

Julietta Gultom, Wawancara, 7 Agustus 2019. 61 Melanita Wulansari, Wawancara, 5 Agustus 2019.

20

atau memikirkan perasaan pasangan.62 Bebas untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja sekalipun dengan lawan jenis.63

Akan tetapi duka dalam menjalani hidup membujang sering kali dirasakan, rasa sendiri terkadang perasaan itu menghampiri akan tetapi ditanggulangi dengan menyibukkan diri bersama rekan kerja maupun rekan sepelayanan.64 Ada kecemburuan melihat pasangan65 rindu untuk bergereja bersama dengan pasangan66 dan terlebih ketakutan ketika tidak dapat memiliki keturunan sehingga tidak ada penerus bagi keluarga.67 Selebihnya terkait pendapat orang tentang hal negatif terhadap hidup membujang mereka cenderung tidak peduli tentang pendapat orang karena itu juga sudah menjadi bagian dari resiko ketika mereka menjalani hidup tidak sama seperti orang pada umumnya sehingga mereka memaknai hidup tetap dengan rasa syukur, hidup membujang tidak menjadi hambatan untuk tetap berkarya ditengah masyarakat sesuai dengan talenta yang dimiliki. Meyakini bahwa kesulitan yang akan mereka jalani tetap ada tangan Tuhan yang selalu menopang hidup mereka dan mencoba memahami bahwa hidup membujang salah satu kehendap Tuhan atas kehidupan sebagian orang.68

4.1 Analisis Faktor-faktor dan Komitmen hidup membujang

Kebermaknaan hidup merupakan perasaan subjektif bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri subjek mempunyai dasar kokoh dan penuh arti atau dengan kata lain setiap keputusan yang diambil oleh subjek ia merasa bahwa dirinya benar dan tepat.69 Berdasarkan data yang ditemui di lapangan bahwa hidup membujang yang dialami oleh warga POUK TNI AL Sunter ialah karena sampai saat ini masih mengusahakan unutuk memenuhi kebutuhan pribadi sehingga merasa tidak ada waktu

62

Tiur Sinaga, Wawancara, 3 Agustus 2019. 63 Bento Sinaga, Wawancara, 3 Agustus 2019. 64

Melanita Wulansari, Wawancara, 5 Agustus 2019. 65

Fina Manipeni, Wawancara, 3 Agustus 2019. 66 Julietta Gultom, Wawancara, 7 Agustus 2019. 67

Bento Sinaga, Wawancara, 3 Agustus 2019. 68

Julietta Gultom, Wawancara, 7 Agustus 2019. 69 Erikson, Teori Psikologi, 30.

21

untuk mencari pasangan hidup, mengalami traumatik karena perasaan dikecewakan oleh lawan jenis, dan memilih standar tinggi dalam mencari pasangan. Inilah yang dimaksud penulis terkait faktor hidup membujang manusia memiliki pandangan terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan data di lapangan bahwa setiap orang yang hidup mmbujang di POUK TNI AL Sunter mereka meyakini bahwa hidup membujang salah satu bagian dari kehendak Allah atas hidup mereka,70 Allah turut campur tangan atas apa yang terjadi terhadap semua ciptaannya sehingga Allah tidak menentang hidup orang yang membujang, yang Allah tentang ialah perilaku-perilaku yang melanggar norma dalam kehidupan. Inilah yang menjadi pemahaman orang yang hidup membujang mereka merasa benar atas hidupnya karena sejauh ini meskipun mereka hidup di dalam kesendirian tetapi mereka tidak merugikan orang lain dan terlebih mereka tetap berkarya untuk kemuliaan nama Tuhan. Berdasarkan teori dalam bagian dua, hidup tidak menikah ialah suatu kemampuan yang Allah berikan kepada beberapa anggota dalam Tubuh Kristus untuk tetap hidup selibat dan menikmatinya: mereka tidak menikah dan dapat menanggung semua godaan-godaan seksual sehingga hidup membujang atau tidak menikah dapat dikatakan sebagai suatu karunia.71 Karunia yang tidak dapat berdiri sendiri dengan kata lain tidak ada manfaatnya sama sekali hidup membujang, jika tidak ada tujuan lain yang menyebabkan mereka tidak menikah sehingga hidup membujang seharusnya menjadikan seseorang menjadi lebih efektif dalam memaknai karunia hidup. Keputusan untuk menikah maupun tidak menikah haruslah didasari untuk kerajaan Allah. Inilah yang mereka sebut sebagai makna hidup ketika hidup membujang bukan sebagai suatu hambatan bagi mereka untuk tetap berperan aktif ditengah masyarakat maupun di lingkungan Gereja.72

Sesuai data di lapangan hampir semua yang hidup membujang terakhir menjalin hubungan atau berpacaran di atas 20 tahun yang lalu dan rata-rata berusia diatas 40 tahun. Akan tetapi mereka tetap menikmati perjalanan hidupnya menerima

70

Verkuyl, Etika Seksuil, 150. 71

Maitumu, Selibat, 29.

