• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan

2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan

Adiningsih et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab kebakaran hutan, yaitu aktivitas manusia dalam menggunakan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan. Berdasarkan ketiga faktor tersebut dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh perilaku manusia dan kondisi biofisik lokasi.

a. Aktivitas manusia

Menurut Armi (2001) kebakaran hutan dan lahan rawa yang terjadi akibat pembukaan lahan kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, Pertambangan dan bidang pariwisata. Kesemuanya ini bersumber dari terbatasnya pengetahuan masyarakat akan bahaya/dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran terhadap perubahan ekosistem. Di samping itu penyebab lain adalah akibat kelalaian manusia dalam pelaksanaan kegiatan usaha/pembangunan di tingkat lapangan sehingga terjadi kebakaran baik hutan maupun areal rawa yang ada di Lampung (Suyanto et al. 2003).

Penggunaan api oleh manusia dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu untuk membersihkan lahan dan menjadi senjata konflik lahan. Pembersihan lahan dengan cara pembakaran dianggap sebagai cara pembersihan lahan yang murah. Pembersihan lahan diperlukan untuk kegiatan perladangan, perkebunan dan hutan tanaman.

Masyarakat juga menggunakan api sebagai senjata dalam konflik lahan. Peluso (1992) menyatakan bahwa masyarakat seringkali membakar hutan dan infrastruktur dalam menunjukkan perlawanan terhadap ketidaksetujuan terhadap penguasaan lahan atau sumberdaya hutan yang dilakukan oleh negara. Api digunakan sebagai senjata perlawanan karena dianggap mudah dan dengan membakar, sumberdaya lahan dapat lebih mudah untuk dikuasai kembali.

b. Faktor cuaca kebakaran hutan dan lahan

Cuaca mempunyai peranan penting dalam kebakaran hutan dan lahan. Cuaca juga menentukan panjang dan parahnya musim kebakaran dan bahan bakar di suatu daerah (Chandler et al. 1983). Musim kebakaran erat kaitannya dengan panjang hari di suatu tempat yang berhubungan pada lama penyinaran matahari, sehingga berdampak pada kelembaban di suatu daerah.

Musim kebakaran juga mempunyai peranan dalam menentukan kadar air bahan bakar. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka semakin rendah kemudahan bahan bakar untuk terbakar. Sebaliknya semakin rendah kadar air bahan bakar, maka semakin tinggi kemudahan bahan bakar untuk terbakar.

Kadar air dapat dijadikan indikator bahaya kebakaran hutan (Syaufina 2008). Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan sebagai berikut (Chandler et al. 1983): (i) iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, (ii) iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, (iii) cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, (iv) cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.

Cuaca terbentuk dari berbagai unsur-unsur pembentuknya, yaitu kelembaban relatif, penguapan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan curah hujan. Sintesis dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca dalam jangka waktu yang panjang dan di suatu tempat itulah membentuk sebuah iklim.

1. Suhu udara

Suhu udara menjadi indikator penting dalam kebakaran hutan dan lahan. Intensitas matahari akan mempengaruhi kandungan kadar air pada bahan bakar, yang kemudian berpengaruh pada ketersediaan bahan bakar. Tingginya suhu

6

udara akan mempercepat pengeringan bahan bakar dan memudahkan kebakaran terutama pada musim kemarau yang panjang.

Perbedaan suhu udara dalam satu hari dapat menentukan kecenderungan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pada siang hari suhu udara lebih memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dibandingkan dengan pagi hari. Menurut Sahardjo (2003), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 200C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada titik. Sementara siang hari dengan suhu 30–350C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.

2. Kelembaban udara

Kelembaban udara di dalam hutan mempengaruhi kadar air lingkungan, yaitu baik pada bahan bakar vegetasi maupun lingkungan abiotik. Kelembaban udara mempengaruhi kadar air bahan bakar, sehingga dapat berpengaruh pada pengeringan dan terbakarnya bahan bakar. Fuller (1991) menyatakan bahwa dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini dikarenakan kelembaban (kadar air udara) dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin kecil kadar air di udara (RH kecil) maka semakin mudah bahan bakar mengering dan bahan bakar lebih mudah terbakar. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi kadar air di udara (RH tinggi) maka semakin besar kandungan air pada bahan bakar, akibatnya bahan bakar semakin basah dan sulit terbakar.

