• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Penyakit Arteri Perifer Pada Pasien Hemodialisis Reguler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Penyakit Arteri Perifer Pada Pasien Hemodialisis Reguler"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA PERKALIAN PRODUK KALSIUM DAN FOSFAT SERUM DENGAN PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA PASIEN

HEMODIALISIS REGULER

OLEH :

REENOSHA BIJEN 100100413

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HASIL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA PERKALIAN PRODUK KALSIUM DAN FOSFAT SERUM DENGAN PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA PASIEN

HEMODIALISIS REGULER

KARYA TULIS ILMIAH OLEH :

REENOSHA BIJEN 100100413

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) masih tinggi, dengan angka mortalitas sekitar 22%. Salah satu penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas adalah kalsifikasi vaskuler yang disebabkan oleh peningkatan produk kalsium dan fosfat. Hal ini terbukti sangat berperan dalam patogenesis penyakit arteri perifer (PAP) yang prevalensinya meningkat pada pasien PGTA dengan hemodialisis (HD) reguler.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perkalian produk kalsium dan fosfat (CaxP) serum dengan PAP pada pasien HD reguler.

Suatu studi potong lintang dengan metode pengambilan sampel secara

keseluruhan telah dilakukan pada 113 orang (71 laki-laki dan 42 perempuan) pasien HD reguler di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida, Medan.

Dengan menggunakan nilai ABI <0.9 sebagai cut off, didapatkan prevalensi PAP pada pasien HD reguler adalah sebesar 46.9 %. Perkalian produk CaxP serum dinyatakan abnormal dengan cut off 55, sehingga didapatkan 31.86% pasien mempunyai nilai perkalian produk kalsium dan fosfat serum yang abnormal.

Berdasarkan uji chi-square didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara perkalian produk kalsium dan fosfat serum dengan penyakit arteri perifer (P< 0,001), dimana pasien dengan perkalian produk kalsium dan fosfat serum >55 mg²/dl² mempunyai kemungkinan 4,53 kali untuk mengalami PAP dibandingkan dengan produk CaxP yang normal.

Meskipun secara teori usia, riwayat DM, riwayat hipertensi, jenis kelamin dan lama HD berhubungan dengan produk kalsium fosfat dan PAP, tetapi pada penelitian ini uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05)

(4)

ABSTRACT

Morbidity and mortality rate of end stage renal disease (ESRD) patients are still high. The mortality rate is around 22%. Recently, some studies in patients with regular hemodialysis (HD) found evidence that peripheral arterial disease (PAD) is associated with increase of calcium and phosphate product (CaxP) in the serum. This plays an important role in the pathogenesis of PAD whereby the prevalence rate increased in ESRD patients undergoing regular HD.

The aim of this study is to evaluate prevalence of PAD among patients who are undergoing regular HD and their association between Ca x P product.

A cross-sectional study was done on 113 regular HD patients (71 mens and 42 women) at the Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida,Medan.

Using ABI<0.9 as cut off value for presence of PAD, 46.9% had PAD. Using 55 or more as cut off for abnormal concentration of CaxP product, 31.86% patients had abnormal CaxP . The chi-square tes shows a significant relationship between calcium phosphate product with peripheral arterial disease (P<0.001). Patients with calcium and phosphate product in serum >55mg²/dl² is 4,53 times prone to have PAD compared to those with normal CaxP product.

Theoretically age, diabetic melitus, hypertension, gender and duration of HD are related to calcium and phosphate product in serum and PAD, but as for this study, the statistic results are insignificant (p>0,05).

Keywords : peripheral arterial disease, ankle brachial index, calcium phosphate product, regular HD

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya Tulis Ilmiah ini berjudul Hubungan Antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Penyakit Arteri Perifer Pada Pasien Hemodialisis Reguler. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Riri Andri Muzasti, M.Ked (PD), SpPD selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, saran, motivasi serta semangat sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan. 3. Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS,SpFK selaku Dosen Penguji I yang

telah memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. dr. Lita Feriyawati, M. Kes selaku Dosen Penguji II yang juga telah memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa pendidikan. 6. Staf pegawai KSGH Rasyida Medan yang telah banyak membantu penulis

(6)

7. Yang teristimewa kedua orang tua saya,En.Bijen dan Pn.Kamalah Devi tercinta yang selama ini telah membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang serta memberikan dukungan kepada saya selaku penulis sehingga dapat seperti sekarang ini. Untuk itu, Karya Tulis Ilmiah ini saya persembahkan kepada mereka.

8. Saudara laki-laki tercinta Dhanashan Bijen dan Visaagan Kalaithasan yang telah banyak membantu penulis serta memberikan dukungan semangat dan mendoakan penulis selama mengerjakan karya ilmiah ini.

9. Teman tercinta, Kumanan Perumal yang telah memberikan dukungan semangat dan mendoakan penulis selama mengerjakan karya ilmiah ini.

10.Teman-teman seperjuangan angkatan 2010 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rishaleni Muniandy, Mungunthanii Krishnamoorthy, Salini Nallapen dan Nageintheree Ramaksihnan yang telah berjuang bersama-sama penulis untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

11.Serta semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan dalam penulisan karya tuis ilmiah ini.

Kepada semua pihak tersebut, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan selalu membalas semua kebaikan yang selama ini diberikan kepada penulis dan melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini berguna bagi kita

semua. Medan, 19 Desember 2013

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR SINGKATAN KATA ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.2.1. Pertanyaan Utama ... 3

1.2.2. Pertanyaan Tambahan ... 3

1.3. Hipotesa Penelitian ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1. Tujuan Umum ... 3

1.4.2. Tujuan Khusus ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) ... 5

2.1.1. Epidemiologi ... 5

2.1.2. Klasifikasi ... 6

2.1.3. Penatalaksanaan ... 6

(8)

2.2. Gangguan Mineral Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik ... 7

2.2.1. Hiperfosfatemia pada PGK ... 8

2.2.2. Hipokalsemia pada PGK ... 9

2.2.3. Hiperparatiroidisme Sekunder ... 9

2.2.4. Peningkatan Produk Kalsium Fosfat ... 10

2.2.5. Klasifikasi Gangguan Mineral dan Tulang pada PGK ... 10

2.2.6. Kalsifikasi Kardiovaskuler dan Jaringan Ikat Lunak ... 11

2.3. Penyakit Arteri Perifer ... 12

2.3.6. Penegakan Diagnosis dari Penyakit Arteri Perifer ... 19

BAB 111. KERANGKA KONSEP DAN OPERASIONAL 3.1. Kerangka Teori ... 27

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 33

4.3.1. Populasi ... 33

4.3.2. Sampel dan Teknik Pemilihan Sampel ... 33

4.3.3. Kriteria Penerimaan dan Penolakan ... 34

4.3.4. Besar Sampel ... 34

4.4. Kerangka Penelitian... 35

4.5. Prosedur Kerja ... 35

(9)

4.5.2. Pengumpulan Data ... 36

4.6. Pengolahan Data ... 37

4.6.1. Editing ... 37

4.6.2. Coding ... 37

4.6.3. Entry ... 37

4.7. Analisis Data ... 37

4.7.1. Analisis Univariat ... 37

4.7.2. Analisis Bivariat ... 37

4.8. Etika Penelitian ... 39

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 40

5.2. Karakteristik Pasien PGTA yang Menjalani Hemodialisis Reguler... 40

5.3. Analisis Bivariat... 44

5.3.1. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat dengan Jenis Kelamin... 44

5.3.2. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat dengan Riwayat DM... 45

5.3.3. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat dengan Riwayat Hipertensi... 45

5.3.4. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat dengan Usia... 46

(10)

