• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Penyakit Arteri Perifer

2.3.2. Faktor Resiko

Menurut Penelitian Framingham Heart Study, Cardiovascular Health Study, PAD Awareness, Risk and Treatment: New Resources for Survival (PARTNERS)

program, NHANES dan Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study,

menyatakan bahawa faktor resiko utama PAP yaitu peningkatan usia, merokok, diabetes melitus, dislipidemia dan hipertensi.

Prevalensi PAP meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada Framingham Heart Study mendapati peningkatan resiko PAP terjadi pada usia ≥65 tahun. NHANES mendapatkan hubungan yang kuat antara bertambahnya usia (≥70 tahun) dan prevalensi PAP dimana pada usia 40 tahun prevalensinya hanya 4,3% dibandingkan dengan usia 70 tahun atau lebih menjadi 14,5%.

Criqui dkk melaporkan bahwa prevalensi PAP (dengan ABI normal) 2-3 % pada individu dengan usia ≤ 50 tahun dibanding usia 75 tahun atau lebih yang menjadi 20%. PARTNERS program mendapatkan prevalensinya pada individu yang berusia di atas 70 tahun adalah 29%.

b. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor resiko yang sangat penting terjadi PAP dan komplikasinya : intermitten claudicatio dan critical limb ischemia. Merokok meningkatkan resiko terjadinya PAP 4 kali lipat. Jumlah dan lamanya merokok berhubungan secara langsung dengan progresifitas PAP (Meijer WT et al, 2007). Peranannya adalah efek aterogenik dari rokok. Gabungan aktivasi dari sistem simpatetik, efek vasokonstriksi, oksidasi dari LDL kolesterol, penghambatan pembebasan dari plasminogen aktivator dari endothelium, peningkatan kadar fibrinogen, peningkatan aktivitas trombosit, peningkatan ekspresi dari faktor jaringan, dan disfungsi endotel merupakan efek aterogenik dari rokok (Asgeirsdottir, L.P., Agnarssonv, U., Jonsson, G.S., 2001).

Perbandingan merokok dan tidak merokok pada PAP didapati dua kali lebih sering untuk dilakuan amputasi dan terjadi critical limb ischemia pada yang merokok. Hubungan merokok dan PAP dua kali lebih kuat dibandingkan antara merokok dan penyakit jantung koroner.

c. Diabetes Melitus

Diabetes melitus meningkatkan resiko PAP asimptomatik atau simptomatik PAP sebanyak 1,5-4 kali lipat dan berhubungan dengan kejadian kardiovaskular dan mortalitas pada individu dengan PAP.

Pada Framingham heart study, didapati 20% pasien PAP yang simptomatik menderita diabetes. Diagnosa PAP dengan menggunakan ABI oleh NHANES mendapati 26% menderita diabetes, sementara Edinburgh Artery Study yang menggunakan kuesioner WHO atau nilai ABI <0,90 mendapati prevalensi PAP lebih tinggi pada penderita diabetes (20,6 %) berbanding pada kadar glukosa yang normal (12,5%).

Pada pasien diabetes, prevalensi PAP berhubungan dengan usia dan lamanya menderita diabetes. Tingkat keparahan diabetes berperan penting dalam terjadi PAP. Terdapat 28 % peningkatan resiko PAP pada setiap peningkatan HbA1C dan lamanya menderita hiperglikemi (Bartholomew JR, Olin JW, 2006) .

Penyakit oklusi pada arteri tibialis mempunyai hubungan yang sangat erat dengan diabetes. Mikroangiopati atau neuropati lebih sering dialami oleh pasien diabetes dengan PAP yang menyebabkan gangguan penyembuhan luka. Pasien PAP dengan diabetes mempunyai resiko tinggi terjadi ulus iskemik dan gangren.

d. Dislipidemia

Studi PARTNERS menemukan prevalensi PAP meningkat 77% pada pasien dislipidemia. Menurut Framingham Heart Study, terjadi peningkatan dua kali lipat pada intermitten claudication apabila terjadi peningkatan kolesterol total.