Terdapat perbedaan kelembaban udara pada siang hari dan pagi hari. Siang hari kelembaban udara berkisar antara 80–85%, sebaliknya pada pagi hari kelembaban relatif tinggi yaitu sekitar 90–95% (Susanty 2009). Kondisi ini berpengaruh pada siang hari yang membuat proses kebakaran berlangsung cepat karena kadar air bahan bakar cukup rendah.

3. Curah hujan

Curah hujan berpengaruh pada kelembaban regional hutan, khususnya terhadap bahan bakar. Semakin tinggi curah hujan, maka kelembaban bahan bakar

semakin tinggi pula, dampaknya kadar air bahan tinggi dan potensi kebakaran menjadi rendah.

Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh pada permukaan tanah selama periode tertentu bila tidak terjadi penghilangan oleh proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang diukur dalam satuan tinggi. Curah hujan adalah unsur iklim yang berpengaruh pada terjadinya kebakaran hutan dan lahan, terutama sebagai pembentuk kelembaban dan penentu kadar air pada bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar tinggi, dan kadar air bahan bakarpun tinggi, sehingga menyulitkan terjadinya pembakaran (Septicorini 2006).

4. Angin

Angin ialah udara yang bergerak secara horizontal dari suatu wilayah yang bertekanan tinggi menuju wilayah yang bertekanan rendah (Arifin et al. 2001). Angin muncul sebagai hasil dari pemanasan di permukaan bumi, sehingga terjadi perbedaan tekanan udara. Menurut Chandler et al. (1983) angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin berperan dalam membantu pengeringan bahan bakar. Air yang berada di alam bahan bakar akan dibawa oleh angin ketika terjadi proses penguapan. Dalam perilaku api angin berperan dalam menentukan kecepatan perambatan api dari satu bahan bakar menuju ke bahan bakar yang lain.

2.1.3 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak positif maupun negatif. Menurut Adinugroho et al. (2005), dampak kebakaran hutan dan lahan yaitu adanya degradasi lingkungan, gangguan kesehatan dan masalah sosial-ekonomi. Kebakaran yang terjadi dapat menimbulkan dampak yang sangat penting terhadap kerusakan ekosistem seperti (Armi 2001): (i) menurunnya kesuburan tanah yang menyebabkan tingkat produktifitas lahan menurun karena lapisan humus yang hilang dan struktur tanah bagian atas (top-soil) mengalami perubahan sehingga menyebabkan terganggunya kehidupan mikroorganisme dan tanaman yang tumbuh diatasnya, (ii) berkurangnya/musnahnya flora dan fauna yang berada di dalam maupun di atas lahan yang terbakar.

8

Kebakaran hutan dan lahan memberikan kerugian ekonomi yang besar. Kerugian tersebut meliputi sumberdaya hutan itu sendiri dan manfaat hutan tidak langsung. Tacconi (2003) mengklasifikasikan perhitungan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan menjadi dua, yaitu biaya ekonomi akibat kebakaran, dan biaya ekonomi akibat pencemaran.

2.1.4 Pengendalian Kebakaran Hutan

Pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi remote sensing. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam memantau kebakaran secara cepat, tepat dan akurat serta memperkirakan kejadian kebakaran dan pengaruhnya pada waktu mendatang. Informasi yang di dapat dapat membantu dalam kegiatan peringatan dini (early warning system) dalam pencegahan kebakaran hutan.

2.2 Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satus piksel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah atau lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km). Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan.

Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hotspot yaitu JICA (Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center). Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hotspot (fire exist). Ambang batas (threshold) yang menjadi acuan adalah (Hidayat et al. 2003): (i) LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum)

sebesar 322oK, (ii) JICA menggabungkan ambang batas suhu maksimum 315oK pada siang hari dan 310oK pada malam, dan (iii) ASMC yang memakai threshold sebesar 320oK pada siang hari dan 314oK pada malam hari.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2012, diawali dengan tahap pengumpulan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan laporan. Penelitian ini adalah analisis data sekunder dengan lokasi penelitian Provinsi Riau. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan April 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah satu unit komputer yang dilengkapi dengan software ArcView GIS Versi 3.2. dan MS. Office 2007. Data yang digunakan sebagai bahan di dalam penelitian adalah data sekunder tentang persebaran hotspot dari tahun 2009 hingga 2011 (PHKA Kemenhut) dan sebaran lahan gambut tahun 2011 di Provinsi Riau (BBPPLP Kementan).

