• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

4.3. Faktor Resiko

Pada penelitian ini faktor resiko yang diidentifikasi terhadap semua pasien dengan infeksi oleh E. coli atau K. pneumonia adalah : lamanya rawatan pasien, pemakaian alat-alat onvasif medis, penyakit komorbid dan ada atau tidaknya tindakan pembedahan.

Berikut adalah hasil analisa statistik faktor resiko terhadap pasien dengan infeksi E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL :

Tabel 9. Faktor resiko terkait infeksi oleh E.coli atau K. Pneumonia penghasil ESBL

Parameter Faktor Resiko KelompokESBL (n) Kelompok non ESBL (n) OR (95%CI) p-value Lama rawatan > 1 minggu <= 1 minggu 1116 252 8,594 (1,680-43.953) 0,004 Pemakaian kateter vena

sentral Ada Tidak ada

Pemakaian Kateter vena perifer

Ada Tidak ada

Pemakaian kateter urin Ada Tidak ada Pemakaian ventilator mekanik Ada Tidak ada Pemakaian pipa nasogastrik Ada Tidak Ada 8 19 22 5 11 16 8 19 9 18 4 23 11 16 2 25 1 26 2 25 0,413 (0,198-1,568) 0,156 (0,045-0,539) 0,116 (0,023-0,595) 0,091 (0,011-0,793) 0,160 (0,31-0,831) 0.190 0.002 0.004 0,002 0,018 Penyakit komorbid Ada Tidak ada 1512 252 15,625 (3,067-79,594) <0.001 Tindakan pembedahan Ada Tidak Ada 225 261 5,909 (0,641-54,542) 0,096

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa faktor resiko yang bermakna secara signifikan terhadap infeksi ESBL adalah lama rawatan > 1 minggu OR 8,594 (1,680- 43.953) p value 0,004, pemakaian kateter vena perifer OR 0,156 (0,045-0,539) p value 0.002, pemakaian kateter urin OR 0,116 (0,023-0,595) p value 0.004, pemakaian ventilator mekanik OR 0,091 (0,011-0,793) p value 0,002, pemakaian pipa nasogastrik OR 0,160 (0,31-0,831) p value 0,018, dan penyakit komorbid OR 15,625

(3,067-79,594) p value <0.001. Pemakaian kateter vena sentral dan tindakan pembedahan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan infeksi ESBL dengan p value 0,190 dan 0,096.

BAB 5

PEMBAHASAN

Infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL menimbulkan tantangan serius bagi para mikrobiologi klinis, dokter, para profesional pengontrol infeksi, serta para ilmuwan penemu antibiotik karena mereka resisten terhadap berbagai β-laktam, termasuk generasi ketiga sefalosporin. Masalah serius yang ditimbulkan oleh ESBL adalah tingginya tingkat mortalitas, lamanya rawatan dan beban ekonomis. Kompleksnya masalah resistensi pada ESBL menyebabkan sulitnya pengobatan karena terbatasnya pilihan antibiotik. Oleh karenanya, pengidentifikasian faktor resiko dan adanya pola sensitivitas antibiotik terhadap infeksi oleh penghasil ESBL sangat diperlukan dalam menekan angka kejadian ESBL dan berbagai masalah yang ditimbulkannya

Pada penelitian ini, spesimen yang menghasilkan ESBL lebih banyak berasal dari pasien rawat inap dibandingkan dengan rawat jalan. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien rawat inap lebih memiliki resiko tinggi mendapat kolonisasi dan biasanya mereka yang dirawat inap adalah pasien dengan penyakit yang serius dengan durasi rawatan rumah sakit yang lama dan menggunakan peralatan invasif medis (kateter urin, kateter vena periper, selang endotrakeal, dan sebagainya).