Lama HD... 46

5.3.6. Hubungan antara PAP dengan Jenis Kelamin... 47

5.3.7. Hubungan antara PAP dengan Riwayat DM... 47

5.3.8. Hubungan antara PAP dengan Riwayat Hipertensi... 48

5.3.9. Hubungan antara PAP dengan Usia... 48

5.3.10. Hubungan antara PAP dengan Lama HD... 49

5.3.11. Hubungan antara PAP dengan Produk Kalsium Fosfat... 49

5.4. Pembahasan... 51

BAB V1. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 52

6.2. Saran... 52

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik...5

Tabel 2. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan Stadium Penyakit Ginjal....6

Tabel 3. Klasifikasi GMT-PGK...11

Tabel 4. Klasifikasi PAP menurut Fontaine...17

Tabel 5. Klasifikasi PAP menurut Rutherford...18

Tabel 6. Kuesioner WHO untuk Klaudikasio Intermitten...24

Tabel 7. Kuesioner Edinburgh untuk Kuesioner Klaudikasio...25

Tabel 8. Karakteristik pasien PGTA yang Menjalani Hemodialisis Reguler………...40

Tabel 9. Karakteristik Pasien PGTA yang Menjalani Hemodialisis Reguler berdasarkan Umur...41

Tabel 10. Hasil pemeriksaan ABI pada pasien PGTA dengan Hemodialisis Reguler...41

Tabel 11. Manifestasi Klinis PAP pada Pasien PGTA dengan Hemodialisis Reguler...42

Tabel 12. Karakteristik Pasien PGTA yang Menjalani Hemodialisis Reguler berdasarkan Lama HD...43

(12)

Tabel 14. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat

dengan Riwayat DM...44 Tabel 15. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat

dengan Riwayat Hipertensi...44

Tabel 16. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat dengan Usia...45

Tabel 17. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat

dengan Lama HD...45 Tabel 18. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer

dengan Jenis Kelamin...46 Tabel 19. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer

dengan Riwayat DM...,46 Tabel 20. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer

dengan Riwayat Hipertensi...47

Tabel 21. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Usia...47 Tabel 22. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer

dengan Lama HD...48 Tabel 23. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pengukuran dan Interpretasi Ankle-Brachial Index (ABI)....21 Gambar 2. Kadar Produk Ca X P pada Pasien PGTA

(14)

DAFTAR SINGKATAN

ABI : Ankle Brachial Index

Ca x P : Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat ESRD : End Stage Renal Disease

GMT : Gangguan Mineral Tulang

GMT-PGK : Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik HD : Hemodialisis

HPT : Hormon paratiroid IC : Intermitten Claudication LDL : Low Density Lipoprotein LFG : Laju Filtrasi Glomerulus PAD : Peripheral Arterial Disease PAP : Penyakit Arteri Perifer PGK : Penyakit Ginjal Kronik PGTA : Penyakit Ginjal Tahap Akhir USRDS : United States Renal Data System VSMC : Vascular Smooth Muscle

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Riwayat Hidup Peneliti

LAMPIRAN 2 Lembar Penjelasan

LAMPIRAN 3 Lembar Persetujuan

LAMPIRAN 4 Draf log book subjek penelitian

LAMPIRAN 5 Analisis SPSS

LAMPIRAN 6 Surat izin penelitian

LAMPIRAN 7 Ethical Clearance

(16)

ABSTRAK

Morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) masih tinggi, dengan angka mortalitas sekitar 22%. Salah satu penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas adalah kalsifikasi vaskuler yang disebabkan oleh peningkatan produk kalsium dan fosfat. Hal ini terbukti sangat berperan dalam patogenesis penyakit arteri perifer (PAP) yang prevalensinya meningkat pada pasien PGTA dengan hemodialisis (HD) reguler.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perkalian produk kalsium dan fosfat (CaxP) serum dengan PAP pada pasien HD reguler.

Suatu studi potong lintang dengan metode pengambilan sampel secara

keseluruhan telah dilakukan pada 113 orang (71 laki-laki dan 42 perempuan) pasien HD reguler di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida, Medan.

Dengan menggunakan nilai ABI <0.9 sebagai cut off, didapatkan prevalensi PAP pada pasien HD reguler adalah sebesar 46.9 %. Perkalian produk CaxP serum dinyatakan abnormal dengan cut off 55, sehingga didapatkan 31.86% pasien mempunyai nilai perkalian produk kalsium dan fosfat serum yang abnormal.

Berdasarkan uji chi-square didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara perkalian produk kalsium dan fosfat serum dengan penyakit arteri perifer (P< 0,001), dimana pasien dengan perkalian produk kalsium dan fosfat serum >55 mg²/dl² mempunyai kemungkinan 4,53 kali untuk mengalami PAP dibandingkan dengan produk CaxP yang normal.

Meskipun secara teori usia, riwayat DM, riwayat hipertensi, jenis kelamin dan lama HD berhubungan dengan produk kalsium fosfat dan PAP, tetapi pada penelitian ini uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05)

(17)

ABSTRACT

Morbidity and mortality rate of end stage renal disease (ESRD) patients are still high. The mortality rate is around 22%. Recently, some studies in patients with regular hemodialysis (HD) found evidence that peripheral arterial disease (PAD) is associated with increase of calcium and phosphate product (CaxP) in the serum. This plays an important role in the pathogenesis of PAD whereby the prevalence rate increased in ESRD patients undergoing regular HD.

The aim of this study is to evaluate prevalence of PAD among patients who are undergoing regular HD and their association between Ca x P product.

A cross-sectional study was done on 113 regular HD patients (71 mens and 42 women) at the Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida,Medan.

Using ABI<0.9 as cut off value for presence of PAD, 46.9% had PAD. Using 55 or more as cut off for abnormal concentration of CaxP product, 31.86% patients had abnormal CaxP . The chi-square tes shows a significant relationship between calcium phosphate product with peripheral arterial disease (P<0.001). Patients with calcium and phosphate product in serum >55mg²/dl² is 4,53 times prone to have PAD compared to those with normal CaxP product.

Theoretically age, diabetic melitus, hypertension, gender and duration of HD are related to calcium and phosphate product in serum and PAD, but as for this study, the statistic results are insignificant (p>0,05).

Keywords : peripheral arterial disease, ankle brachial index, calcium phosphate product, regular HD

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) atau end stage renal disease (ESRD) masih tinggi, dengan angka mortalitas sekitar 22%. Jumlah pasien gagal ginjal yang diterapi dengan dialisis dan transplantasi diprediksi terus meningkat dari 340.000 pada tahun 1999 dan mencapai 651.000 pada 2010. Tingginya morbiditas dan mortalitas ini dapat diturunkan secara signifikan jika pasien secara dini mendapat terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) (Sciner RW, 2005). Sampai saat ini ada 3 jenis terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis; peritoneal dialisis; dan transplantasi ginjal, dimana sudah lebih dari 35 tahun terapi pengganti ginjal dengan cara dialisis dan transplantasi ini dapat memperpanjang hidup ratusan dari ribuan pasien dengan PGTA (Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, 2003).

Pada akhir tahun 2004, Pirtle dkk. menyebutkan di seluruh dunia sekitar 1.783.000 orang telah menjalani pengobatan PGTA, di mana 1.371.000 orang (77%) diantaranya menjalani dialisis dan 412.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal. Laporan The United States Renal Data System (USRDS) tahun 2008 menunjukkan adanya peningkatan populasi penderita PGTA di Amerika Serikat yaitu 1.589/1.000.000 penduduk tahun 2005 menjadi 1.641/1.000.000 penduduk tahun 2006. Susalit dkk. (2009) menyebutkan di Indonesia prevalensi rate penderita PGTA yang menjalani dialisis adalah 10,2 per satu juta penduduk pada tahun 2002, 11,7 per satu juta penduduk pada tahun 2003, 13,8 per satu juta penduduk pada tahun 2004, 18,4 per satu juta penduduk pada tahun 2005, dan 23,4 per satu juta penduduk pada tahun 2006.

