• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Konsep Stres

3.3 Faktor Resiko

Ada beberrapa faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit osteoartritis (Mansjoer et al.,2001) yaitu :

3.3.1 Usia

Faktor resiko yang paling utama pada penyakit osteoartritis adalah usia, biasanya mengenai dewasa madya hingga lansia, tetapi sering pada usia diatas 60 tahun (Cibulka et al.,2009). Prevalensi dan beratnya osteoartritis akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur, namun seperti yang dijelaskan di atas, bahwa osteoartritis bukan terjadi akibat pertambahan usia saja, tetapi juga bisa terjadi akibat perubahan pada rawan sendi (Girsang, 2008).

3.3.2 Jenis kelamin wanita

Prevalensi osteoartritis meningkat pada jenis kelamin wanita (Lawrence et al.,2008). Penelitian terhadap faktor resiko ini dilakukan oleh Tepper and Hochberg (1993, dalam Cibulka et al.,2009) dengan perbandingannya jelas yaitu 3,2 % : 3 %. Diperkirakan hal ini terjadi akibat perbedaan bentuk pinggul antara pria dan wanita (Cibulka et al.,2009).

3.3.3 Presdisposisi genetik

Faktor herediter juga berpengaruh terhadap kejadian osteoartritis, misalya pada seorang ibu dengan osteoartritis pada sendi interfalang, maka kemungkinan anaknya berpeluang 3 kali lebih sering untuk terrkena penyakit yang sama (Girsang, 2008).

3.3.4 Obesitas

Obesitas merupakan faktor risiko osteoartritis yang dapat dimodifikasi. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut oleh karena itu peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan (Maharani, 2007).

3.3.5 Cedera sendi, pekerjaan dan olahraga

Cedera sendi pinggul akan menimbulkan perubahan retikular pada sendi sehingga berdampak pada kejadian penyakit osteoartritis (Cibulka et al.,2009). Selain itu pekerjaan berat atau pemakaian salah satu sendi secara terus-menerus akan menjadi penentu faktor lokasi dan penentu beratnya osteoartritis yang dialami (Girsang, 2008).

3.3.6 Kelainan pertumbuhan

Hal ini berhubungan dengan osteoatritis primer, sehingga kelainan kongenital dan pertumbuhan akan dapat menyebabkan osteoartritis pada usia muda (Girsang, 2008).

3.4 Gambaran Klinis

Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama bila sendi digerakkan atau bila menanggung beban. Nyeri sendi bervariasi mulai dari ringan sampai berat, bertambah saat aktivitas dan berkurang saat beristirahat. Pasien sering mengeluhkan nyeri yang berpusat pada tulang belakang dan bertambah berat ketika digerakkan; rasa nyeri ini hampir selalu disertai dengan

keluhan rasa kaku dan keterbatasan gerakan (Girsang, 2008; Price & Wilson, 2006; Isselbacher et al.,1999).

Secara umum ada tiga gejala klinis pada osteoartritis, yaitu :

3.4.1 Nyeri dan kekakuan pada satu atau lebih sendi, biasanya pada tangan, pergelangan tangan, kaki, lutut, spina bagian atas dan bawah, panggul dan bahu. Nyeri dapat berkaitan dengan rasa kesemutan atau kebas, terutama pada malam hari (Corwin, 2008).

3.4.2 Pembengkakan sendi yang terkena, disertai penurunan rentang gerak dan deformitas pada sendi (Corwin, 2008).

3.4.3 Pembengkakan tulang (hipertrofi) dapat berkembang dan ikut mempengaruhi pada gerakan yang normal. Hipertrofi tulang terlihat dengan sangat jelas pada persendian interphalangeal distal (nodus Herbeden) yang banyak ditemukan pada wanita, persendian interphalangeal proximal (nodus Bouchard), dan persendian karpometakarpal yang pertama (jari jempol kaki) (Corwin, 2008).

3.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan osteoartritis haruslah bersifat multifokal dan individual. Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mencegah atau menahan kerusakan yang lebih lanjut pada sendi tersebut dan untuk mengatasi nyeri dan kaku sendi guna mempertahankan mobilitas (Price & Wilson, 2002). Ada dua penatalaksanaan pada osteoartitis, yaitu :

3.5.1 Terapi Nonfarmakologis

Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi kerja. Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien untuk dapat mandiri, tidak selalu tergantung pada orang lain. Walaupun osteoartritis tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting, terutama pada pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada sendi yang terserang osteoartritis dan meningkatkan kelincahan pasien waktu bergerak (Maharani, 2007). Suatu penelitian oleh Messier (2000) yang diikuti 21 penderita osteoatritis yang mengalami obesitas, kemudian mereka melakukan penurunan berat badan dengan cara diet dan olah raga. Setelah diikuti selama 6 bulan, dilaporkan bahwa pasien-pasien tersebut mengalami perbaikan fungsi sendi serta pengurangan derajat dan frekuensi rasa nyeri.

Terapi fisik dan terapi kerja bertujuan agar penderita dapat melakukan aktivitas optimal dan tidak tergantung pada orang lain. Terapi ini terdiri dari pendinginan, pemanasan dan latihan penggunaan alat bantu. Dalam terapi fisik dan terapi kerja dianjurkan latihan yang bersifat penguatan otot, memperluas lingkup gerak sendi dan latihan aerobik. (Maharani, 2007)

Terapi konservatif mencakup penggunaan kompres hangat, upaya untuk mengistirahatkan sendi serta menghindari penggunaan sendi yang berlebihan. Penggunaan alat-alat ortotik untuk menyangga sendi yang mengalami inflamasi juga dapat dilakukan untuk menangani osteoartritis (Brunner & Suddarth, 2002).

