• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penyebab Kesalahan Penggunaan Kalimat Efektif

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 71-75)

commit to user c. Kesulitan Mengembangkan Kalimat

B. Pembahasan 1. Bentuk Kesalahan Penggunaan Kalimat Efektif

2. Faktor Penyebab Kesalahan Penggunaan Kalimat Efektif

Kesalahan penggunaan kalimat efektif yang dilakukan oleh siswa disebabkan oleh beberapa faktor. Peneliti menggali faktor penyebab terjadinya kesalahan penggunaan kalimat efektif dengan cara melakukan wawancara dengan guru Bahasa Indonesia dan siswa yang melakukan kesalahan penggunaan kalimat efektif. Berdasarkan hasil wawancara, faktor penyebab terjadinya kesalahan penggunaan kalimat efektif cukup banyak. Ada faktor penyebab yang berasal dari diri siswa, tetapi ada pula faktor penyebab yang berasal dari luar diri siswa. Faktor penyebab terjadinya kesalahan penggunaan kalimat efektif adalah motivasi menulis rendah, frekuensi menulis rendah, kesulitan mengembangkan kalimat, penguasaan materi kalimat efektif masih rendah, siswa tidak mengenal pedoman EYD, kurangnya variasi dan kualitas sumber materi, dan pengaruh bahasa ibu.

Pertama, motivasi menulis rendah. Faktor penyebab terjadinya kesalahan penggunaan kalimat efektif yang pertama adalah motivasi menulis rendah. Sumadi (1998: 70) menyatakan bahwa “Motivasi merupakan keadaan pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.” Motivasi menulis yang rendah ditandai dengan kemalasan siswa dalam kegiatan menulis. Rendahnya motivasi menulis diakui oleh beberapa siswa. Salah satu siswa menyatakan “Lagi males kok” ketika ditanya mengenai ketidakefektifan kalimat dalam karangan deskripsi yang ditulisnya. Selain itu, Ibu Khotimah selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia juga membenarkan bahwa motivasi menulis siswa rendah. Hal tersebut diungkapkan beliau dengan kalimat “Anak-anak tidak terbiasa

commit to user

menulis, sehingga motivasi menulis rendah.” Motivasi menulis yang rendah menyebabkan siswa hanya asal-asalan dan berprinsip ‘asal jadi’. Siswa yang demikian tidak bersungguh-sungguh dalam menyusun kalimat, sehingga kalimat yang ditulis banyak yang tidak efektif.

Sebuah karangan yang bagus tentu ditulis oleh penulis yang bersungguh-sungguh. Hal tersebut merupakan gambaran mengenai pentingnya motivasi menulis. Faktor tersebut berasal dari dalam diri siswa, sehingga perlu dilakukan upaya dari siswa dengan bantuan guru untuk meningkatkan motivasi menulis.

Kedua, frekuensi menulis rendah. Kemahiran menulis tidak bisa didapatkan secara instan. Kemahiran menulis memerlukan latihan secara terus menerus. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Jauhari (2013: 14) yang menyatakan bahwa “Belajar menulis sama dengan belajar keterampilan lainnya yang keberhasilannya ditentukan oleh intensitas berlatih.” Ibu Khotimah selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia mengakui bahwa siswa jarang menulis. Hal tersebut menyebabkan kemampuan menulis siswa masih rendah. Siswa yang jarang menulis menjadi tidak terbiasa menyusun kalimat efektif, sehingga ketika ditugasi menulis ia kesulitan menyusun kalimat. Siswa menuliskan begitu saja hal-hal yang dipikirkannya, sehingga kalimat yang disusun siswa menjadi tidak efektif. Siswa harus diberi pelatihan menulis secara terus menerus agar terbiasa menulis.

Ketiga, kesulitan mengembangkan kalimat. Kesulitan

mengembangkan kalimat merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kesalahan penggunaan kalimat efektif pada siswa. Kesulitan mengembangkan kalimat berkaitan dengan frekuensi menulis. Seperti yang telah dijelaskan di atas, siswa yang tidak terbiasa menulis akan kesulitan menyusun dan mengembangkan kalimat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan salah satu narasumber yang menyatakan bahwa “Sulit mencari pokok masalah dan mengembangkan kalimat itu.”

Keempat, penguasaan materi kalimat efektif masih rendah. Sebelum menerapkan dan menggunakan kalimat efektif dalam kegiatan menulis, siswa

commit to user

harus dibekali dengan pengetahuan mengenai kalimat efektif. Kesalahan penggunaan kalimat efektif pada kelas XI SMK Negeri 1 Sawit disebabkan oleh penguasaan materi mengenai kalimat efektif yang masih rendah. Para siswa yang menjadi narasumber menyatakan bahwa penguasaan materi mengenai kalimat efektif masih kurang. Beberapa siswa bahkan tidak mengetahui hakikat kalimat efektif.

Rendahnya penguasaan materi mengenai kalimat efektif menjadi catatan penting bagi guru. Pada pembelajaran selanjutnya, guru harus menekankan materi mengenai kalimat efektif. Selain itu, siswa juga bertanggungjawab atas kondisi tersebut. Siswa seharusnya meningkatkan belajar dan membaca khususnya mengenai kalimat efektif dan bahasa baku. Materi tersebut merupakan materi pokok yang menunjang kemampuan menulis siswa.