Bentuk dislipidemia paling sering pada pasien PAP adalah kombinasi penurunan HDL kolesterol dengan peningkatan trigliserida yang sering didapati pada pasien sindroma metabolik dan diabetes. Pada Cardiovascular Health study keduanya didapati berhubungan dengan penurunan nilai ABI. ARIC study dan Edinburgh Artery Study pada pasien diabetes didapati hanya peningkatan trigliserida yang berhubungan dengan PAP (Bartholomew JR, Olin JW, 2006).

e. Hipertensi

Hampir semua penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang erat antara hipertensi dengan PAP, dimana 50-92% didapati PAP dengan hipertensi. Pada penelitian NHANES dan PARTNERS melaporkan hubungan PAP dengan hipertensi masing-masing 74% dan 92%. Cardiovascular Health Study melaporkan 52% pasien

dengan nilai ABI kurang dari 0,90 menghidap tekanan darah tinggi. Peningkatan 2,5-4 kali lipat resiko klaudikasio intermiten pada pria dan wanita dengan hipertensi diperoleh dari Framingham Study. Pada Systolic Hypertension in Elderly (SHEP) melaporkan 25,5 % partisipan dengan nilai ABI <0,90.

The Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure menyatakan bahwa PAP merupakan faktor ekuivalen terjadi penyakit jantung koroner.

Pasien dengan hipertensi dan PAP mempunyai resiko yang tinggi terjadi strok dan miokard infark.

f. Lama HD

Prevalensi PAP sangat bervariasi, bergantung pada populasi mana yang diteliti. Berdasarkan HEMO study dan USRDS di Amerika Serikat, prevalensinya pada penderita yang baru menjalani hemodialisis berkisar antara 14-15%. Sedang pada penderita yang menjalani telah hemodialisis kronis, prevalensinya meningkat menjadi 25%.

2.3.3. Patofisiologi

Aterosklerosis merupakan proses kompleks yang melibatkan disfungsi endotel, gangguan lipid, aktivasi platlet, trombosis, stres oksidatif, aktivasi otot polos vaskuler dan faktor genetik.

Aterosklerosis sering terjadi pada arteri bifurkatio dan cabangnya dimana terjadi gangguan terhadap mekanisme ateroproteksi endogen yang menghasilkan efek gangguan aliran pada sel endotel. Peningkatan usia, diabetes melitus, merokok, peningkatan kolesterol total dan low density lipoprotein (LDL) dan hipertensi merupakan faktor resiko yang berperan penting dalam proses inisiasi dan aselerasi aterosklerosis.

Tingkatan aterosklerosis dapat dibagi atas adanya lesi, pembentukan lapisan lemak dan ateroma fibroproliferatif. Adanya lesi berasal dari disfungsi endotel, dimana lapisan lemak menyebabkan adanya lesi inflamasi yang pertama kali mempengaruhi arteri intima dan terjadi pembentukan sel busa. Lapisan lemak terdiri

dari sel otot polos, monosit, makrofag dan sel T dan B. Atero fibroproliferatif berasal dari lapisan lemak yang terdiri dari banyaknya sel otot polos yang berisi lemak. Akumulasi sel yang membuat lapisan lemak dan atero proliferatif menghasilkan lesi tahap lanjutan. Lesi tahap lanjut kaya dengan sel yang terdiri dari sel dinding vaskuler intrinsik (endotel dan otot polos) dan sel-sel inflamasi (monosit, makrofag dan T limposit).

Pembentukan aterosklerosis yang dapat menyebabkan peningkatan ukuran pembuluh darah adalah proses awal dari kompensasi arteri. Stenosis dan sindroma iskemik kronis akan terjadi apabila lesi tahap lanjut menggangu lumen sehingga akhirnya aliran darah menjadi terbatas.

Kejadian arteri akut terjadi jika adanya sumbatan fibrous yang menggangu; hasilnya terjadi pembukaan prothrombotic necrotic lipid core dan jaringan subendotel yang memudahkan pembentukan trombus dan terjadi oklusi aliran darah (Bartholomew JR, Olin JW, 2006).

2.3.4. Klasifikasi

Pada terminologi klinis maka PAP dapat dibagi menjadi 4 kelas menurut Fontaine (tabel 3) :

Klasifikasi PAP menurut Fontaine di atas praktis digunakan, namun belakangan kurang sering digunakan terutama bila dihubungkan ke aspek kualitas hidup oleh karena sering dijumpainya salah penempatan tingkat misalnya bisa saja penderita tidak dijumpai klaudikasio intermiten dan karena tidak sering olah raga penderita ditempatkan pada kelas asymptomatic, padahal kenyataanya bisa penderita sudah pada tingkat IIb. Klasifikasi yang lain adalah klasifikasi Rutherford (Tabel 4). Klasifikasi ini membagi PAP menjadi empat derajat dan 6 kategori, di mana masing-masing derajat satu kategori kecuali derajat I dibagi menjadi 3 kategori.

Klasifikasi ini sangat berguna pada studi epidemiologi dalam mengidentifikasi PAP baik yang simptomatik maupun yang tidak simptomatik.

Dokumen terkait