• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.5. Faktor resiko prolapsus organ pelvis

Banyak hal dalam kehidupan seorang wanita ternyata memberikan sumbangsih terhadap terjadinya prolapsus organ pelvis ini.

Tingkatan POPQ cenderung naik sesuai dengan pertambahan usia. Swift (2000) mendapatkan POPQ derajat I atau II kebanyakan terjadi pada wanita usia muda , sedangkan POPQ tingkat III atau IV sebanyak 2,6 % ternyata terjadi kebanyakan pada usia > 40 tahun dan prevalensinya meningkat menjadi 21% pada wanita berusia > 70 tahun.5

Paritas berkaitan erat dengan peningkatan resiko untuk prolapsus organ pelvis. Hendrix dkk.(2002) dalam penelitian WHI (Women’s Health Initiatives) , mendapatkan persalinan pertama memberikan odds ratio 2,13 untuk kejadian prolapsus uteri dan penambahan OR 1,10 untuk setiap persalinan berikutnya. Namun demikian resiko ini tidak bertambah lagi setelah persalinan ≥ 5.15

Data penelitian epidemiologi Oxford Family Planning Association mendapatkan paritas sebagai faktor resiko terbesar untuk prolapsus organ pelvis dengan adjusted risk ratio 10,85.15

Tegerstedt (2006) dalam penelitiannya terhadap 453 wanita dengan prolapsus organ pelvis simptomatik menemukan bahwa wanita yang melahirkan 4 anak mempunyai OR 3.3 dibanding wanita beranak satu.13

Sze dkk (2002) menilai terjadinya POP pada 94 wanita nulipara pada kehamilan 36 minggu dan 6 minggu paska persalinan (POP yang terdeteksi dianggap terjadi saat proses melahirkan) . Sze menunjukkan bahwa seksio sesarea elektif hanya berpengaruh sebagian dalam mencegah terjadinya prolapsus. Seksio sesarea yang didahului keadaan inpartu dan persalinan per vaginam ternyata memiliki efek sama terhadap pelvic support seorang wanita. Sze mengindikasikan bahwa prolapsus terjadi pada kala I persalinan , dan bukan pada kala II persalinan. Dalam penelitiannya, Sze dkk juga menemukan bahwa wanita parous mengalami defek lantai dasar panggul lebih banyak dari wanita nulipara ( 54% vs 15% , p<.001) . Hal ini menunjukkan bahwa proses

kehamilan dan melahirkan adalah penyebab utama dari prolapsus organ pelvis.14

O’boyle dkk dalam penelitiannya terhadap 135 wanita nulipara , mengikuti perkembangan terjadinya POP pada tiap trimester kehamilan dan paska persalinan. O’Boyle mendapatkan bahwa stage POPQ trimester ketiga dan paska persalinan lebih tinggi signifikan dibandingkan stage POPQ trimester pertama (p < 0.001). Paska persalinan , stage POPQ lebih tinggi bermakna pada wanita dengan persalinan pervagina dibanding seksio sesarea (p=0.02).17

Tegerstedt (2006) mendapatkan persalinan per abdominal memberikan proteksi dimana OR terjadinya POP setelah persalinan per abdominal ≥1 adalah 0,5(95% CI, 0,3-0,9) dibanding dengan wanita yang melahirkan per vaginam saja.13

Lebih lanjut Tegerstedt (2006) menyebutkan regangan berlebihan dan robekan jalan lahir (laserasi vagina atau episiotomi) berkaitan dengan resiko prolaps organ pelvis simptomatik. Persalinan dengan forcep maupun vakum nampaknya tidak meningkatkan resiko, demikian juga dengan lama persalinan atau usia ibu saat melahirkan.13 Namun demikian K.Singh dkk (2001) melakukan MRI dasar panggul terhadap 160 wanita 9-12 bulan paska persalinan pertama per vaginam dan menemukan peningkatan Odds Ratio (OR) defek levator pada wanita yang menggunakan forcep saat persalinan (OR 14,7) , rupture sfingter ani (OR 8,1) dan episiotomi (OR 3,1).41

Schaffer (2005) menyebutkan dasar panggul terpapar pada resiko trauma penekanan akibat turunnya bagian terbawah dan juga akibat tekanan mengedan ibu . Pada suatu studi terhadap 42 wanita saat melahirkan, ditemukan tekanan puncak rata rata terhadap kepala janin dan dasar panggul saat mengedan kuat adalah 238.2 ± 82.4 mm Hg dan tekanan maksimum bisa mencapai 403 mmHg. Pada ibu yang mengedan tanpa pimpinan penolong, proses mengedan umumnya tidak tercetus hingga kontraksi uterus benar benar terjadi dan keinginan mengedan timbul. Mengedan tanpa pimpinan penolong juga umumnya berlangsung lebih singkat dengan penahanan nafas tidak melebihi 6 detik. Namun pada proses mengedan yang dipimpin oleh penolong, ibu biasanya diharuskan mengedan panjang yaitu lebih dari 10 detik, menarik

nafas dan mengedan kembali. Schaffer menyebutkan bahwa mengedan terpimpin dalam persalinan, ditinjau dari segi preservasi dasar panggul, mungkin dapat memberikan efek yang tidak baik.22