(19)

sangat berperan dalam patogenesis penyakit arteri perifer (PAP) pada pasien PGTA. Dijumpai bukti-bukti yang meningkat bahwa peningkatan kadar fosfat dan kalsium serum serta peningkatan nilai perkalian produk kalsium dan fosfat serum (Ca x P) dan hiperparatiroidisme sekunder berkaitan dengan PAP (Guerin A.P., London G.M., Marchais S.J, Metivier F., 2000).

Hiperfosfatemia-hipokalsemia maupun hiperfosfatemia dan hiperkalsemia, keduanya memberikan kontribusi yang cukup besar dalam morbiditas dan mortalitas PGK. Block dkk (1998), melaporkan peningkatan resiko kematian yang berkaitan dengan hiperfosfatemia pada 6407 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis regular. Dilaporkan bahwa penderita dengan kadar fosfat serum 6,5 mg/dl memperlihatkan angka kematian yang meningkat sebesar 27%.

Penyakit arteri perifer (PAP) atau penyakit oklusif arteri perifer (POAP) merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh penyempitan atau oklusi arteri yang dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke ekstremitas bagian bawah dan merupakan manifestasi aterosklerosis sistemik. PAP sering terjadi pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis reguler (Wood AJJ, 2001).

Prevalensi PAP sangat bervariasi, bergantung pada populasi mana yang diteliti. Berdasarkan HEMO study dan USRDS di Amerika Serikat, prevalensinya pada penderita yang baru menjalani hemodialisis berkisar antara 14-15%. Sedang pada penderita yang telah menjalani hemodialisis kronis, prevalensinya meningkat menjadi 25%. PAP secara substansial meningkatkan risiko morbiditas seperti ulserasi iskemik kronis, gangren dan amputasi, maupun mortalitas (O’Hare, A.M., Hsu, C.Y., Bacchetti, P., Johansen, K.L, 2001).

(20)

bahwa peningkatan kadar homosistein, lipoprotein, C-reactive protein mungkin berhubungan dengan PAP.

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, peneliti ingin membuktikan bahwa terdapat hubungan antara perkalian produk kalsium dan fosfat serum dengan penyakit arteri perifer pada pasien hemodialisis reguler.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

1.2.1. Pertanyaan Utama

“ Apakah terdapat hubungan antara perkalian produk kalsium dan fosfat serum dengan penyakit arteri perifer pada pasien hemodialisis reguler.

1.2.2. Pertanyaan Tambahan

Bagaimana frekuensi penyakit arteri perifer berdasarkan usia, jenis kelamin, riwayat diabetes atau riwayat hipertensi dan lama HD?

1.3. Hipotesa Penelitian

Dari pertanyaan penelitian di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :

Terdapat hubungan antara perkalian produk kalsium dan fosfat serum dengan penyakit arteri perifer pada pasien hemodialisis reguler.

Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

(21)

1.4.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui frekuensi penyakit arteri perifer pada pasien hemodialisis berdasarkan usia, jenis kelamin, riwayat diabetes, riwayat hipertensi, dan lama hemodialisis.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit arteri perifer dan hubungannya dengan perkalian produk kalsium dan fosfat serum sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan yang sedini mungkin.

2. Praktisi Medis

Dapat merencanakan suatu strategi pelayanan kesehatan untuk mengurangi penyakit arteri perifer.

3. Peneliti

Meningkatkan pengetahuan peneliti tentang prevalensi penyakit arteri perifer pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis reguler serta hubungannya dengan perkalian produk kalsium dan fosfat serum.

4. Peneliti lain

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, yang umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Sedangkan gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana akan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Kriteria PGK dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

a. Kelainan patologis

b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan

2. LFG<60ml/mnt/1,73m² selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

2.1.1. Epidemiologi

(23)

insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun (Suwitra, 2009).

Laporan USRDS (The United States Renal Data System) tahun 2008 menunjukkan adanya peningkatan populasi penderita PGTA di Amerika Serikat yaitu 1.589/1.000.000 penduduk tahun 2005 menjadi 1.641/1.000.000 penduduk tahun 2006. Susalit (2009) menyebutkan di Indonesia prevalensi rate penderita PGTA yang menjalani dialisis adalah 10,2 per satu juta penduduk pada tahun 2002, 11,7 per satu juta penduduk pada tahun 2003, 13,8 per satu juta penduduk pada tahun 2004, 18,4 per satu juta penduduk pada tahun 2005, dan 23,4 per satu juta penduduk pada tahun 2006.

2.1.2. Klasifikasi

PGK diklasifikasikan atas dua hal, yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2009):

LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan *) 72x kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal

Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73m²)

1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi

≥90

2 Penurunan ringan LFG 60-89

3 Penurunan moderat LFG 30-59

(24)

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.1.3. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PGK meliputi (Suwitra, 2009) a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid c. Memperlambat perburukan fungsi ginjal

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

f. Terapi pengganti ginjal

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) diperlukan pada penderita PGK stadium terminal, ketika LFG<15ml/mnt/1,73m², dimana ginjal tidak dapat mengkompensasi kebutuhan tubuh untuk mengeluarkan zat-zat sisa hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui pembuangan urin, mengatur keseimbangn asam-basa dan keseimbangan cairan serta menjaga kestabilan lingkungan dalam. Tujuan terapi pengganti ginjal untuk mempertahankan kehidupan, meningkatkan kualitas hidup sehingga penderita dapat beraktifitas seperti biasa serta mempersiapkan transplantasi ginjal apabila memungkinkan.

Terapi pengganti ginjal yang tersedia saat ini ada 2 pilihan: dialisis dan transplantasi ginjal. Ada 2 metode dialisis yaitu Hemodialisis dan Peritoneal Dialisis (Suwitra, 2009)

2.1.4. Komplikasi

(25)

elektrolit berupa hiperkalemia dan hiponatremia (Sudoyo A.W., Setiayohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, 2009)

2.2. Gangguan Mineral Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik

Penderita penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko kematian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain: gangguan kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, inflamasi, dislipidemia, dan gangguan metabolisme mineral. Salah satu diantara gangguan metabolisme mineral adalah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium.

Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang harus mendapat perhatian karena mempunyai peran yang sangat besar pada morbiditas dan mortalitas PGK. Pada PGK, akibat terhambatnya ekskresi fosfat, akan terjadi hiperfosfatemia yang secara fisikokimiawi akan mengakibatkan terjadinya hipokalsemia. Selanjutnya, hiperfosfatemia dan hipokalsemia akan merangsang peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT).

Hiperfosfatemia-hipokalsemia maupun hiperfosfatemia dan hiperkalsemia, keduanya memberikan kontribusi yang cukup besar dalam morbiditas dan mortalitas PGK. Block dkk (1998), melaporkan peningkatan resiko kematian yang berkaitan dengan hiperfosfatemia pada 6407 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis regular. Dilaporkan bahwa, penderita dengan kadar fosfat serum 6,5 mg/dl memperlihatkan angka kematian yang meningkat sebesar 27% (Jean G, Chazot C, Charra B. 2006).

2.2.1. Hiperfosfatemia pada PGK

(26)

dari ruang intraseluler. Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat, sehingga hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang masih normal. Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat pada klirens kreatinin di atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan berbagai konsekwensi yang cukup memberikan kontribusi pada mortalitas dan morbiditas PGK. Konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK adalah hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal, kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksis . (Jean G, Chazot C, Charra B. 2006).

Kalsifikasi kardiovaskuler ini disebabkan oleh perubahan fenotip pada vascular smooth muscle cell (VSMC) oleh karena peningkatan regulasi oleh faktor transkripsi. VSMC kemudian berubah menjadi osteo atau chondrocytic -like cell dan mendeposisikan protein kolagen dan non kolagen ke dalam intima atau media sehingga penumpukan kalsium dan fosfat ke dalam pembuluh matrix terjadi.

The National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative merekomendasikan untuk mengontrol kadar fosfat serum 2,5-5,5 mg/dl (Quniby WY, 2004).