Kelima, siswa tidak mengenal pedoman EYD. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) merupakan pedoman untuk mempelajari bahasa baku dan kalimat efektif. Buku pedoman EYD berisi aturan-aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu, buku pedoman EYD perlu dikenalkan kepada siswa sedini mungkin. Namun, temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa siswa belum mengenal buku pedoman EYD.

Semua narasumber dalam penelitian ini menyatakan bahwa siswa belum mengenal buku pedoman EYD. Para siswa mengaku belum pernah melihat dan membaca buku pedoman EYD. Berdasarkan informasi dari guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia, keterbatasan buku menjadi pemicu siswa tidak mengenal buku pedoman EYD. Kondisi tersebut membuat siswa kurang memahami ejaan bahasa Indonesia yang benar. Padahal, ejaan merupakan bekal utama siswa untuk membuat kalimat yang efektif. Setyawati (2010: 139) menyatakan bahwa “Jelaslah bahwa ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata, tetapi yang lebih utama berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata, atau kalimat.” Apabila siswa tidak menguasai aturan tentang ejaan bahasa Indonesia, kalimat yang disusun siswa

commit to user

bisa menjadi tidak tepat atau tidak efektif. Sebagai contoh, penempatan tanda koma yang tidak tepat menyebabkan suatu kalimat menjadi ambigu atau bermakna ganda. Oleh karena itu, kalimat tersebut menjadi tidak efektif.

Keenam, kurangnya variasi dan kualitas sumber materi. Sumber belajar dapat berasal dari mana saja, misalnya buku, internet, media cetak, dan sebagainya. Namun, seorang guru harus mampu memilih sumber belajar yang berkualitas sehingga materi yang terkandung dalam sumber belajar adalah materi yang tepat untuk diajarkan kepada siswa. Saat ini sumber belajar yang sering digunakan oleh guru adalah Lembar Kerja Siswa (LKS). Hal tersebut diketahui berdasarkan informasi dari Bapak Dwi yang menyatakn bahwa “.... penyampaiannya bahasa-bahasa sekarang itu hanya sesuai dengan LKS, tidak mau memandang sumber buku yang lain.” LKS bukan merupakan sumber belajar yang tidak tepat, tetapi sebaiknya penggunaan LKS dipadukan dengan sumber-sumber belajar lain.

LKS berisi tugas dan latihan yang sangat bermanfaat, tetapi materi di dalam LKS masih sangat minim. Oleh karena itu, guru sebaiknya tidak hanya menggunakan LKS sebagai rujukan dalam mengajar. Guru harus mampu memadukan beberapa sumber agar materi yang didapatkannya lengkap dan benar. Materi pada sebuah sumber harus dibandingkan dengan sumber lain, sehingga dapat diketahui kebenaran materi tersebut. Terlebih lagi dalam pembelajaran bahasa, sumber belajar yang digunakan oleh guru harus tepat karena bahasa merupakan ilmu yang cukup krusial. Mulyasa (2013: 182) menjelaskan bahwa pemilihan sumber belajar harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, sehingga sumber belajar yang digunakan seharusnya kaidah-kaidah berbahasa Indonesia. Dengan demikian, guru hendaknya berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan buku-buku kebahasaan dari para ahli bahasa.

Ketujuh, pengaruh bahasa ibu. Pembelajaran bahasa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bahasa ibu. Bagi siswa SMK Negeri 1 Sawit, bahasa

commit to user

Indonesia merupakan bahasa kedua. Bahasa ibu siswa SMK Negeri 1 Sawit mayoritas adalah bahasa Jawa karena mereka berasal dari daerah Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan sekitarnya. Siswa menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di sekolah. Bahkan, dalam pembelajaran bahasa Indonesia komunikasi antara guru dengan siswa terkadang menggunakan bahasa Jawa. Hal tersebut diketahui dari hasil wawancara dengan Bapak Dwi. Bapak Dwi menyatakan bahwa “.... Bapak Ibu guru tidak menggunakan bahasa Indonesia yang tepat terus maka anak terpancing untuk menggunakan bahasa-bahasa daerah.”

Penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan pembelajaran bahasa Indonesia terpengaruh bahasa Jawa. Ibu Khotimah berpendapat bahwa “Karena mereka biasa menggunakan bahasa Jawa, bisa jadi tutur kata atau undha usuk bahasa Jawa dimasukkan dalam bahasa Indonesia.” Hal tersebut sesuai dengan pendapat Setyawati (2010: 13) yang menyatakan bahwa “Kesalahan berbahasa disebabkan oleh interferensi bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) terhadap bahasa kedua (B2) yang sedang dipelajari si pembelajar (siswa).” Siswa yang terbiasa berbahasa Jawa memasukkan struktur kalimat bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, sehingga kalimat yang dihasilkan menjadi tidak efektif.

Dalam dokumen HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 71-75)

Dokumen terkait