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan data

Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud meliputi: (i) data sebaran hotspot di Provinsi Riau tahun 2009 hingga 2011, (ii) peta sebaran lahan gambut Provinsi Riau tahun 2011, dan (iii) berbagai literatur yang mendukung penelitian.

3.3.2 Pengolahan data

Pengolahan data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) pengolahan data hotspot, dan 2) pengolahan data sebaran lahan gambut dan tutupan lahan. Pengolahan data hotspot dengan menggunakan perangkat software MS. Excel dengan mengguna-kan add ins Descriptive Statistics. Pengolahan sebaran lahan gambut dengan menggunakan software ArcView GIS Ver 3.2.

Langkah awal dalam pengolahan data yaitu pengklasifikasian data hotspot menurut waktu (tahun dan bulan) serta sebaran menurut kabupaten. Selanjutnya data hotspot digabungkan (overlay) pada peta sebaran lahan gambut.

3.4 Analisis Data

Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel dengan menggunakan add ins Descriptive Statistics. Analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan atau member gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya. Sugiyono (2010) menyebutkan analisis deskriptif sebagai statistik deskriptif tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis

Provinsi Riau terletak antara 01°05’00”LS–02°25’00”LU atau antara

100°00’00”BT–105°05’00”BT. Luas daerah lebih kurang 8.915.016 ha (89.150

km2) daratan dan perairan. Provinsi Riau terdiri dari 10 (sepuluh) kabupaten dan 2 (dua) kota, yaitu: Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Kepulauan Meranti, Pekanbaru, dan Dumai. Adapun batas-batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya dengan negara tetangga dan provinsi lainnya adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1).

Gambar 1 Peta Provinsi Riau (BPS Riau 2010)

4.2 Keadaan Iklim

Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1000–3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Kota

Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari, Kabupaten Pelalawan 147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan Kabupaten Kampar dengan jumlah hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3.349,0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3.214,4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota Dumai sebesar 635,0 mm. Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru tahun 2009 menunjukkan 28oC dengan suhu maksimum 36oC dan suhu minimum 21oC (BPS Riau 2010).

4.3 Topografi

Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di Wilayah Provinsi Riau antara 2–91 m dpl. Kabupaten Bengkalis merupakan kota yang paling rendah, yaitu berada 2 m dpl. Kebanyakan kota di Provinsi Riau berada dibawah 10 mdpl, seperti Rengat, Tembilahan, Siak, Bengkalis, Bagan Siapi-api dan Dumai.

Gambar 2 Luas lahan gambut di Provinsi Riau (BBPPLP 2011)

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha (10,8%) dari luas daratan Indonesia, dimana sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau Sumatera. Luas lahan gambut di Propinsi Riau adalah 3.867.413 ha (43,61%) dari luas keseluruhan Provinsi Riau) (BBPPLP 2011) (Gambar 2). Sebagian besar tanah daratan daerah Riau terdiri dari daratan yang terjadi dari formasi alluvium

RO K A N H IL IR RO K A N H IL IR RO K A N H U L U RO K A N H U L U KAMP AR KAMP AR INDR AG I RI H ULU INDR AG I RI H ULU INDR AG I RI H ILI R INDR AG I RI H ILI R PELA LAW A N PELA LAW A N SIA K SIA K B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS B E NG K A L IS KO T A DU MA I KO T A DU MA I PEKA N BAR U PEKA N BAR U W S Skala 1:250 20 0 20 40 Kilo Keterangan:  Lahan gambut Lahan mineral

13

(endapan), di beberapa tempat terdapat selingan neogen, misalnya sepanjang Sungai Kampar, Sungai Indragiri dan anaknya Sungai Cinaku di Kabupaten Indragiri Hulu bagian selatan. Tetapi di daerah perbatasan sepanjang Bukit Barisan sepenuhnya terdiri dari lapisan permikarbon, peleogen dan neogen dari tanah podsolik yang berarti terdiri dari induk batuan endapan.