2.2.2. Hipokalsemia pada PGK

(27)

Hipokalsemia umumnya terjadi pada pasien gagal ginjal karena pasien ini sering mengalami kenaikkan kadar serum fosfat. Hiperfosfatemia biasanya menyebabkan penurunan resiprokal dalam kadar serum kalsium (Cooper MS, Gittoes NJ, 2008).

2.2.3. Hiperparatiroidisme sekunder

Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang berlebihan karena rangsangan produksi yang tidak normal. Secara khusus, kelainan ini berkitan dengan gagal ginjal akut. Tiga faktor yang berperan terhadap patogenesis hiperparatiroidisme sekunder adalah, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan hipokalsitriolemia (kekurangan Calcitriol/ vitamin D Analog) (Suwitra K, 2009).

2.2.4. Peningkatan Produk Kalsium dan Fosfat

Hasil produk kalsium fosfat serum yang normal adalah <55 mg/dl. Peningkatan produk kalsium dan fosfat serum berhubungan kuat dengan resiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. Hal ini diduga berkaitan dengan kalsifikasi jaringan seperti miokard, katup jantung, arteri koroner, dan arteri perifer (London GM et al, 2003). 2.2.5. Klasifikasi Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK)

Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal-hal berikut (Suwitra K, 2009) :

1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan vitamin D.

(28)

3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.

Klasifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu atau kombinasi dari ketiga komponen diatas.

Tabel 3. Klasifikasi GMT-PGK

Tipe Laboratorium

Abnormal

Gangguan Tulang

Kalsifikasi

vaskuler atau jaringan lunak

L + - -

LT + + -

LK + - +

LTK + + +

2.2.6. Kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak

Hiperfosfatemia berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien PGK melalui terjadinya kalsifikasi jaringan lunak, terutama pada kalsifikasi kardiovaskuler. Dari otopsi dilaporkan bahwa, kalsifikasi kardiovaskuler terjadi pada hampir 60 % pasien PGK yang menjalani hemodialisis.

(29)

(peningkatan produk Ca x P), dan alkalinisasi jaringan. Pasien-pasien dengan kadar fosfat yang lebih dari 6,5 mg/dl mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit arteri koroner (termasuk infark miokard dan penyakit jantung aterosklerotik). Resiko relatif kematian akibat penyakit jantung koroner 52 % lebih tinggi pada pasien-pasien dengan kadar fosfat > 6,5 mg/dl dibandingkan dengan kadar fosfat < 6,5 mg/dl. Prediktor yang paling nyata dalam terjadinya kalsifikasi kardiak ini adalah tingginya perkalian produk Ca x P. Pasien-pasien dengan dialisis reguler yang mempunyai perkalian produk Ca x P lebih dari 55 mg²/dL² mempunyai prevalensi kalsifikasi katup mitral lebih tinggi bermakna dibandingkan normal. KDIGO menetapkan sasaran perkalian produk Ca x P kurang dari 55 mg² / dl².

Selain di jaringan kardiovaskuler, hiperfosfatemia juga dapat mengakibatkan kalsifikasi pada jaringan ikat lunak lain seperti otak, subkutan, periartikuler, paru dan jaringan interstitial ginjal (Kettler M, Floege J, 2006).

2.3. Penyakit Arteri Perifer

Penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan suatu kumpulan kelainan yang ditandai oleh penyempitan atau oklusi arteri yang dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke ekstremitas bawah. PAP yang disebabkan oleh oklusi aterosklerotik pada arteri ekstremitas bawah merupakan manifestasi yang penting dari aterosklerosis sistemik dimana derajat berat PAP berhubungan erat dengan resiko terjadinya infark miokard akut, stroke iskemik dan kematian akibat penyakit vaskular. Lumen arteri pada ekstremitas bawah menjadi tersumbat secara progresif oleh plak atau lesi atherosklerotik, terutama pada pembuluh darah arteri perifer. Arteri yang umumnya terkena, berdasarkan kejadiannya adalah arteri femoralis, poplitea, dan tibialis (Creager MA, Dzau VJ, 2006).

(30)

merupakan suatu prediktor adanya kejadian kardiovaskular seperti miokard infark atau stroke dan kelainan vaskuler berhubungan kematian (Stoyioglau A, Jaff MR, 2004)

2.3.1 Epidemiologi

Pada penduduk Amerika, penyakit arteri perifer hampir mencapai 8-12 juta orang dan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Di Amerika Serikat terdapat 4,3 % individu usia di atas 40 tahun dan 14,5 % di atas 70 tahun yang mendapat PAP. Studi epidemiologi mendapatkan angka prevalensi berkisar 1,6-12%, sedangkan beberapa studi lain mendeteksi penyakit tersebut dengan tes noninvasif mendapatkan prevalensi sebesar 3,8-33 % (Norgren L et al, 2007)

Prevalensi PAP meningkat tajam sesuai dengan pertambahan usia, dari 3 % pada pasien <60 tahun hingga 20 % pada pasien >75 tahun. Pada Framingham Heart Study didapati usia ≥65 tahun meningkatkan resiko PAP. Meskipun PAP didapati juga pada usia ≤50 tahun, tetapi jumlah kasusnya sangat kecil.

Prevalensi PAP sangat bervariasi, bergantung pada populasi mana yang diteliti. Di Amerika Serikat, prevalensinya pada penderita yang baru menjalani hemodialisis berkisar antara 14-15%. Berdasarkan HEMO study dan USRDS, pada penderita yang menjalani hemodialisis kronis, prevalensinya meningkat menjadi 25% (O’hare et al, 2002).

2.3.2. Faktor Resiko

Menurut Penelitian Framingham Heart Study, Cardiovascular Health Study, PAD Awareness, Risk and Treatment: New Resources for Survival (PARTNERS)

program, NHANES dan Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study,

menyatakan bahawa faktor resiko utama PAP yaitu peningkatan usia, merokok, diabetes melitus, dislipidemia dan hipertensi.

(31)

Prevalensi PAP meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada Framingham Heart Study mendapati peningkatan resiko PAP terjadi pada usia ≥65 tahun. NHANES mendapatkan hubungan yang kuat antara bertambahnya usia (≥70 tahun) dan prevalensi PAP dimana pada usia 40 tahun prevalensinya hanya 4,3% dibandingkan dengan usia 70 tahun atau lebih menjadi 14,5%.

Criqui dkk melaporkan bahwa prevalensi PAP (dengan ABI normal) 2-3 % pada individu dengan usia ≤ 50 tahun dibanding usia 75 tahun atau lebih yang menjadi 20%. PARTNERS program mendapatkan prevalensinya pada individu yang berusia di atas 70 tahun adalah 29%.

b. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor resiko yang sangat penting terjadi PAP dan komplikasinya : intermitten claudicatio dan critical limb ischemia. Merokok meningkatkan resiko terjadinya PAP 4 kali lipat. Jumlah dan lamanya merokok berhubungan secara langsung dengan progresifitas PAP (Meijer WT et al, 2007). Peranannya adalah efek aterogenik dari rokok. Gabungan aktivasi dari sistem simpatetik, efek vasokonstriksi, oksidasi dari LDL kolesterol, penghambatan pembebasan dari plasminogen aktivator dari endothelium, peningkatan kadar fibrinogen, peningkatan aktivitas trombosit, peningkatan ekspresi dari faktor jaringan, dan disfungsi endotel merupakan efek aterogenik dari rokok (Asgeirsdottir, L.P., Agnarssonv, U., Jonsson, G.S., 2001).