3.5.2 Terapi farmakologis

Sama seperti terapi non farmakologis, terapi ini juga bertujuan untuk menurunkan nyeri, meningkatkan fungsi sendi dan meningkatkan kualitas hidup penderita osteoartritis (McCool, 2001). Ada beberapa cara yang dilakukan pada terapi ini yaitu :

a. Analgesik oral

American College of Rheumatology (2000) merekomendasikan penggunaan parasetamol pada nyeri osteoartritis ringan hingga sedang, karena aman penggunaanya dan baik digunakan pada pasien berumur tua. Selain itu penggunaan acetaminophen, ibuprofen, juga telah terbukti efektif pada penanganan nyeri osteoartritis (ACR, 2000). Pada nyeri sedang dan berat diberikan NSAID dan COX-2 (Cyclo-oxygenase 2) (McCool, 2001).

b. Glukosiamin dan Kondroitin sulfat, walaupun masih diperdebatkan tetapi pada penelitian mampu mengurangi nyeri dan pada pemakaian jangka panjang mampu melindungi kerusakan rawan sendi secara efektif (Girsang, 2008).

c. Injeksi Intraartikuler, yang bertujuan mengganti komponen caira sinovial, yang mampu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi (McCool, 2001). Beberapa injeksi yang dipakai pada penanganan osteoartritis adalah injeksi Intraartikuler kortikosteroid dan Hyaluronic acid (Kennedy et al.,2010).

d. Pengobatan topikal, sering digunakan untuk mengurangi nyeri ringan samapi sedang pada osteoartritis. Pengobatan topikal yang sering digunakan antara lain obat topikal NSAID dan Capsaici (McCool, 2001).

3.5.3 Pembedahan

Penatalaksanaan osteoartritis juga bisa melalui pembedahan , yaitu dengan penggantian total sendi lutut dan pembedahan ini dilakukan jika pasien mengalami nyeri yang tidak tertahankan serta kehilangan fungsi (Brunner & Suddarth, 2002).

4. Hubungan Intensitas Nyeri dengan Stres

Safarino (2006) menyatakan bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara kesehatan dengan stres. Ada dua cara yang menghubungkan keterkaitan ini, pertama stres yang mempengaruhi perilaku seseorang agar mudah terkena penyakit, contohnya seseorang dengan stres tinggi akan mengkomsumsi banyak makanan sehingga menimbulkan obesitas. Kedua stres mempengaruhi fisiologis seseorang yaitu respon fisiologis yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit (Sarafino, 2006).

Jika dihubungkan dengan nyeri batasan defenisi yang dikemukakan oleh IASP (International Association for the Study of Pain) adalah, pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensional. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan

bahwa nyeri berkaitan dengan psikologis baik depresi maupun ansietas (Kasjmr, 2003).

Berdasarkan dimensi afektif dan dimensi kognitif dari nyeri dinyatakan bahwa pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. Buckelew, Parker, dan Keefe beserta kolega (1994 dalam Harahap, 2007) menemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik. Mereka juga menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka semakin tinggi tingkat depresi individu tersebut. Price (1980 dalam Aydede & Guzeldere, 2002). Barkwell (2005 dalam Ardinata, 2007) melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh.

Nyeri kronik adalah stres fisik dan psikologis, serta ketidaknyamanan ini jika terjadi secara terus – menerus dapat mengakibatkan kemarahan terhadap diri sendiri bahkan bagi orang lain serta sangat menggangu kehidupan sehari hari. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan nyeri dan pengelolaan stres akibat nyeri secara bersamaan (American Psychological Association, 2011).

American Psychological Association (2011), menyebutkan beberapa cara untuk mengelola stres pada nyeri kronik, antara lain :

4.1 Mengatasi stres

Nyeri dan emosi berkaitan erat, sehingga nyeri yang terus – menerus dapat mengakibatkan peningkatan stres. Mengatasi stres akan membuat seseorang lebih efektif mencari pengobatan terhadap nyeri (American Psychological Association, 2011). Cara mengatasi stres dapat dilakukan dengan cara olahraga teratur, humor, makanan sehat, istirahat cukup, relaksasi, spritualitas (Potter & Perry, 2005).

4.2 Berpikir positif

Berpikir positif adalah cara yang efektif untuk berbicara kepada diri-sendiri secara konstruktif. Contoh, berpikir bahwa nyeri yang dialami sekarang lebih rendah akibat pengobatan, daripada nyeri yang dialami dahulu akan lebih efektif daripada memikirkan nyeri tersebut merupakan keadaan tidak berdaya dan tidak dapat diatasi (American Psychological Association, 2011).

4.3 Aktivitas fisik

Terlibat dalam aktivitas-aktivitas merupakan tehnik distraksi terhadap nyeri. Mengisolasi diri akan menumbuhkan sikap negatif dan menigkatkan persepsi nyeri. Melakukan hobi akan membantu seseorang merasa lebih baik dan dapat berhubungan dengan baik dengan orang lain (American Psychological Association, 2011).

4.4 Sistem pendukung

Sistem pendukung seperti keluarga, teman kerja akan mendengarkan dan memberikan nasihat dan dukungan emosional yang akan bermanfaat untuk

mengurangi stres. Sistem pendukung dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan fisik serta mental (Potter & Perry, 2005).

4.5 Konsultasi dengan ahli

Kondisi nyeri yang tidak dapat ditangani akan membuat stres berat. Pada kondisi ini seseorang dapat konsultasi dengan profesi kesehatan dan psikolog yang dapat membantu menangani nyeri dan kondisi psikologis (American Psychological Association, 2011).

BAB 3

Dokumen terkait