22

kenyataan bahwa memang Tuhan belum memberi pasangan hidup atau memang Tuhan tidak memberi, sekalipun demikian semuanya dijalankan dengan penuh penerimaan diri karena baik hidup membujang ataupun tidak tetap ada suka duka dalam menjalani kehidupan ini. Seseorang yang hidup membujang bisa untuk menentukan pilihan hidupnya dan tetap bertanggung jawab atas pilihannya. Mereka tahu bahwa sebagai manusia mereka juga memiliki tujuan hidup di dunia ini sehingga tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk tetap terus berkarya mengasah potensi dan terlebih mengejar apa yang mereka inginkan di dalam hidupnya dan penulis menganalisis bahwa pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan Carlos D. Ryff dalam tulisannya Everything is Happiness, Ryff menjelaskan tentang makna dari Psychological Well-Being yang memiliki pengertian bahwa manusia memiliki pikiran positif terhadap dirinya dan orang lain sehingga secara tidak langsung bukan hanya bebas dari perasaan tertekan tetapi ada konsep penerimaan diri (Self-acceptence), mengembangkan potensi diri (Personal growth), dapat menentukan tindakan untuk dirinya (Outonomy), memiliki keyakinan hidupnya juga memiliki tujuan hidup (Purpose in life) dan terlebih individu dapat berelasi dengan yang lain (Positive relation with other), mengatur kehidupannya hingga lebih efektif (Environmental mastery).73 Melalu Self-Acceptence mereka lebih melihat kehidupan membujang dari segi positif bahwa mereka dapat mengeksplor diri mereka lebih baik lagi, dapat mengambil keputusan dengan bebas dan memiliki banyak waktu. Pemikiran seperti ini yang harus dimiliki memandang setiap kehidupan dari segi positif sehingga kita sebagai manusia bisa lebih bersyukur atas kehidupan.

4.2 Analisis Pemahaman Warga POUK TNI AL Sunter terkait hidup Membujang.

Dengan melihat hasil wawancara terhadap narasumber terkait kehidupan membujang, mayoritas berpendapat bahwa manusia dituntut untuk menikah karena yang mereka ketahui Allah memerintahkan manusia hidup berpasangan. Patokan

73

Carol D. Ryff, Happiness is everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological

23

yang diambil berdasarkan Perjanjian Lama pada masa penciptaan bahwa manusia tidak baik seorang diri saja (Kejadian 2:18;24). Akan tetapi sesuai dengan teori yang ditemukan tujuan yang berbeda dari kisah penciptaan keduanya memiliki penafsiran yang berbeda. Jika kita lihat Kejadian 2:4-25 memang benar berdasarkan itu Allah menciptakan manusia merujuk pada pernikahan sedangkan ketika kita melihat mundur ke belakang pada Kejadian 1:1-28 di sana jelas terlihat bahwa Allah menciptakan manusia tidak ada konotasinya pada pernikahan. Allah menciptakan manusia untuk melakukan pekerjaan (sosial) mulia seperti mendayagunakan alam, memimpin ciptaan dan mengusahakan bumi karena Allah menciptakan perbedaan jenis kelamin bukan hanya untuk berujung pada pernikahan tetapi untuk saling melengkapi satu dengan yang lain.

Seseorang yang hidup membujang menikmati hidupnya berada di tengah masyarakat dalam konteks ini ketika mereka berelasi dengan jemaat yang menikah, mereka cenderung tidak memikirkan hal negatif yang dibicarakan orang terkait dirinya selama mereka tidak melanggar norma ataupun merugikan orang lain dan menurut mereka itu adalah resiko ketika mereka sampai saat ini hidup membujang. Mereka meyakini bahwa setiap kejadian dalam hidup tidak bisa dipandang dari satu sudut pandang saja dengan membuat standarnya akan tetapi mereka melihat hidupnya dari sudut pandang mereka sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Susan Crain Bakos seorang konselor dari Relationship Institute, anggapan hidup membujang bukanlah hidup yang membahagiakan adalah anggapan yang salah. Kedua, anggapan yang mengatakan bahwa tantangan-tantangan dalam kehidupan membujang merupakan hambatan yang tak mungkin diatasi adalah tidak benar, sebaliknya yang seharusnya dilakukan seseorang untuk menikmati kondisinya dalam keadaan baik adalah mengubah pola pikir.74