Perbandingan merokok dan tidak merokok pada PAP didapati dua kali lebih sering untuk dilakuan amputasi dan terjadi critical limb ischemia pada yang merokok. Hubungan merokok dan PAP dua kali lebih kuat dibandingkan antara merokok dan penyakit jantung koroner.

c. Diabetes Melitus

(32)

Pada Framingham heart study, didapati 20% pasien PAP yang simptomatik menderita diabetes. Diagnosa PAP dengan menggunakan ABI oleh NHANES mendapati 26% menderita diabetes, sementara Edinburgh Artery Study yang menggunakan kuesioner WHO atau nilai ABI <0,90 mendapati prevalensi PAP lebih tinggi pada penderita diabetes (20,6 %) berbanding pada kadar glukosa yang normal (12,5%).

Pada pasien diabetes, prevalensi PAP berhubungan dengan usia dan lamanya menderita diabetes. Tingkat keparahan diabetes berperan penting dalam terjadi PAP. Terdapat 28 % peningkatan resiko PAP pada setiap peningkatan HbA1C dan lamanya menderita hiperglikemi (Bartholomew JR, Olin JW, 2006) .

Penyakit oklusi pada arteri tibialis mempunyai hubungan yang sangat erat dengan diabetes. Mikroangiopati atau neuropati lebih sering dialami oleh pasien diabetes dengan PAP yang menyebabkan gangguan penyembuhan luka. Pasien PAP dengan diabetes mempunyai resiko tinggi terjadi ulus iskemik dan gangren.

d. Dislipidemia

Studi PARTNERS menemukan prevalensi PAP meningkat 77% pada pasien dislipidemia. Menurut Framingham Heart Study, terjadi peningkatan dua kali lipat pada intermitten claudication apabila terjadi peningkatan kolesterol total.

Bentuk dislipidemia paling sering pada pasien PAP adalah kombinasi penurunan HDL kolesterol dengan peningkatan trigliserida yang sering didapati pada pasien sindroma metabolik dan diabetes. Pada Cardiovascular Health study keduanya didapati berhubungan dengan penurunan nilai ABI. ARIC study dan Edinburgh Artery Study pada pasien diabetes didapati hanya peningkatan trigliserida yang berhubungan dengan PAP (Bartholomew JR, Olin JW, 2006).

e. Hipertensi

(33)

dengan nilai ABI kurang dari 0,90 menghidap tekanan darah tinggi. Peningkatan 2,5-4 kali lipat resiko klaudikasio intermiten pada pria dan wanita dengan hipertensi diperoleh dari Framingham Study. Pada Systolic Hypertension in Elderly (SHEP) melaporkan 25,5 % partisipan dengan nilai ABI <0,90.

The Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure menyatakan bahwa PAP merupakan faktor ekuivalen terjadi penyakit jantung koroner.

Pasien dengan hipertensi dan PAP mempunyai resiko yang tinggi terjadi strok dan miokard infark.

f. Lama HD

Prevalensi PAP sangat bervariasi, bergantung pada populasi mana yang diteliti. Berdasarkan HEMO study dan USRDS di Amerika Serikat, prevalensinya pada penderita yang baru menjalani hemodialisis berkisar antara 14-15%. Sedang pada penderita yang menjalani telah hemodialisis kronis, prevalensinya meningkat menjadi 25%.

2.3.3. Patofisiologi

Aterosklerosis merupakan proses kompleks yang melibatkan disfungsi endotel, gangguan lipid, aktivasi platlet, trombosis, stres oksidatif, aktivasi otot polos vaskuler dan faktor genetik.

Aterosklerosis sering terjadi pada arteri bifurkatio dan cabangnya dimana terjadi gangguan terhadap mekanisme ateroproteksi endogen yang menghasilkan efek gangguan aliran pada sel endotel. Peningkatan usia, diabetes melitus, merokok, peningkatan kolesterol total dan low density lipoprotein (LDL) dan hipertensi merupakan faktor resiko yang berperan penting dalam proses inisiasi dan aselerasi aterosklerosis.

(34)

dari sel otot polos, monosit, makrofag dan sel T dan B. Atero fibroproliferatif berasal dari lapisan lemak yang terdiri dari banyaknya sel otot polos yang berisi lemak. Akumulasi sel yang membuat lapisan lemak dan atero proliferatif menghasilkan lesi tahap lanjutan. Lesi tahap lanjut kaya dengan sel yang terdiri dari sel dinding vaskuler intrinsik (endotel dan otot polos) dan sel-sel inflamasi (monosit, makrofag dan T limposit).

Pembentukan aterosklerosis yang dapat menyebabkan peningkatan ukuran pembuluh darah adalah proses awal dari kompensasi arteri. Stenosis dan sindroma iskemik kronis akan terjadi apabila lesi tahap lanjut menggangu lumen sehingga akhirnya aliran darah menjadi terbatas.

Kejadian arteri akut terjadi jika adanya sumbatan fibrous yang menggangu; hasilnya terjadi pembukaan prothrombotic necrotic lipid core dan jaringan subendotel yang memudahkan pembentukan trombus dan terjadi oklusi aliran darah (Bartholomew JR, Olin JW, 2006).

2.3.4. Klasifikasi

Pada terminologi klinis maka PAP dapat dibagi menjadi 4 kelas menurut Fontaine (tabel 3) :

(35)

Klasifikasi PAP menurut Fontaine di atas praktis digunakan, namun belakangan kurang sering digunakan terutama bila dihubungkan ke aspek kualitas hidup oleh karena sering dijumpainya salah penempatan tingkat misalnya bisa saja penderita tidak dijumpai klaudikasio intermiten dan karena tidak sering olah raga penderita ditempatkan pada kelas asymptomatic, padahal kenyataanya bisa penderita sudah pada tingkat IIb. Klasifikasi yang lain adalah klasifikasi Rutherford (Tabel 4). Klasifikasi ini membagi PAP menjadi empat derajat dan 6 kategori, di mana masing-masing derajat satu kategori kecuali derajat I dibagi menjadi 3 kategori.

Klasifikasi ini sangat berguna pada studi epidemiologi dalam mengidentifikasi PAP baik yang simptomatik maupun yang tidak simptomatik.

(36)

2.3.5. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik dari PAP bisa: tanpa gejala, ataupun bergejala seperti klaudikasio intermiten, dan rasa sakit pada ekstremitas bawah waktu istirahat. Lebih dari 50% kasus PAP adalah tanpa gejala, baik pada waktu olahraga ataupun istirahat. Klaudikasio intermiten bisa sebagai manifestasi tunggal dari PAP yang bergejala awal (Bart E et al, 2005).

PAP pada aortoiliaka bisa bermanifestasi sebagai rasa sakit pada paha dan pinggul, sedangkan PAP pada femoral ataupun pada poplitea bermanifestasi berupa sakit di betis. Gejala biasanya dicetuskan oleh berjalan dengan jarak < 200 meter dan manifestasinya menghilang setelah istirahat. Peredaran darah kolateral bisa berkembang dan ini akan mengurangi gejala, namun bila gagal dalam mengontrol faktor presipitasi ataupun faktor resiko, maka PAP ini akan makin berat. Rasa sakit pada PAP tidak dijumpai pada perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya. Keadaan yang lebih menghawatirkan adalah rasa sakit waktu istirahat

(ischemic rest pain). Keadaan ini dijumpai bila PAP dsertai keadaan yang

menimbulkan curah jantung yang kurang. Pada keadaan ini rasa sakit akan hilang bila Grade Kategori Klinis

0

Rasa sakit waktu istirahat kerana iskemia Hilang sebagian kecil jaringan

(37)

ekstremitas diposisikan tergantung (menjuntai) sehingga perfusi akan membaik dengan gravitasi.