Pada tabel 6. bakteri penghasil ESBL lebih banyak pada K. pneumonia (55,5%) daripada E. coli (45,5%). Hasil yang hampir serupa didapatkan juga

oleh Shobha K L dkk (2009) dimana didapati bakteri penghasil ESBL adalah K. Pneumonia (51.28%), E. coli (41,02%), dan Pseudomonas (7,7%). Pada penelitian ini didapatkan bahwa bakteri penyebab ESBL pada pasien rawat inap kebanyakan adalah K. pneumonia (59%) dan pada pasien rawat jalan adalah E. coli (60%). Hal ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Husam S. Khanfar dkk, dimana mereka mendapatkan bahwa E. coli merupakan bakteri terbanyak penghasil ESBL baik pada rawat inap (76,2%) maupun pada rawat jalan (87,9%).9

Dari hasil uji kepekaan antibiotik dengan menggunakan BD Phoenix 100, didapati bahwa pada keseluruhan isolat ESBL, imipenem dan meropenem merupakan antibiotik yang paling sensitif (92,6%). Winarto (2005) melakukan studi penelitian di RSUP Kariadi tahun 2004-2005 menemukan bahwa bahwa sensitifitas kuman ESBL terhadap meropenem >82% ( E. coli sebesar 92,4% dan K. Pneumonia 83,3%).21 Hal ini sedikit berbeda dengan

penelitian-penelitian di luar negeri dimana rata-rata sensitifitas kuman ESBL terhadap meropenem yaitu lebih dari 95% bahkan mencapai 100%.50-53 Pada

penelitian ini juga didapatkan bahwa kuman ESBL mulai menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap ertapenem (51,9%). Keadaan resisten Ertapenem namun sensitif terhadap meropenem dan imipenem sering terjadi pada K. pneumonia penghasil ESBL, hal serupa juga didapatkan pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena gangguan permeabilitas pada K. Pneumonia terjadi hanya pada porin OmpK35 dan tidak melibatkan OmpK36 sebagaimana biasanya pada K. Pneumonia penghasil ESBL.54 Namun

merupakan antibiotik pilihan dalam menghadapi berbagai infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.11 Penggunaan antibiotik

golongan carbapenem terbukti menurunkan angka mortalitas pada infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.47

Golongan aminoglikosida memberikan aktivitas yang berbeda. Dari semua isolat, 85,2% sensitif terhadap amikasin, dan hanya 14,8 yang sensitif terhadap gentamycin dan 7,4% yang sensitif terhadap tobramycin. Pada studi yang dilakukan oleh Iraj Alipourfard dkk, isolat E. coli atau K.pneumonia ESBL sensitif 93,9% terhadap amikasin, dimana hanya 31,3% yang sensitif terhadap gentamycin dan 20 % terhadap tobramycin.51 Dari antara semua

aminogikosida, amikasin menunjukkan angka sensitivitas yang cukup baik. di Amerika Serikat, amikasin merupakan alternatif lain sebagai terapi empirik ketika agen yang lain tidak dapat digunakan. Sebagian besar organisme penghasil ESBL sudah resisten terhadap gentamisin sehubungan dengan co- transferoleh plasmid.47,48

Tingkat resistensi isolat ESBL terhadap berbagai antibiotik lainnya cenderung tinggi. Bahkan semua isolat menunjukkan resisten 100% terhadap chepalosporin (generasi 1-4) kecuali pada cefoxitin (40,7%). Tingkat resistensi isolat ESBL ini ditunjukkan pula pada ciprofloxacin (92,6%). Hal ini juga perlu diwaspadai oleh para klinisi dalam pemberian terapi antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan semakin meningkatkan tingkat resistensi kuman ESBL.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pada penelitian ini hanya mengambil sampel E. coli atau K. pneumonia penghasil ESBL. Memang ESBL sendiri paling banyak terjadi pada E. coli dan K. pneumonia namun juga banyak ditemukan pada Enterobacteriaceae yang lain. Oleh karenanya diperlukan juga penelitian berikutnya yang mengambil keseluruhan organisme penghasil ESBL sehingga dapat diperoleh data yang lebih baik dalam menggambarkan kejadian ESBL di RSUP H. Adam Malik. Tidak adanya data kultur mikrobiologi pasien saat masuk di rumah sakit menyebabkan adanya bias antara infeksi ESBL yang nosokomial dan komuniti. Masih banyak faktor resiko lain yang belum dinilai, misalnya ada tidaknya riwayat pemakaian antibiotik, jenis antibiotik prior yang digunakan, tingkat keparahan penyakit, dan status nutrisi pasien. Untuk selanjutnya sangat penting dilakukan penelitian lanjutan akan hal ini dengan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga semakin berguna dalam pengontrolan dan pencegahan infeksi ESBL.