Keseluruhan daerah tersebut dapat dikatakan tanah tua sedangkan selebihnya membentang ke utara sampai dengan daerah-daerah pantai, merupakan kontruksi dari formasi jenis tanah alluvium (endapan) yang berasal dari zaman Quarter sampai dengan zaman Recen, terlebih pada daerah bencah berawa-rawa sepanjang daerah pantai utara. Provinsi Riau terdapat empat jenis tanah (Zwieryeki dalam BPS Riau 2011), yakni : (i) jenis tanah organosol glei humus, (ii) jenis tanah padsolik merah kuning dari alluvium, (iii) jenis tanah padsolik merah kuning dari batuan endapan, (iv) jenis tanah podsolik merah kuning dari batuan endapan dan batuan beku. Jenis-jenis tanah tersebut terutama didapati di daerah-daerah sepanjang pantai sampai dengan pertengahan daratan yang berformasi sebagai daratan muda tidak bergunung-gunung, bahkan beberapa bagian terdiri dari tanah berawa-rawa.

4.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi

Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) dilaksanakan pada bulan Mei 2010. Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil olah cepat SP 2010 tercatat sebesar 5.543.031 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki 2.854.989 jiwa dan 2.688.042 jiwa penduduk perempuan (BPS Riau 2011).

Angkatan kerja penduduk laki-laki jauh lebih banyak dibanding bukan angkatan kerja. Sementara pada penduduk perempuan, bukan angkatan kerja justru lebih banyak dibanding angkatan kerja, yang sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Dari total angkatan kerja yang bekerja, ternyata sebagian besarnya terserap di sektor pertanian (49,30%), diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 17,58% dan 13,50% (BPS Riau 2010).

Pada sektor pendidikan, tercatat tahun 2009/2010 Taman Kanak-kanak berjumlah 1.406 sekolah, 54.742 murid dan 5.320 guru dengan rasio murid terhadap guru 10,29% dan murid terhadap sekolah 38,93%. Selanjutnya, pada

tahun 2009/2010 Sekolah Dasar berjumlah 3.343, murid 647.434 dan guru 41.849, dengan rasio murid terhadap guru 15,47% dan ratio murid terhadap sekolah 19,37%. Data statistik pendidikan menengah terbatas pada SLTP dan SMU di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional. Pada tahun 2009/2010 terdapat 845 SLTP umum, 348 SMU, dengan jumlah murid SLTP 216.321. Sedangkan rasio murid terhadap guru SLTP 16,85%.

Menurut perencanaan Anggaran dan Belanja Negara, pemerintah menganut prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Jumlah anggaran menurut kewenangannya tahun 2009 berjumlah 3.749,80 milyar rupiah, di mana bidang administrasi umum pemerintah diberikan sebesar 1.480,28 milyar rupiah, disusul bidang pekerjaan umum sebesar 751,73 milyar rupiah dan bidang pendidikan sebesar 372,30 milyar rupiah. Penerimaan Provinsi Riau dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), BPHTB, pajak penghasilan, PPn dan PPn BM serta pajak lainnya cukup tinggi, yaitu sebesar 8,21 triliun rupiah pada tahun 2009 (BPS 2011). Secara rinci penerimaan PBB sebesar 1,55 triliun rupiah, BPHTB sebesar 0,13 triliun rupiah, pajak penghasilan sebesar 4,27 triliun rupiah, PPn dan PPn BM sebesar 2,21 triliun rupiah dan pajak lainnya 0,05 triliun rupiah.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Hotspot Tahunan

Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan, jaringan jalan atau akses menuju hutan, tipe tutupan lahan dan vegetasi, ketebalan gambut, dan tingkat kehijauan vegetasi (Adiningsih et al. 2005, Hadi 2005). Tipe tutupan lahan dan vegetasi mempengaruhi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Hadi (2006) dalam penelitiannya di Kabupaten Bengkalis, menyatakan hutan alam rawa mempunyai potensi kebakaran hutan yang tinggi.

Adiningsih et al. (2005) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dicirikan oleh rendahnya respon para pemangku kepentingan terhadap risiko biofisik kebakaran hutan dan lahan padahal risiko tersebut dapat diprediksi. Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya hotspot yang ditemukan oleh satelit di seluruh wilayah Indonesia, khususnya tahun 2006-2010.