Pemeriksaan fisik dari gangguan pembuluh darah disebut sangat kritis bila ditemukan: tanda-ptanda klasik ″5 P’s″: yaitu pulselessness, paralysis, paraesthesia, pain, dan pallor. Kita sangkakan sudah terjadi iskemia kaki yang sangat kritis dan keharusan untuk dilakukan evaluasi dan konsultasi bila dijumpai paralysis dan paraesthasia. Desah dari jantung yang tak normal juga dinilai. Semua pembuluh darah perifer termasuk carotid, abdominal, dan femoral diperiksa untuk kualitas pols dan adanya bruit. Dikatakan pada a. dorsalis pedis bisa tidak dijumpai adanya pols pada 5-8% subjek, tapi a.tibial posterior ada. Keduanya bisa tidak dijumpai pada 0.5% pasien. Kulit bisa atropi, dan nampak bersinar, hal ini bisa menunjukkan tanda perubahan pertumbuhan, termasuk alopesia; kering, scaly, atau kulit erythematous perubahan pigmentasi. “Fishnet pattern” (livedo reticularis), pulselessness, numbness atau cyanosis adalah manifestasi PAP lanjut. Penyembuhan yang sangat sukar juga dari ulkus pada ekstremitas bisa kita sangkakan kemungkinan PAP (Mc Gee S, Boyko E, 1998).

2.3.6 Penegakan Diagnosis dari Penyakit Arteri Perifer (PAP)

Komponen pertama dari penilaian PAP adalah anamnesis (Meijer WT et al. 2007). Anamnesis ditujukan untuk mengetahui keberadaan gejala seperti adanya rasa sakit pada kaki waktu berjalan, apakah rasa sakit muncul pada perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya, demikian juga untuk mengetahui lokasi rasa sakit dan apakah rasa sakit ini masih dijumpai setelah istirahat. Penyebab alternatif nyeri tungkai saat berjalan banyak, termasuk stenosis spinal, artritis, saraf yang tertekan, sindrom kompartemen kronis, sehingga hal-hal ini harus disingkirkan (Meijer WT et al, 2007).

(38)

tidak adanya bulu kaki, distrophia kuku ibu jari kaki dan rasa dingin pada tungkai bawah, kulit yang kering, fisura pada kulit, hal-hal ini merupakan tanda insufisiensi vaskular. Di antara jari- jari kaki harus diamati adanya fissura, ulserasi dan infeksi (Budiono B, 2006).

Palpasi denyut nadi merupakan komponen rutin yang harus dinilai. Penilaian meliputi arteri femoralis, poplitea dan dorsalis pedis. Pulsasi dicatat dengan angka 0-2, dimana tidak ada pulsasi, berkurang/lemah dan normal. Lemah atau tidak adanya pulsasi merupakan indikasi PAP. Denyut arteri dorsalis pedis akan menghilang pada 8,1% populasi normal, sedangkan arteri tibialis posterior pada 2,0% populasi normal. Diduga kuat adanya penyakit vaskular apabila tidak dijumpai kedua denyut nadi pada kaki. Khan dkk menyimpulkan pemeriksaan fisik haruslah dibarengi dengan tes diagnostik untuk memastikan adanya PAP (Lysen S, Joseph D, 2006)

Diagnostik untuk menegakkan penyakit arteri perifer haruslah akurat, murah, diterima secara luas, mudah, dan non-invasif. Terdapat beberapa teknik pemeriksaan yang tersedia untuk mendeteksi PAP yaitu menilai adanya stenosis, tingkat keparahan, evaluasi pasien terhadap progresivitas penyakit atau respon dari terapi.

Variasi untuk diagnosa dan evaluasi penyakit arteri perifer : a. Ankle Brachial Index (ABI)

(39)

Interpretasi nilai ABI menurut:

American College of Cardiology / American Diabetes Association

(ACC/ADA) :

> 1,3 : dugaan kalsifikasi arteri 0,91 – 1,3 : normal

0,9 – 0,8 : ringan 0,79- 0,5 : sedang < 0,5 : berat Hiatt dkk :

>1,30 : dugaan kalsifikasi arteri 0,91 – 1,30 : normal

(40)

Gambar 1. Pengukuran dan interpretasi ankle-brachial index (ABI). DP =

dorsalis pedis; PT = posterior tibial. (Hiatt WR 2001)

ABI dapat mendeteksi lesi stenosis paling sedikit 50% pada tungkai. Pembuluh darah yang kaku bila didapati adanya kalsifikasi arteri. Hal ini sering dijumpai pada pasien diabetes, orang tua, gagal ginjal kronik dengan HD reguler dan pasien yang mendapat terapi steroid kronis (Regelmen S, Jaff M, 2006).

(41)

• Individu yang diduga gangguan arteri perifer karena adanya gejala exertional leg atau luka yang tidak sembuh.

• Usia ≥ 70 tahun

• Usia 50 -70 tahun yang mempunyai riwayat merokok atau DM

Sebagai tambahan, ADA menyarankan skrining ABI dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor resiko penyakit arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, lamanya menderita DM >10tahun.

b. Segmental Limb Pressure dan Pulse Volume Recording

Segmental limb pressure dapat menilai adanya PAP serta lokasinya yang dicatat dengan alat dopler dari plaethysmographic cuffs yang ditempatkan pada arteri brakialis dan daerah tungkai bawah termasuk di atas paha, di bawah lutut dan pergelangan kaki. Test ini mempunyai batasan yang sama dengan ABI tentang adanya pembuluh darah yang kaku, dapat diukur tersendiri, tetapi umumnya digunakan bersamaan pulse volume recording, dimana kombinasi keduanya mempunyai akurasi diagnostik 97%. Pulse volume recording digunakan dengan sistem cuffs, dimana pneumo plaethysmograph mendeteksi perubahan volume pada tungkai melalui siklus jantung. Perubahan kontur nadi dan amplitudo juga dapat dianalisis. Gelombang normal bila kenaikannya tinggi, puncak sistolik yang menajam, pulsasi yang menyempit, adanya dicrotic notch sampai dasar. Gambaran gelombang yang mulai landai, puncak yang melingkar, pulsasi yang melebar, dicrotic

notch yang menghilang dan melengkung ke bawah merupakan indikasi adanya

penyakit arteri perifer (Regelman S, Jaff M, 2006). c. Exercise Stress Testing

(42)

d. Duplex Ultrasonography

Alat ini sangat berguna dalam menilai lokasi penyakit dan membedakan adanya lesi stenosis dan oklusi dalam mendeteksi PAP. Metode ini juga sebagai persiapan untuk pasien yang akan dilakukan tindakan/intervensi. Duplex Ultrasonography merupakan kombinasi analisa gelombang doppler dan kecepatan aliran doppler (Sheehan P, Kikano G, 2005).

e. Kuesioner WHO

Kuesioner di bawah ini dikenal sebagai Kuesioner Rose yang dikenal juga sebagai kuesioner WHO dimana sangat berguna dalam menidentifikasi penyakit arteri perifer . Klaudikasio intermitten dianggap positip bila semua jawaban sesuai dengan yang disediakan.

Tabel 6. Kuesioner Rose untuk Klaudikasio Intermitten (Lamina C et al, 2005)

Apa pernah merasa sakit pada kaki ketika berjalan?

Apa rasa sakit mulai ketika berdiri atau duduk?

Apa rasa sakitnya pada satu betis atau keduanya?

Apakah rasa sakitnya dialami ketika berjalan posisi menaik/buru-buru?

Apakah rasa sakit dialami ketika berjalan pada permukaan yang datar?

(43)

7

8

berjalan?

Apakah yang dilakukan ketika mendapatkan rasa sakit ini ketika berjalan?

Apakah yang terjadi pada rasa sakit jika berhenti berjalan dan hanya berdiri?

Stop atau jalan lebih lambat

Membaik kurang lebih 10 mnt.

Selain kuesioner Rose, dikenal kuesioner Edinburgh. Isi kuesioner sama namun ditambahkan gambar atau skets pada responden di dalam melokalisasi daerah yang sakit (Trautner C, Haastert B, Giani G, Berger M, 2002). Penilaian IC dikatakan positip bila ditemukan semua jawaban positip.

Tabel 7. Kuesioner Edinburgh untuk Kuesioner Klaudikasio

Karakteristik Jawaban yang

diharapkan bila diagnosis (+) 1 Apakah dirasakan sakit/kram pada kaki ketika

berjalan?