Dengan begitu mereka mengartikan hidupnya sesuai dengan apa ada dirinya, berusaha untuk memaknai hidup dan mengaktualisaikan potensi-potensi yang mereka punya dan mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Membuat hidup tetap

24

bermakna meski harus membujang karena itu bukan suatu hambatan bagi seseorang untuk memberi makna pada hidupnya.75

Kesimpulan

Berdasarkan data di lapangan, teori dan analisis yang ada bahwa pemahaman tentang hidup membujang dapat disimpulkan sebagai: Pertama, faktor penyebab hidup membujang diantaranya, yaitu sibuk mencari pekerjaan ataupun meningkatkan karir, trauma dalam menjalin relasi percintaan, merawat orang tua dan belum mendapat jodoh. Kedua, terkait komitmen hidup membujang, maka hasil penelitian menegaskan jika adanya pemahaman diri yang baik dari para narasumber bahwa hidup membujang merupakan salah satu wujud karunia Allah dan tidaklah bertentangan dengan kehendak Allah selama mereka tetap berkarya mengaktualisasikan diri. Menjalin relasi yang baik dengan sesama serta tetap mampu mengontrol segala keberadaan diri mereka.

Saran

Kepada gereja:

Gereja perlu memperhatikan setiap individu yang membujang dalam artian bukan membuat yang hidup membujang terkesan berbeda akan tetapi perhatian yang dImaksud lebih secara personal. Gereja bisa mengadakan konseling pastoral non formal yaitu diadakan pendekatan langsung kepada orang-orang yang hidup membujang sehingga setiap individu yang hidup membujang memiliki teman untuk menceritakan keluh kesah di hidupnya. Selain itu gereja juga dapat mendata jemaat yang hidup membujang untuk

memetakan latar belakang kepakaran maupun profesi mereka. Berdasarkan pemetaan tersebut, gereja bisa memberdayakan mereka dengan segala pengetahuan dan pengalaman prefesional yang ada untuk turut berkontribusi dalam pembangunan jemaat melalui pelatihan, seminar, dan pembinaan.

75

25

Diadakan pembinaan warga gereja melalui pendalaman Alkitab terkait hidup membujang sehingga memiliki pemahaman yang luas dengan begitu tidak hanya sekedar membaca Alkitab akan tetapi paham maksud dan tujuan dari setiap tulisan yang ada di Alkitab dan diperlukan seseorang yang memiliki latar belakang teologi untuk memfasilitasi hal ini.

26

DAFTAR PUSTAKA

Agus Sujanto et all., Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.

BM, Ratna. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogyakarta: Pelangi Aksara,

2005.

Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di Dalamnya. Jakarta:

Gunung Mulia 2016.

Djiwandono, Patrisius Istiarto. Meneliti Itu Tidak Sulit:Metodologi Penelitian Sosial dan

Pendidikan Bahasa. Yogyakarta: Deepublish, 2005.

Eko Budiarto & Dewi Anggraeni. Pengantar Epidemologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC, 2001.

Erikson, Erik H. Teori Psikologi Perkembangan. Jakarta: Gramedia, 1989. Eriyanto. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. Yogyakarta: Lkis, 2007.

Hines, Darrell L. Pernikahan Kristen Konflik & Solusinya. Jakarta: Gunung Mulia, 2008.

Husaini Usman dan Purnomo Setiadi Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi

Aksara, 2008.

Lahaye, Tim. Kebahagiaan Pernikahan Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 2002. R, Hardawiyana. Dokumen Konsili Vatikan I. Jakarta: Obor, 1993.

Samuel Patty. Metode Penelitian Sosial : Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial. Salatiga,

2001.

Sarafiah dan Faisal. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Grafindo Persada, 2001.

27

W.S. Lasor, D.A. Hubbard, and F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat & Sejarah,

Jakarta: Gunung Mulia, 2015.

Verkuyl, J. Etika Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

JURNAL ONLINE

Dhivyadeepa, E. Sampling Technique in Educational Research. Diakses March 15.

https://books.google.co.id/books?id=JgPYCgAAQBAJ&printsec=frontcover&source =gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false

Dokumen terkait