Gambar 3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau

Jumlah hotspot yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun adalah 171.493 hotspot, yaitu: 1) 57.856 hotspot pada tahun 2006; 2) 31.656 hotspot pada tahun 2007; 3) 32.838 hotspot pada tahun 2008; 4) 39.528 hotspot pada tahun 2009; dan 5) 9.615 hotspot pada tahun 2010 (WWF 2011). Sementara berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan Riau (LAPAN 2011a).

7734 1715 3538 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 2009 2010 2011 Ju ml ah H o tsp o t Tahun

Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHR ditemukan 12.987 hotspot dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011) di Provinsi Riau (Lampiran 1). Sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009, yaitu 7.734 hotspot (Gambar 2). Pada tahun 2010 terjadi penurunan hotspot yang signifikan, yaitu 1.715 hotspot. Sementara pada tahun 2011 terjadi kenaikan jumlah sebaran hotspot, yaitu 3.538.

Gambar 4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau

Dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu 2009 – 2011, Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah dengan jumlah sebaran hotspot tertinggi, yaitu 3.657 hotspot (Gambar 3). Sebaran hotspot terendah terletak di Kota Dumai, yaitu 10 hotspot. Rata-rata sebaran hotspot tahunan dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 adalah 4.329,67 hotspot.

Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau 90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam (WWF 2010). Aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama adalah alih guna dan fungsi lahan dan kawasan hutan, khususnya perkebunan dan lahan pertanian. Menurut Dishutbun Riau (2009), kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan oleh perilaku pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan sawit.

Berdasarkan hasil penelitian Jikalahari (2009) pada tahun 2002 hingga 2007 telah terjadi investasi besar-besaran pada usaha perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2007 luasan perkebunan kelapa sawit adalah 2,157,091 ha. Pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada berkurangnya

17

luasan hutan di Provinsi Riau. Praktek usaha sawit juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengusaha/petani kelapa sawit melakukan pembakaran pada kegiatan pembukaan lahan (Jikalahari 2009).

Jikalahari (2009) menyebutkan, sekitar 1.570.700 ha izin hutan tanaman industri berada pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, 1.060.000 ha hutan tanaman industri berada dalam kawasan lindung dan 510.700 ha pada kawasan hutan produksi terbatas. Ketidaksesuaian perizinan ini terjadi karena adanya program pembangunan Provinsi Riau yang hanya mengedepankan nilai ekonomi semata.

Luas HTI tahun 2007 telah mencapai angka 1,935,607 ha. HTI di Provinsi Riau bertujuan untuk memenuhi kapasitas produksi industri pulp dan kertas. Kelas tanaman perusahaan berupa monokultur tanaman akasia. Kaitannya dalam besarnya tingkat sebaran hotspot dan kerawanan kabakaran hutan adalah adanya praktek pembukaan lahan dengan pembakaran di HTI di Provinsi Riau (Jikalahari 2009).

Faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau utamanya adalah iklim. Pada kurun waktu bulan Januari hingga Februari, unsur iklim yang menonjol dalam mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau adalah arah angin dan curah hujan. Berdasarkan hasil laporan Bapedal Provinsi Riau (2009), pada bulan Januari hingga Februari nilai curah hujan di Provinsi Riau rendah. Hal ini dikarenakan awan yang mempunyai kandungan air terbawa angin menuju daerah timur. Kondisi ini berakibat pada hari kering yang cukup panjang di Provinsi Riau.

Pada beberapa kasus, sebaran dan jumlah hotspot yang ditemukan berbanding terbalik dengan curah hujan di suatu daerah pada waktu tertentu. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, jumlah hotspot yang ditemukan meningkat. Dapat disimpulkan bahwa sebaran hotspot dipengaruhi oleh curah hujan di suatu daerah dan pada waktu tertentu (Syaufina 2008).

5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009

Tahun 2009 merupakan periode jumlah sebaran hotspot tertinggi di Provinsi Riau dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011. Sebaran hotspot yang

tinggi mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tinggi pula. Tingginya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2009 terjadi karena adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja (Jikalahari 2010). Kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. Disebutkan dalam laporan Jikalahari (2009) bahwa selama periode Januari-Februari 2009 telah terjadi

Dokumen terkait