(Pertanyaan berlanjut ke 2 dst bila jawab ya) Ya

2 Apakah rasa sakit/kram dirasakan ketika berdiri/duduk?

Tidak

3 Apakah rasa sakit/kram dirasakan ketika berjalan mendaki?

Ya

4 Apakah sakit/kram dirasakan ketika berjalan dengan langkah teratur?

Tidak = grade 1 Ya = grade 2 5 Bagaimanakah rasa sakit/kramnya bila hanya

berdiri posisi tegak?

-berlanjut >10 mnt

-hilang dalam 10 mnt/kurang

(44)

kurang 6 Dimana dijumpai rasa sakit/kram? Mohon di

(45)

BAB 3

tidak adekuat aktivitas 1� hydroxylase

hiperfosfatemia

Perubahan fenotip pada Vascular Smooth Muscle Cell (VSMC) oleh karena upregulation oleh faktor transkripsi

(46)

3.2. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional menjelaskan cara pengukuran dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel penelitian ini terdiri dari :

 Variabel terikat yaitu penyakit arteri perifer -defenisi : sesuai kriteria ACC/ADA

-cara ukur : Ankle Brachial Index (ABI) -alat ukur : Va-Sera VS-100

-skala ukur: rasio -hasil ukur :

• > 1,3 : dugaan kalsifikasi arteri Produk Kalsium x Fosfat

Penyakit Arteri Perifer

Jenis Kelamin Usia

DM Hipertensi

Lama HD Variabel bebas

Variabel terikat

(47)

• 0,91 – 1,3 : normal Grade Kategori Klinis

0

Klaudikasi ringan : jika terdapat <3 jawaban yang positip

Klaudikasi sedang : jika terdapat 3-5

jawaban yang positip Klaudikasi berat : jika terdapat >5 jawaban yang positip

Rasa sakit waktu istirahat kerana iskemia Hilang sebagian kecil jaringan

(48)

 Kalsium

-defenisi : konsentrasi dalam serum -cara ukur : data rekam medik

-alat ukur : kuesioner -skala ukur : numerik -hasil ukur : mg/dL

 Fosfat

-defenisi : konsentrasi dalam serum -cara ukur : data rekam medik -alat ukur : kuesioner

-skala ukur : numerik -hasil ukur : mg/dL

 Produk kalsium x fosfat -defenisi : konsentrasi dalam serum -cara ukur : perkalian antara Ca dan P -alat ukur : kuesioner

-skala ukur : numerik -hasil ukur : mg²/dL²

 Varibel perancu yaitu :

 Jenis kelamin

-defenisi : perbedaan gender pasien -cara ukur : observasi

(49)

2. Perempuan

 Usia

-defenisi : dihitung dari tanggal lahir -cara ukur : wawancara

-alat ukur : kuesioner -skala ukur : nominal -hasil ukur : 1. <40 thn 2. 40-60 thn 3. >60 thn

 DM

-defenisi : penyakit yang menyertai pasien HD -cara ukur : rekam medik

-alat ukur : kriteria IRR -skala ukur : nominal -hasil ukur : 1. Ya 2. Tidak

 Hipertensi

-defenisi : penyakit yang menyertai pasien HD -cara ukur : rekam medik

(50)

 Lama HD

-defenisi : lama pasien menjalani HD sejak HD 1x -cara ukur : rekam medik

-alat ukur : kuesioner -skala ukur : nominal -hasil ukur : 1. <60 bln 2. >60 bln

(51)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Pada rancangan ini, pengukuran variabel-variabelnya hanya 1 kali pada waktu bersamaan (Zulfikri Mukhtar, 2011).

4.2.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Klinik Spesialis Ginjal Hipertensi (KSGH) Rasyida, Medan. Pemilihan tempat ini berdasarkan pertimbangan bahwa KSGH Rasyida sebagai pusat pelayanan HD rujukan dan mempunyai data rekam medik yang lengkap. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu dari bulan September 2013 hingga bulan Nopember 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

1. Populasi Target

Populasi target merupakan pasien HD reguler. 2.Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien HD reguler yang menjalani HD di KSGH Rasyida.

4.3.2. Sampel dan Teknik Pemilihan Sampel 1. Sampel

(52)

2.Teknik pemilihan Sampel

Teknik pemilihan sampel pada penelitian adalah total sampling yaitu melibatkan semua sampel yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.

4.3.3. Kriteria penerimaan dan penolakan 1.Kriteria penerimaan

Kriteria penerimaan adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel.Kriteria penerimaan dalam penelitian ini adalah :

a. Pasien PGK baik laki-laki maupun perempuan yang menjalani HD secara teratur 2- 3 kali seminggu.

b. Bersedia menjalani pemeriksaan ABI.

c. Memiliki data kalsium dan fosfat yang lengkap. d. Bersedia menandatangani informed consent.

2.Kriteria Penolakan

Kriteria penolakan merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Kriteria penolakan dalam penelitian ini adalah pasien yang tidak bersedia mengikuti penelitian ini dan tidak bersedia menandatangani informed consent.

4.3.4. Besar Sampel

(53)

4.4. Kerangka Penelitian

Persetujuan komite etika penelitian

Identifikasi subjek penelitian Kriteria

penerimaan

Kriteria penolakan

Memenuhi kriteria

Anamnesa dan pemeriksaan fisik

Pemeriksaan ABI

Data demografi dan data klinis

Produk kalsium fosfat

Pengolahan data

Analisa data

Nilai ABI Persiapan penelitian

Rekam medik

4.5. ProsedurKerja

4.5.1. Identifikasi Subjek Penelitian

(54)

4.5.2. Pengumpulan Data a. Anamnesa dan rekam medik

Setelah dinyatakan layak menjadi subjek penelitian, peneliti mulai mengumpulkan data dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan rekam medik untuk mendapatkan beberapa data demografi yaitu jenis kelamin, tanggal lahir, usia menjalani HD pertama kali, penyebab utama PGK, serta data klinis seperti gejala dan tanda PAP, lama HD dan nilai kalsium dan fosfat serum.

b. Pengukuran ABI

Pengukuran ankle brachial index dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan alat vaskuler dopler ultrasound yaitu Va-Sera VS100 buatan Taiwan dan manset spigmomanometer Riester buatan Germany, dengan cara:

-anjurkan pasien berbaring terlentang, posisi kaki sama tinggi dengan posisi jantung. -pasang manset tensimeter di lengan atas dan tempatkan probe vascular Doppler ultrasound di atas arteri brachialis dengan sudut 45 derajat.

-palpasi nadi radialis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg di atas tekanan darah sistolik palpasi.

-Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe. Hasilnya merupakan tekanan darah sistolik brakialis.

-Ulangi pada lengan yang lain.

-Pasang manset tensimeter di pergelangan kaki dan tempatkan probe vascular Doppler ultrasound di atas arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis dengan sudut 45 derajat.

-Palpasi nadi dorsalis pedis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg di atas tekanan darah sistolik palpasi.

- Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe. Hasilnya merupakan tekanan darah sistolik ankle.

(55)

4.6. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahap sebagai berikut:

4.6.1. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. 4.6.2. Coding

Data yang telah diperiksa ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.

4.6.3. Entry

Data yang telah diedit dan diberi kode dimasukkan ke dalam program komputer.

4.7.Analisis Data

Data pada penelitian ini dianalisis menggunakan program SPSS. Analisis data dilakukan dalam 2 tahap, yaitu univariat dan bivariat .

4.7.1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan karakteristik masing masing variabel yang diteliti baik variabel dependen maupun variabel independen yang

dapat dilihat dari ukuran sentral (mean, median atau proporsi) dan ukuran variasi sebarannya (standar deviasi atau kisaran). Data akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

4.7.2. Analisis Bivariat

(56)

4.8. Etika Penelitian

(57)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi (KSGH) Rasyida yang beralamat Jl Mayjen DI Panjaitan No. 144, Kelurahan Sei Sikambing, Kecamatan Petisah, Medan, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan

pada bulan September hingga bulan Nopember 2013.

5.2. Karakteristik Pasien PGTA yang Menjalani Hemodialisis reguler

(58)

Tabel 8. Karakteristik pasien PGTA yang menjalani hemodialisis reguler

Karakteristik Pasien (n = 113)

Jenis kelamin Laki laki Perempuan

71 (62.83%) 42 (37.17%) Riwayat diabetes

Ya Tidak

19 (16.81) 94 (83.19) Riwayat hipertensi

Ya Tidak

87 (77.00%) 26 (23.00%)

Umur 54,57 ± 9,73 tahun

Kalsium 8,9230 ± 2,21 mg/dl

Fosfor 5,34 ± 2,20 mg/dl

Produk kalsium fosfat 47,55 ± 21,38 mg²/dl²

ABI 0,897 ± 0,178

(59)

Tabel 9. Karakteristik Pasien PGTA yang Menjalani Hemodialisis

Reguler berdasarkan Umur

Umur Jumlah Persentase

≤50 thn 37 32,7%

>50 thn 76 67,3%

Jumlah 113 100 %

Tabel 9 menunjukkan karakteristik pasien PGTA yang menjalani hemodialisis reguler berdasarkan umur. Dari data yang didapatkan, kelompok umur dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kelompok umur ≤50 tahun sebanyak 37 orang (32,7%), kemudian kelompok umur >50 tahun sebanyak 76 orang (67,3%).

Pada pasien PGTA dengan hemodialisis reguler ditemukan kasus PAP yang dinyatakan dengan ABI tidak normal (<0,9) sebanyak 46.9% (tabel 10). Manifestasi klinis PAP yang terbanyak adalah intermittent claudication (56.6%) seperti rasa nyeri, kebas dan kesemutan serta kelelahan pada kedua kaki. Sedangkan sisanya dengan manifestasi klinis ulkus (tabel 11).

Tabel 10. Hasil pemeriksaan ABI pada pasien PGTA dengan Hemodialisis Reguler

ABI Jumlah Persentase

Normal Tidak normal

60 53

53,1% 46,9%

(60)

Tabel 11. Manifestasi Klinis PAP pada Pasien PGTA dengan Hemodialisis Reguler

Manifestasi klinis PAP Jumlah Persentase

Normal 47 41,6%

Intermittent Claudication 64 56.6%

Ulkus 2 1,8%

Jumlah 113 100 %

Hasil perkalian produk kalsium dan fosfat serum yang normal (< 55 mg/dl) ditemukan pada 77 pasien (68,1%). Sedangkan sisanya sebanyak 36 pasien (31,9%) memiliki perkalian produk Ca x P serum yang tinggi (> 55 mg/dl).

(61)

Tabel 12. Karakteristik Pasien PGTA yang Menjalani Hemodialisis

Reguler berdasarkan Lama HD

Lama HD Jumlah Persentase

≤60 bln 95 84,1 %

> 60 bln 18 15,9 %

Jumlah 113 100 %

Tabel 12. menunjukkan karakteristik pasien PGTA yang menjalani hemodialisis reguler berdasarkan lama HD. Dari data yang didapatkan, kelompok lama HD dibagi menjadi 2 kategori, yaitu kelompok lama HD ≤ 60 bulan sebanyak 95 orang (84,1%), kemudian kelompok lama HD > 60 bulan sebanyak 18 orang (15,9%).

5.3 Analisa Bivariat

5.3.1. Hubungan antara Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil uji bivariat chi square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perkalian produk kalsium dan fosfat (CaxP) dengan jenis kelamin (P=0.499).

Tabel 13. Hubungan Perkalian Produk Kalsium Fosfat Serum dengan

(62)

Perempuan 15 41,7 27 35,7

Total 36 100 77 100

5.3.2. Hubungan antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Riwayat DM

Berdasarkan hasil uji bivariat chi square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perkalian produk kalsium dan fosfat dengan riwayat DM (P>0.05). Tabel 14. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat Serum dengan Riwayat DM

Riwayat

5.3.3. Hubungan antara Perkalian Produk Kalsium Fosfat Serum dengan Riwayat Hipertensi

Berdasarkan hasil uji bivariat chi square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perkalian produk kalsium dan fosfat dengan riwayat hipertensi (P=0,115).

(63)

n % n %

Positif 31 86,1 56 72,7 0,115

Negatif 5 13,9 21 27,3

Total 36 100 77 100

5.3.4. Hubungan antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Usia

Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan hasil bahwa usia juga tidak berhubungan dengan perkalian produk kalsium fosfat (P=0,927).

Tabel 16. Hubungan antara Produk Kalsium Fosfat dengan Usia

Usia

5.3.5. Hubungan antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Lama HD

Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan hasil bahwa lama HD tidak berhubungan dengan perkalian produk kalsium dan fosfat (P=0,685).

Tabel 17. Hubungan antara Perkalian Produk Kalsium dan Fosfat Serum dengan Lama HD

Lama HD CaxP abnormal (> 55 mg/dl)

CaxP normal

(64)

n % n %

≤ 60 bln 31 86,1 64 83,1 0,685 >60 bln 5 13,9 13 16,9

Total 36 100 77 100

5.3.6. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil uji bivariat chi square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara produk PAP dengan jenis kelamin (P>0,05). Dari tabel di bawah, terlihat bahwa laki-laki setengah kali atau dengan kata yang lain perempuan 2 kali beresiko mengalami PAP dibandingkan laki-laki.

Tabel 18. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Jenis Kelamin

Jenis

5.3.7. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Riwayat DM Berdasarkan hasil uji bivariat chi square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara produk PAP dengan riwayat DM (P>0,05).

(65)

Riwayat

5.3.8. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Riwayat Hipertensi Berdasarkan hasil uji bivariat chi square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara produk PAP dengan riwayat hipertensi (P=0,593)

Tabel 20. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Riwayat Hipertensi

Riwayat

5.3.9. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Usia

Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan hasil bahwa faktor usia tidak berhubungan dengan kejadian PAP (P=0,178).

Tabel 21. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Usia

Usia ABI abnormal (PAP)

ABI normal

(66)

n % n %

≤ 50 thn 14 26,4 23 38,3 0,178

>50 thn 39 73.6 37 61,7

Total 53 100 60 100

5.3.10. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Lama HD

Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan hasil bahwa faktor lama HD dengan PAP tidak bermakna (P>0,05).

Tabel 22. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Lama HD

Lama HD

5.3.11. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Perkalian Produk

Kalsium dan Fosfat Serum

(67)

Tabel 23. Hubungan antara Penyakit Arteri Perifer dengan Produk Kalsium Fosfat

CaxP

ABI abnormal (PAP)

ABI normal

(tidak PAP) Nilai P OR 95%CI

n % n %

Abnormal (>55 mg/dl)

36 67,9 0 0

<0,001 4,53(2,98-6,90) Normal (<55

mg/dl)

17 32,1 60 100

Total 53 100 60 100

Gambar

Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal
Tabel 3. Klasifikasi GMT-PGK
Tabel 5. Klasifikasi PAP menurut Rutherford
Gambar 1. Pengukuran dan interpretasi  ankle-brachial index (ABI). DP =
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara kadar HbA1c yang tinggi dengan kejadian Penyakit

Tujuan: Untuk menentukan korelasi antara kalsium, fosfor dan produk kalsium fosfor dengan skor pruritus pada pasien hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik

Beberapa penelitian, termasuk DOPPS, menyebutkan bahwa pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik, didapatkan kadar kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, yang selanjutnya

Kalsium dan fosfor adalah zat yang terdapat dalam darah, yang dapat diperiksa kadarnya atau nilainya, sedangkan produk kalsium fosfor adalah hasil dari penghitungan