Sebagai kesimpulan didapatkan bahwa perawatan pasien di rumah sakit, pemakaian alat invasif medis seperti kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik, dan pipa nasogastrik; serta keganasan , diabetes dan tindakan pembedahan merupakan faktor resiko terjadinya infeksi E. coli atau K. Pneumonia penghasil ESBL. Pada penelitian ini didapatkan bahwa bakteri penyebab ESBL pada pasien rawat inap kebanyakan adalah K. Pneumonia (59%) dan pada pasien rawat jalan adalah E. coli (60%). Antibiotik golongan carbapenem (imipenem dan meropenem) dan amikasin merupakan antibiotik pilihan dalam menangani infeksi ESBL.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa lamanya rawatan > 1 minggu berhubungan dengan infeksi ESBL. Hal yang serupa didapatkan oleh M Shanthi dan Uma Sekar.15 Sedangkan Tam (2013) mendapatkan lama

rawatan > 4 minggu merupakan faktor resiko ESBL (p value 0.004).16

Patterson menyimpulkan dari berbagai studi bahwa lamanya rawatan 11-67 hari meningkatan resiko infeksi ESBL.6

Walaupun telah dibuktikan pada penelitian ini bahwa lamanya rawatan di rumah sakit berhubungan dengan infeksi ESBL, namun tidak dapat dipastikan bahwa pasien benar-benar mendapatkan infeksi ESBL tersebut selama tinggal di rumah sakit. Ada kemungkinan bahwa pasien telah membawa kuman ESBL sebelum masuk ke rumah sakit. Hal ini terutama ditujukan bagi pasien dengan infeksi oleh E. coli penghasil ESBL, dimana bakteri tersebut merupakan kuman penyebab utama infeksi ESBL pada komuniti. Oleh karenanya ada baiknya untuk melakukan pemeriksaan kultur mikrobiologi saat pasien mulai dirawat di rumah sakit dan sebaiknya sebelum diberikan terapi antibiotik.

Pemakaian berbagai alat invasif medis juga dinyatakan berkaitan dengan terjadinya infeksi ESBL. Pada penelitian ini didapatkan pemakaian kateter vena perifer (p value0.002), kateter urin (p value 0.004), ventilator mekanik (p value 0.002) dan pipa nasogastrik (p value 0.018) berhubungan secara signifikan dengan infeksi oleh ESBL. Memang telah banyak dinyatakan bahwa pemakaian alat invasif medis apalagi dalam waktu yang lama cenderung menimbulkan kolonisasi dan menjadi port d entre kuman untuk

menginfeksinya. Namun, pada penelitian ini pemakaian kateter vena sentral tidak berhubungan dengan infeksi ESBL (p value 0.190). Hasil ini berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan sebelumnya.15,17 Hal tersebut

kemungkinan disebabkan karena pemasangan kateter vena sentral di RSUP H. Adam Malik Medan dilakukan oleh dokter ahli anestesi dengan standar operasional tertentu dan dilakukan di ruang yang steril juga. Sedangkan pemasangan alat medis lain seperti selang kateter vena perifer, kateter urin, dan pipa nasogastrik lebih sering dilakukan oleh paramedis dan kemungkinan kurang sterilnya peralatan yang digunakan sangat besar. Sangat perlu untuk memberikan edukasi yang benar dan standar operasi yang lebih ketat bagi para petugas paramedis dalam melakukan pemasangan alat-alat invasif medis, misalnya denganhand hygiene.

Adanya penyakit komorbid merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi ESBL. Hal ini serupa dengan beberapa temuan pada studi- studi terdahulu. Sedangkan tindakan pembedahan bukan merupakan faktor resiko ESBL, hasil yang sama ditemukan juga oleh Lautenbach dkk.17

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak adanya data kultur mikrobiologi pasien saat masuk di rumah sakit menyebabkan adanya bias antara infeksi ESBL yang nosokomial dan komuniti. Masih banyak faktor resiko lain yang belum dinilai, misalnya ada tidaknya riwayat pemakaian antibiotik, jenis antibiotik prior yang digunakan, tingkat keparahan penyakit, dan status nutrisi pasien. Untuk selanjutnya sangat penting dilakukan penelitian lanjutan akan

hal ini dengan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga semakin berguna dalam pengontrolan dan pencegahan infeksi ESBL.

BAB 6

KESIMPULAN dan SARAN

Dokumen terkait