Hendrix dkk. (2002) menyatakan kelebihan berat badan berkaitan dengan kejadian prolapsus uteri. BMI 25-30kg/m2 (overweight) berkaitan dengan peningkatan bermakna prolapsus uteri sebanyak 31%, sedangkan obesitas (BMI > 30 kg/ m2) berhubungan dengan peningkatan prolapsus sebesar 40%. Lingkar perut ≥ 88cm meningkatkan resiko rektocele dan cystocele sebanyak 17%. 15

Hendrix dkk(2002) menyebutkan wanita yang melahirkan bayi > 4000 gram cenderung untuk mengalami prolapsus organ pelvis. Prolapsus dengan POPQ stage II terjadi pada 66% wanita dengan bayi > 4000 gram dibandingkan dengan hanya 53% wanita dengan berat badan bayi normal (p<.0001).15 Hal yang sama didapat oleh Tegersted (2006) dimana hubungan berat badan lahir bayi >4000gr berkaitan dengan terjadinya POP simptomatik dan berat lahir dapat memprediksi resiko POP simptomatik lebih baik dibandingkan rupture atau episiotomi.13

Casey (2005) melakukan penelitian terhadap 3887 wanita primipara 300 hari paska persalinan. Casey mendapatkan simptom stress dan urge inkontinensia urine menurun bermakna pada wanita yang menjalani seksio sesarea (p <.01). simptom urge inkontinensia lebih banyak dua kali lipat pada wanita yang melahirkan dengan bantuan forceps (p=.04). Simptom inkontinensia anal juga meningkat dengan berat lahir bayi > 4000gram (p=.006) dan berlipat dua pada wanita yang menerima oksitosin dan menerima episiotomi (p=.01).16

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa resiko prolapsus berbeda diantara grup etnis sehingga pendekatan modifikasi faktor resiko dan pencegahan prolapsus juga akan berbeda. Setelah mengontrol usia, BMI dan variable kesehatan dan fisik lainnya, penelitian WHI ini mendapatkan wanita Amerika turunan Afrika mempunyai resiko terendah sedangkan ras Hispanik dengan resiko tertinggi untuk prolapsus uterus.15 Sze dkk, dalam penelitiannya mendapatkan ras Asia dan kulit hitam lebih sedikit yang menginginkan usaha operasi perbaikan untuk prolapsus genitalis dibanding ras kulit putih.14

Dalam penelitian WHI , tingkat pendidikan, jenis pekerjaan , penyakit kronis, status histerektomi, lama menopause, durasi pemakaian terapi sulih hormon, konsumsi kopi dan aktifitas fisik tidak menunjukkan hubungan atau minimal berhubungan dengan terjadinya prolapsus organ pelvis.15

Arya (2005) mengungkapkan bahwa resiko konstipasi lebih besar pada wanita dengan prolapsus dibanding kontrol. (odds ratio 4.03, 95% CI 1.5-11.4). Asupan rata rata serat tidak larut air lebih rendah secara bermakna pada wanita dengan prolapse (2,4gram) dibanding kontrol (5,8 gram ).37

Soligo (2006) meneliti 786 pasien uroginekologi dan mendapatkan 32 % mengalami konstipasi. Prolapsus organ pelvis ≥ stage 2 ditemukan pada 44 % wanita. Colpocele posterior ditemukan lebih sering pada wanita yang mengalami konstipasi (35% vs 19% , p<.0001), sehingga dengan demikian konstipasi sebagai faktor resiko dengan OR 2,31. Colpocele anterior berat tampaknya justru melindungi efek konstipasi terhadap terjadinya prolapsus (OR 0,8).38

Swift dkk menemukan bahwa wanita premenopause umumnya memiliki stage lebih rendah daripada wanita paska menopause yang tidak memperoleh TSH (terapi sulih hormon) (p=.001) . Namun Swift tidak menemukan perbedaan stage POPQ yang bermakna secara statistik antara pasien paska menopause yang menerima ataupun tidak menerima TSH. Histerektomi total per vaginam nampaknya memperbesar resiko prolapsus organ pelvis dibandingkan wanita yang pernah menjalani histerektomi per abdominal.1,5,6

BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait